Saya memutuskan untuk kembali menetap dikota kelahiran saya Merauke sejak tahun 2010 lalu adalah bukan tanpa sebab yang penting. Tetapi demi sebuah harapan demi kemajuan daerah yang telah membesarkan saya sejak kecil ini. Bagaimana tidak, betapa saya harus mengorbankan pekerjaan tetap saya yang sudah mulai bagus disebuah PH (Production House) di Jakarta untuk kemudian memulai segalanya dari Nol dikota Merauke tanpa bantuan teman teman seprofesi di film. Saya harus mengorbankan penghasilan saya yang besar dikota jakarta untuk kemudian hidup tanpa penghasilan yang jelas di Merauke ?
Lalu semuanya juga tidak lepas dari kekecewaan saya atas kerjasama yang
buruk dengan produser dari Jakarta beberapa waktu lalu ketika kami diajak
memproduksi sebuah film Nasional yang akhirnya justru membuat saya kecewa. Ini
semakin membakar semangat saya untuk berjuang sendiri dari ujung timur ini
tanpa harus kecewa untuk kedua kalinya.
Kini semuanya harus dimulai BACK TO BASIC cita cita sedari dulu semenjak
kecil. Membuat film di Papua bukanlah sebuah tujuan semata untuk urusan film.
Tapi lebih dari itu ini adalah urusan membangun. Membangun lewat film. Sama
seperti cita cita saya ketika ingin menjadi sutradara dahulu, yakni ingin
memberikan lapangan kerja untuk orang lain.
Tentu saja menurut kaca mata saya yang lahir dan tinggal menetap di Papua, mempromosikan Papua
lewat film bukan semata mata hanya itu yang kami cari pada intinya. Sudah
sederet nama nama besar yang telah datang ke Papua dan mengangkat Papua dan mempromosikannya keluar lewat karya
maupun film film mereka. Tetapi tentu saja itu bisa disebut sebatas meminjam
tempat dan pemerannya saja. Para kru didatangkan dari Jakarta, lalu mereka
menggarap filmnya selama kurang lebih satu bulan lalu kemudian kembali lagi ke
Jakarta menyelesaikan dan memasarkan dengan kata lain filmnya dibuat oleh
production house dari luar lalu ke Papua untuk memproduksinya kemudian kembali
ke Jakarta untuk menjualnya disana, lalu apa bedanya dengan beberapa film
dokumenter asing seperti dari BBC
yang datang membuat film di Papua dan setelah itu menghilang setelah filmnya
jadi ? Perputaran uang lari keluar bukan kedalam sebab hasil penjualan film itu
akan masuk kekantong orang yang tinggal diluar. Lihat saja ada berapa banyak
proyek pemerintah berdana besar di Papua yang dikerjakan orang dari luar dan
uangnya lari semua ke luar tidak berputar di Papua. Ini karena minimnya
kepercayaan pejabat pejabat atau pengusaha di Papua terhadap anak anak lokal sini.
Mereka lebih percaya pada orang orang luar atau orang Jakarta daripada anak
daerahnya sendiri. Pengalaman ketika pertama kali membuat film di Merauke saya
harus memakai sebutan orang dari Jakarta jika ingin di terima oleh sponsor atau
investor, mereka tidak ada yang percaya kalau disebut sutradaranya anak
Merauke. Inilah juga yang menjadi curhatan hati pace pace dan mace mace disini
sewaktu saya pertama kali kembali ke Muting (kampung kelahiran saya) setelah
lulus dari Institut Kesenian Jakarta ditahun 2000 an lalu. Mereka berkata, selama
ini banyak orang yang datang membuat film disini sampai sampai ada juga orang
bule (orang barat) juga yang datang mereka ambil gambar kita, mereka bayar
setelah itu kita dikasih uang yang banyak setelah itu mereka pergi. Mereka kira
kita sudah senang dengan dikasih uang dan mereka pergi membawa film itu bahkan
kita sendiri tidak pernah menontonnya sampai kapanpun. Perumpamaannya
sepertinya mereka membeli kita. Lalu kapan masyarakat di Papua bisa menjadi
pemainnya dan bukan hanya jadi penonton ? dalam arti kata ini diibaratkan
tentang bagaimana membuat sebuah daerah masyarakatnya menjadi sebuah penghasil
( pengeksport) yang berkarya bukan pengimport alias diposisi konsumen terus
atau hanya boneka. Jawaban saya untuk pace pace dan mace mace saat itu adalah :
tunggu saja nanti film film saya tidak akan pernah keluar dari sini, mereka
tetap akan ada dan kembali untuk kalian semua. Yang bikin kita sendiri dan yang
main juga kita. Saya bukan bikin film disini untuk cari uang tapi untuk kembali
ke kita semua, untuk menghibur kita semua disini bukan untuk dijual ditanah
orang tapi akan berputar uangnya ditanah kita sendiri dan dilakukan oleh anak
anak kita sendiri. Dan hal ini kemudian berhasil saya buktikan dalam film
pertama saya disana berjudul Melody kota Rusa yang Launching, penayangan serta
penjualannya dilakukan semuanya di Merauke hingga lama kelamaan tersebar dengan
sendirinya keluar tanpa disebarkan.
Banyak anak anak Papua yang berhasil diluar sana tetapi sangat sedikit dari
mereka yang mau kembali ke kampung halamannya untuk membangun daerahnya dari
dalam. Mereka pasti lebih senang bekerja diluar karena posisinya mungin sudah
bagus dan segala fasilitas ada. Tidak seperti di Papua yang segalanya sulit.
Termasuk internet yang lambat.
Inilah kemudian yang mendasari hati saya untuk berani mengambil keputusan
tegas bahwa saatnya saya kembali ke Merauke. Saya harus berusash payah tinggal
dengan fasilitas sederhana tidak seperti di Jakarta. Saya akan bangun film dari
kota ini. Saya akan impor film dari sini, bukan saya sendiri tetapi bersama
seluruh anak anak Papua disini. Kita bersatu menjadi kota penghasil bukan lagi
kota pengkonsumsi produk luar. Sebab banyak kesalahan yang selama ini dilakukan
oleh orang orang yang datang kesini bahwa mereka hanya datang bekerja mengeruk
uangnya saja namun tidak berusaha membangun masyarakatnya supaya bisa sama
seperti mereka. Kita harus memberikan kesempatan, memberikan bekal yang baik
agar suatu saat kedepan mereka akan bisa bersaing juga dengan anak anak lain di
daerah lain yang sudah maju. Saya ingin bangga bukan karena ini film dari Papua tetapi saya ingin bangga karena ini yang bikinnya semuanya dari anak anak Papua dengan begitu berakhir sudah masa konsumtif kita selama ini terhadap karya karya luar sebab sekarang kita juga sudah bisa berkarya sendiri.
Sebelum menjadi sebuah komunitas, berkali kali dalam film film terdahulu
saya selalu berupaya menyisipkan anak anak lokal untuk menjadi pekerja seninya.
Dibawah bimbingan saya sendirian kini mereka ada beberapa diantaranya telah
ikut bekerjasama dalam film Nasional sekalipun. Padahal anak anak ini sebelumnya
tak punya sekolah atau keahlian apapun dibidang film. Selama ini dikota Merauke
sendiri anak anak suku Marind tidak ada atau sangat jarang sekali kita temukan
mereka di sebuah sanggar seni manapun, namun lewat film film kami seperti Meody
Kota Rusa kami berhasil mengumpulkan bakat bakat asli dari suku Marind tersebut
dan hingga kini mereka jadi populer di Papua juga.
Tentu saja inilah yang menjadi sebuah dilema besar bagi saya ketika
beberapa dari film kami sulit untuk menacpai kesempurnaan tekhnisnya. ini
terjadi disaat seluruh kru yang saya gunakan dalam film film selama ini
digunakan langsung dari anak anak Papua sendiri. Saya bertahan untuk tidak menggunakan
kru dari luar. Namun untuk beberapa kasus saya pun terpaksa harus mencoba
mendatangkan kru seperti kameraman dan penata musik karena tekanan dari pihak
bioskop yang selalu mengkritik kami kearah sinematografi dan scoring. Apa boleh
buat sekali lagi kami emmang sangat terbatas karena tidak ada yang punya dasar
sinematografi selain saya disini, tidak ada komunitas film apapun disini.
Bahkan bioskop pun tak ada disini. Dalam beberapa film kami bukan lagi
menonjolkan pada isi film tetapi pada semangat pembuatannya.
Di tahun 2012 inilah kami berhasil mendirikan komunitas tersebut setelah
selesai memproduksi film Melody Kota Rusa 2 dan membawanya bertemu dengan
Direktur Perfilman Nasional Bapak Syamsul Lussa yang bersedia mendukung kami
secara penuh, maka kami memutuskan mendirikan sebuah komunitas yang berdiri
dibawah naungan Dinas Kebudayaan dan pariwisata Merauke dengan tujuan
mengumpulkan bakat bakat seni film dan televisi di Papua Selatan untuk kemudian
mereka akan dilatih sebagai penerus generasi yang sekarang. Meeka akan
dilibatkan sebagai pemain, kru bahkan produser.
Dibawah naungan wadah PSF ini kami mulai melatih bukan saja pembuatan film
tetapi juga bagaimana memproduseri, mendistribusikan bahkan menjualnya serta
mencari sponsor utnuk sebuah film. Saya ingin kedepannya merekalah sendiri yang
akan memproduksi dan menjual film filmnya tidak harus selalu dari sebuah
produser besar. Dengan kata lain inilah cara berbisnis alternatif, tidak hanya
kita mengenal jualan makanan atau baju, atau jadi pegawai, kita bisa juga
berusaha dibidang hiburan. Dan hal ini sudah kami buktikan langsung dalam film pertama komunitas ini
yang juga diproduseri oleh anak anak ini sendiri. Mereka semua yang bekerja
tanpa adanya dukungan dari produser besar, tanpa adanya suntikan dana dari investor.
Tetapi semuanya belerja keras mencari sponsor hingga memasarkan film itu kegedung
gedung seperti layaknya bioskop di kota kota besar. Hasilnya mereka sendiri
yang rasakan, untungnya kita bagi bersama, jika gagal kita tanggung sama sama.
Mereka lah yang menggaji kru kru lepas lainnya. Diantara Mereka sekarang bahkan
sudah menjadi seorang produser bukan pekerja lagi. Kini mereka juga sedang
dipersiapkan untuk membuka sebuah stasiun TV lokal sendiri dengan bantuan
seorang investor dari kota Merauke sendiri.
Beberapa dari karya karya kami tidak semuanya berhasil secara keuangan
meskipun penontonnya banyak tapi belum dapat menutupi biaya produksinya. Namun
itulah sebuah resiko dalam mencapai sebuah harapan baru.
Film SPOK sendiri kembali membuktikan bahwa kami ingin daerah ini sebagai
penghasilnya. Jika kelak akan diputar di Nasional itu cerita nomor dua. Yang
penting film itu di hasilkan dari sini maka daerah inilah yang harus
menyaksikannya pertama kali. Dengan begitu banyak sekali cita cita kami yang
harus kami wujudkan dimasa depan. Jika kini kami mulai membalikkan sebuah
perumpamaan tentang kita memproduksi film dan bukan menjadi penonton. Maka
kedepannya dalam film film kami selalu ada perubahan image terutama bagaimana
mengangkat masyarakat Papua menjadi tokoh utama dalam film sebagai protagonis.
Tidak lagi menjadi antagonis atau selalu seram seperti dalam film film
Indonesia selama ini.
Sebenarnya fenomena yang mengisnpirasi kami seperti ini sudah pernah
terjadi ditahun 80 an dahulu dimana nama Papua pernah berjaya didunia seni
melalui grup musik seperti Black Sweet dan Black Brothers yang kemudian dikenal
secara Nasional. Uniknya dalam grup grup tersebut pula digawangi oleh berbagai
unsur etnis didalamnyam sekalipun semuanya berasal dari Papua. Seperti ini pula
kami sekarang, dari berbagai macam etnis orang tua yang berbeda beda, namun
kami satu karena kami sama sama lahir disini dan sama sama ingin membangun
tanah kelahiran kami.
Tahun ini pula dinas kebudayaan Merauke pun mencanangkan julukan baru untuk
diletakkan di even even promo wisata bagi kota Merauke yakni “Merauke sebagai
kota penghasil film” dan bukan tidak mungkin ditahun yang akan datang kami juga
berencana akan membuat even PAPUA FILM
FESTIVAL yang akan melombakan kompetisi film pendek dari seluruh Indonesia yang
akan diadakan dikota Merauke termasuk anaka naka Merauke akan ikut setelah kami
mengadakan workshop disekolah sekolah mengenai film pendek. Dan dengan begitu
pula kami akan terus berkomitmen untuk setiap tahunnya terus menghasilkan film
panjang dari kota ini.
Sekali lagi, film film dari kami bukan sekedar film sebagai sebuah ambisi
dari kami tetapi lebih dari itu ada pembangunan besar dibalik ini semua.
Pembangunan untuk masyarakat Papua yang kita cintai. Dan kini sedikit demi
sedikit sudah mulai ada dampaknya bagi kota Merauke itu sendiri dan kedepannya bagi
Papua pada umumnya.
Dan inilah susunan pengurus di PAPUA SELATAN FILM
COMMUNITY untuk generasi pertama, semoga akan cepat lahir generasi kedua nanti
SUSUNAN KEPENGURUSAN
PAPUA SELATAN FILM
COMMUNITY
PELINDUNG/PENASEHAT
DRS. DAUD HOLLENGER, MPD
DRS. AYUB PEDAI
ARNOLD SISHAM
KETUA UMUM
IRHAM ACHO
BAHTIAR
KETUA II
MARTEN HARYANTO
MAHUZE
WAKIL KETUA
NATO OHOIWUTUN
SEKERTARIS
TANIA
SULENDORONG
MIKE SULENDORONG
OKTOW BOROTODING
BENDAHARA
MARIA TAN GEBZE
DIVISI MARKETING DAN PROMOSI
AKEW ( KOORDINATOR )
KAKA FRANKY WOHEL
PAULINA VIOLETTA SULENDORONG
HAMDAN
DIVISI SEKRETARIAT
KLEMENS AWI ( KOORDINATOR )
RICHARDUS WALAB KAIZE
DIVISI UMUM
MARSIANA TUKU
RIZKY FARIZAH
DIVISI PERLENGKAPAN
NATO KOPAROK
EGA NUGRAHA
1 comments:
Blackjack Review and Slots Sites - JDH Hub
Blackjack is a traditional table game that has a very simple and fun game to be 화성 출장샵 learned 순천 출장샵 and enjoyed! 시흥 출장안마 But 영천 출장마사지 for players who don't have a blackjack 제주도 출장마사지 table,
Post a Comment