DAHULU IDENYA BERJUDUL RAJA MOP
Di pertengahan tahun 2011 setelah
menyelesaikan film Nasional pertama saya yang kurang memuaskan saya, saya
lalu memilih untuk kembali menetap di Merauke tinggal bersama orang tua saya disana
meninggalkan semua aktifitas film saya di Jakarta. Saya merasa banyak hal yang
perlu saya angkat lagi terutama bakat bakat seni yang selama ini terpendam dan telah
berhasil saya temukan lewat beberapa eksperimen seperti film lokal Melody Kota
Rusa dan sketsa Epen kah Cupen toh yang ditahun itu mulai diminati banyak orang
bahkan sampai di youtube. Jika bukan saya yang mengangkatnya lalu harus menunggu siapa lagi ?
Ketika tejadi pergantian generasi
pemain epen cupen dengan wajah wajah baru seperti Celo dan nato beko, saya
mempunyai semangat baru untuk mulai membuat sebuah cerita baru bergenre komedi
untuk menampung bakat bakat lucu yang selama ini hanya digunakan dalam sketsa
sketsa pendek itu.
Saya membuat sebuah naskah
berjudul Raja Mop, kisahnya waktu itu saya ingin angkat betul betul tentang
Mop. Bahkan saya mendedikasikan film tersebut bagi Mr. Chiko/Alm. Peter Imbiri yang pada
tahun tahun itu sangat dikenal masyarakat di Papua sebagai Raja Mop Papua lewat
penampilannya di Papua TV. Bahkan ide film ini pernah saya lontarkan didepan
para mahasiswa universitas Kristen satya wacana di Salatiga ketika film saya
Melody Kota Rusa 2 diundang sebagai film tamu dalam acara Salatiga Film
Festival tahun 2012. Niat untuk membuatkan sebuah film untuk menyatukan wadah
para insan komedi di Papua semakin besar karena saya lihat banyak bakat itu
bermunculan namun saling bersaing, lewat film inilah saya ingin menyatukannya
agar bisa saling mendukung dan bermain dalam satu wadah.
Namun niat saja tidak akan cukup
jika tak ada dukungan financial. Ide ini tinggal cerita manakala saya mencoba
menawarkannya kemana mana dan mengalami penolakan. Mulai dari Pemerintah daerah
kita sampai sponsor produk yang selama ini selalu mendukung film film saya di
Merauke. Bahkan saya masih ingat saya sempat membawa proposal Raja Mop ini
sampai ke Bapak Direktur Perfilman yang pada saat itu dijabat oleh Pak Syamsul
Lussa. Apa daya semua tetap sia sia. Sampai akhirnya Mr. Chiko meninggal dunia
diakhir tahun 2012 pun saya tak pernah mendapatkan investor yang mau membiayai
film Raja Mop.
Sepeninggal Mr. Chiko, saya patah
semangat untuk meneruskan proyek ini. Saya bahkan langsung mengumumkan di
Facebook saya ucapan belasungkawa yang mendalam atas meninggalnya Mr. Chiko
Raja Mop Papua, sekaligus mengatakan bahwa Film Raja Mop batal saya produksi.
Otomatis semua kisah tentang itupun saya tutup buku.
Di tahun 2012-2013 Saya kemudian
mulai fokus membuat beberapa film dengan berbagai genre populer diantaranya
genre horror berjudul SPOK yang juga dimainkan dan dikerjakan di Merauke. Saya mulai mencoba membuat film dengan tujuan pasar nasional sebab dari 3 film lokal yang sudah saya buat dan populer di Papua serasa kurang memberikan dampak bagi para kru dan pemainnya apalagi kurangnya pemerintah daerah kita terhadap film. Saya mencoba membawa anak anap papua kini ke pentas Nasional. Namun
lagi lagi film itu sulit untuk ditawarkan masuk kebioskop Nasional karena tak
ada nilai jual didalamnya semuanya menggunakan pemain dari Papua tanpa artis
nasional sama sekali. Saya juga kembali meneruskan membuat sketsa komedi Epen
Cupen ke 3 dengan generasi baru namun hasil antusiasnya kurang begitu semenarik
episode pertama dan keduanya dikarenakan masyarakat belum terbiasa menerima
pergantian pemain baru didalamnya. Ibarat sebuah pergantian vokalis dari sebuah
band pastilah berdampak pada penggemar fanatiknya. Semenjak itu saya juga sempat putus asa,
bahkan ditahun itu pula saya mengambil keputusan untuk menyudahi perjalanan
epen cupen untuk selamanya. Saya memberikan pengumuman kepada seluruh
penggemarnya melalui FP Epen Cupen bahwa epen cupen tidak akan pernah
dilanjutkan lagi dan sebagai gantinya saya akan membuat konsep baru yang
berbeda.
Namun rupanya keputusan emosional
saya ini berbanding terbalik dengan sketsa sketsa pendek yang selama ini telah
saya upload diyoutube sejak tahun 2011. Diluar dugaan channel tempat saya
menaruh video video itu mengalami lonjakan penonton yang tak terkira. Banyak
support dan harapan yang saya dapat lewat komentar komentar penggemar diyoutube
yang meminta epen cupen terus lanjut. Sketsa epen cupen youtube kemudian bekerjasama dengan afiliasi luar dan memasarkannya hingga ke luar negeri dengan diberi subtitle inggris.
2 tahun di Merauke Saya
sebenarnya cukup banyak sekali kegiatan di Merauke mulai dari membuat sebuah
komunitas film bernama Papua Selatan Film Community, membuat sebuah studio
music recording untuk mewadahi band band lokal sana hingga membuat workshop
pelatihan film untuk para murid, guru SMA dan pegawai negeri serta umum sampai
membuat 2 film lokal yang selalu dianggap remeh oleh wartawan lokal meskipun
film film tersebut sebenarnya setiap diputar digedung gedung kota Merauke
mendapatkan antusias penonton yang tinggi. Film film kami sekalipun tak tayang
di nasional namun sangat booming di Papua. Namun Saya selalu merasa tercambuk
manakala pertanyaan datang ketelinga saya seperti ini : kapan film kalian bisa
masuk ke Nasional ? selama ini film filmnya sudah banyak di lokal dan sudah
mendapatkan sambutan luar biasa di Papua namun belum ada yang bisa booming di
Nasional. Pertanyaan dari pers lokal seperti itu bagaikan sebuah kritikan pedas yang kadang bikin kuping saya
panas namun saya menjadikannya sebagai sebuah motivasi besar bahwa saya harus bisa mewujudkan
semua yang mereka katakan itu. Memang
ukuran sebuah kesuksesan itu adalah apabila bisa merajai Nasional, sukses
didaerah ibarat jago kandang saja.
Lalu pada awal tahun 2013 saya
akhirnya kembali ke Jakarta setelah lelah berjuang mengangkat perfilman
di tanah kelahiran saya hingga eksis namun saya merasa masih belum maksimal
apabila belum bisa tampil di tingkat nasional. Memang nama kami telah besar di Papua namun disebut sebagai pembuat film daerah. Saya perlu kembali membuat film
Nasional agar semua cibiran dan pandangan remeh yang selama ini berkata bahwa kami
hanya bisa membuat film daerah atau jago kandang itu tidak lagi terdengar.
Akhirnya baru satu bulan saya di
Jakarta, saya mencoba menawarkan beberapa konsep proposal saya ke salah satu PH
lewat teman saya. Sebuah PH baru menyambutnya. Tak disangka film yang mereka
pilih justru adalah film bertema pendidikan, sebuah kisah nyata di kampung
kelahiran saya Muting pada tahun 1997. Di tahun 2013 Saya pun membuat film berjudul
NOBLE HEARTS (Mentari di ufuk Timur) yang dibintangi oleh Mathias Muchus,Edo
Kondologit dan Nadine Chandrawinata. Hanya saja film yang berskala Nasional ini
sampai sekarang masih ditahan oleh Produsernya menunggu saat yang tepat. lagi lagi film ini bukanlah sebuah film yang punya nilai populer meskipun mendapatkan pujian ketika diputar di Universitas Cendrawasih Jayapura. Hal
ini sempat membuat saya kembali patah semangat apalagi ketika film ini
launching di Merauke di awal 2014 lalu, kembali pertanyaan yang sama datang
untuk saya, kapan filmnya booming di Nasional ? kembali sebuah cambuk lebih
keras dipecutkan ke saya. Seakan akan semuanya belum bisa mendapat pengakuan
apabila belum masuk Nasional dan merajainya.
Sampai akhirnya Agustus tahun 2014
saya bertemu dengan Pak Koko Sunarso seorang bapak yang sejak dulu sangat
mensupport karya karya saya. Beliau adalah owner dari sebuah perusahaan DVD original yang cukup eksis dari jaman dahulu didunia film. Beliau sepertinya melihat kejenuhan dalam tema tema film
Indonesia saat ini yang menurut beliau hanya itu itu terus temanya, kami lalu
bercerita tentang tema apa yang kira kira disukai masyarakat sebagai hiburan,
lalu beliau menjawab tema komedi. Saya lalu teringat dengan konsep yang pernah
saya buat sejak tahun 2012 yaitu komedi ala Papua berjudul RAJA MOP. Mungkin
seperti memang sudah diatur oleh Tuhan, pertemuan saya dengan beliau betul
betul klop menghasilkan sebuah ide baru apalagi ketika beliau melihat sketsa
sketsa Epen Cupen yang ada di youtube dan melihat total jumlah penonton di
channelnya yang waktu itu telah mencapai 20 juta lebih penonton, hal itu
semakin memberi inspirasi bagi kami bahwa Epen Cupen perlu diangkat ke layar
lebar. Pak Koko lalu membawa konsep saya tersebut ke Rapi Film dan tidak
berlama lama Rapi Film langsung menyambutnya. Saya cukup terkejut sebab selama
ini saya sudah sering mencoba menawarkan film dengan peran utama anak Papua
namun tak pernah ada produser yang berani karena mungkin mereka menganggap
pemain daerah tidak punya nilai komersil. Itulah makanya saya salut ketika Rapi
Film berani mencoba sesuatu hal baru yang tidak biasa dalam film Nasional.
Bahkan menurut saya ini sebuah sejarah dimana sebuah film action di aktor
utamai atau dijagoani oleh anak dari Timur sebab kita tahu biasanya anak anak
timur di film action hanya berdiri sebagai pelengkap atau penjahat lengkap dengan logat daerah mereka. Ini juga mencatat sebuah sejarah baru hadirnya komedi ala Papua di pentas Nasional
Jujur saja konsep epen cupen the movie ini sebenarnya adalah satu satunya konsep film dengan tema komedi yang saya tawarkan. Sebenarnya saya mengajukan banyak konsep film di Papua yang lebih serius temanya drama seperti tentang lingkungan, inspiratif dan persahabatan namun entah mengapa konsep konsep itu dianggap idealis atau Arthouse sehingga produser kebanyakan lebih memilih pada konsep yang ringan dan menghibur seperti epen cupen ini, dan yang pasti kepopulerannya di youtube juga salah satu daya tarik untuk produser memfilmkannya, andai saja diyoutube tidak populer mungkin juga produser tidak yakin produk dari Papua bisa sukses. Sampai sekarang saya tetap berharap ada produser yang juga mau mengangkat tema tema lain lagi di Papua walaupun resikonya nanti saya akan di cap idealis. Ya memang ada kalanya saya membuat film idealis ketika saya di Papua seperti film Melody Kota Rusa tanpa intervensi produser, namun ketika masuk di dalam dunia industri film Nasional saat ini tentu idealisme kita itu akan kalah dengan keinginan produser, ini adalah pilihan jika kita tak ingin seperti itu maka kita hanya bisa memilih terjun ke salah satunya saja. Saya pribadi memilih fleksible saja, bisa membuat yang idealis tetapi bisa juga ke komersil selama itu tetap dalam ciri khas saya. Film dengan ciri khas saya adalah tetap membawa pesan pesan dari Timur beserta talenta talentanya. Saya juga bertekad dalam film film saya akan selalu menampilkan sebuah pemandangan daerah baru yang belum pernah diangkat di layar lebar.namun jika menyangka saya memilih menerima tawaran produser karena uang jelas salah besar sebab semua film film Nasional yang saya buat di Papua selama ini saya juga terpaksa ikut mengeluarkan uang pribadi saya ketika melakukan syuting di Papua semata mata demi menyukseskan proses pembuatan film agar bisa disaksikan penonton di bioskop. Tak kadang saya sendiri kehabisan uang akibat harus menanggulanginya, ya meskipun sudah ada produser yang mendanai terkadang biaya membuat film di Papua itu sangatlah besar dan tak terduga sehingga kita harus siap menutupinya sendiri tanpa berharap ke produser lagi. Kalau mau berharap semuanya produser yang menanggung maka tak akan ada produser yang berani membuat film di Papua. Saya sendiri bisa menekan biaya produksi di Papua selama ini sebab keluarga saya berada disana semua, semua dukungan ada disana, seluruh apapun meringankan saya, mulai dari transportasi hingga akomodasi dan tempat saya bisa dibantu dengan mudah. Saya malah merasa lebih mudah syuting di Papua daripada di Jakarta, tapi mungkin sulit untuk orang luar yang datang ke Papua membuat film.
Jujur saja konsep epen cupen the movie ini sebenarnya adalah satu satunya konsep film dengan tema komedi yang saya tawarkan. Sebenarnya saya mengajukan banyak konsep film di Papua yang lebih serius temanya drama seperti tentang lingkungan, inspiratif dan persahabatan namun entah mengapa konsep konsep itu dianggap idealis atau Arthouse sehingga produser kebanyakan lebih memilih pada konsep yang ringan dan menghibur seperti epen cupen ini, dan yang pasti kepopulerannya di youtube juga salah satu daya tarik untuk produser memfilmkannya, andai saja diyoutube tidak populer mungkin juga produser tidak yakin produk dari Papua bisa sukses. Sampai sekarang saya tetap berharap ada produser yang juga mau mengangkat tema tema lain lagi di Papua walaupun resikonya nanti saya akan di cap idealis. Ya memang ada kalanya saya membuat film idealis ketika saya di Papua seperti film Melody Kota Rusa tanpa intervensi produser, namun ketika masuk di dalam dunia industri film Nasional saat ini tentu idealisme kita itu akan kalah dengan keinginan produser, ini adalah pilihan jika kita tak ingin seperti itu maka kita hanya bisa memilih terjun ke salah satunya saja. Saya pribadi memilih fleksible saja, bisa membuat yang idealis tetapi bisa juga ke komersil selama itu tetap dalam ciri khas saya. Film dengan ciri khas saya adalah tetap membawa pesan pesan dari Timur beserta talenta talentanya. Saya juga bertekad dalam film film saya akan selalu menampilkan sebuah pemandangan daerah baru yang belum pernah diangkat di layar lebar.namun jika menyangka saya memilih menerima tawaran produser karena uang jelas salah besar sebab semua film film Nasional yang saya buat di Papua selama ini saya juga terpaksa ikut mengeluarkan uang pribadi saya ketika melakukan syuting di Papua semata mata demi menyukseskan proses pembuatan film agar bisa disaksikan penonton di bioskop. Tak kadang saya sendiri kehabisan uang akibat harus menanggulanginya, ya meskipun sudah ada produser yang mendanai terkadang biaya membuat film di Papua itu sangatlah besar dan tak terduga sehingga kita harus siap menutupinya sendiri tanpa berharap ke produser lagi. Kalau mau berharap semuanya produser yang menanggung maka tak akan ada produser yang berani membuat film di Papua. Saya sendiri bisa menekan biaya produksi di Papua selama ini sebab keluarga saya berada disana semua, semua dukungan ada disana, seluruh apapun meringankan saya, mulai dari transportasi hingga akomodasi dan tempat saya bisa dibantu dengan mudah. Saya malah merasa lebih mudah syuting di Papua daripada di Jakarta, tapi mungkin sulit untuk orang luar yang datang ke Papua membuat film.
KOMEDI DAERAH DARI ACEH SAMPAI PAPUA
Membawa anak anak Papua di center poin
dengan tema komedi baru yang belum dikenal, semua itu tidaklah bisa semudah
yang saya bayangkan, untuk bisa dianggap komersial secara Nasional, syaratnya saya
diminta untuk mengkolaborasikannya dengan beberapa artis Komedian Nasional yang
sedang naik daun saat ini, dan kebetulan komedian yang sedang naik daun sekarang adalah anak anak stand
up Komedi yang beberapa diantaranya sebelumnya sukses bermain di film Comic 8. Saya sangat memaklumi hal ini
sebab memang betul sebuah jenis lawakan daerah itu belum tentu bisa diterima
didaerah lain. Contoh saja sebuah lenong betawi apabila dimainkan di Papua
belum tentu orang Papua ketawa begitupula sebuah cerita Mop dengan dialeg Papua
jika diceritakan ke Orang Jawa belum tentu mereka akan mengerti maksudnya dan
tertawa. Bukan hanya epen cupen di Papua yang top didaerahnya. Bahkan di Aceh
pun ada sebuah produk audio visual Komedi berseri berjudul Eumpang Breuh yang sangat sukses
didaerahnya. Bahkan penjualan VCD nya sampai ratusan ribu keping mengalahkan
kepopuleran epen cupen di Papua. Namun yang kemudian membedakan Epen Cupen dengan Eumpang Breuh adalah dimana mereka membuat lawakan asli dengan bahasa daerah Aceh sementara Epen Cupen menggunakan bahasa Indonesia meskipun dengan Logat Papua. Inilah juga yang pernah menjadi dilema ketika memasuki sesion ke 3 nya data statistik fans Epen Cupen justru lebih banyak berasal dari luar Papua. Kami mendapat banyak masukan agar jika bisa logat bahasa Papuanya agak dikurangi sedikit supaya semua orang di daerah lain bisa mengerti. Ini lah juga yang menajdi dilema sebuah komedi daerah. seperti hal nya juga komedi Eumpang Breuh di Aceh, saya pernah melihat ada yang bertanya pada orang Aceh begini : Mengapa komedi Eumpang Breuh tidak memakai bahasa Indonesia saja agar semua orang di Indonesia ini bisa mengerti ? Mereka menjawab bahwa jika di bawakan dalam bahasa Indonesia justru nilai komedinya akan jadi hilang, justru karena dibawakan dengan bahasa daerah begitulah makanya serial komedi itu begitu populer di Aceh, jika pakai bahasa Indonesia belum tentu orang Aceh suka. Dan pilihan mereka tentu saja memang tepat sebab pangsa pasar mereka memang untuk di Aceh. Berbeda dengan Epen Cupen yang justru mempunyai pangsa pasar lebih luas dan lebih besar daripada di Papua. Itulah kemudian yang membuat kami selalu menambahkan teks inggris maupun indonesia dalam setiap sketsanya sebab menurut data statistik di youtube pemirsanya selain di Indonesia juga di Malaysia,Singapore,Inggris,Korea,Amerika,Taiwan dll.
Mungkin seperti ketoprak humor atau ludruk yang bisa membuat masyarakat di Jawa terpingkal pingkal namun bisa membuat bengong orang di timur jika menontonnya. Saya sangat memahami hal hal ini di Indonesia.
Sebagai contohnya coba saksikan sebuah sketsa Epen Cupen berikut ini :
Disitu ada lawakan menggunakan kultur daerah, yakni menyebut kata ikan porobibi, di Merauke ikan porobibi itu ikan berperut gendut yang tidak bisa dimakan, biasanya kalau ditangkap dijaring maka akan dibuang. Jika orang diluar Papua menonton video ini tentu tidak akan mengerti maksud ikan porobibi tersebut, maka mereka justru hanya mentertawakan wajah si pemain saja yang lugu. Intensitas lawakan akan lebih masuk ke orang yang mengerti isi lawakan tersebut dibandingkan yang tidak mengerti, contoh lawakan berdasarkan kultur lainnya adalah kata "bibi" yang memang tak di pahami oleh masyarakat di kampung kampung sebab di kampung masyarakat biasa memanggil dengan sebutan "mama tua", "mama ade" atau "tanta", kata bibi baru mulai diucapkan ketika para warga transmigran dari Jawa membawanya . Dan masih banyak lagi sketsa Epen Cupen yang jika kita mengerti isinya maka baru terasa kelucuannya, sedangkan isi kelucuan dibuat mengikuti kultur yang ada di Merauke.
Sebagai contoh dari Aceh coba saksikan salah satu film Eumpang Breuh disini :
Mungkin seperti ketoprak humor atau ludruk yang bisa membuat masyarakat di Jawa terpingkal pingkal namun bisa membuat bengong orang di timur jika menontonnya. Saya sangat memahami hal hal ini di Indonesia.
Sebagai contohnya coba saksikan sebuah sketsa Epen Cupen berikut ini :
Sebagai contoh dari Aceh coba saksikan salah satu film Eumpang Breuh disini :
Waktu menonton Eumpang Breuh yang sangat populer di Aceh lewat Youtube, mungkin bagi orang yang diluar Aceh dengan mudah mengatakan : apaan sih itu...tapi saya tak akan pernah dengan mudah mengatakan lawakan lawakan daerah
itu tidak lucu hanya karena saya tidak satu selera apalagi tidak memahami
kulturnya, Saya yakin bagi orang di Aceh film itu sangat lucu sekali, kita tidak tertawa karena kita tidak paham bahasanya dan juga kulturnya, tetapi saya akan tetap menghargai lawakan daerah masing masing sebagai
kekayaan budaya dan sebuah warna yang semakin menegaskan ke saya bahwa inilah
Indonesia terdiri dari berbagai macam selera namun kita tetap bisa bersatu.
Ibarat makanan, ketika kita yang di Papua suka sekali makan sagu, tapi belum
tentu orang orang diluar Papua juga suka sagu, seorang teman saya dari Sumatera
malah pernah menolak ketika ditawarkan makan sagu karena tak biasa dengan
seleranya. Yang diperlukan disini adalah wawasan tentang memahami perbedaan
yang terjadi di berbagai pulau di Indonesia ini. Jika tak beda selera maka
bukan Indonesia namanya. Sayangnya sampai hari ini saya tetap masih melihat ada
beberapa orang yang tidak memahami ke Bhinnekaan itu, bagi mereka Indonesia
mungkin harus satu selera semua. Kalau bagi dia tidak suka maka semua juga
harus tidak suka. Mungkin itulah yang membuat rasa Nasionalisme tentang
Indonesia di Negara kita sangat kurang saya kira.
Tapi paling tidak saya mencoba memberikan rasa baru di dunia komedi kita agar orang orang seperti itu bisa sadar bahwa inilah Indonesia itu, komedi bukan hanya ada di Jawa tetapi didaerah lain komedi juga ada meskipun rasanya beda dan belum tentu kita bisa suka melihat gayanya. satu contoh yang akhirnya terbukti di film ini adalah ketika saya harus merelakan beberapa adegan cerita MOP tradisional dengan cara bertutur yang dibawakan oleh bung toki Raja Mop dari Merauke akhirnya harus dibabat di meja editing menjadi lebih pendek karena dianggap tidak terlalu lucu secara universal. dan kembali hal itu saya harus akui justru sketsa Mop papua ala epen cupen memang lahir karena Mop dengan cara lisan tadi yang agak susah dipahami oleh orang orang diluar Papua. Ya apapun yang terjadi prinsip saya : Jangan pernah menyalahkan penonton. justru kitalah yang selalu harus berusaha meramu bagaimana membuat film yang bisa membuat penonton mau menontonnya.
Berbicara soal selera memang relatif tak ada satu penentu yang bisa dijadikan standartnya. Ada satu contoh yang saya saksikan sendiri selama saya hidup dan besar di daerah timur. Beberapa film atau tayangan televisi yang dianggap paling lucu atau paling sukses bagi masyarakat di pulau Jawa justru tidak begitu diminati masyarakat dibagian timur, namun ada beberapa acara justru yang memiliki rating rendah di pulau Jawa tetapi sangat diminati oleh masyarakat dibagian timur. Untuk film misalnya, film Jelangkung pada saat itu menjadi sangat booming di daerah Jawa namun di Indonesia timur biasa biasa saja, bahkan semua film film horror kurang begitu diminati disana. Sementara film Ada apa dengan Cinta menjadi film terlaris di daerah Sulawesi saat itu, euforianya melebihi di Jawa. ya ukuran selera setiap daerah memang berbeda beda, tak ada yang sama. Orang Indonesia Timur cenderung menyukai film dengan tema tema Komedi dan Action. Itulah makanya sejak kecil saya selalu ingat film film Rambo, Commando serta film film Warkop DKI adalah film film yang paling laris disana.
Tapi paling tidak saya mencoba memberikan rasa baru di dunia komedi kita agar orang orang seperti itu bisa sadar bahwa inilah Indonesia itu, komedi bukan hanya ada di Jawa tetapi didaerah lain komedi juga ada meskipun rasanya beda dan belum tentu kita bisa suka melihat gayanya. satu contoh yang akhirnya terbukti di film ini adalah ketika saya harus merelakan beberapa adegan cerita MOP tradisional dengan cara bertutur yang dibawakan oleh bung toki Raja Mop dari Merauke akhirnya harus dibabat di meja editing menjadi lebih pendek karena dianggap tidak terlalu lucu secara universal. dan kembali hal itu saya harus akui justru sketsa Mop papua ala epen cupen memang lahir karena Mop dengan cara lisan tadi yang agak susah dipahami oleh orang orang diluar Papua. Ya apapun yang terjadi prinsip saya : Jangan pernah menyalahkan penonton. justru kitalah yang selalu harus berusaha meramu bagaimana membuat film yang bisa membuat penonton mau menontonnya.
Berbicara soal selera memang relatif tak ada satu penentu yang bisa dijadikan standartnya. Ada satu contoh yang saya saksikan sendiri selama saya hidup dan besar di daerah timur. Beberapa film atau tayangan televisi yang dianggap paling lucu atau paling sukses bagi masyarakat di pulau Jawa justru tidak begitu diminati masyarakat dibagian timur, namun ada beberapa acara justru yang memiliki rating rendah di pulau Jawa tetapi sangat diminati oleh masyarakat dibagian timur. Untuk film misalnya, film Jelangkung pada saat itu menjadi sangat booming di daerah Jawa namun di Indonesia timur biasa biasa saja, bahkan semua film film horror kurang begitu diminati disana. Sementara film Ada apa dengan Cinta menjadi film terlaris di daerah Sulawesi saat itu, euforianya melebihi di Jawa. ya ukuran selera setiap daerah memang berbeda beda, tak ada yang sama. Orang Indonesia Timur cenderung menyukai film dengan tema tema Komedi dan Action. Itulah makanya sejak kecil saya selalu ingat film film Rambo, Commando serta film film Warkop DKI adalah film film yang paling laris disana.
Komedi memang banyak gaya gayanya. Kalau bicara selera saya sendiri lebih suka nonton film komedi satir daripada slapstick. Namun kembali lagi pada beban saya
sebagai koki untuk harus membuat epen cupen mempunyai rasa yang bisa di cicipi semua orang
dari berbagai pulau itu tentu saja itu tidak mudah. Saya kemudian harus merelakan
terjadinya beberapa perubahan mulai dari perbuahan draft synopsis. Akar cerita dari Raja Mop masih saya gunakan di awal namun ketika tiba di tengah harus menyesuaikan dengan keinginan produser. Di synopsis draft
pertama saya sebenarnya tidak membuat ada adegan action didalamnya, saya
menitik beratkan menyoroti pada kisah Mop Papua dan komedi, bahkan di akhr film pun saya
membuat adegan battle Warnya diganti dengan battle Mop alias tanding cerita
lucu yang dimenangkan oleh Mop Papua. Namun kembali synopsis itu harus diminta
berubah karena produser menginginkan film ini dibuat dalam genre Action Komedi yang saat ini sedang populer.
Saya juga harus membuat perbandingan 50 : 50 untuk action dan komedinya. Saya harus bisa berkompromi dengan pasar dan
keinginan produser sebab itulah satu satunya harapan saya untuk bisa melihat
anak anak Papua dipentas Nasional dan tidak lagi diremehkan seperti selama ini.
Apalagi saya ingat bahwa konsep ini sebelum ke Rapi Film juga sudah sempat saya
emailkan ke beberapa produser namun tak ada jawaban, sepertinya sulit untuk produser
percaya bahwa anak anak Papua ini juga bisa menjual secara Nasional jika tidak
kita buktikan dahulu meskipun dengan porsi yang sedikit dulu di film ini. Karena itu saya sangat maklum apabila ada yang masih kurang puas dan menginginkan Mop Papua nya ditambah, saya bilang nanti jika ada kelanjutannya saya akan berikan di film berikut. Anggap saja ini ajang pembuktian dari saya bahwa anak anak Papua ini juga punya bakat melawak.
PENULISAN NASKAH
Perubahan besar besaran pun saya mulai
lakukan di draft ke dua dan ketiga walaupun itu baru masuk ke tahap synopsis.
Memasuki tahap Treathmen sebelum ke skenario, saya diminta untuk
mengkolaborasikan gaya lawakan saya dengan gaya lawakan dari anak anak stand up
Comedy, beberapa anak stand up comedy diminta untuk brain storming dan
memasukkan unsur unsur lucu ide dari mereka agar lebih berwarna bercampur
dengan Jokes ala Papua dari saya. Saya kemudian membagi dua gaya komedi di konsep
ini, pertama adalah ketika di Papua saya akan menggunakan 100 % gaya komedi
Papua seperti di film film saya sebelumnya sementara ketika adegan berpindah ke
Jakarta saya kan mencoba mengikuti ke gaya lawakan stand up comedy yang lebih
menasional saya rasa itu adil untuk mengakomodir permintaan produser. Untuk
membuat sebuah film yang ada ceritanya tentang Papua, saya kini tak ingin
menyerahkannya pada penulis yang tak pernah tinggal di Papua sebab ada
perbedaan sudut pandang dari orang yang lahir, tinggal, atau yang tak pernah ke
Papua. Karena itu saya harus menulisnya sendiri untuk menjaga nilai nilai lokal
tersebut. Saya kemudian meramunya seperti film lokal saya dahulu Melody Kota
Rusa jika dulu saya membuat duet Papua dan Jawa Dody dan Mas Suroso maka kini
saya kan membuat duet Papua dan Medan antara Celo dan Babe Cabiita.
Ketika masuk lagi ketahap penulisan skenario,
kembali ada ide dari produser untuk menempatkan artis artis nasional diposisi
cameo. Saya berkeras untuk tidak menambahkan lagi adegan adegan yang tidak
penting hanya karena ingin tambah peran karena ditakutkan akan merusak cerita,
akhirnya beberapa cameo tersebut harus dimasukkan ke tokoh tokoh yang tidak
terlalu penting sekedar numpang lewat saja. Hal ini menurut produser tidak
masalah yang penting bisa ada artis sebagai cameonya. Makanya jangan heran
ketika akan ada seorang artis yang main dibeberapa scene yang tidak terlalu
penting alias bisa dimainkan oleh siapa saja. Tak bisa dipungkiri artis adalah
salah satu penarik didunia film komersil seperti ini menurut produser. Saya
sebenarnya agak sedikit khawatir dengan masuknya begitu banyak artis di naskah
ini sebab awalnya saya sebenarnya ingin menitik beratkan cerita pada kisah Celo
dan Babe. namun saya berpikir siapa tahu keinginan produser itu bisa semakin
menambah warna film, siapa tahu orang bosan dengan hanya dua orang saja. Namun
saya juga sadar bahwa untuk kali ini saya tentu tak bisa menuruti semua
keinginan saya untuk menampilkan gaya komedi Papua secara utuh. Sekali lagi
semua harus berkompromi dengan pasar, harapan saya jika kelak komedi ini
disukai penonton mudah mudahan akan lebih banyak produser yang berani
mengangkatnya dalam porsi lebih besar lagi.
AWALNYA DIBERI JUDUL DOUBLE TROUBLE
Ketika film ini memasuki masa skenario
produser meminta judul agar segera di daftarkan. Kami berunding selama 3 kali
bersama para pemain untuk memutuskan judul apa, bahkan setiap orang sampai
membuat sebuah usulan 3 judul lewat kertas dan di voting namun tetap tak
menemukan judul yang pas. Akhirnya lewat usulan Marissa Nasution sebuah judul
yakni Double Trouble dirasa paling pas mewakili isi cerita dimana mengisahkan
tentang ada dua orang bermasalah serta tentang Celo yang punya kembar.
Akhirnya setelah selama 3 bulan
skenario double trouble di bahas dan dibongkar bersama sama sampai draft ke 6.
Saya juga menerima banyak sekali usulan dan masukan dari teman teman stand up
yang ikut menambahkan berbagai plot lucu yang kemudian harus saya olah agar
tetap proporsional dan merata. Tentu saya tak lagi membayangkan ini semua akan
berada diporsi epen cupen lagi tetapi saya memikirkan ini sebagai sebuah film
Nasional tanpa membawa nama Epen Cupen lagi apalagi judulnya sekarang Double
Trouble.
PEMILIHAN PEMAIN
Karena film ini mengangkat tentang epen cupen yang sebelumnya dikenal luas di youtube, maka tentu saja banyak penggemarnya yang berharap bisa melihat semua pemainnya dari generasi pertama sampai terakhir bermain dalam versi layar lebarnya ini.
Namun tentu saja hal itu tidak mudah untuk diwujudkan. salah satu kendalanya adalah karena beberapa pemain di generasi pertama kini sudah punya kehidupan masing masing yang penuh dengan kesibukan. Lalu kemudian banyak pula penggemar Dodi Mahuze yang mengharapkan ia kembali bermain. Namun itu semua juga sulit untuk diwujudkan mengingat kemampuan fisik Dopdi saat ini sudah tidak memungkinkan ia bermain dalam film panjang lagi. Apalagi untuk film dengan genre action dan kejar kejaran seperti ini. Saya masih ingat ketika bermain di film Melody Kota Rusa ditahun 2010 saja Dodi sempat pingsan dan masuk rumah sakit sewaktu mengambil adegan lari dikejar hantu Spok. Hasil seleksi pemain yang bisa bermain dan menghafalkan dialog panjang di film hanya beberapa pemain saja yang bisa melakukannya diantaranya adalah Klemens Awi/Celo dan Nato Beko, maka kedua orang inilah yang akhirnya dimajukan untuk menjadi bintang utamanya.
saya sempat ingin melibatkan Dodi bermain sebagai cameo atau bintang tamu walaupun satu scene saja namun selama berbulan bulan kami mencarinya tidak juga ketemu entah sekarang dia berada dimana beristirahat.
PEMILIHAN PEMAIN
Karena film ini mengangkat tentang epen cupen yang sebelumnya dikenal luas di youtube, maka tentu saja banyak penggemarnya yang berharap bisa melihat semua pemainnya dari generasi pertama sampai terakhir bermain dalam versi layar lebarnya ini.
Namun tentu saja hal itu tidak mudah untuk diwujudkan. salah satu kendalanya adalah karena beberapa pemain di generasi pertama kini sudah punya kehidupan masing masing yang penuh dengan kesibukan. Lalu kemudian banyak pula penggemar Dodi Mahuze yang mengharapkan ia kembali bermain. Namun itu semua juga sulit untuk diwujudkan mengingat kemampuan fisik Dopdi saat ini sudah tidak memungkinkan ia bermain dalam film panjang lagi. Apalagi untuk film dengan genre action dan kejar kejaran seperti ini. Saya masih ingat ketika bermain di film Melody Kota Rusa ditahun 2010 saja Dodi sempat pingsan dan masuk rumah sakit sewaktu mengambil adegan lari dikejar hantu Spok. Hasil seleksi pemain yang bisa bermain dan menghafalkan dialog panjang di film hanya beberapa pemain saja yang bisa melakukannya diantaranya adalah Klemens Awi/Celo dan Nato Beko, maka kedua orang inilah yang akhirnya dimajukan untuk menjadi bintang utamanya.
saya sempat ingin melibatkan Dodi bermain sebagai cameo atau bintang tamu walaupun satu scene saja namun selama berbulan bulan kami mencarinya tidak juga ketemu entah sekarang dia berada dimana beristirahat.
SYUTING DAN KENDALANYA
Syuting Film Double Trouble dimulai
sejak 7 Januari 2015 dan pada tanggal 20 Januari kami berangkat ke Merauke selama 3 hari dan lalu lanjut ke Jayapura
selama 4 hari. Kendala terbesar melakukan syuting di awal tahun itu adalah
bagaimana hujan menghajar kami setiap hari. Kami banyak kehilangan waktu yang
terbuang sia sia ketika hujan. Akibatnya syuting di Jakarta pun harus diutangi
dan sekembalinya dari Papua dibulan februari kami baru melanjutkan sisanya
ditengah berbagai kendala dan problem masalah internal kami. Semua kru yang
ikut dalam film ini hanya satu yang harus ada dalam hati mereka yakni
kesabaran, karena film ini banyak menguras emosi dan tenaga sehingga perlu
ketekunan dan kesabaran dalam mengerjakannya. Adegan yang paling menguras
tenaga adalah ketika syuting adegan cello naik perahu di pantai buti Merauke.
Saat itu cuaca sedang tidak stabil. Kami menaruh perahu kami sejak malam untuk
siap syuting siang hari, namun ketika kami menunggu hingga sore hari air tidak
juga naik, sedangkan jarak air dengan perahu mencapai hingga 5 Km. kami sempat
mencoba mengangkat perahu menuju air namun ternyata perahunya sangat berat
sekali, sekalipun mengerahkan banyak tenaga orang kampung yang dibayar tetap
saja perahu hanya bergeser 20 langkah selama berjam jam. Hari
pertama kami gagal melakukan syuting perahu karena menunggu air tak juga naik.
Kami terpaksa menambah hari di Merauke yang tadinya dijadwalkan hanya 2 hari
saja.
Dihari kedua, kami putus asa karena air
masih belum naik juga sampai di perahu kita, akhirnya kami mencoba mengganti
perahu dengan yang lebih ringan dan mencoba mengangkatnya hingga ke air yang
jaraknya sekitar 5 Km. pada waktu itu banyak kru yang sedang istirahat namun
saya bersama beberapa kru inti lainnya seperti DOP kami tidak ingin buang waktu
maka kami akhirnya mengangkat sendiri perahunya dengan susah payah. Setiap
hitungan 20 langkah kami berhenti sejenak menarik nafas lalu kembali
melanjutkan. Semua yang mengangkat perahu itu adalah sutradara, astrada,
DOP,asisten DOP serta Celo sebagai pemain. Sementara semua kru lainnya sedang
berteduh karena hujan terus menerus menerpa kami. Sekitar 2 jam akhirnya perahu bisa sampai
juga diatas air kami mulai melabuhkannya dan mengambil gambarnya. Sayang sekali
adegan ini tak terekam kamera behind the scene karena tak ada yang mempedulikan
aktifitas kami ini sebab sedang hujan. Hampir setiap saat hujan turun sehingga
untuk pengambilan gambar ditepi pantai itu hampir semua dilakukan dengan kamera
Go Pro yang tahan air. Syuting di Merauke saya menggunakan semua kru dari
merauke hasil binaan saya selama ini, dari Jakarta saya hanya membawa DOP
beserta jajarannya serta Soundman dan boomernya sedangkan semua kru lainnya
mulai dari make up,kostum, astrada, art dll semua dari Papua. Saya sudah sering
melakukan pemberdayaan SDM lokal seperti ini dalam film film saya sebelumnya.
Begitupula ketika kami syuting di
Jayapura saya kembali bekerjasama dengan anak anak komunitas film di Jayapura
dibawah pimpinan Viktor Manengkey yang bahu membahu bekerja mewujudkan film
ini. Hal hal lucu yang saya ingat ketika syuting di Jayapura adalah ketika
boomer kita sangat gila dengan batu akik sehingga ketika kita syuting dimana
saja ia selalu terlihat menyusuri jalanan untuk mencari batu yang memang unik
unik berserakan di jalanan Jayapura. Akibatnya semua kru lain jadi ikut ikutan
mencari batu juga sampai Celo pun juga ikut demam batu. Yang paling lucu nya
lagi setelah susah payah mengumpulkan batu hingga 10 KG ternyata sampai
dibandara semua batu itu ditahan tak bisa dibawa naik ke pesawat karena
dianggap membahayakan. Jelas saja batu yang mereka bawa besar besar sekali
mungkin petugas takut digunakan buat timpuk pilot kayaknya. kalau mau masuk
bagasi tapi kita sudah over bagasi. Semuanya hanya bisa ketawa melihat
kekecewaan teman teman penggila batu ini.
adegan yang paling sulit menurut saya adalah adegan dimana Celo ketemu kembarannya. perlu kesabaran mengerjakannya karena berkali kali Celo sulit dikendalikan emosinya dibagian ini.
Saya sangat maklum juga ketika Celo beberapa kali nampak kecapekan menjalani adegan kembarnya. memang bebannya sungguh berat kali ini, difilm pertamanya dia harus memainkan dua karakter sekaligus yang berbeda jauh. Dia bukanlah seorang aktor, dia hanya seorang biasa yang baru pertama bermain di layar lebar. Aktor Indonesia yang sudah berkali kali dapat piala pun mungkin ada yang belum pernah memainkan karakter kembar begini. resikonya memang adegan kembar itu dibuat dalam waktu cukup lama. apalagi diadegan kembar ini saya menggunakan tekhnologi tanpa lock kamera. kamera dibuat bergerak diatas rel yang diberi timer khusus. praktis tingkat kesulitannya lebih sulit. dimana adegan itu butuh waktu. ketika ada saja bacground yang berubah entah tersenggol maka harus di ulang semua dari awal lagi dan Celo harus bergonta ganti pakaian sampai berkali kali inilah yang membuatnya kadang emosional. Itulah makanya ketika melihat hasil film ini pertama kali saya memberikan applause setinggi tingginya bagi celo yang berhasil memainkan adegan kembar itu karena bagi saya itu sangat sulit sekali dilapangan. ada satu adegan kembar dimana Celo bertemu kembarannya di gang pertama kali itu diambil hingga 3 kali harus bolak balik ke tempat yang sama karena ketika emosi celo sudah labil dan tidak tepat maka tak bisa diteruskan kami terpaksa harus istirahat dan menunggu hari yang tepat dimana emosinya stabil dan kembali lagi. Tidak semudah yang disaksikan ketika sudah jadi.
Ketika syuting harus terhenti disaat Celo kelelahan dan labil emosinya ini. Disaat semua kru saya juga terdiam tak bisa berbuat apa apa lagi, maka saya hanya bisa diam sambil mendekati dan mengajaknya ngobrol berdua dari hati kehati, saya tau dia lelah, beban yang saya berikan kali ini begitu berat. tidak semua aktor bisa memainkan dua karakter yang melelahkan itu seakan tak ada waktu istirahat baginya. namun saya lalu mengatakan kepadanya bahwa : saya mempertaruhkan karier dan nama saya demi dia. Jika saya tidak peduli dengan nasib anak anak Papua mungkin saya lebih baik mengcasting seorang pemain yang sudah jago akting saja dari Jakarta, saya yakin di sanggar sanggar akting saya akan menemukan itu banyak. Tapi sekali lagi saya bertaruh demi anak anak ini, demi celo dkk agar bisa diperhitungkan nama mereka juga didunia hiburan nasional. mungkin kata kata itulah yang akhirnya bisa membuat celo bersemangat kembali dan terus mau melanjutkan syuting yang melelahkan dirinya hingga selesai. Sebuah perjuangan yang tidak mudah memang, jika mudah tentu sudah dari dulu ada film dengan anak anak Papua yang seperti ini.
adegan yang paling sulit menurut saya adalah adegan dimana Celo ketemu kembarannya. perlu kesabaran mengerjakannya karena berkali kali Celo sulit dikendalikan emosinya dibagian ini.
Saya sangat maklum juga ketika Celo beberapa kali nampak kecapekan menjalani adegan kembarnya. memang bebannya sungguh berat kali ini, difilm pertamanya dia harus memainkan dua karakter sekaligus yang berbeda jauh. Dia bukanlah seorang aktor, dia hanya seorang biasa yang baru pertama bermain di layar lebar. Aktor Indonesia yang sudah berkali kali dapat piala pun mungkin ada yang belum pernah memainkan karakter kembar begini. resikonya memang adegan kembar itu dibuat dalam waktu cukup lama. apalagi diadegan kembar ini saya menggunakan tekhnologi tanpa lock kamera. kamera dibuat bergerak diatas rel yang diberi timer khusus. praktis tingkat kesulitannya lebih sulit. dimana adegan itu butuh waktu. ketika ada saja bacground yang berubah entah tersenggol maka harus di ulang semua dari awal lagi dan Celo harus bergonta ganti pakaian sampai berkali kali inilah yang membuatnya kadang emosional. Itulah makanya ketika melihat hasil film ini pertama kali saya memberikan applause setinggi tingginya bagi celo yang berhasil memainkan adegan kembar itu karena bagi saya itu sangat sulit sekali dilapangan. ada satu adegan kembar dimana Celo bertemu kembarannya di gang pertama kali itu diambil hingga 3 kali harus bolak balik ke tempat yang sama karena ketika emosi celo sudah labil dan tidak tepat maka tak bisa diteruskan kami terpaksa harus istirahat dan menunggu hari yang tepat dimana emosinya stabil dan kembali lagi. Tidak semudah yang disaksikan ketika sudah jadi.
Ketika syuting harus terhenti disaat Celo kelelahan dan labil emosinya ini. Disaat semua kru saya juga terdiam tak bisa berbuat apa apa lagi, maka saya hanya bisa diam sambil mendekati dan mengajaknya ngobrol berdua dari hati kehati, saya tau dia lelah, beban yang saya berikan kali ini begitu berat. tidak semua aktor bisa memainkan dua karakter yang melelahkan itu seakan tak ada waktu istirahat baginya. namun saya lalu mengatakan kepadanya bahwa : saya mempertaruhkan karier dan nama saya demi dia. Jika saya tidak peduli dengan nasib anak anak Papua mungkin saya lebih baik mengcasting seorang pemain yang sudah jago akting saja dari Jakarta, saya yakin di sanggar sanggar akting saya akan menemukan itu banyak. Tapi sekali lagi saya bertaruh demi anak anak ini, demi celo dkk agar bisa diperhitungkan nama mereka juga didunia hiburan nasional. mungkin kata kata itulah yang akhirnya bisa membuat celo bersemangat kembali dan terus mau melanjutkan syuting yang melelahkan dirinya hingga selesai. Sebuah perjuangan yang tidak mudah memang, jika mudah tentu sudah dari dulu ada film dengan anak anak Papua yang seperti ini.
KARAKTER PEMAIN DAN PROBLEMATIKANYA
Sejak dari awal Rapi film tidak ingin menjadikan film ini seperti komedi yang biasa kita lihat di televisi selama ini, mereka mau menampilkan sebuah komedi dengan gaya baru. Karena itu saya diminta untuk membatasi gaya lawak yang berlebihan mereka ingin lawakannya natural saja seperti yang saya lakukan diksetsa sketsa epen cupen di youtube, dengan begitu semua kelucuan muncul dari akting dan kejadian natural itu. Seperti hal nya komedi gaya papua yang selama ini saya gunakan dalam film film lokal saya selama di Papua, saya menitik beratkan skenario pada perkembangan karakter pemain. sementara untuk dialognya saya membiarkan mereka mengucapkan menurut karakter yang sudah dibentuk diskenario tadi. jadi semua dialog yang tercantum di naskah akan berbeda ketika keluar di mulut pemain sebab menyesuaikan dengan karakter yang dibawakannya agar lebih terlihat natural. tekhnik ini juga yang pernah saya coba di film lokal saya Melody Kota Rusa.
Namun masalahnya menjadi rumit ketika konsep improvisasi ini dibawakan oleh para pemain yang bukan komedian. Ketika pola gaya komedi Papua itu saya coba ke pemain yang bukan komedian maka hal itu tidak bekerja. Mereka akhirnya harus tetap membawakan peran yang dituntut serius dan berpatokan pada naskah. prinsipnya tidak semua pemain di film ini yang diperbolehkan melucu, ketika karakternya serius maka jangan coba coba berusaha melucu. saya dipesan berkali kali oleh produser agar terus menjaga agar komedi yang ada dalam film ini tidak terkesan berlebihan atau dibuat buat. semua harus tetap natural seperti gaya komedi Papua yang selama ini saya tampilkan dalam versi sketsanya. karena itulah jika ada adegan yang memang dibuat serius memang semestinya begitu dan tidak boleh berupaya untuk membuat sebuah kelucuan secara berlebihan. Namun kelak saya menyadari bahwa disisi inilah saya menjadi miss, Akibatnya beberapa adegan yang dimainkan beberapa bintang tamu harus dibabat karena mereka mencoba melucu yang agak berlebihan. Karena beberapa karakter tidak bisa menggunakan pola komedi Papua ini maka saya lalu membuat karakter karakter serius di film ini dimainkan dalam gaya black komedi (sarkasm/satir/kekerasan). kalau diluar negeri memang banyak seperti jenis black komedi itu tidak harus membuat penonton harus tertawa terbahak bahak tapi paling hanya membuat penonton senyum masam saja. saya sendiri memang menyukai gaya komedi seperti ini dibandingkan komedi yang berhubungan dengan fisik pemain. Resikonya ya memang tidak semua orang akan tertawa itu pasti. Apalagi black komedi harus dibawakan dalam posisi karakter yang tepat.
Tapi tidak semua orang suka gaya komedi aneh seperti ini, yang tidak suka pasti akan dengan mudah mengatakannya garing karena bukan seleranya. Perbedaan selera orang memang tak bisa dipaksakan atau disalahkan. Karena itu kemudian dibuatlah pula beberapa adegan slapstick yang rata rata disukai penonton kita selama ini yakni komedi dengan mengandalkan fisik. praktis ada beberapa penggabungan gaya komedi didalam film ini. Percampuran gaya komedi yang gado gado inilah yang menjadi titik pembelajaran saya kedepannya. Mungkin juga saya terlalu menguras energi menjaga chemistry lawakan Celo dan babe terjaga sebab khusus untuk Celo tidak semua orang bisa mendirect nya. memang beberapa pemain Papua hasil orbitan saya punya cara tersendiri menangani mereka. beberapa astrada saya mengaku menyerah mengarahkan mereka bahkan Acting Coach (pelatih akting ) yang saya sediakan buat mereka juga ditolak mentah mentah dan dimarahi. memang perlu pendekatan khusus yang lebih menghargai dari hati ke hati. jika dihadapi dengan kekerasan maka sulit untuk dipahami. Celo bahkan sempat beberapa kali ngambek ketika akan melakukan beberapa take, ketika hal itu terjadi maka tak ada satupun orang yang bisa membuatnya syuting kembali kecuali saya. itulah makanya energi saya begitu terkuras menangani berbagai adegan action sekaligus menjadi pendamping bagi teman teman dari Papua ini. kadang memang manusia gampang sensitif disaat capek dan mereka butuh perhatian dari orang yang mengerti perasaan mereka. Mungkin juga perbedaan kultur cara menghadapi teman teman dari Papua ini sulit mengena pada kru kru saya yang dari Jakarta, mereka akhirnya bisa lebih nyaman dengan saya karena saya memang dari kecil lahir dan besar bersama sama mereka.
Beberapa dialog yang dimainkan anak anak stand up comedy sebagai cameo dalam film ini seperti ketika uus menjadi tukang obat dan abdur menjadi supir bajay serta wita menjadi tukang pijat adalah hasil improvisasi pemain yang diolah berdasarkan karakter yang dibentuk setelah berunding dengan sutradara. bahkan beberapa ide adegan disumbangkan oleh mereka sendiri contohnya adegan uus sebagai tukang obat itu adalah hasil sumbangan scene dari babe cabiita, tentu saja meskipun itu tidak termasuk gaya lawakan khas saya namun sekali lagi ini adalah kolaborasi lawakan jadi saya menerima masukan jenis lawakan yang berbeda dari anak anak comic juga. semua pemain cameo dimanfaatkan sesuai porsi yang diberikan oleh produser sebab mereka memang diminta hanya sebagai bintang tamu yang tak boleh dipanjang panjangkan scenenya cukup hanya sebatas bintang tamu saja.
Untuk referensinya saya menggunakan referensi dari film film Stephen Chow seperti Shaolin Soccer dan Kungfu Hustle, Namun jika ada yang kemudian melihat beberapa adegan seperti sebuah parodi atau plesetan film. jujur saja itu semua dilakukan tanpa berpatokan pada adegan tertentu dari sebuah film. semua adegan dibuat murni dari khayalan pribadi tanpa menggunakan sebuah dasar adegan film orang yang kemudian di plesetkan. contohnya ketika adegan John menembak melompat diudara dengan gaya miring lalu kemudian jatuh di kasur. Itu adalah sebuah plesetan logika realis dari sebuah fantasi yang tidak logis. Saya selalu membayangkan ketika menonton adegan seseorang yang menembak sambil terbang diudara, kira kira jatuhnya sakit tidak ? apalagi jika tanahnya berbatu. sangat tidak logis apabila tak ada sesuatu yang empuk menadahnya dibawah ketika jatuh. Karena itulah adegan logisnya adalah dengan menggunakan kasur untuk membuat jatuhnya lebih terasa nyaman. adegan adegan ini lebih kepada bermain parodi/plesetan logika manusia bukan plesetan dari adegan film.
PASCA PRODUKSI
Di bulan Maret film ini mulai masuk ke
editing. Saya di undang untuk menyaksikan offline editing draft pertamanya
untuk di screening didepan produser juga. Ketika pertama kali menyaksikan
keutuhan film ini saya baru sadar jika semua adegan action yang ada difilm ini
telah kalah oleh kekuatan lawakan di Papua serta duet Celo dan Babe. Rupanya
bukan saya sendiri yang merasakannya namun produser serta editor juga merasakan
hal yang sama. Dan disepakatilah bahwa beberapa adegan actionnya harus
dipangkas atau dikurangi. Bahkan sangat sayang ketika banyak juga adegan
parkour yang hebat hebat atraksinya harus dikurangi pula karena kini semua yang
menontonnya lebih menyukai ke komedinya daripada actionnya. Setiap saat kita
ingin melihat komedinya lagi daripada actionnya. Ini sudah disadari sejak
menonton draft offline editingnya. Penampilan duet Celo dan babe berhasil memikat kita ketika screening sehingga menginginkan porsi mereka lebih banyak lagi. saya kemudian membayangkan andaikan saya tahu ini sejak awal tentu saya akan membuat ceritanya semua di Papua saja semuanya. Tapi ya sudahlah mungkin juga kalau hanya Celo dan Babe yang ditampilkan di film memang lucu tapi belum tentu akan banyak penontonnya, sebab banyak juga penonton kita yang suka nonton film karena melihat bintang bintang terkenalnya.
Masalah kemudian timbul ketika film
ini dianggap over durasi, produser menginginkan agar film ini hanya sekitar 90
menit saja agar penonton tidak bosan sedangkan draft awalnya hampir sekitar 2
jam. Ini yang membuat beberapa scene harus rela diangkat termasuk beberapa
adegan lucu di Papua antara mace dan pace yang sedang baku ganggu, lalu Mop
Papua yang dibawakan Bung Toki juga harus dipendekkan, hingga memotong scene
scene dari pemain yang tidak terlalu berpengaruh difilm. Praktis beberapa scene
scene lucu bahkan scene pengantar ke satu adegan lainnya ikut di buang. Scene
scene iu adalah scene dimana ada Fico dan Nato beko berhadap hadapan menuntaskan
dendamnya. Lalu ada scene Temon yang mengantarkan Celo dan Babe mencari
saudaranya, adegan babe mencoba mengendap ke gudang untuk membebaskan Celo namun dipukul oleh penjaga hingga pingsan serta scene scene menjelang adegan perang diending. Tak heran jika
ada kesan melompat di endingnya.
Lalu ada beberapa cerita serius yang
saya buat diendingnya itupun harus dibuang semua karena dianggap bisa
menurunkan tensi cerita dan kemudian beberapanya dikeluarkan dalam bentuk
flashback. Saya sempat agak merasa endingnya terkesan terburu buru namun
menurut produser itu lebih baik daripada endingnya terlalu slow.
Kelak jika ada beberapa orang yang mengatakan
adegan di Papua (keluarga Celo) kurang banyak maka saya hanya bisa mengelus
dada saja karena sebenarnya sudah saya buat banyak namun semuanya diseleksi
dengan ketat dimeja editing. Mungkin yang kurang lucu juga dihilangkan, diambil
yang lucu maksimal saja, kalau setengah lucu langsung dibuang. Lawakan gaya Papua memang menurut saya harus
ditampilkan dengan porsi yang tepat, jika berlebihan akan membuat bosan juga, jadi sudah tepat sang editor harus menyeleksi
mana saja yang masuk dan mana yang tidak apalagi film ini akan ditonton
Nasional bukan hanya orang Papua saja.
Ada juga yang mungkin bertanya mengapa
karakter Temon kurang di ekspose menjadi lucu di film ini, ya saya kini bisa
menjawabnya bahwa sejak awal tokoh Temon dimasukkan memang bukan sebagai
karakter pelucu. Itulah yang saya sebutkan tadi beberapa cameo yang dimasukkan
kedalam tokoh yang sudah disiapkan untuk serius bukan untuk melucu. Namun pada
kenyataannya ketika syuting temon tetap saja melakukan improvisasi dan
melakukan gimmick lucu namun kembali dimeja editing semua gimmick lucunya
dikurangi agar tidak terkesan ia sebagai pelawak juga disitu. Banyak sekali
gimmick lucu Temon yang dibabat dimeja editing karena pertimbangan tertentu
menjaga karakternya yang dibuat serius di naskah. Paling tidak mungkin menurut
editor yang harus ditonjolkan lucunya di film ini lebih kearah Celo dan Babe
utamanya, yang lain tak boleh menutupi dominasi duo tersebut.
KEMBALI KE JUDUL EPEN CUPEN
Yang mengejutkan ketika akhirnya
produser tiba tiba memutuskan untuk kembali ke judul Epen Cupen sesuai dengan
yang sudah dikenal di Youtube dan dikenal lebih Indonesia sebab judul Double
Trouble dirasa terlalu kebarat baratan dan cenderung berat ke action daripada
komedi serta banyaknya film diluar negeri yang sudah memakai judul tersebut.
Praktis saya setuju saja meskipun sebenarnya saya juga ada kekhawatiran takut
apabila banyak yang menyangka film ini seperti sketsa yang di youtube itu karena
yang diyoutube kita garap seadanya saja tanpa menggunakan tenaga professional.
Namun setelah melihat trailernya jadi barulah saya yakin jika orang menyaksikan
trailernya pasti bakal bisa membedakan versi film dan versi youtubenya. Saya
kemudian meminta ditambahkan kata The Movie agar bisa membedakan dengan versi
youtubenya. Yang mengejutkan berikutnya adalah ketika membuat posternya
produser akhirnya pede dengan menempatkan duo pemain komedinya berada di poster
tanpa artis artis besar lainnya. Ini menjadi sesuatu yang baru sebab kita tahu
selama ini hampir semua film Indonesia sangat tidak pede menampilkan wajah
orang tidak terkenal diposternya. Diposter biasanya menampilkan wajah ganteng
dan cantik. Kali ini cukup berani menjual wajah pemain tak terkenal dan tidak
begitu menarik sebagai daya tariknya. Jujur saya sendiri tadinya juga tidak
pede dan mengusulkan agar wajah Marissa Nasution juga harus dipajang diposter
namun atas saran desainer posternya yang berada di Amerika, justru dengan kedua
orang itu saja poster ini akan terlihat elegan dan tidak biasa. Karena film ini
juga menampilkan sebuah komedi baru yang tentunya tidak biasa pula dan masih
asing di mata masyarakat Indonesia.
MASUK BIOSKOP
Ketika Epen cupen the movie dilempar ke pasar bioskop
Nasional, daerah daerah yang merespon paling tinggi adalah Sumatera,
Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Padahal daerah daerah ini sebelumnya adalah
daerah yang tidak potensial menjaring penonton. Berdasarkan data yang saya
lihat di produser, dalam satu hari di Jayapura XXI penontonnya bisa mencapai
diatas 900 orang padahal harga tiket disana cukup tinggi sekitar RP. 75.000
dihari liburnya,
di Manado dihari pertama penonton mengantri dari lantai satu hingga ke lantai
dua sebuah Mall. Sementara di Makassar hingga di minggu ke empatnya pun masih
tetap tegak dengan full layar.
Memang
tak mudah membuat semua selera disatukan hingga menyukai sebuah produk dari
sebuah daerah yang tidak mayoritas menjadi penentu pasar di Indonesia, jadi kalau ada yang berbeda selera itu hal biasa seperti cerita tentang makanan itu tadi, yang penting perbedaan itu tidak membuat terjadinya perpecahan di bangsa ini. Apalagi
pasar penonton bioskop kita sebagian besar masih berharap dari 75 persen
penonton di pulau Jawa. barometer kesuksesannya masih di pulau Jawa sama seperti dalam hitung hitungan memilih Presiden. Namun dengan epen cupen the movie saya ingin memberikan
sebuah wawasan baru kepada para penonton bahwa INILAH INDONESIA YANG TERDIRI
DARI BERBAGAI ADAT DAN SUKU BANGSA DARI SABANG SAMPAI MERAUKE. Karena banyak
sekali saya lihat pemuda pemudi sekarang yang masih mengakui secara geografis
tetapi tidak tertanam dihati mereka adanya budaya lain yang
berbeda di Indonesia ini, terjadinya konflik antar suku dan agama dinegeri kita selama ini adalah salah satu bentuk dari rasa saling tidak menghargai satu sama lainnya, merasa salah satu nya yang paling benar dan menyalahkan yang lain. Saya akan terus dengan sabar memperkenalkan satu persatu dihati para penonton perlahan lahan bahkan bukan hanya Papua saja
yang kali ini saya angkat kedepannya bisa jadi saya akan mengangkat gaya dari
daerah lainnya. Bagi saya perlu tahapan tahapan untuk saya perlahan mengangkat
satu persatu wilayah kita. Jika selama ini saya mengangkat Papua itu semata mata
karena kedekatan emosional saya sebagai putra yang terlahir disana, ada tanggung jawab moral untuk membangun tanah kelahiran saya. Jika
dibilang cita cita saya ingin sekali melihat ada film film Nasional kita ini
seperti di Amerika sana dimana actor dari berbagai macam Ras bisa bermain
sejajar tanpa membeda bedakan misalnya Will Smith dan Tommy Lee Jones dalam
film Men in Black. Saya ingin melihat ada film yang dikerjakan bersama sama
baik anak anak Papua didalamnya bersama pemain pemain yang juga sejajar. Ada
bintang dari timur dan dari barat berdiri sejajar bersama sebagai pemain inti
tak ada lagi perbedaan ini aktor daerah dan ini aktor nasional semuanya sejajar
sebagai aktor nasional saja. Selama ini saya sering melihat banyak film yang
memposisikan Papua hanya sebagai obyek. Contoh paling dekat adalah bagaimana
ambisi saya untuk menjadikan anak timur diposisi jagoan dalam sebuah film
action sebab selama ini saya sering
lihat film Indonesia selalu menempatkan anak anak dari timur diposisi antagonis
atau penjahat saja di film epen cupen the movie saya ubah image itu. Mengapa saya memilih lewat film film hiburan ? ya memang banyak film yang bercerita tentang bermacam budaya di Indonesia ini tetapi tema mereka adalah film drama budaya dan biasanya film dengan tema yang sudah cenderung tendensius kearah situ tidak begitu diminati remaja sekarang, dianggap tidak modern, karena itulah saya menggunakan cara populer memperkenalkan budaya daerah ini lewat film film bertema fantasi,action,komedi yang lebih ringan dan menghibur sehingga mereka yang tadinya mengira hanya akan dapat hiburan, tetapi sebenarnya mereka juga sudah dapat wawasan baru melihat sebuah daerah dan budaya yang belum pernah mereka lihat di Indonesia ini. Saya justru heran dengan orang yang berupaya membuat film film di luar negeri sementara di Indonesia ini saja masih banyak daerah yang belum pernah sama sekali terekspose ke layar lebar maupun layar kaca.
Sesuai dengan judul blog saya inilah perjuangan dari timur dibidang sinema. Ini adalah kewajiban yang wajar bagi setiap anak yang lahir di daerah manapun di Indonesia ini. Ketika kita sudah mempunyai sebuah skill dinegeri orang maka jangan lupakan daerah kita juga untuk diangkat. Mengapa saya melakukan ini ? karena saya mempunyai tanggung jawab moral pada tanah Papua yang telah membesarkan saya. Jika kelak saya membuat film diluar Papua tentu tidak akan seberat ini tanggung jawabnya lagi. Seandainya bisa saya ingin juga membuat film yang lepas dari tekanan komersial itu Namun sampai sekarang saya belum menemukan orang yang mau membiayai film film Papua tanpa ada embel embel "pesanan khusus" bermuatan politik. Akhirnya saya lebih memilih membuat film dengan produser komersial saja yang lepas dari pesanan pesanan tersebut. Saya sendiri sudah beberapa kali sempat ditawarkan membuat film di Papua tapi dengan embel embel pesanan pihak pihak tertentu yang ingin mengangkat citra tertentu dan semuanya saya tolak dengan tegas. Nah kalau yang semacam inilah yang disebut sebagai film dengan tendensi atau ambisi. Saya justru berjuang mati matian mengangkat daerah lewat film komersial dengan tenaga dan dana sendiri tanpa bantuan perangkat daerah bahkan tidak mendapatkan dukungan sama sekali dari Pemda ditempat kami tinggal di Merauke, jadi jika ada yang menuduh saya membuat film Papua karena pesanan Pemda Papua sangat salah besar karena sejujurnya saya sendiri sampai sekarang masih bingung dengan semangat kami di Merauke yang sudah menghasilkan 6 film panjang (3 film skala Nasional) namun dananya tanpa menggunakan APBD maupun Pemda sama sekali. Semua perjuangan saya sendiri mencari produser secara bisnis murni bukan pesanan atau pencitraan atau promosi daerah, semua kami lakukan murni karena tanggung jawab moral tadi kepada daerah. Cukup ikhlas saja, Jadi ada ataupun tak ada dukungan kami tidak akan berhenti membuat karya berlatar belakang daerah kami hingga ke Nasional meskipun jika sukses nanti Pemerintah daerah juga yang akan menikmati hasilnya. Saya tetap mencantumkan tulisan bahwa Epen Cupen sebagai karya anak anak Merauke Papua di awal film Epen Cupen The Movie saat tayang di bioskop walaupun sebenarnya tak ada dukungan dari Pemda kami ketika film ini dibuat. Tidak masalah, itulah bukti tugas kami sebagai anak daerah secara ikhlas.
Sesuai dengan judul blog saya inilah perjuangan dari timur dibidang sinema. Ini adalah kewajiban yang wajar bagi setiap anak yang lahir di daerah manapun di Indonesia ini. Ketika kita sudah mempunyai sebuah skill dinegeri orang maka jangan lupakan daerah kita juga untuk diangkat. Mengapa saya melakukan ini ? karena saya mempunyai tanggung jawab moral pada tanah Papua yang telah membesarkan saya. Jika kelak saya membuat film diluar Papua tentu tidak akan seberat ini tanggung jawabnya lagi. Seandainya bisa saya ingin juga membuat film yang lepas dari tekanan komersial itu Namun sampai sekarang saya belum menemukan orang yang mau membiayai film film Papua tanpa ada embel embel "pesanan khusus" bermuatan politik. Akhirnya saya lebih memilih membuat film dengan produser komersial saja yang lepas dari pesanan pesanan tersebut. Saya sendiri sudah beberapa kali sempat ditawarkan membuat film di Papua tapi dengan embel embel pesanan pihak pihak tertentu yang ingin mengangkat citra tertentu dan semuanya saya tolak dengan tegas. Nah kalau yang semacam inilah yang disebut sebagai film dengan tendensi atau ambisi. Saya justru berjuang mati matian mengangkat daerah lewat film komersial dengan tenaga dan dana sendiri tanpa bantuan perangkat daerah bahkan tidak mendapatkan dukungan sama sekali dari Pemda ditempat kami tinggal di Merauke, jadi jika ada yang menuduh saya membuat film Papua karena pesanan Pemda Papua sangat salah besar karena sejujurnya saya sendiri sampai sekarang masih bingung dengan semangat kami di Merauke yang sudah menghasilkan 6 film panjang (3 film skala Nasional) namun dananya tanpa menggunakan APBD maupun Pemda sama sekali. Semua perjuangan saya sendiri mencari produser secara bisnis murni bukan pesanan atau pencitraan atau promosi daerah, semua kami lakukan murni karena tanggung jawab moral tadi kepada daerah. Cukup ikhlas saja, Jadi ada ataupun tak ada dukungan kami tidak akan berhenti membuat karya berlatar belakang daerah kami hingga ke Nasional meskipun jika sukses nanti Pemerintah daerah juga yang akan menikmati hasilnya. Saya tetap mencantumkan tulisan bahwa Epen Cupen sebagai karya anak anak Merauke Papua di awal film Epen Cupen The Movie saat tayang di bioskop walaupun sebenarnya tak ada dukungan dari Pemda kami ketika film ini dibuat. Tidak masalah, itulah bukti tugas kami sebagai anak daerah secara ikhlas.
Di dunia industri perfilman Nasional tolak ukur kesuksesan sebuah film diukur hanya dari berapa besar jumlah penontonnya. Ketika Epen Cupen ditayangkan di
bioskop, saya tak henti hentinya berdoa setiap malam agar penonton film ini bisa
tembus diatas 100.000 agar dengan ini saya bisa membuktikan bahwa anak anak
Papua ini juga layak berada di pentas nasional. Saya tidak mengkhawatirkan
tentang diri saya dan karier saya tetapi yang saya khawatirkan adalah kelangsungan
karier anak anak Papua ini, jika filmnya drop penontonya maka bukan tidak
mungkin ini adalah pertama dan terakhirnya mereka tampil di layar lebar. Akan
susah lagi untuk dipercaya sebagai bintang utama. Saya bahkan membayangkan akan
ditawari produser nanti membuat film tanpa anak Papua dan mungkin tema Papua lagi jika film ini gagal
dipasaran. Terbayang perjuangan saya yang panjang demi mengangkat harkat dan martabat anak anak dari timur supaya bisa sejajar di pentas film Nasional. Akan semakin jarang film tentang Papua lagi
jika film ini drop penontonnya. Apalagi mengingat bahwa hingga saat ini tak ada
satupun film film dari timur yang bisa sukses penontonnya. Banyak film dari
timur muncul setelah itu hilang tak berbekas. Pemainnya juga hanya tampil
sekali dapat penghargaan lalu hilang ditelan bumi. Sungguh saya sangat
mengkhawatirkan hal hal semacam itu. Kali ini saya ingin Celo dkk harus eksis
terus didunia hiburan, saya ingin melihat dunia film kita seperti diluar negeri
yang bisa mensejajarkan aktor aktor dari multi ras. dan dunia perfilman kita hanya butuh penonton untuk membuatnya tetap eksis bertahan.
Saya tak pernah menyangka jika di
minggu kedua hingga minggu ketiga akhirnya Epen Cupen the movie berhasil
menempati peringkat pertama box office Nasional mingguan mengalahkan film film Indonesia
lainnya yang tayang secara bersamaan pada minggu minggu tersebut bahkan film film yang tayang setelah itu dalam bulan itu. Di minggu ketiga angkanya juga akhirnya bisa menembus
diatas 130.000 penonton. Bahkan sebelum tayang di bioskop hak siarnya juga telah dibeli oleh sebuah stasiun televisi besar Nasional. Saya sangat paham tidak semua film mudah dibeli oleh stasiun TV besar ini. Karena itu dengan terbelinya film ini saya hanya bisa mengucapkan Terima kasih Tuhan semua doa saya akhirnya dijawab. Anak anak
Papua masih punya harapan di kancah film Nasional. Saya bahkan menjanjikan jika
ada produser yang berani mengangkat komedi Papua secara utuh maka suatu saat
saya akan menampilkannya secara full dalam sebuah film. Semoga akan ada yang
memberikan kepercayaan tersebut untuk film saya berikutnya setelah melihat fenomena ini. Angka penonton untuk film film Indonesia yang membawa tem tema dari timur selama ini kurang bagus dibioskop Nasional. Menurut Yan Widjaya seorang senior praktisi perfilman, sepanjang sejarah film Indonesia sampai saat ini sudah ada sekitar 4000 an judul yang pernah dibuat dan tayang di bioskop Nasional, hanya baru ada 7 judul yang menyentuh ke tema Papua dan epen cupen the movie adalah film yang ke 7 itu. Anehnya semua film film dengan tema tema dari timur selama ini ini tidak terlalu banyak penontonnya di bioskop bahkan rata rata dibawah 100.000, epen cupen the movie termasuk berhasil menembus angka diatas 100.000 itu.
Satu lagi mimpi yang berhasil saya wujudkan kali
ini adalah bahwa saya berhasil menjawab pertanyaan yang membuat kuping saya
panas selama membuat film film di Papua
bahwa “kapan film daerah itu bisa booming di Nasional, selama ini kalian hanya dikenal di
daerah saja”
Dan kini semuanya sudah saya jawab
dengan karya ini, karena kritikan itulah semua mimpi itu kini bisa terwujud. bagi saya memang kritikan itu bagaikan dopping/penyemangat sementara pujian itu kita harus hati hati karena bagaikan racun.....
Saya bersyukur atas semua perjalanan kisah ini, tidak mudah membangun semuanya dari nol tanpa berharap dari bantuan siapapun. Namun saya juga berterima kasih atas segala kritikan dulunya yang membuat saya semakin baik. Semua kritikan ataupun hinaan akan selalu saya terjemahkan menjadi hal yang positif sebagai cambuk untuk saya agar lebih berusaha keras untuk maju dan lebih baik lagi dari sekarang, bagi saya lebih baik step by step melangkah tangga, tak masalah saya jatuh di awal dan kemudian akan ada usaha untuk menjadi baik dan lebih baik lagi dari pada saya di puji di awal namun kemudian dijatuhkan di akhirnya, karena hidup ini adalah terus untuk belajar……sampai kapanpun kita tetap terus belajar……kita butuh kritik dan tak pernah merasa paling hebat atau jago sebab pujian dan sanjungan hanya akan semakin menjatuhkan kita kejurang paling dalam, tetapi kritikan yang paling pedas adalah modal untuk kita agar semakin semangat berusaha untuk memperbaiki diri dan tidak pernah menyerah untuk jadi lebih baik....
Saya bersyukur atas semua perjalanan kisah ini, tidak mudah membangun semuanya dari nol tanpa berharap dari bantuan siapapun. Namun saya juga berterima kasih atas segala kritikan dulunya yang membuat saya semakin baik. Semua kritikan ataupun hinaan akan selalu saya terjemahkan menjadi hal yang positif sebagai cambuk untuk saya agar lebih berusaha keras untuk maju dan lebih baik lagi dari sekarang, bagi saya lebih baik step by step melangkah tangga, tak masalah saya jatuh di awal dan kemudian akan ada usaha untuk menjadi baik dan lebih baik lagi dari pada saya di puji di awal namun kemudian dijatuhkan di akhirnya, karena hidup ini adalah terus untuk belajar……sampai kapanpun kita tetap terus belajar……kita butuh kritik dan tak pernah merasa paling hebat atau jago sebab pujian dan sanjungan hanya akan semakin menjatuhkan kita kejurang paling dalam, tetapi kritikan yang paling pedas adalah modal untuk kita agar semakin semangat berusaha untuk memperbaiki diri dan tidak pernah menyerah untuk jadi lebih baik....
Jakarta, 2 Juni 2015
Irham acho
0 comments:
Post a Comment