Wednesday, 11 December 2013

"BUKAN SEKEDAR FILM"

Sedikit flashback ketika saya kuliah di Jakarta ada banyak kenangan dan pandangan yang saya temui terutama tentang perspektif orang diluar Papua memandang Papua selama ini.  Setiap saya mengatakan saya berasal dari Merauke Papua maka yang saya terima adalah ejekan dan celaan seakan akan saya ini berasal dari hutan. Bahkan tak jarang sindiran bernada rasis saya sering dengar. Memang pandangan orang luar yang belum pernah menginjak tanah Papua lebih di pengaruhi oleh media media yang mereka lihat, dengar dan baca. Bagi sebagian orang pikiran mereka merasa bahwa Papua itu semuanya hutan dan belum ada perkotaan, tak akan ada gedung megah dalam bayangannya. Dialeg yang saya gunakan pun tak jarang menjadi bahan lelucon diantara kawan kawan. Belum lagi jika ada yang bertanya : Tapi kog lu gak hitam ? Saya hanya tenang sambil menunjuk ke teman saya yang berdarah India disamping saya sambil berkata "Dia ini orang Indonesia atau orang India ? lalu jawab mereka : orang Indonesia, hanya keturunannya saja yang India sehingga fisiknya berbeda. Maka saya pun tersenyum menjawab : Nah begitu juga saya.

     Saya memang tak menampik jika hidup saya telah menyatu di Papua. Semua keluarga saya tinggal di Papua tak ada satupun diluar Papua, hanya saya sendiri yang merantau ke Jakarta. Namun walaupun saya berada dimanapun tapi hati saya selalu tertinggal disana seperti ari ari saya yang ditanam di bawah pohon mangga disamping rumah. Dimana masa kecil saya hingga masa bermain saya berada ditengah tengah penduduk asli Marind yang tak pernah mengenal tekhnologi.  Bahkan Televisi pun kami tak tahu itu apa. Muting ketika itu menjadi daerah yang bisa dikatakan terisolir akibat buruknya hubungan transportasi antara kota dan desa. Dulu waktu saya umur 5 tahun sempat ada pesawat twin otter yang seminggu sekali kesana namun ketika menginjak SMP jalan yang bisa kita tempuh untuk menuju ke kota Merauke hanyalah satu satunya lewat darat menggunakan mobil Landrover tua milik Babah Sang Keo. Itupun terkadang, satu satunya mobil yang dimuati banyak orang tersebut sering mogok ditengah jalan sehingga kita harus menginap dijalan yang berlumpur bagaikan bubur bukan hanya satu hari tapi bisa berminggu minggu bahkan sebulan. Baru beberapa tahun belakangan ini kami mulai dikenal di seluruh Indonesia setelah film film yang saya buat di Muting menjadi perhatian di Papua. Tanpa sadar sudah 5 film cerita ( 4 Non bioskop dan 1 Bioskop) yang saya buat dengan mengambil setting di kampung Muting sejak awal kembalinya saya dari kuliah perfilman di Jakarta.


      Kembali ke kisah sewaktu kuliah dulu, saya berpendapat bahwa pandangan teman teman saya terhadap Papua yang kala itu masih disebut Irian Jaya sangat sempit. Mungkin dalam kepala mereka disana masih sangat terbelakang atau bahkan belum memakai baju. Ini tentunya tidak lepas dari peranan media (cetak dan televisi) yang selalu mengeksploitasi lebih sering Papua hanya pada suku Dhani di Wamena saja terutama yang masih menggunakan pakaian adat. Sehingga perspektif orang luar ketika menyebut Papua maka mereka akan menyamaratakan dengan mengira semua orang di Papua itu memakai Koteka atau masih tinggal di hutan hutan. Saya sering sekali mendapat ejekan seperti : Lu dari Papua ya, kog gak make Koteka ? disana lu pakai koteka ya ? saya hanya menjawab : Papua itu luas sekali bung. Saya dan masyarakat Marind di bagian selatan sejak lahir, kami tidak pernah melihat orang memakai Koteka disana. Yang memakai Koteka itu adalah budaya dari orang di Wamena. Jadi jangan mentang mentang Papua lantas disama ratakan semuanya pakai koteka. Itulah yang saya sebut sempit wawasannya. Jika membayangkan kota Merauke, bayangan mereka seperti sebuah kampung, maka silahkan lihat film film yang saya buat disana, disitu ada penampakan Swalayan, toko besar, diskotik, lalu lintas kemacetan jalan raya,masyarakat yang multi etnik seperti di Jakarta dll. Tidak ada bedanya dengan kota Bogor kalau saya bilang. Mengenai gaya hidup ? Masyarakat merauke yang tinggal di kota rata rata sudah sama maju gaya hidupnya sama seperti orang di kota Jakarta jadi jangan di remehkan dengan menganggap mereka orang udik, HP jenis terbaru apapun sudah ada di kotanya.

      Jika saya ingin menganggap secara presentasi mungkin bisa di anggap bahwa hanya 10 persen yang diketahui masyarakat yang tidak pernah menginjak Papua tentang Papua. Dan apabila mereka sudah datang ke Papua sebatas berkunjung pun maka hanya 25 persen yang mereka tahu.

      Bukan hanya di waktu kuliah saja hal ini terjadi, bahkan hingga dimasa kini pun. Beberapa tulisan atau bahkan pandangan masih saja merupakan bentuk kecilnya wawasan orang diluar Papua dalam memandang Papua. Semua yang diucapkan hanya sebatas referensi dari media, entah dari televisi, entah dari bacaan dll dan sebagian besar adalah media nasional bukan media lokal Papua.  Contoh saja : Jika ada sebuah kejadian kekacauan atau kerusuhan di Sorong,  Timika atau di Jayapura, banyak orang langsung bilang wah Papua kacau tuh lu gak takut apa pulang ke kampung lu ? Nah inilah yang saya bilang kurangnya wawasan mengenal geografis Papua yang begitu luas. Bukan hanya perorangan yang seperti itu bahkan media televisi Nasional pun akan berlomba membuat berita dengan judul : Papua Membara. Meski kejadiannya hanya di Timika saja. Nah kalau sudah begini maka banyak teman atau saudara saya akan menelpon saya dan khawatir sambil bertanya bagaimana nasib saudara saudara kamu di Merauke sana ? seakan akan semua Papua ini kondisinya sudah seperti neraka barangkali.

      Saya bisa menjawab dengan cara seperti ini : Ambil sebuah gambar peta Indonesia, Taruhlah tangan anda di peta Papua, atau lebih mudahnya taruhlah penggaris yang mempunyai ukuran diatas peta Papua.  Cobalah ukur jarak antara Merauke dan Sorong. Nah setelah itu kini pindahkan pengukur tadi ke atas peta Jawa dan ukurlah jarak antara DKI Jakarta dengan Surabaya atau Jawa Timur. lebih jauh mana ?

      Setelah sudah diukur. maka saya akan bertanya : Jika ada sebuah kejadian terjadi di Surabaya apakah orang Jakarta akan terpengaruh atau tahu hanya dari mulut kemulut ? begitupula sebaliknya.
Nah begitulah juga dengan luasnya wilayah Papua yang kalian salah artikan tersebut. 

      Ketika ada kejadian entah itu kerusuhan atau penembakan didaerah Barat kepala burung atau Timika sana maka otomatis kita yang ada didaerah bagian selatan Papua ini tidak tahu apa apa. Jangankan mendengar terpengaruh pun tidak secara keamanan. Mengapa ? sebab jarak antara kedua wilayah tersebut (Sorong dan Merauke) sangat jauh sekali bahkan melebihi jarak antara Jakarta dan Surabaya. Bahkan untuk kesanapun dari Merauke hanya bisa ditempuh dengan jalur pesawat udara dan laut tak ada jalur darat. Saya yang sudah puluhan tahun lahir hingga besar ditanah ini pun hanya pernah menginjakkan kaki di Nabire, Biak dan Timika karena transit pesawat saja.

      Yang lebih menggelikan lagi, ada pertanyaan seperti ini : oh kamu dari Papua ya, oh ya saya juga punya saudara itu disana, dimana ? itu di Fak fak.
Wah jauh amat….asal perlu diketahui saja bahwa orang Merauke bisa jadi ada yang belum pernah seumur hidupnya menginjak tanah Fak Fak begitupula orang Fak Fak bisa jadi ada yang belum pernah menginjak tanah Merauke. Tak ada jalur darat seperti kereta api  atau bis malam seperti di Jawa. Jika kita dari Merauke mau ke Fak Fak itu sama saja kita sudah mau keluar daerah ongkosnya pun tak beda jauh dengan ke luar Papua.

      Karena itu pula sudut pandang ataupun komentar dari wilayah lain tak bisa disama ratakan terhadap semua wilayah. Jika ada sebuah komentar dari penduduk Papua yang berada di wilayah tengah misalnya mengomentari penduduk di wilayah Selatan maka belum tentu pemikirannya tersebut akan diikuti oleh wilayah yang dikomentarinya dan tidak bisa di sebut sebagai sebuah sudut pandang yang mewakili orang Papua secara keseluruhan. Satu contoh saja pemilihan Gubernur Papua kemarin terlihat sekali contohnya di Selatan yang menjadi pemenangnya justru calon yang lain begitupula di wilayah lain. Ini menunjukkan bahwa dari segi kependudukan pun mempunyai pola pikir yang berbeda disetiap wilayahnya dari berbagai segi termasuk politik.

      Inilah yang sering sekali tidak dipahami oleh banyak orang di luar Papua bahkan oleh media media besar yang sering memberitakan. Ketika menyebut sebuah wilayah maka semua latar belakang serta adat istiadatnya sudah berbeda jauh tidak lagi bisa disamakan. Sampai sampai ada pandangan keliru yang mengira di Merauke orang pakai koteka juga. Padahal koteka di Merauke hanya akan kita lihat apabila ada karnaval budaya setiap bulan agustus atau dijual di toko barang souvenir tidak ada bedanya dengan di luar Papua.

      Adat istiadat antara suku di Wamena dengan adat istiadat orang Marind di Merauke mempunyai perbedaan mencolok. Jika budaya Wamena lebih terbuka dan mudah di ekspose ke umum (karena itulah media lebih sering mengeksposenya) maka sebaliknya dalam budaya Malind Anim, kebudayaan itu disebut mempunyai mata sehingga tak bisa sembarangan di ekspos atau di eksploitasi. Sejak saya kecil saya sering mengikuti upacara adat sakral Marind yang disebut main Shi. Upacara tersebut tertutup sifatnya dan tak bisa ditonton sembarangan orang, Bahkan kami yang menontonnya kala itu pun harus di gosok seluruh badannya dengan sejenis daun tertentu agar tak terkena tulahnya. Jangankan orang asing yang dilarang menonton acara itu kamera foto atau video pun akan dilarang mengambil gambarnya.  Saya menjadi saksi sejarah akan hilangnya satu persatu budaya dari masyarakat Marind di tanah Anim Ha. Ada satu kebudayaan masyarakat Marind yang hingga saat ini telah punah dan tak pernah diadakan lagi. Yakni adat berduka atau disebut adat SAL. Dimasa itu seseorang yang baru saja kehilangan anggota keluarga akan tinggal dalam rumah dengan menutup seluruh badannya tanpa boleh menyalakan api dan tidak mengadakan kegiatan apapun sama sekali kecuali ke kamar kecil. Didepan rumahnya akan dipasang patok merah penanda bahwa ia sedang berduka. Kini yang tersisa dari adat tersebut hanyalah patok merah yang masih bisa terlihat di kampung Muting jika kita berjalan jalan keliling kampung sedangkan ritual adatnya sendiri sudah tak diterapkan lagi. Semuanya kini terekam dalam memori saya yang terus berharap agar budaya budaya penuh kearifan lokal seperti ini janganlah sampai hilang. Salah satunya saya telah abadikan dalam beberapa film saya seperti budaya Yosim asli yang saya berulang kali tampilkan rekonstruksinya dalam film film  terdahulu saya. 

      Kini budaya Yosim pun sudah hampir punah. Anak anak Marind dimasa mendatang hanya akan melihatnya dalam film film saya seperti di film  Melody Kota Rusa.  Saya mencoba sedikit demi sedikit mengangkatnya sebab jika bukan saya sebagai anak Muting siapa lagi ? saya pernah menyaksikan seorang Warga Negara Asing diusir dari kampung saya karena mengambil gambar tanpa ijin. Padahal yang diambilnya hanya gambar rawa saja. Sebenarnya secara hukum dia tidak salah sebab bagi orang didaerah lain disangkanya mengambil gambar pemandangan umum itu bebas saja seperti layaknya kita memotret pemandangan alam bebas, tapi bagi masyarakat Muting semua wilayah itu ada pemiliknya dan harus dibayar dengan ijinnya. Si bule pun di denda dan disuruh pulang sambil di maki maki. Saya masih diberi banyak keleluasaan mengeksploitasi Muting sebab saya anak kelahiran Muting. Dalam film Noble Hearts pun akhirnya saya bisa diberi keleluasaan oleh tua tua adat LMA Muting untuk mengangkat tarian adat Nggatsi yang selama ini dianggap tabu juga untuk di filmkan. Semua itu berhasil dilakukan karena kepercayaan tetua adat yang tinggi kepada saya yang diharapkan membangun tanah kelahirannya.

      Satu demi satu budaya di kampung Muting mulai tergerus perkembangan jaman.  Saya sempat terkesima mendengar penuturan Bapak saya, orang yang telah lama menginjakkan kaki di kampung Muting semenjak Muting masih belum modern ( Papua baru pertama bergabung dengan RI ). Beliaulah yang pertama kali mengenalkan masyarakat garam, gula, kopi, teh dll karena beliau adalah seorang pedagang. Kata Bapak : dulu orang orang di kampung adalah orang orang yang jujur, baik hati dan tulus. Kaum pendatanglah yang mengajari mereka berbohong, mencuri, menipu dll. Lambat laun para penduduk kampung yang polos dan baik hati lama kelamaan banyak yang berubah mengikuti cara cara para pendatang yang rakus,tamak,licik dan jahat. Semua keburukan sifat saat ini adalah hasil dari meniru cara cara kaum pendatang. Memang kearifan lokal adalah yang terbaik namun sangat disayangkan jika akhirnya tergerus oleh kemajuan jaman. para pendatang mulai memasuki kampung kampung ini semenjak tahun 80 an dimana era Transmigrasi gencar dilakukan pemerintah. Dulu masyarakat kampung Muting mempunyai semangat gotong royong tanpa pamrih dan masih jelas dalam ingatan saya kala itu setiap pekerjaan selalu dilakukan saling membantu beramai ramai, bahkan yang menjadi memori kenangan adalah disaat setiap tanggal 1 januari tahun baru ada semacam pesta masyarakat merayakan tahun baru dengan cara bernyanyi dengan iringan gitar jukulele keliling kampung dan kami yang waktu itu masih kecil ikut dalam rombongan tersebut sambil beryosim ria. Setiap rumah yang diisnggahi rombongan arak arakan itu akan diberikan berbagai macam kue atau makanan ringan. Kini semua itu tak ada lagi. Satu persatu hilang menyusul dengan munculnya sifat para pendatang yang lebih individualistik atau biasa disebut orang jakarta dengan " Lu Lu, Gue Gue". Kini masyarakat kampung seakan mengikuti pola pola sifat para pendatang tersebut sehingga semangat kebersamaan dan gotong royong yang dulu pun hilang. Saya merekam jejak perkembangan ini semenjak rumah kami masih beratap daun sagu dan berdinding gaba gaba.

      Jika menyebut kata Papua, pasti yang ada dalam benak kepala teman teman kita yang belum pernah menginjak Papua adalah stereotip. Kalau bukan berkhayal tentang alamnya yang indah seperti dalam film Denias atau dalam dokumenter Raja Ampat, satu lagi pasti ingat koteka. Ya itu terjadi akibat peranan media massa yang memang selalu lebih cenderung mengangkat wilayah wilayah tersebut. Tidak salah memang karena mungkin wilayah wilayah itu punya daya tarik pemandangan alam yang luar biasa. Padahal masih banyak sekali wilayah Papua lainnya yang tidak pernah terekspose. Siapa yang sangka ketika gerakan gerakan kecil kami di wilayah Selatan ini akhirnya bisa membuka akses masuknya banyak media seperti acara acara televisi yang saat ini sudah mulai sering mengekspose bagian Selatan ? Sejak itulah mungkin penonton baru sadar jika wilayah Selatan Papua lebih cenderung alamnya berupa rawa rawa dan dataran seperti yang terlihat di acara mancing mania dll. Semua acara tersebut bisa masuk ke Merauke atas partisipasi kami disana yang mengundang mereka datang. Sebelumnya tak pernah ada media yang mau datang mengekspose kami. Mungkin memang faktor kesulitan tekhnis menyebabkan mereka merasa kesulitan untuk datang jika tak ada yang menuntun, selain sikap tertutupnya secara adat masyarakat Marind yang kurang begitu suka diekspose keluar.

       Dalam berbagai cara saya berupaya memperkenalkan sisi lain dari Papua yang dikenal selama ini. Ketika saya ditanya mengapa tidak membuat film di Wamena atau di Raja Ampat juga ? saya menjawab bukankah sudah ada yang membuatnya ? sudah berkali kali daerah daerah tersebut dijadikan latar belakang pengambilan gambar film bahkan raja ampat sudah dikenal dimata dunia. Lagi pula banyak teman teman saya disana para sineas dari Jayapura,Wamena, Sorong dll mereka lah yang punya tugas untuk mengekspose daerahnya masing masing. Dengan begitu kita sama sama berjuang mengangkat Papua di wilayah masing masing. Papua secara geografis terlalu luas. Untuk menjelajah wilayah Selatan saja buat di filmkan saya mungkin belum bisa mendapatkannya dalam kurun waktu sepuluh tahun, apalagi harus ke daerah lain ? Karena itu saya memang lebih fokus ke daerah yang saya kuasai yakni Selatan.  Saya juga merasa lebih mengenal lingkungan dimana saya tinggal agar tidak terjadi kesalahan dalam konsepnya nanti. Apalagi dukungan yang saya dapatkan dari tempat tinggal saya di Merauke semakin menguatkan saya untuk terus mencoba memperkenalkan wilayah Selatan ini.

      Yang terpenting bagi saya bahwa apa yang saya buat selama ini di Merauke adalah bukan dari sekedar film. Semua karya saya Bukan sekedar film yang harus dinilai atau di tonton buat hiburan saja. Didalamnya begitu banyak misi yang saya bawa bukan secara pribadi tetapi suara masyarakat kami. Memang tidak terlihat secara jelas tapi bagi yang cerdas dan mau menela’ah apa isi karya saya seperti Melody Kota Rusa, Epen Cupen, Noble Hearts dll sebenarnya ada sesuatu yang tersirat didalamnya yang saya harapkan bisa mengubah cara pandang orang orang diluar sana seperti yang telah saya ceritakan diatas. Mungkin ada yang hanya menilai sebatas tekhnis dan isi tetapi lebih dari itu ada sesuatu yang terbawa dalam alam bawah sadar mereka sehingga bisa merubah cara pandang mereka serta wawasannya dalam melihat Papua tidak lagi seperti selama ini mereka dapatkan hanya dari media massa saja.

       Sekali lagi ini bukanlah sekedar  film tetapi ada sesuatu yang ingin diperlihatkan dan ingin disampaikan ke teman teman semua.  Itulah mengapa dalam setiap film film saya entah itu berupa fiksi semata ataupun horror sekalipun yang saya buat disana, saya selalu menampilkan sesuatu bagian yang tidak pernah orang lihat di manapun, mereka akan menyaksikannya pertama kali lewat film itu. Itulah yang saya sebut dengan menyampaikan sesuatu ibarat bercerita kepada teman teman diluar sana tentang apa yang ada di daerah kami dan tak ada di daerah lain. Sebab media luput dalam menceritakan hal hal tersebut selama ini.  Bahkan beberapa film yang pernah saya buat, saya sempat menyelipkan adegan rekonstruksi persis dengan kejadian yang pernah saya alami disana. Tapi semuanya kembali tergantung penonton yang menilai, terkadang penonton yang tidak jeli malah mengira adegan tersebut hanya sebuah rekayasa atau hiburan semata atau bahkan dijadikan tertawaan saja, tetapi sebenarnya saya mencoba melukiskan semua gerak tubuh serta kejadian berdasarkan rekam jejak pengalaman masa kecil saya disana. Mungkin saya terlalu halus dalam menyajikannya atau mungkin juga terlalu menghibur sehingga adegan adegan tersebut hanya berlalu dengan asumsi sebagai hiburan semata dimata penonton. Wajarlah karena saya berada dijalur fiksi.
Saya termasuk pecinta film film beraliran Satir. itulah mengapa hampir semua film saya ada adegan satirnya. ini yang kadang membuat penonton salah sangka sebab bisa saja ketika adegannya serius mereka akan tertawa. Satir memang terjadi ketika kita mentertawai sesuatu yang tidak pantas untuk ditertawakan Orang akan mengira saya gagal membuat adegan serius tetapi yang terjadi malah saya sebenarnya sengaja membuatnya ,ketika membuat beberapa adegan serius itu sebenarnya saya tertawa bukan main ketika menulisnya jadi ketika penonton tertawa juga berarti tercapai juga keinginan saya. saya akui adegan satir tak akan pernah lepas dari semua karya karya saya semacam sudah menjadi ciri khas dari gaya saya. saya suka membuat orang terhibur tanpa harus bermaksud untuk menghibur secara frontal. Cukup tersenyum itu sudah berhasil bukan sebuah lawak yang butuh tertawa sampai gigi kering.

      Semua yang dituturkan seperti di film Melody Kota Rusa atau Noble Hearts dibuat dengan penuh kepolosan .Tentu saja sebab film film jenis tersebut bukanlah sekedar film tetapi sebuah suara yang ingin disampaikan langsung dari desa Muting. Suara yang selama ini tak terdengar keluar bahkan oleh Pemerintah Kota nya sendiri. Suara itu dikemas dalam bentuk hiburan yang pada akhirnya nanti akan dinilai secara tekhnis oleh banyak pengamat. Saya tentu saja sangat menerima jika sebuah karya akan diperhitungkan secara tekhnis. Bahkan saya termasuk sutradara yang bisa mengatakan itu memang jelek kalau memang jelek. Saya tak pernah membela sesuatu jika memang jelek, namun itu semua sebatas ukuran tekhnisnya. Lain lagi jika itu dilihat sebatas bukan film maka yang terlihat adalah suara kami semua bukan individual saya lagi. Suara inilah yang kemudian akan menempatkan karya itu untuk bisa di terima secara universal dan bukan tekhnisnya, karena itulah biasanya yang saya bela adalah bukan hal tekhnisnya sebab tekhnis ada ukurannya tetapi apa yang disebut lebih dari sekedar film itu tak ada batasannya. Contohnya saja bagaimana seorang pengamat film bisa mengomentari budaya Papua sementara dia sendiri tidak pernah ke Papua dan tidak tahu apa apa tentang Papua, yang masuk akal adalah ketika ia mengomentari sisi tekhnisnya saja sebab itu yang dia kuasai, sementara isi kultur dan budaya Papua belum tentu ia kuasai.

      Pencapaian saya sebenarnya sangat sederhana sekali untuk film film ini, contoh saja untuk film Melody Kota Rusa, betapa bahagianya saya ketika mendengar penuturan beberapa orang mabuk yang asyik duduk menonton pemutaran film ini dilapangan Hasanab Sai beberapa tahun lalu. Kala itu sedang berlangung adegan ending dimana akibat dodi mabuk dan menghancurkan impian teman teman mereka semua, saat itulah keluar sebuah celetukan dari salah satu pemabuk di lapangan tersebut yang ikut menonton. Pemabuk itu menangis sambil berkata : Aduh kawan, kasihan sekali dorang…itu gara gara koe dodi ! (ironis dia menyalahkan dodi yang mabuk padahal dia sendiri sedang mabuk) lalu temannya berkata : Iya sudah kawan makanya mulai besok kita tidak usah mabuk lagi, gara gara mabuk itu makanya dorang gagal…..

      Itulah sepenggal kisah nyata yang saya saksikan sendiri bagaimana film punya implementasi nyata dalam merubah cara pandang seseorang hanya dengan menyaksikannya sebagai hiburan saja. Bahkan saya pun hanya tersenyum ketika membaca beberapa komentar di dinding FB orang yang berkata setelah menyaksikan film saya : ternyata di Papua itu ada tempat ajeb ajebnya juga ya kirain hanya hutan semua”  itu pun sudah cukup bagi saya melihat perubahannya karena yang mereka tangkap akhirnya lebih dari sekedar film. Bukan perkataan : Wah keren filmnya atau Filmnya inspiratif, bukan kata kata itu yang saya inginkan tetapi bisa memaknainya lebih dari sekedar film tanpa disadari maka itulah yang saya tunggu keluar dibenak benak penontonnya.

      Perlu diketahui sekarang Papua mulai aktif dan keras memerangi Miras dan pemabukan tidak seperti beberapa tahun lalu sebelum film ini dibuat. Di kota Merauke sendiri para pemabuk mulai berkurang dan pembunuhan dijalan oleh pemabuk sangat jarang terjadi lagi tidak seperti ketika masa syuting film tersebut.  Ada atau tidak hubungannya dengan film ini, yang jelas saya ikut senang karena itulah yang saya sebut lebih dari sekedar film, yang berarti bukan film untuk dinilai atau dihibur semata. Masih banyak kisah nyata lainnya dampak dari film tadi dikenyataan salah satunya Rasisme sedikit demi sedikit mulai hilang. Jika terjadi perdebatan rasis saya pernah melihat sendiri sang  penengah mengutip kata kata Mas Suroso di Film maka perdebatan pun usai dengan diakhiri tertawa bersama mengingat tingkah Mas Suroso yang polos menasehati tentang kebersamaan. Itulah makanya mengapa film film yang saya buat di Papua ini, saya lebih antusias untuk sukses di Papua daripada di luar Papua sebab sangat berfungsi bagi kami sendri disana. Jika diluar Papua mungkin saja film film seperti ini hanya diperlakukan sebagai bahan hiburan semata atau untuk di kritik saja tak lebih dari itu tetapi di Papua film film itu punya nilai lebih dari sekedar film.


      Untuk film Noble Hearts yang sebentar lagi tayang, harapan pencapaian saya juga masih sangat sederhana saja. Semoga sahabat saya Yosep salah satu satu pemain film Melody Kota Rusa, bisa mau kembali meneruskan kembali sekolahnya di Muting,. Saat ini beliau tidak mau melanjutkan sekolah dan memilih ikut orang tuanya ke hutan dan ke rawa. Kejadian nyata yang terjadi sangat dekat dengan kita sendiri. Atau pun Yosep yosep yang lain bisa melihat film ini. Pencapaian sederhana macam itulah yang saya dambakan bukan pencapaian film ini harus di puji atau disanjung, ataupun menang di Festival atau laku di bioskop. Itu jauh sekali, harapan saya lebih kepada pembangunan kampung saya kedepannya tanpa neko neko. Bagi saya lebih baik filmnya biasa biasa saja tetapi tepat guna lebih dari sekedar film daripada film ini menjadi sebuah karya seni luar biasa  tetapi tak bisa ditangkap maksudnya oleh mereka yang saya inginkan di kenyataan. itulah jawabannya mengapa sudah berpuluh puluh kali orang bertanya kesaya mengapa saya tidak mendaftarkan film film saya ke festival film manapun, atau mempromosikannya ke luar Papua dengan gencar. saya jawab karena film saya belum layak untuk kesitu, film ini tidak ditujukan untuk itu. Ada saatnya nanti saya akan bikin film yang memang tujuannya ke festival. tapi untuk saat ini film film ini tujuannya lebih dari sekedar film bukan kelasnya festival. Tercatat baru dua kali kami di undang, pertama di Festival film Salatiga, dan yang kedua di daftarkan oleh Produsernya (adik saya) atas nama ia sendiri sebagai pembuatnya ke AFI (Apresiasi Film Indonesia) meskipun saya sendiri tidak menyetujuinya karena merasa tidak pantas masuk ke festival sebagus itu, ini kan hanya film sederhana saja tidak punya nilai lebih untuk dinilai para juri festival, itupun akhirnya terjadi setelah di hubungi oleh panitia AFI yang meminta kami ikut berpartisipasi.
Saya memang selalu berusaha obyektif dalam melihat semua karya saya, saya merasa masih banyak kekurangan dalam hal tekhnis dalam beberapa film saya dan saya masih terus belajar untuk memperbaikinya hingga kini. Dan saya juga sadari jika kekurangan itu bukanlah karena keinginan atau kelalaian saya tetapi itulah resikonya ketika kita bekerjasama dengan tim anak anak lokal yang belum mempunyai skill apa apa. Saya harus sabar, akan ada saatnya nanti kita harus perlu terus belajar. Kelebihan dalam film saya disana itu hanya satu yang bisa saya banggakan, yakni film film tersebut tidak akan bisa dibuat oleh orang luar sebab saya dekat dan mengetahui kunci kelancaran membuat film didaerah saya. Bagi yang tidak tahu maka akan berhadapan dengan bermacam persoalan mulai dari perijinan, adat, hingga tuntutan masyarakat hingga biaya yang tak terhingga.

Ukuran sukses memang berbeda menurut kacamata saya. Jika "sukses" bagi kebanyakan orang diartikan sebagai sebuah pencapaian mendapatkan ambisinya, namun bagi saya sukses itu adalah seperti yang saya gambarkan di dalam ending film Melody Kota Rusa. Sesuatu yang damai dan nyaman meskipun bukan dalam bentuk pencapaian materi yang berlimpah.
Setiap orang punya tujuan atau motivasi yang berbeda beda ketika membuat film, ada yang mungkin menginginkan pengakuan orang banyak, menginginkan dapat menang di festival, menginginkan filmnya sukses, menginginkan jadi orang terkenal, menginginkan uang banyak dll.
Saya termasuk orang yang mempunyai motivasi berbeda dari semua diatas, karena film bagi saya adalah sebuah cara untuk menyampaikan cerita,nasehat,kearifan lokal,rahasia yang saya ketahui kepada orang lain dengan cara menghibur tanpa harus membuat orang tersinggung atau menyakiti. Film adalah sebuah media bagi saya untuk bisa berkomunikasi dengan penonton diluar sana yang tak pernah tahu apa yang terjadi disini. Apalagi saya sejak kecil hidup dilingkungan yang tak pernah mengenal dunia luar yang modern karena itulah kini saatnya saya bercerita untuk semua orang tentang semua yang tak pernah mereka ketahui sebelumnya.

       Masih banyak yang ingin saya angkat dan perlihatkan dalam film film saya secara menghibur (bukan dokumenter). Sebenarnya terlalu banyak rahasia yang saya ketahui ditanah ini sejak saya lahir. Termasuk tentang peristiwa menyangkut politik maupun HAM. Semua terekam jelas dalam benak saya. Namun saya memilih untuk keluar dari jalur politik. Saya lebih cenderung akan menceritakan tentang hal hal non politik saja dalam film saya. ( Saya adalah orang yang dibesarkan di Papua di masa pemerintahan Orde Baru yang situasi politiknya sangat berbeda dengan masa sekarang )

        Saya sendiri sebenarnya pernah berencana untuk membuat sebuah film dokumenter berdasarkan jejak sejarah kelam di era 90-2000 an lalu. Namun kemudian saya membatalkannya karena saya tidak ingin menimbulkan pro dan kontra apalagi melihat dampaknya yang nanti bisa berakibat fatal bagi kedamaian. Padahal saya telah menyiapkan semuanya mulai dari materi, Narasumber hingga barang buktinya. Kini para narasumber satu persatu telah banyak yang meninggal dan biarlah kisah tersebut terkubur bersama semua apa yang saya ketahui. Sejak pengalaman itu Saya memilih untuk tidak bersentuhan lagi dengan politik dalam karya karya saya kedepannya demi untuk kedamaian di negeri ini. Beberapa kontroversi telah memecah belah persatuan orang Papua sendiri. Saya menganggap akan sulit maju jika terjadi perpecahan dikalangan anak bangsa sendiri. Salah satu pemicu perpecahan itu adalah kontroversi itu. Karena itu saya menghindari apapun yang bertujuan memecah belah persatuan anak anak Papua. Justru kemudian saya berupaya mendirikan komunitas film di Merauke adalah dengan tujuan menyatukan mereka semua. Karena salah satu kelemahan yang kita tidak sadari disana adalah ketika kita begitu mudah terhasut oleh orang orang luar. Semua visi misi mengenai hak hak dan pembelaan terhadap masyarakat Marind saya lakukan lebih halus lewat film film fiksi saya contohnya yang tebaru adalah Noble Hearts yang membela keadilan bagi anak anak Marind di dunia pendidikan.

     Jangan sekali kali mencoba berpikir bahwa film film saya mengandung sebuah propaganda pihak tertentu apalagi menyangkut politik bahkan yang paling konyol adalah mengira film film ini untuk mendukung secara sepihak (nasionalisme Indonesia). Saya tekankan bahwa tidak pernah ada dalam film film saya di Papua adegan adegan yang terlalu membela kepentingan politik tertentu dan tidak ada pula menyudutkan siapapun. Dalam film film saya tak ada adegan hormat bendera, tak ada ucapan memuji muji negara Indonesia, jika pun ada latar belakang bendera itu adalah set properti artistik yang disesuaikan dengan kenyataan pada saat itu di lokasi kejadian. yang ada hanyalah kisah tentang kejadian sehari hari, persahabatan yang memang seperti apa adanya. Saya tetap membuat film dari sudut pandang masyarakat di Papua Selatan dimana saya tinggal apa adanya tanpa direkayasa. dimana kehidupan masyarakat begitu heterogen dan multi etnik yang terbentuk asimilasinya sejak ratusan tahun lalu. Lihat saja slogan daerah nya pun sudah mencerminkan keberagaman : "Satu hati satu tujuan" atau terjemahan luasnya semacam Bhinneka Tunggal Ika. Tentu ini berbeda dengan wilayah Papua lainnya sudut pandangnya sehingga tak bisa disamakan. Seandainya film ini dibuat di wilayah Papua lainnya tentu akan beda juga cerita nya lagi. Yang ada dalam film Melody Kota rusa adalah gambaran apa adanya dan rekonstruksi kejadian ditahun 80-90 an di Muting. Bahkan satu adegan nasehat dari Tete Frans orang tua adat disitu dilakukan tanpa skenario. Tanpa disangka beliau mengucapkan kata : Bhinneka Tunggal Ika tanpa kita minta seperti itu. Film itu terbentuk dengan sendirinya dengan polos tanpa ada tendensi propaganda pihak tertentu. Apalagi saat pembuatan film MKR itu Pemda Merauke dan Bupatinya kala itu tidak merespon kami sama sekali. Justru dalam film film saya berikutnya seperti Noble Hearts anda akan lihat bagaimana saya membela hak anak anak Marind dengan banyak mengkritisi dan menyindir pemerintah kita sendiri yang kurang adil terhadap anak anak Asli Papua.

      Saya kemudian lebih nyaman memilih pola film cerita daripada dokumenter dengan alasan bahwa dengan cara inilah pesan yang saya sampaikan lebih mudah menyebar dengan sendirinya dan ditonton orang banyak dibandingkan dokumenter yang membutuhkan segmentasi penonton khusus dan tempat pemutaran khusus juga. Film cerita akan lebih mudah masuk ke rumah rumah orang secara pribadi melalui DVD tanpa bisa kita kendalikan, sebab dimana ada permintaan maka disitulah akan ada pasarnya. Apa yang sukses akan segera menjadi fenomenal, dengan begitu setiap visi kita akan mudah masuk secara massal. Tapi bukan berarti suatu ketika saya tak akan membuat dokumenter juga karena dokumenter juga diperlukan untuk merekam jejak secara real sebagai bahan dasar sebelum dibuatkan fiksinya. Tapi saya percaya teman teman saya di wilayah Papua yang lain sudah banyak yang mengisi lahan tersebut. Sehingga kini saya lebih fokus mengisi lahan fiksi yang sangat jarang ditempati sineas sineas dimasa kini. Melalui film fiksi saya tetap selalu berjuang demi kemajuan Papua yang saya cintai, hanya mungkin tidak akan terlihat jelas karena saya selalu memasukkan unsurnya sangat halus dalam setiap adegannya.

Yang masih menjadi perjuangan saya hingga kini di Merauke adalah proses regenerasi. Selama ini semuanya masih terus mengandalkan kepada skill individual saya sendiri, inilah yang menurut saya tidak benar, karena saya memulai ini bukan untuk tujuan mempopulerkan pribadi saya sebagai sutradaranya. Karena itu kini saya dengan ikhlas berupaya membagikan semua ilmu saya kesemua anak anak Papua disana agar kelak merekalah yang akan berkarya bukan saya lagi. Ya perjuangan menciptakan industri film di timur ini adalah juga demi pencapaian sebuah kualitas SDM lokal sehingga mampu berdiri sendiri suatu saat dengan kekuatannya sendiri. Saya berupaya memajukan SDM di Papua dengan dasar keahlian di bidang yang saya kuasai. Sedikit demi sedikit itu yang sedang saya lakukan hingga hari ini. karena cita cita saya hanya ada satu :

"SAYA INGIN MELIHAT PERFILMAN MERAUKE ( PAPUA ) MAJU SUATU KETIKA, TAPI TANPA ADA SAYA LAGI DISANA......." 

Salam Damai Izakod Bekai Izakod Kai

penulis : irham acho bahtiar
Sineas dari Merauke

0 comments:

Post a Comment

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Kakatua Kaskus | www.kakatua.web.id | Bloggerized by Irham Acho Bahtiar --- Izakod Bekai Izakod Kai | Satu Hati Satu Tujuan