Sequel dari Film panjang Melody Kota Rusa yang fenomenal sebelumnya di Papua dan Ambon. Film ini untuk pertama kalinya diedarkan secara luas diseluruh Papua dalam bentuk pemutaran keliling atas kerjasama Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Merauke. ini juga merupakan film yang digarap dan dimainkan 100 % oleh anak anak Merauke sendiri tanpa campur tangan tenaga luar Merauke, ditayangkan digedung gedung di Papua dan Ambon Januari 2012.
SPOK
Film bertema Horror pertama dari ujung timur Indonesia, digarap secara indie oleh pemain dan kru yang semuanya anak anak Merauke. Film ini juga menandai awalnya sebuah komunitas baru lahir di Papua yaitu Papua Selatan Film Community yang tujuannya untuk melakukan regenerasi sekaligus menjaga eksistensi kemajuan film di daerah Papua Selatan yang sudah dibangun sejak Film pertama Melody Kota Rusa. Momen ini juga sekaligus menandai lahirnya tema tema baru dalam film yang selama ini tidak pernah tergarap di tanah Papua seperti Action dan Horror
Melody Kota Rusa
Film ini bercerita tentang 5 orang pemuda (Enob, Kanib, Yosep, Minggus (kemudian diganti Suroso), Dodi) yang bermimpi menjadi pemain band. Cerita berisi tentang bagaimana usaha mereka mewujudkan impian itu namun tetap dalam satu hati satu tujuan.
Mop Epenkah Cupentoh
Sebuah video lucu karya anak Papua yang mengangkat cerita-cerita MOP Papua (Anekdot Khas Papua) yang dikemas dalam sebuah sketsa hidup antara si Epen kah... dan Cupentoh dimana keduanya adalah pasangan multi humor, dan MOP Papua ini sudah ditayangkan di Merauke TV setiap harinya, atas permintaan masyarakat Papua video ini akhirnya di kemas dan dipasarkan dalam bentuk DVD/VCD.
EPEN CUPEN 3
EPEN CUPEN 3 dibuat setelah kesuksesan EPENKAH CUPENTOH 1 dan 2, dibuat dalam kemasan lebih panjang dan kualitas DVD yang akan dipasarkan secara lebih meluas pula. berisikan sketsa MOP MOP Papua serta MOP tradisional yang dibawakan secara lisan.
Film Lost In Papua yang 'diarsiteki' oleh kakak-beradik, Acho dan Iwan Trilaksana sudah go nasional. Karena setelah dilakukan lounching perdana di Jakarata tanggal 8 Maret 2011 lalu, film yang mengangkat thema khusus tentang kehidupan masyarakat Suku Korowai di Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua itu, sedang ditayang di bioskop-bioskop yang ada di seluruh jagat Indonesia.
Film yang digarap itu, tidak hanya melibatkan pemain-pemain putra dan putri daerah. Tetapi mendatangkan beberapa artis top ibukota Jakarta untuk berkolaborasi. Hasilnya pun sangat membanggakan dan menggembirakan bagi masyarakat yang menghuni Bumi Anim Ha dan sekitarnya. Hal itu dapat dilihat dari penayangan perdana di layar lebar yang disaksikan secara langsung oleh ratusan masyarakat di aula bioskop, samping Kantor Kondim 1707, kemarin.
Produser Merauke Enterprice, Iwan Trilaksana dalam sambutannya mengatakan, kisah yang diangkat melalui Film Lost In Papua adalah fakta kehidupan masyarakat di Kabupaten Boven Digoel. “Kita sudah melakukan lounching perdana di Jakarta pada Bulan Maret lalu dan kini sedang ditayang di bioskop-bioskop,” ungkap Iwan.
Diakui jika mereka tertarik menggarap film tersebut, lantaran sesuai dengan selera masyarakat sekarang. Kalau film yang bersifat dokumenter, tentunya hanya ditonton segelintir orang. “Meskipun modal yang dikeluarkan untuk menggarap film ini belum kembali, namun sudah menjadi tekad bulat dari ME untuk terus berkarya di negeri ini. Karena Papua terutama Merauke dan kabupaten lain di Selatan Papua, memiliki banyak keunikan yang mestinya harus ditampilkan ke permukaan,” ungkapnya. (ANS)
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- Film Lost In Papua Dilaunching
Para pemain pendukung Film Lost In Papua saat diperkenalkan satu persatu sebelum pemutaran perdana film tersebut dilakukan, Jumat (17/6) kemarin.
MERAUKE- Film Los In Papua, yang pembuatan filmnya sebagian dilakukan di Merauke dan Boven Digoel dan sebagian pemain pendukungnya merupakan anak-anak asli Merauke dan Boven Digoel dilauncing atau diluncurkan melalui pemutaran secara perdana, Jumat (17/6) sore kemarin. Pemutaran Perdana film tersebut dilakukan di gedung tennis Kodim 1707/Merauke.
Asisten III Setda Kabupaten Merauke Drs M. Ricky Teurupun, M.Si, mewakili Bupati Merauke, mengaku orang Merauke patut berbangga karena karena anak-anak Papua khusus Merauke dan Boven Digoel sudah berprestasi khususnya dalam bidang seni perfilman secara nasional bahkan internaonal.
Film Lost In Papua tersebut sebenarnya menceritakan sebuah cerita rakyat dimana seorang gadis yang perintahkan oleh Bosnya ke Papua untuk melakukan sebuah tugas kedinasan. Namun saat diperintahkan sang gadis cukup menerimanya karena sang pacar yang telah duluan ke Papua tidak kembali.
Saat sampai ke Papua tepatnya di Merauke, sang gadis tersebut mencari sang pacar sampai ke Suku Korowaid di Kabupaten Boven Digoel, dimana salah satu kampung di Korowaid tersebut hanya dihuni oleh kaum perempuan yang dipimpin oleh seorang kepala suku yang terkenal sebagai kanibalisme.
Ricky mengaku cukup bangga dengan anak-anak Merauke dan anak-anak dari Jakarta tersebut yang bisa berkoborasi sehingga mampu memproduksi film Lost In Papua. ‘’Pemerintah Daerah sangat pendukung ini dan kami harap kedepan akan ada Lost In Papua lainnya,’’ tambahnya.
Lost In Papua dengan pemeran utamanya Fani Fabiani dan Fausi Badillah dan sederet pemain film senior yang terlibat, digarap pembuatannya selama kurang lebih 4 bulan di tahun 2010 mulai Agustus-Desember dengan lokus Merauke dan Boven Digoel khususnya di Korowaid. (ulo/nan)
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- Ricky : 'Tidak Ada Kanibalisme Lagi'
Asisten III Setda Kabupaten Merauke, Drs. Ricky Teorupun menegaskan, tidak ada yang namanya kanibalisme di kalangan Suku Koroway, Kabupaten Boven Digoel lagi. Masyarakat sudah tersentuh dengan berbagai pembangunan sehingga mereka pun berubah. Kanibalisme hanya terjadi di kalangan masyarakat jaman dahulu kala.
“Saya atas nama Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Merauke memberikan suatu apresiasi setinggi-tingginya kepada Merauke Enterprice yang mampu menggarap Film Lost In Papua dan bisa diayang di bioskop-bioskop di seluruh Indonesia. Itu juga untuk memberikan klarifikasi sekaligus pemahaman kepada semua orang bahwa jaman sekarang, tidak ada yang namanya kanibalisme lagi, terutama di kalangan masyarakat Suku Korowai,” kata Ricky dalam sambutannya, Jumat (17/6).
Dia juga mengungkapkan, anak-anak asli Merauke mampu dan atau bisa berkolaborasi dengan pemain-pemain Jakarta sehingga mendapat perhatian dari berbagai kalangan terutama rakyat Merauke. “Kita memiliki banyak keunikan di negeri ini. Olehnya, berbagai potensi yang ada, bisa digarap ME untuk ditayangkan. Pemerintah tidak pernah tinggal diam dengan berbagai karya yang telah ditunjukkan,” katanya.
Ditambahkan, dengan film yang ditayangkan, sekaligus membuka mata kaum generasi muda untuk bisa mencerna secara lebih baik. Artinya bahwa, pasti ada cuplikan-cuplikan kehidupan masyarakat dulu dan sekarang. Olehnya, harus bisa ditimba dan dimaknai secara mendalam. (ANS)
NONTON: Masyarakat dari wilayah Selatan Papua ketika sedang menonton film layar lebar Lost In Papua-Boven Digoel
Setelah tiga hari menanyangkan film layar lebar Lost In Papua-Boven Digoel di salah satu tempat bioskop di samping Kodim 1707-Merauke, antusias masyarakat sangat tinggi yang tidak pernah diduga oleh Managemen Merauke Enterprice (ME). Hal itu dapat dibuktikan dari kurang lebih 300-an kursi yang disiapkan dalam bioskop ditempati. Masyarakat benar-benar ‘haus’ dengan hiburan, apalagi film yang diputar adalah di layar lebar.
Dari ratusan warga yang menonton, memberikan respon positif terhadap Film Lost In Papua-Boven Digoel. Bagi mereka, film tersebut memiliki nilai dan makna sangat besar. Karena selain anak-anak asli di Selatan Papua yang mampu menunjukkan jati diri dan bisa berkolaborasi dengan dua pemain sinetron kawakan Jakarta,Fauzi Badila dan Fany Fabriani, alur ceritera dari film tersebut, mengandung makna sangat besar. Bahkan, tidak mendiskreditkan siapa-siapa termasuk orang asli Papua. Karena yang ditonjolkan adalah fenomena kehidupan masyarakat Suku Korowai, Kabupaten Boven Digoel di jaman dahulu kala.
“Semestinya kita harus bersyukur dan berterimakasih kepada managemen dan kru Film Lost In Papua-Boven Digoel. Karena mereka mampu menggarap fenomena kehidupan masyarakat dulu untuk bisa dilihat dan atau disaksikan masyarakat sekarang.Itu kan hanya mengulang kembali yang dulu. Sekarang ini masyarakat Suku Koroway sudah hidup dalam era modern dan sedang membangun seperti daerah lain. Jadi, tidak perlu kita memberikan aksi protes secara berlebihan. Lebih baik ikuti alur ceritera dari film tersebut. Dari situ bisa diambil kesimpulanakhir. Jangan kita membangun opini bahwa masyarakat Koroway adalah kanibalisme. Itu tidak terjadi seperti yang diperdebatkan berbagai kalangan,” kata beberapa warga yang dimintai komentarnya, kemarin.
Secara terpisah Produser Film Lost In Papua-Boven Digoel, Iwan Trilaksana dan Sutradara, Ilham Bahtiar yang ditemui secara terpisah,mengungkapkan, mereka tidak pernah menyangka jika film tersebut menyedot perhatian sangat besar dari masyarakat di wilayah Selatan Papua. “Apa yang kami lakukan ini karena masyarakat sedang kurang hiburan, apalagi banyak belum menonton melalui bioskop secara langsung. Apa yang kami tayangkan ini adalah hasil karya dari putra dan putri Papua di Selatan Papua,” ungkap Bahtiar yang dihubungi melalui ponselnya dari Merauke-Jakarta, Minggu (19/6) malam.
Lebih lanjut Bahtiar yang biasa disapa Acho itu, mengungkapkan,film tersebut digarap kurang lebih dua bulan lamanya. Jika dihitung antara pra dan pasca produksi,sekitar enam bulan. Dari film tersebut, dua artis bonavide didatangkan dari Jakarta yakni Fauzi dan Fani. “Terus terang, saya sangat bangga tatkala melihat anak-anak putra daerah bisa dan atau dapat berkolaborasi dengan dua artis tersebut. Ini sangat luar biasa karena mereka mampu menunjukkan bakat alam yang dimiliki,” katanya.
Secara terpisah Iwan Trilaksana mengungkapkan, ada tiga lokasi yang menjadi garapan pengambilan gambar yakniDKI Jakarta, Merauke dan Kabupaten Boven Digoel. Sedangkan jumlah kru yang terlibat dalam pembuatan filmtersebut mencapai kurang lebih 200 orang. Khusus menyangkut anggaran berdasarkan film berstandar nasional itu, sudah tentu menelan dana miliaran rupiah.“Saya tidak bisa membicarakan berapa anggaran yang dikeluarkan selama Film Lost In Papua digarap. Tetapi yang jelas bahwa anggaran mencapai miliaran rupiah,” ungkap Iwan.
Lebih lanjut Iwan mengungkapkan, banyak suka dan duka yang dialami dan atau dirasakan tatkala dalam menggarap film tersebut. Apalagi dua artis ibukota sedang dikejar oleh waktu lantaran banyak kesibukan yang harus diselesaikan di Jakarta. “Memang banyak kendala yang kami hadapi saat syuting di Boven Digoel dan Merauke, terutama lokasi di Kampung Yanggandur. Selain kondisi ruas jalan yang sangat parah, juga cuaca yang kurang bersahabat. Jika sedang hujan, syuting terpaksa dihentikan sementara. Tetapi, semua kru tetap bersemangat untuk menyelesaikan kegiatan syuting,” ungkapnya sambil menambahkan, jika ada produser lain yang membuat film disini, akan berpikir seribu kali lipat.
Menyinggung tentang adanya pro dan kontra terhadap penanyangan Film Lost In Papua-Boven Digoel,Iwan mengungkapkan, baginya hal itu biasa dan bisa diatasi dengan baik. “Kami sempat ‘loyo’ juga, namun berusaha bangkit danmemberikan pemahaman kepada orang-orang yang mengatasnamakanlembaga atau organisasi tertentu yang mengaku tidak terima dengan film tersebut, lantaranberbau kanibalisme,” katanya.
Kanibalisme, jelas Iwan, adalah ceritera rakyat atau mitos. Mereka yang berperan juga bukan suku yang sebenarnya, tetapi hanya mitos dan itu adalah hal wajar.“Saya juga mau katakan bahwa yang memberikan komentar adalah orang di luar wilayah daerah Selatan Papua. Justru orang Boven Digoel dan Merauke, tidak pernah melancarkan aksi protes. Masyarakat justru sangat merespon dengan positif film tersebut,” tegas dia.
Selama tiga hari dilakukan pemutaran Film Lost In Papua-Boven Digoel, animo masyarakat untuk datang menonton sangat tinggi. Hal itu dapat dilihat dari ratusan kursi dalam ruangan bioskop di samping Kodim 1707-Merauke yang diduduki masyarakat. Mereka tampak senang dan bahagia tatkala menyaksikan film layar lebar dari hasil karya anak-anak yang tinggal di wilayah Selatan Papua.
Sebagaimana disaksikan JUBI, Minggu (19/6), nampak ratusan orang memadati ruangan tersebut. Mereka tampak serius dan sesekali tertawa mengikuti jalannya pemutaran film selama kurang lebih satu jam hingga tuntas. “Ini baru namanya film yang memberikan banyak manfaat untuk kita. Kami tidak mengerti dengan adanya pro kontra di luar terhadap film yang diputar. Padahal, memberikan suatu nilai positif sangat besar. Untuk itu, managemen Merauke Enterprice agar tidak boleh patah semangat. Maju terus, kami memberikan dukungan terhadap perjuangan kalian,” kata beberapa warga.
Mereka juga mengaku, Film Lost In Papua-Boven Digoel yang ditayangkan, lebih banyak melibatkan anak-anak asli yang tinggal di wilayah Selatan Papua. Penampilan yang mereka tunjukkan, menandakan bahwa ada bakat alam yang dimiliki. Apalagi sampai 'berduet' langsung dengan dua pemain sinetron kawakan asal Jakarta. “Sekali lagi, terimakasih kepada ME yang telah menghibur kita dengan film berskala nasional,” ungkap mereka.
Secara terpisah, Produser Film Lost In Papua-Boven Digoel, Iwan Trilaksana mengungkapkan, film tersebut digarap selama kurang lebih dua bulan. “Memang banyak tantangan dan hambatan yang kami temukan di lapangan, namun anak-anak tetap bersemangat dan berkomitmen menyukseskan film tersebut,” kata Trilaksana.(ANS)
kisah berikut ini menggambarkan bahwa potensi daerah dalam melahirkan seorang artis lokal masih sangat tinggi.
DODI LAKI LAKI DARI PAHAS
Sosok sahabat sejati yang polos, sensitif penuh kejujuran
Begitu banyak orang yang menggemari Dodi semenjak ia bermain di film Melody Kota Rusa (MKR) serta Epen kah Cupen toh membuat saya harus menceritakan sedikit siapa sebenarnya Dodi. Bahkan yang paling menarik ketika saya menyaksikan sendiri Dodi menjadi buruan setiap orang selayaknya seorang artis besar. Beberapa pejabat datang dari Jayapura hanya untuk menemuinya dan berfoto foto dengannya. Pernah ada sekelompok pasukan mencari Dodi berkeliling kota. Mereka singgah kesemua tempat yang ditunjuk orang dimana Dodi berada dan menanyakan dimana Dodi. Banyak yang mengira Dodi sedang bermasalah dicari cari tentara. Namun sebetulnya menurut anggota pasukan itu mereka mencari Dodi karena Pimpinan mereka ingin sekali bertemu dengannya. Hingga berita terbaru, ada sebuah perusahaan minuman energi besar nasional yang datang ke Merauke Enterprice untuk meminta Dodi menjadi duta minumannya untuk Papua kelak.
video dodi diburu penggemarnya ketika sedang syuting Lost in Papua di Boven Digoel :
bahkan ketika dodi menginap di hotel pun ia terus ditunggui oleh fansnya didepan pintu :
Fenomena Dodi menjadi artis sungguh membuat saya sendiri berdecak kagum, inikah hasil yang telah saya perbuat ? membuat hidup seseorang berubah secara 180 derajat !
Jika mengenang balik semuanya kembali rasa rasanya sungguh tidak masuk akal dan amazing seorang dodi akhirnya bisa menjadi sangat populer melebihi seorang artis ibukota sekalipun di Papua.
Saya berinisiatif membuat tulisan tentang Dodi karena banyaknya penggemarnya yang penasaran dengan mereka berdua hingga dari Malaysia juga. Bahkan rencananya metro TV juga akan mengangkatnya dalam acara Oasis, tapi masih menunggu MKR 2 dibuat dulu.
Dodi adalah seorang sahabat saya sejak kecil di Muting. Ibunya berdarah Biak dan ayahnya berdarah Marind (desa Pahas).
Di Muting, Dodi tinggal bersama pamannya. Masa kecil kami dihabiskan dengan merekam mop mop (anekdot) Dodi disebuah tape recorder. Hingga kini mop mop tersebut masih tersimpan dengan baik. Sejak kecil memang Dodi sudah menunjukkan bakat melawaknya. Ia selalu menghibur dikala kami bermain. Saat itu kami banyak bercerita dan berangan angan, dodi selalu mengatakan jika kamu nanti jadi sutradara nanti saya yang akan jadi bintang filmnya. jika diperkirakan umurnya sekarang mungkin sudah cukup tua sekalipun belum menikah. ini saya perkirakan sebab sewaktu saya mash kecilpun Dodi sudah remaja kala itu. Di Merauke ia hidup menumpang disaudaranya sebab Ibunya sudah meninggal dan ayahnya di Muting.
Berikut ini bisa di download beberapa mop dari Dodi dimasa kecil kami yang sempat direkam beberapa puluh tahun lalu ( mohon maaf mop mop dikampung kami dulu agak bersifat dewasa jokesnya) :
Semenjak saya kuliah di Jakarta ditahun 1994, otomatis saya tidak pernah mendengar lagi kabarnya. Hingga akhirnya ketika saya balik pertama kali ke Papua tahun 2001 setelah berhasil lulus dari IKJ secara tidak terduga, adik saya mempertemukan Dodi dengan saya kembali dikota Merauke. Saat itu kami bagaikan sangat terharu sekali. Saat itu kami memutar kembali segala rekaman kenangan kita di Muting dulu. Lalu karena saat itu saya telah menjadi sutradara maka kami pun berniat mewujudkan mimpi dimasa kecil kami. Maka terciptalah sebuah film iseng yang saat itu sempat menjadi hit pula di kota Merauke. Walaupun film yg bercerita tentang kolor sakti itu sudah diberi tulisan bahwa film itu hanya sebuah produk iseng iseng saja untuk keperluan hiburan kami di Muting, namun tak pelak lagi vcd bajakannya juga menyebar keseantero Merauke. Inilah kemudian yang sempat membuat Dodi mengira kita tidak berpegang pada janji bahwa film itu kan sebenarnya hanya untuk iseng tapi kog malah diedarkan ?
Saya pun berusaha menjelaskan ke dodi dan keluarganya bahwa film itu sama sekali tidak pernah kami edarkan. Namun kita sendiri juga merasa aneh kenapa tiba tiba bisa beredar secara luas dengan cara dibajak. Sekali lagi itu adalah ulah pembajak, dimana ada permintaan pasti pembajak akan berusaha mengisinya. Sebuah bukti bahwa karya karya kami disukai masyarakat. sejak itulah saya menyadari bahwa potensi membuat film komersil saat itu sangat tinggi sebab film yang tak niat kami jual saja kenapa bisa beredar luas dengan cara dibajak ? lebih baik sekalian kita bikin film saja untuk dijual sekalian mengangkat daerah kita.
Lama kemudian menghilang rupanya Dodi asyik ikut kerja menjaga peralatan sound system pada saat sedang manggung di rumah paman kami. Dodi rupanya sangat mencintai musik. Namun dibalik itu dia juga seorang penyayang binatang. Dahulu sebelum tinggal bersama adik saya, Dodi tinggal dirumah saudaranya membantu bantu segala keperluan rumah tangga. Dodi selalu memberi makan binatang dengan cara mencarikan rumputnya.
Ketika tahun 2009 saat saya punya ide untuk membuat film melody kota rusa, Dodi menemani saya setiap malam saat menulis skenarionya. Saat itu dodi sangat bersemangat sekali. Hampir sebagian besar adegan lucu difilm itu saya buat terinspirasi dari cerita cerita Dodi. Dan betul saja, semua orang yang menonton MKR pastinya tidak akan lupa dengan sosok Dodi yang perannya menonjol mengalahkan peran utamanya sekalipun. Karakter yang lahir diskenario saya adalah berdasarkan Dodi sendiri sehingga dengan mudah ia memainkan dirinya sendiri tanpa beban. Bahkan hingga film ini diedit pun Dodi setiap malam begadang menemani saya.
Yang paling tak bisa dilupakan saat syuting MKR adalah pada saat Dodi ngambek dan tak mau melanjutkan syuting. Dodi berakting mengikuti Moodnya. Jika moodnya sedang baik maka akan keluar kejenakaannya seperti dalam MKR namun ketika dia sedang tidak mood tapi dipaksa syuting terus mkaa yang keluar wajahnya yang kaku tanpa ekspresi seperti di film Lost in Papua dimana dia dipaksa terus karena terdesak waktu. Dodi memang tidak seperti yang disaksikan dalam film MKR. Sebab Dodi sebenarnya tak pernah membaca naskah filmnya. Jika mengikuti naskah maka akan kaku sekali (lihat saja di film Lost in Papua dimana Dodi mengikuti naskah). Ia hanya menirukan dialog yang diucapkan kami pada saat syuting dan dia mengulangnya. Karena itulah editing adegan dodi selalu dibuat pendek dan tak bisa di buat one shot. Semua diedit perkata. Sebagian merupakan improvisasi dialog diluar naskah. MKR dibuat dengan sangat sabar mengikuti mood Dodi. Terkadang satu scene bisa diambil berhari hari sambungannya nunggu mood Dodi enak lagi. Terkadang hanya gara gara seorang kru meledeknya Dodi bisa tak mau meneruskan syuting hari itu. Ia berkali kali mengingatkan bahwa dia hanya mau main film apabila kita memahami perasaannya.
Tentu saja hal ini tidak menjadi kami heran, sebab sejak awal Dodi sudah berpesan bahwa dia mau main film hanya semata mata karena kami ini teman sejak kecil. Jadi bukan karena uang sekalipun kami tetap membuatkan kontrak secara profesional dengannya dan dibayar secara layak pula. Dodi malah menolak ketika adik saya selaku produser MKR memberikannya hadiah Handphone atau membelikannya pakaian mahal. Baginya dia tidak mengharapkan imbalan imbalan seperti itu. Memang sungguh tulus hati Dodi. Perlu diketahui hingga saat ini Dodi tidak memiliki Handphone sama sekali, bukan karena tak mampu beli tapi memang dia tak mau punya.
Yang menjadi bahan candaan kami adalah bagaimana kelak jika Dodi di sutradarai oleh orang lain selain saya ? tentu sutradaranya kalau tidak sabar bisa stress. Harus tahu apa keinginannya. Sebab dalam menyutradarai dodi sutradaralah yang harus mengikuti keinginannya bukan dia yang harus mengikuti keinginan sutradara. Kalau itu dilawan maka dodi akan ngambek tidak peduli dengan kontrak atau ancaman. Yang pasti 2 kali kita harus break syuting karena tiba tiba dodi ngambek tak mau melanjutkan syuting sekalipun sudah jauh jauh dan memakan biaya besar. Mau tak mau syuting harus dilanjutkan besok besok apabila moodnya sudah datang lagi. Kontrak tidka begitu berpengaruh dengan Dodi, lebih baik memahaminya saja. jika dia ngambek tak peduli dengan kontrak lagi mau dituntut apa tidak jia dia merugikan produksi.
Yang paling menyenangkan itu justru ketika bermain dalam tayangan televisi merauke berjudul Epen kah Cupen toh, disitu Dodi sangat menikmati sekali karena semuanya dibuat tanpa mengikuti naskah. Dodi berhak mengubah kata kata bahkan menambahkannya sendiri seperti sebuah acara lawak. Tak heran jika acara ini makin melambungkan namanya.
Di film Lost in Papua Dodi memasuki tahap bekerja secara profesional yang mengharuskan dia berakting tanpa peduli sedang mood atau tidak sebab menyangkut cost biaya produksi dan artis jakarta. Akhirnya yang terjadi aktingnya pun sangat kaku, itupun beberapa kali dia akan kabur dari lokasi syuting hanya karena sedang bad mood. Pernah juga saat sedang syuting Lost in Papua saat itu hujan sehingga para kru break sebentar, ketika syuting akan dilanjut kembali susai hujan semua sibuk mencari Dodi. ternyata Dodi sedang tidur dirumahnya. Ia pulang tidur tanpa beban seakan merasa tak sedang syuting hari itu. Saat itu Dodi memang saya serahkan penanganannya pada astrada saya yang dari Jakarta. Memang sulit jika Dodi harus bekerja dengan kru jauh yang tidak memahami perasaannya. Menurut saya selama membuat MKR pun hanya saya yang bisa mengerti apa yang diinginkan Dodi karena itu saya tak pernah memarahinya sekalipun ia tak disiplin.
Kesuksesan MKR membawa Dodi kepada banyak perubahan dalam hidupnya. Ia yang dulu selalu berkata : saya hanya mau main film itu karena teman, kalau bukan karena teman biar orang kasih saya uang satu karung juga saya tak akan mau.
Kini idealisme Dodi itu seakan hilang. Semenjak Ia dijak bermain juga di film Lost in Papua, tiba tiba saja Dodi menghilang sehari sebelum hari H nya. Kami semua panik mencarinya dan diluar dugaan tiba tiba dia muncul dengan seeorang yang mengaku sebagai manajernya. Ya tentunya Dodi kini telah menjadi artis jadi layak memakai jasa manajer. Dodi juga sempat membuat pihak kami mendapatkan sorotan seakan akan Dodi tidak diberikan honor dalam film filmnya. Itu akibat perilaku Dodi yang super boros. Bagi Dodi dia tak mau menyimpan uang, karena itu jika ia baru dapat uang maka ia akan segera menghabiskan uangnya sekejab dengan membeli apa saja, yang anehnya jika ia membeli pakaian baru maka pakaian lamanya akan dibuang dan dibakar. Memang dodi itu unik sungguh berbeda dengan orang kebanyakan. Dia malah lebih suka honornya dikasih sedikit sedikit, jadi kapan ia butuh baru dia akan minta. Yang anehnya lagi ketika diberikan fasilitas ia akan menolaknya, diebrikan motor sekalipun ia akan menolak karena ia lebih suka jalan kaki. Dan yang paling puncaknya adalah ketika ia masih saja mencari rumput untuk binatang sehingga banyak yang mebgira Dodi kan sudah artis tapi mengapa masih disuruh mencari rumput ? padahal mereka tak tahu jika Dodi itu memang sayang sekali dengan binatang sehingga ia tak peduli berjalan kaki mencari rumput walau tak disuruh. Lalu ada pula yang bertanya mengapa dodi tak punya pakaian bagus ? itulah anehnya pula yang menbuat kami bingung dan serba salah, berkali kali Dodi dibelikan baju atau jaket bagus tapi dia menolaknya, ia merasa itu semacam gratifikasi yang baginya haram untuk diterima. Banyak yang tidak mengetahui kisah dibalik ini semua.
Saya bahkan berkali kali menawarkan Dodi ke Jakarta namun ia selalu menolaknya. Baginya bukan itu yang dia harapkan. Dia hanya berharap persahabatan kita yang baik itu saja. Seseorang yang sangat menjunjung tinggi nilai persahabatan.
Namun ketika setahun saya meninggalkan Merauke setelah film MKR, terdengar kabar Dodi kini tak tinggal lagi dirumah adik saya. Entah kenapa dodi banyak berubah. Apakah banyak yang mempengaruhinya diluar sana. Apakah dia lupa dengan perjuangan kita. Yang pasti moodnya sudah berbeda.
Inilah yang membuat saya kemudian merasa agak kesulitan untuk mengajak Dodi kembali bermain, ketika Dodi sudah kehilangan moodnya bahkan ketika kami bertanya dod, bagaimana kamu mau main di MKR 2 ? dia tak memberi respon. Entah kenapa itu bisa terjadi. Sikap Dodi juga mulai terlihat lelah atau tak siap menghadapi serbuan penggemar yang setiap hari menegurnya. Terkadang Dodi akhirnya hanya diam saja ketika sedang bad mood namun terus dikejar kejar penggemarnya. Ia bahkan pernah mengusir beberapa anak kecil yang terus mengejarnya sewaktu sedang kelelahan. Ya memang resiko menajdi orang terkenal itu kadang tidak enak juga. Biar bagaimanapun dodi hanyalah seorang manusia biasa yang tak menyangka hidupnya jadi berubah begini.
Kini semua orang akan memperhatikan dodi. Jika dulu ketika dia jalan dijalanan (dodi paling suka jalan kaki dan tak suka naik mobil) semua orang mengiranya orang gila dan menghindarainya. Kini setiap ia jalan semua orang menegurnya bahkan tak banyak yang membawanya dengan mobil pribadinya untuk pulang kerumahnya sambil memberikan banyak bingkisan untuknya.
Tapi walau bagaimanapun saya selaku sahabat sejatinya selalu tersenyum telah menjadikan Dodi yang tadinya tidak berarti apa apa bagi orang banyak hingga menjadi sangat berarti bagi seluruh warga Merauke dan Papua bahkan mungkin dimana saja hingga ke Malaysia.
dodi yang dahulu saya kenal pun tidak seperti dodi yang sekarang, namun begitu itulah resiko kehidupan. mungkin memang persahabatan kami masih tetap erat jika kami hanya orang biasa yang tak dikenal sperti sekarang.
Saya hanya berpesan ke Dodi dan semua pemain MKR begini :
Jika suatu saat ada yang mengata ngatai kamu atau memprotes keterlibatan kamu dalam film film saya karena iri, maka katakan saja begini ke orang yang memprotes tersebut : “saya telah memberikan sesuatu sumbangsih yang berarti untuk tanah ini, kamu sendiri apakah yang sudah kamu perbuat untuk tanah ini ?”
Tak perlu banyak bicara mari kita berbuat yang terbaik untuk daerah kita....
EDI HARIANTO ALIAS MAS SUROSO
Sosok sebuah keragaman di tanah Merauke
Nama aslinya adalah Edi Harianto. Ia adalah seorang anak berdarah Jawa asli dari desa transmigrasi di Semangga 2 Merauke. Uniknya sahabat sahabat Edi sebagian besar adalah anak anak asli Marind daripada anak anak Jawa. Sejak kecil ia memang hidup dan besar bersama sama penduduk asli Merauke. Edi sendiri beragama Hindu.
Pekerjaannya adalah sebagai operator musik dalam setiap acara pernikahan dikampung kampung. Ia yang mengesetnya sekaligus menjaganya. Jika tak ada job itu ia akan membantu ayahnya menggarap sawah.
Pertemuan dengan Mas Edi ini boleh dibilang tanpa sengaja bahkan terkesan sudah diatur oleh Sang Pencipta. Saat itu kami sedang mengadakan casting mencari peran Mas suroso untuk film melody kota rusa. Saat itu pimpinan produksi MKR kebetulan adalah teman akrab Edi. Ia pun menawarkannya untuk mengikuti casting.
Ternyata saat itu keputusan akhir kami untuk menentukan peran mas suroso. Jika kami tak menemukannya maka kami berencana mendatangi sanggar sanggar yang sudah pasti memiliki pemain pemain bagus dan terlatih. Mas Edi hari itu juga ingin sekali mengikuti casting nanmun saat itu dia sedang menjaga alat musik disebuh acara. Iapun memohon agar dibolehkan casting malam itu juga. Kami lalu mengabulkan permintaannya sembari menunggu kedatangannya malam itu. Ternyata malam itu Edi datang berboncengan dengan 2 temannya hujan hujanan pada jam 2 malam. Jadilah jam 2 malam itu kami mengcastingnya beserta temannya pula. Ia mengaku nekat datang malam itu juga karena takut peran itu diambil orang besoknya. Jadi begitu selesai acara musiknya ia langung tancap motor bersama temannya berbonceng 3 untuk casting peran suroso.
Itupun ketika memasuki studio kami, ia dalam keadaan luka luka akibat ketiganya jatuh dari motor gara gara menabrak anjing ditengah jalan yang licin karena hujan. Sungguh sebuah perjuangan demi mewujudkan cita cita.
Sebenarnya saya memilih edi menjadi suroso bukan karena kasihan kepadanya namun karena memang secara kebetulan sosok dialah yang saya bayangkan ketika membuat skenario MKR. Sosok mas suroso yang polos, romantis, agak blo'on namun cerdas dan berbakat. Itu semua ada dalam dirinya dimana dalam kenyataannya Edi ini juga multi talenta, ia bisa memperbaiki segala peralatan elektronik bahkan sering ikut membantu jadi kru dibagian apapun bahkan jika genset syuting kami rusak dialah yang turun memperbaikinya.
saya justru sangat kaget ketika mengetahui ternyata kehidupan Edi alias mas suroso ini tak jauh dari karakter yang dimainkannya di MKR dimana ia berhasil memberikan keragaman dan hidup ditengah tengah masyarakat marind dengan menggabungkan kultur dan budaya mereka sebagai suatu kesatuan yang indah dalam kehidupan.
Setelah kesuksesan MKR, Mas Suroso adalah orang kedua yang di sukai masyarakat setelah Dodi tak heran jika kini dimanapun ia jalan semua pasti memanggilnya. Bahkan tak jarang ia mendapakan hadiah gratis ketika berbelanja di toko toko. Semua cewek pun banyak yang ingin berfoto dengannya. Suroso kadang terharu saat bercerita ke saya bahwa ia tak pernah menyangka anak seorang petani dari desa transmigrasi kini bisa menjadi seorang artis yang dipuja puja di Merauke. Suroso kini sering bepergian hingga ke Jayapura karena mulai dilibatkan dalam berbagai kegiatan yang melibatkan massa seperti layaknya Dodi yang juga sering dimanfaatkan menggalang massa dimasa kampanye Bupati dulu.
Suroso diserbu anak sekolah ketika ikut syuting sebagai kru Lost in Papua di boven digoel
dibalik itu kisah Dodi dan Suroso ini bisa menginspirasi semua anak anak Indonesia bahwa : tak ada yang tak mungkin dalam hidup ini. Siapa yang akan sangka jika suatu ketika kamu akan menjadi terkenal tanpa pernah di duga ? semuanya bisa terjadi !
Simaklah berita seputar pasar Film Cannes tahun 2010 lalu : Festival Film Cannes
Film Horor Indonesia Laku Keras
Film horor Indonesia, ternyata berpeluang besar untuk dijual di pasaran internasional. Dari 18 film nasional yang dibawa ke ajang Festival Film Cannes 2009, lima judul film dibeli distributor internasional. Dari lima judul itu, empat di antaranya bergenre horor.
Lima judul yang terjual adalah Ayat-Ayat Cinta (MD Entertainment), Mati Suri (Maxima Entertainment), Kereta Hantu Manggarai (Rapi Films), Kuntilanak 3 (Multivision Plus), dan Pulau Hantu (Multivision Plus).
Ketua Delegasi Indonesia yang datang ke festival itu, Tjetjep Permana menyebutkan, pangsa film horor kita di dunia internasional, ternyata memiliki pencintanya sendiri. "Saya juga tidak tahu, ternyata film horor kita cukup disukai. Buktinya, ada empat judul yang laku," ujarnya ketika dihubungi SP, Senin (25/5).
Tjetjep yang juga menjabat sebagai Direktur Jenderal Nilai Seni, Budaya dan Film Departemen Kebudayaan dan Pariwisata itu menilai, genre horor Indonesia memang banyak dikritik di dalam negeri, tapi nyatanya, memiliki segmen tersendiri di kancah internasional. Dibandingkan dengan judul-judul horor Thailand yang sudah terbukti kualitasnya, Tjetjep menyebutkan, cerita horor Indonesia memiliki keunggulan tersendiri. "Ada cerita lokal yang tidak dimiliki di negara lain. Ini yang bisa dijual di pasar internasional," sebutnya.
Ke depannya, menurut Tjetjep, harus ada perbaikan kualitas film yang akan dijual. Perbaikan kualitas ini selain akan memperlebar pangsa pasar, juga akan menguatkan posisi film Indonesia di dunia internasional. "Syukur-syukur film kita tidak hanya ikut jualan, tapi juga ikut lomba festivalnya," sebut Tjetjep.
Sampai saat ini, sejumlah film yang dibawa ke Festival Film Cannes belum diikut sertakan dalam perlombaan, tetapi hanya dijual ke distributor internasional. "Syarat-syarat untuk perlombaannya sendiri sangat berat. Banyak yang harus diperbaiki jika menginginkan film kita ikut lomba di ajang itu," tambah Tjetjep.
sumber :
http://202.169.46.231/News/2009/05/26/Hiburan/hib01.htm
dan disini :
Sejak dua tahun lalu, Depbudpar memang rajin membuka stan untuk menjajakan karya film lokal agar bisa dipasarkan secara internasional. Di antara 19 film yang dibawa, tujuh film bergenre horor dan empat di antaranya terbilang laris di salah satu festival film paling bergengsi di dunia itu. Padahal, Direktur Film NBSF Ukus Kuswara mengatakan, film horor bukan termasuk film unggulan dari Indonesia. Yang diunggulkan justru film-film yang dianggap mewakili budaya dan kondisi negara Indonesia, seperti Jamila dan Sang Presiden, Ayat-Ayat Cinta, Generasi Biru, atau Queen Bee.
sumber :
http://ireztia.com/2009/06/17/film-indonesia-laku-di-luar-negeri/
Ya itulah kenyataannya yang terjadi suka atau tidak suka, Horror menjadi tema yang paling banyak dilirik di pasar film Internasional sekelas Cannes !
beberapa diantara judul judul yang terjual itu malahan merupakan film film yang menuai banyak kecaman serta cacian di negeri sendiri. sebaliknya justru film film yang diunggulkan didalam negeri seperti : Generasi Biru nya Garin Nugroho buktinya tidak dilirik pembeli di pasar tersebut, sampai sampai Menbudpar harus kembali memasarkannya tahun ini kembali.
Apakah dengan kenyataan ini kita akan berkata bahwa selera orang barat itu jelek ? tentu saja tidak, justru mereka sangat pintar dalam memilih film. buat apa menonton sesuatu yang sudah sering mereka lihat di dalam film film mereka. mereka butuh tontonan yang tak pernah mereka lihat sebelumnya di film film mereka dan itu mereka dapatkan dalam film Horror kita. saya jadi ingat pernyataan seorang Barat yang mengatakan kepada film Kuldesak beberapa tahun lalu : Kalau Film macam beginian sih jumlahnya ribuan dinegara kami.
Sesungguhnya kita tak perlu heran mengapa tema horror yang paling laris di dunia ini, sebab secara psikologis saja horror sebenarnya mewakili sebuah kultur atau kebudayaan sebuah daerah yang tidak dimiliki oleh daerah lain. contoh saja Pocong menjadi sesuatu yang unik bagi negara lain sebab hanya terdapat di Indonesia dan malaysia saja. begitupula dengan Dracula yang menjadi trend karena hanya ada didaerah Rumania saja. atau vampire di Hongkong/China, dan kisah kisah itu akan terus menjadi sebuah penggalian rasa penasaran untuk mengetahui kisah lainnya dibelahan bumi ini yang masih belum terungkap misterinya. tentu kita tak heran lagi, jika tema horror atau mistis itulah yang lebih banyak terasa secara kental mengangkat budaya dan kultur sebuah daerah ketimbang film bergenre lain.
Dan ini bukan hanya terjadi di masa sekarang saja, ditahun tahun 80 an dulu pula film film horror Indonesia sebenarnya sudah lebih dikenal luas ke manca negara. lihat saja dibeberapa situs penjualan DVD original luar negeri, tercatat ada beberapa film yang dibintangi Almh. Suzanna yang laris dipasarkan diseluruh dunia. beberapa diantaranya malah menjadi Cult Movie seperti film Pembalasan Ratu Laut Selatan film yang di banned di negeri sendiri karena sarat adegan sex namun malah sukses dijual keluar. selain genre horror tentu saja genre action juga laku diluar. justru film film Indoensia yang bergenre drama kurang laku dipasar luar.
dari sini mungkin kita bisa setidaknya kembali mengingat bahwa potensi tema dan keunikan dalam sebuah film memang tidak terbatasi oleh genre apa saja. di dalam negeri kita, film tema horror atau mistis sering dijadikan cemoohan penonton seakan akan genre tsb tidak layak ditampilkan terus menerus di bioskop kita.
menurut saya itu anggapan yang terlalu berlebihan, Horror sebenarnya sebuah genre yang sangat menarik dan tak lekang oleh masa. hanya saja penggarapan yang serba asal asalan di indonesia itulah yang memperburuk citranya. seandainya horror atau mistis digarap dengan baik bukan tidak mungkin itu bisa menjadi sebuah andalan tema yang mewakili ciri khas sesuatu daerah seperti misalnya Thailand yang lebih dulu terkenal dengan horror bercita rasa lokal yang sarat akan mistis tersebut.
bahkan bukan tidak mungkin seandainya kita bisa memanfaatkan peluang potensi di genre ini sebenarnya kita bahkan bisa jauh mengungguli Thailand. ya lihat saja cerita mistis beraroma horror di Indonesia itu banyak sekali disetiap daerah pun berbeda dan unik. asal saja ya tentu digarap dengan baik, serius dan tidak rancu isinya seperti belakangan ini banyak film sex tapi berkedok horror.
Lihat saja film film buatan Dimension Film dari Holywood sangat berkelas dalam mengolah urban legend menjadi Horror menarik. dan kerap kali gaya mereka menginfluensi para pembuat film kita pula.
Sebenarnya dalam langkah penerapan ini saya telah mengimplementasikannya sebagian pemikiran saya terhadap legenda budaya dalam film saya Lost in Papua dimana sebagian akhir di film itu sedikit mengangkat keberadaan sebuah Urban Legend disana yang selama ini masih misteri (walaupun porsinya hanya sedikit di situ). Namun setidaknya ini adalah sebuah daya tarik bagi orang luar yang menyukai kisah kisah legenda diseluruh dunia. namun kembali lagi hal tersebut tertutupi misinya disaat horror dalam negeri sedang di stereotypekan secara buruk dengan merata tanpa memandang filmnya dulu. Dan lagi lagi film saya pun tak lepas dari imbas stereotype yang sudah terlanjur ada dikepala penonton Indonesia tersebut, mungkin itu sebagai dampak dari semakin miskinnya wawasan para penonton kita akan khazanah budaya maupun legenda ditanah air kita saat ini, sehingga kerap kali mereka menganggap sebuah legenda daerah itu bagaikan sebuah cerita omong kosong belaka.
sebenarnya awal munculnya justifikasi negatif terhadap genre horror itu bermula akibat banyaknya muncul genre mengaku horror yang sebenarnya malah lebih banyak mengekspose adegan sex vulgar daripada horrornya sendiri. tentu saja kenyataan ini akhirnya malah merugikan para sineas sineas yang memang suka membuat Horror bagus yang murni. saat ini sulit membedakan mana Horror bermutu dan tidak bermutu jadinya. Penonton sudah keburu bisa memvonis genre horror itu film sampah bahkan hanya dari posternya saja. dan berharap supaya bioskop Nasional saat ini berhenti menayangkan tema tema Horror lagi. Dengan begitu para sineas akan ramai ramai lari ke genre lain. tidak ada lagi keinginan Sineas yang ingin membuat horror bermutu karena takut dicap negatif.
Karena itu janganlah meremehkan tema tema Horror, mistis, urban legend, dll sebab secara fakta tema tema itulah yang kerap kali dilirik disebuah negara yang sarat akan budaya budaya unik seperti hal nya yang terjadi di Thailand.
kita hanya perlu menggarapnya dengan serius dan jika itu berhasil maka bukan tidak mungkin Indonesia malah bisa dikenal dengan film Horrornya yang bercita rasa tradisional serta mengangkat mitos daerah seperti yang pernah di tampilkan oleh Thailand di film : Kuon puos keng kang (kisah anak raja Ular) atau Kraitong (buaya pemangsa)
Untuk saat ini yang sudah mulai mengungguli lagi adalah Malaysia dengan Horor Horror dengan cita rasa Hollywood tanpa bumbu esek esek.
Jika insan perfilman cerdik dan bijaksana melihat hal ini serta pemerintah pintar menyikapi hal ini bukan tidak mungkin hal yang tadinya dibenci dibioskop kita malah sebenarnya bisa menjadi sebuah potensi buat menjadikan film Indonesia menembus pasar dunia secara besar besaran. beberapa negara telah mencontohkan bisa menembus dunia dengan genre genre : Action dan Horror. Buat apa memaksakan membuat film sekelas film Barat jika belum mampu, mengapa tidak menggarap saja tema tema sederhana yang sudah jelas jelas akan disukai orang Barat dari film Indonesia dan sudah pasti kita mampu membuatnya
Dan buat penonton sendiri seharusnya tak perlu menjudge sebuah genre tertentu karena letak kesalahan adalah bukan pada tema filmnya tetapi pada cara penggarapannya serta kemasan ceritanya. sebenarnya tema apapun dalam sebuah film itu sah sah saja selagi tergarap dengan serius dan tanpa membuatnya iseng iseng.
Kita kan sudah punya keunggulan dari keunikan ceritanya di setiap daerah, tinggal memperbaiki kualitas penggarapan tetapi dengan catatan sekali lagi : HARUS BENAR BENAR SERIUS DIGARAPNYA !
Kita pasti pernah mendengar atau berkata begini : Ah film ini tidak masuk logika. Atau ah adegannya tidak masuk akal tuh, harusnya kan begini atau begitu....dan lain lain lagi.
Ya itulah bermacam jenis tanggapan penonton setelah menyaksikan sebuah film. Tidak salah memang karena para penonton terutama penonton di Indonesia lebih suka dengan hal hal yang realistis dibandingkan penonton diluar negeri yang sudah terbiasa disuguhi hal hal berbau fantasi. Di indonesia penonton sangat kritis sekali mencari celah celah logika ketimbang menikmati film sebagai sebuah hiburan saja. Sebenarnya prinsip ini akhirnya malah menyusahkan mereka sendiri karena kita tahu bahwa film itu adalah sebuah karya dimana penonton diajak masuk menyelami apa yang diinginkan oleh pembuatnya atau filmnya sendiri. Namun kenyataannya yang terjadi ada beberapa penonton yang malah ingin film itu mengikuti apa kemauannya. penonton itu akan memprotes logika sebuah film dengan menyamakan atau membandingkannya dengan logika kenyataan sementara secara tidak sadar secara keseluruhan sejak awal dia sebenarnya sudah menikmati logika filmnya yang tidak sama dengan logika kenyataan.
Kembali kemasalah Logika, saya ingin memaparkan 3 macam logika yang selama ini digunakan para pembuat film. Sebenarnya logika logika ini sudah dipahami maksudnya oleh penonton selama ini namun mereka banyak diantaranya yang tidak menyadarinya. Dengan kata lain beberapa penonton sebenarnya telah memprotes sesuatu yang dia sendiri sudah menerimanya tanpa sadar. Selama film itu mempunyai alasan sebab akibat, maka segala sesuatu yang tidak bisa diterima dalam logika kenyataan sebenarnya otomatis sudah menjadi logika film yang seharusnya tak perlu diprotes lagi.
1. LOGIKA KENYATAAN
Logika kenyataan adalah logika yang benar benar ada dikenyataan. Bukan dalam sebuah film. Kalaupun ada dalam film mungkin banyak digunakan dalam film film Dokumenter atau real shot. Dinamakan begitu karena semua logika yang dipaparkan adalah kenyataan yang benar benar terjadi tanpa direkayasa. Namun dimasa sekarang tak jarang adapula jenis jenis Dokumenter yang sudah direkayasa seperti Reality Show.
Logika kenyataan harus bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah dan harus bisa diterapkan dalam dunia nyata bukan hanya berupa gagasan.
Dalam menggunakan logika kenyataan, semuanya mulai dari jalan cerita hingga pengadeganan akan mengikuti logika yang umum dan diterima semua orang.
2. LOGIKA FILM
Nah logika inilah yang rata rata digunakan oleh hampir semua pembuat film diseluruh dunia. Logika ini sebenarnya merupakan sebuah tradisi yang diciptakan oleh para perintis film pertama dan lama kelamaan akhirnya menjadi sesuatu yang lumrah dan diterima secara masuk akal oleh semua orang. Logika film sendiri terjadi karena prinsip dasar film sendiri dimana faktor keterbatasan ruang, waktu, dan arah gerak dalam sebuah layar film yang hanya bisa dinikmati secara audio visual sehingga membuat perlu adanya elemen elemen serta sesuatu yang berlebihan dari kenyataan yang bisa membangkitkan Dramatic Impact dari penontonnya.
Logika film itu adalah sebuah logika yang menyusun alasan sebab akibatnya sendiri tanpa harus bergantung pada riwayat kenyataan sebenarnya. Dalam segi ceritanya misalnya, kisah sebuah film tidaklah harus didasarkan pada logika kenyataan yang persis sama. Banyak orang mempermasalahkan hal ini setelah menonton namun mereka sebenarnya tidak sadar bahwa dibeberapa bagian mereka telah menikmatinya juga.
Ada unsur sebab akibat yang dibuat sebelum memasukkan logika tersebut kecerita. Sebuah logika film akan dianggap salah apabila tidak ada alasan penyebabnya.
Prinsip dasar dari logika film sendiri adalah tersusun atas dasar sebuah alasan logikal yang diolah berdasarkan cerita yang bisa diterima penonton secara Khayalan namun belum tentu bisa diterapkan dalam kenyataannya.
Misalkan saja ada sebuah cerita film tentang Superhero Superman yang tidak masuk akal dan tentu tidak akan pernah ada semacam itu dalam kenyataan. Namun mengapa penonton bisa menerima logikanya ? sebab ada alasan sebab akibatnya.
Ada penjelasan ilmiah dalam ceritanya tentang bagaimana kekuatan super itu bisa dimiliki Superman yakni karena dia berasal dari Planet kripton dan bukan manusia Bumi. Sehingga ketika superman terbang pun penonton tidak akan terganggu logikanya lagi. Sebenarnya kalau mau dibilang secara vulgar Logika film itu seperti menipu penonton, sebab jika mau dikaitkan dengan logika kenyataan mana ada Planet bernama Kripton ? hingga saat ini pun tak bisa dibuktikan dalam kenyataan, tapi menipu untuk menghibur kan sah sah saja kan ? ibarat kita menonton acara sulap kita sudah tahu itu hanya trick tetapi kita senang ditipunya karena merasa terhibur. jika film barat yang cenderung banyak yang tidak masuk akal namun tak banyak diprotes penonton itu lebih karena kepintaran mereka mengelabui penonton lebih halus dan lebih mempesona sehingga tanpa sadar penonton menerima logika yang diberikan sekalipun mustahil terjadi dikenyataan.
Lalu contoh logika film yang diterima penonton secara tidak sadar juga banyak terjadi pada film film action atau film perang. Bayangkan saja di film RAMBO kenapa si rambo jago sekali hanya seorang diri bisa melawan semua pasukan Amerika dan kadang seakan pelurunya tak habis habis. Ini juga banyak terjadi dalam setiap film film bergenre perang. ya kalau mau mengikuti kenyataan tentu saja tak akan seru. sebab peperangan sesungguhnya dalam kenyataan tentu tak seseru di film.
Lihat saja film ROCKY yang bercerita tentang petinju. ketika adegan tinjunya, perhatikan apa yang berbeda dengan tinju dikenyataan ? ya tentu saja sangat berbeda jauh. jika dikenyataan adegan tinju menggunakan tekhnik dan perlu stamina serta sesekali harus beristirahat setelah memukul tidak asal bak bik buk saja. lain halnya di film itu tinju dibuat seakan akan sangat bergairah dan dinamis tanpa henti. sekali pukul tak ada henti hentinya seakan akan si Rocky tak punya rasa capek. baru saja bak bik buk tanpa henti tiba tiba sudah tersungkur lawannnya. Saya sendiri malah sering tertawa melihat adegan itu karena membandingkannya dengan acara tinju dikenyataan yang sering membuat boring karena kebanyakan atur strategi dan irit pukulan. ya tentu saja sebab dalam dunia nyata membuang buang pukulan keras bertubi tubi tanpa henti seperti di film Rocky itu merupakan tekhnik yang bisa membuat seseorang cepat kehabisan tenaga malahan. tapi untuk film hal itu tak jadi masalah dan buktinya penonton bisa menerimannya kog.
Di Film Indiana Jones, ada adegan si anak kecil bisa mengemudikan sebuah mobil. Jika hanya seperti ini saja adegannya maka penonton tentu akan memprotesnya tidak masuk akal mana bisa anak kecil bisa mengendarai mobil ? kakinya saja gak bisa nyampe pedal gas dan rem. Namun apa yang membuat penonton tidak memprotes adegan itu ? dikarenakan adegan itu ada alasan sebab akibatnya. Sebelumnya digambarkan kaki anak itu disambung dengan kayu sehingga kakinya pun dapat mencapai pedal gas dan rem. Sebuah alasan yang masuk akal secara film namun tidak secara kenyataan. Tapi sekali lagi penonton tentu akan menerimanya tanpa harus memprotesnya sekalipun itu mustahil diterapkan di kenyataan. Sampai saat inipun kita tak pernah mendengar ada yg mempraktekkan anak kecil yang bisa bawa mobil dengan kaki disambung kayu seperti dalam film itu.
Tapi jangan salah, logika film ini bukan hanya digunakan dalam film film fantasi, difilm film dengan adegan real pun banyak sebenarnya tidak masuk akal umum tetapi penonton tidak akan memprotesnya.
Saya pernah menonton sebuah film dari Perancis berjudul Leolo, disitu diceritakan sang ibu yang tidak bersuami bisa melahirkan anak. Secara kenyataan tentu tidak masuk akal seorang ibu bisa hamil tanpa suami terkecuali itu Muzizat tuhan. Namun diistu ada sebab akibat yang menjadikan alasan yang masuk akal sekalipun mustahil terjadi dalam kenyataan. Alasannya adalah : sebelum kejadian sang ibu hamil, digambarkan ada seorang pekerja kebun sedang masturbasi dikebun apel, lalu spermanya muncrat mengenai tumpukan buah apel yang baru dipetiknya dikeranjang. Apel itupun lalu dikirim kepenjual dipasar. Nah si ibu ini waktu itu sedang belanja dipasar dan tidak sengaja jatuh menindih tumpukan apel apel tersebut. Salah satu apel pun masuk ke kelamin si ibu. Tidak berapa lama kemudian si ibu pun hamil. Dan anak yang dilahirkannya itu dijuluki si anak apel karena dianggap apellah yang membuahi ibunya. Ceritanya sungguh mustahil dalam kenyataan apalagi kita tahu sperma kan ada masanya akan mati jika terkena udara luar, tapi untuk sebuah film itu sudah bisa diterima secara logika film sebab komplit penjelasannya ada sebab akibatnya pula secara jelas. Maka itulah yang disebut logika film sesuatu yang diciptakan dalam film yang bisa diterima sekalipun mustahil ada dalam kenyataan.
Logika film ini tidak dibuat seenaknya saja tetapi menggunakan dasar dasar logika yang ada dikenyataan sebelumnya. misalnya untuk cerita diatas itu ada dasar logika kenyataannya antara lain bahwa sperma sebagai pembuah sel telur. logika kenyataan inilah yang kemudian dirangkai menjadi sebuah logika film sehingga tidak terlalu bersifat mengarang. contohnya saja difilm Jurrasic Park diceritakan Dinosaurus dll diciptakan manusia jaman sekarang untuk hidup kembali dengan cara mengambil DNA mereka di nyamuk purba yang telah membatu berjuta tahun lalu. hal ini tentu ada dasar ilmiahnya sebab memang DNA lah sebagai unsur kehidupan itu dalam logika kenyataannya. namun sekali lagi meski telah mempunyai alasan ilmiah bukan berarti itu bisa diterapkan dikenyataan sebab sampai skrg pun buktinya tidak ada satupun ilmuwan yang bisa menciptakan makhluk purba dengan cara seperti dalam film itu. namun sebatas buat sebuah logika film itu bisa diterima.
Lalu faktor waktu dan kejadian dalam film itupun masuk dalam logika film. Penonton tidak ada satupun yang akan protes jika ada adegan seseorang masih kecil tiba tiba diadegan selanjutnya dia sudah dewasa. Itulah sebuah tradisi yang diciptakan oleh film hingga menjadi logika yang bisa diterima semua orang. Dalam waktu satu menit pun seseorang bisa menjadi tua. Dan logika itu diterima penonton.
Logika film juga banyak didapati pada seluruh elemen dalam sebuah film, seperti sound, misalnya saja pada saat adegan berkelahi. Waktu ada adegan orang kena pukul apa yang terdengar ? suara pukulan yang keras sekali terkadang Buk ! dan agak berlebihan. Sekarang coba kita praktekkan dalam kenyataan, coba pukul seseorang dan dengarkan bunyinya seperti apa. Tentu tidak akan sekeras yang terdengar di film. Bakan ada yang tidak berbunyi sama sekali. Yang terdengar malah suara teriakan Aduuuh ! dari yang kena pukul.
Selain itu masih banyak lagi seperti langkah kaki, bunyi pintu, suara angin semuanya terdengar jelas dalam sebuah film. Tapi dikenyatannya tidak ada. Ya jelas saja sebagai pembuat film saya sendiri tahu jika semua efek langkah sampai gesekan badan dalam film kan ditambahkan dari sound efek dan Foley bukan dari suara aslinya.
Lalu mengapa penonton tidak memprotesnya ? sekali lagi ini telah menjadi tradisi yang diterima menjadi sebuah logika baru seolah olah kenyataan bagi penonton.
Karena itulah jika ada penonton yang selalu mempermasalahkan faktor logika dari sebuah film, sebenarnya dia sendiri sudah menerimanya tanpa disadari dalam setiap film yang dia saksikan. Sebab dapat dipastikan semua film cerita itu pastilah dibuat dengan menggunakan logika film dan bukan logika kenyataan.
Dengan begitu, jika kita ingin memaksakan sebuah film menjadi logika kenyataan maka akan ranculah semuanya dan pasti akan menjadikan kita menuding film itu tidak masuk akal.
3. LOGIKA SUTRADARA
Logika ini sering digunakan dalam film film idealis dimana film digunakan sebagai media propaganda atau penyampaian pendapat oleh sutradaranya tanpa peduli dengan selera penonton. Film akan dibuat seperti sebuah makalah yang berdasar pada pola pikir dan sudut pandang pembuatnya. Jika penonton tidak melihat film ini dengan mengikuti kaca mata keinginan sutradara maka dijamin penonton itu akan membenci filmnya karena tidak akan memahami maksud serta logika logika yang dipaparkan.
Logika sutradara tentu tidak ada tolak ukurnya, semua tergantung pada apa isi kepala sutradara. Setelah menonton filmnya minimal penonton yang bertahan akan memahami logika yang digunakan si pembuatnya. Bahkan tak jarang logika itu bisa mempengaruhi otak penontonnya agar mengikuti logika sutradaranya.
Misalnya saja ada sebuah film yang memaparkan bahwa bunuh diri itu akan masuk sorga, dan lalu dipaparkanlah segala alasan versi sutradaranya sehingga bisa masuk akal penontonnya bahkan dari yang tadinya menolak jadi diterima.
logika sutradara akan melanggar logika kenyataan bahkan logika film sekalipun. sebab logika ini bisa diciptakan seenaknya sendiri tergantung keinginan sutradara. tanpa harus berdasar pada logika logika kenyataan maupun logika film yang masih ada dasar ilmiahnya.
Intinya jika menemukan sesuatu yang ganjil dari sebuah film, jangan pernah menyamakan Logikanya dengan Logika kenyataan sebab sudah pasti itu akan membuat anda tidak pernah dapat menikmati film itu sebagai sebuah hiburan lagi.
Tulisan ini merupakan kumpulan pemikiran saya yang saya curahkan dalam dialog di Sub forum Movies kaskus.us menanggapi kemelut yang menimpa perfilman dan bioskop Nasional kita saat ini dimana ada anggapan bahwa Film indonesia akan maju apabila film asing dibatasi impornya. Begitupula dengan beberapa pandangan bahwa banyak Insan Film Indonesia yang sekarang merasa senang dengan tidak masuknya film film Hollywood akibat masalah pajak seperti saat ini. Bagi mereka momentum ini katanya bisa memajukan film lokal. Whattt ????? !!!! apakah sesimple itu cara buat memajukan perfilman kita ?
Saya Sineas Indonesia, pembuat film Indonesia namun secara jujur saya sangat mendukung masuknya film Holywood blockbuster ke bioskop Indonesia dan tidak menganggap film film itu sebagai ancaman untuk film Nasional.
Dukungan ini bukan karena saya pengen dapat referensi, sebab referensi kan bisa didapat dari menonton DVD saja tidak perlu ke bioskop. lewat dvd justru semakin enak bisa diulang ulang adegan yg mau dipelajari. jadi salah kalau ada yg bilang kebioskop buat nyari referensi. ke bioskop itu buat mencari hiburan bermutu.
tapi saya mendukung agar film hollywood blockbuster masuk kembali bersanding dengan film film Indonesia di Bioskop, sebab sejak awal saya sadar bahwa untuk saat ini, pemerataan jumlah bioskop yang ada di Indonesia ini tidak merata dan adil. sebagian besar bioskop yang menentukan nasib rating dan pemasukan bisnis perfilman kita berada dikota kota besar yang notabene selera penontonnya menyukai film film hollywood. Penontonnya banyak yg tertarik kebioskop buat menonton film holywood, nanti setibanya dibioskop itu ketika melihat ada poster film indonesia yang menarik atau trailernya diputar barulah mungkin bisa berubah pikiran menonton film indonesia. tapi untuk membuat mereka tertarik kebioskop hanya karena film indonesia sangatlah sulit terjadi sekalipun film indonesianya bagus.
disinilah biang masalahnya,jadi ketika film hollywood itu distop masuk maka otomatis akan membuat kematian bagi bioskop2 tsb. lalu kalau bioskop2 tsb mati setelah itu bioskop mana lagi yg diharapkan memutar film film kita nanti ? sementara jauh sebelum itu (ditahun 90 an) semua bioskop didaerah yang menjadi basis film indonesia telah lebih dulu mati.
lantas yg paling sedih mendengar pernyataan dari beberapa orang film yg mengatakan bahwa situasi ini bisa membuat film indonesia maju. maju dari mana ? maju itu kalau penontonnya mau nonton film indonesia tanpa dipaksa alias memilih sendiri karena suka. dengan menerapkan cara membatasi dan mempersulit masuknya film impor skrg seakan pemerintah memaksa rakyat buat menonton film indonesia, padahal mereka lupa jika bioskop itu sebagian besar berada ditempat tempat yg bukan menjadi basis konsumen film indonesia.
nanti kalau akibat situasi ini bioskop jadi sepi lantas film indonesia mau diputar dimana lagi ? untuk saat ini saya katakan film indo masih nebeng dulu, belum saatnya kita terlalu PEDE bilang bisa menguasai pasar kita sendiri tanpa adanya film asing. kecuali jika kita sudah kayak di India yang notabene masyarakatnya lebih menyukai film India sendiri daripada film barat karena ada ciri khasnya sehingga walaupu film India tidak lebih bagus dari film hollywood tapi masyarakatnya tetap memilih film India sebagai tontonan nomor satunya sehingga film film barat pun harus di dubbing dalam bahasa India semua jika masuk sana. jika kita sudah seperti ditahap seperti ini, barulah mungkin kita bisa Pede dan silahkan membatasi film hollwood tadi karena saat itu penonton sudah lebih memilih film lokal daripada asing sebagai tontonan utamanya. Kalau sekarang belum saatnya, dengan adanya film asing saja sebagai pancingan, film lokal tidak banyak ditonton apalagi jika yang ditayangin hanya film lokal saja ? apakah memang sudah sedahsyat itu daya tarik film lokal untuk bioskop bioskop dikota besar ?
Ada lagi anggapan dini juga yang menuding film film horor esek esek sebagai biang keladinya, menurut saya sejak tahun 70, 80 an dimana film Indonesia pernah berjaya dulu pun film horor plus esek esek ini pun sudah ada, namun nyatanya itu tidak mempengaruhi perkembangan film dimasa itu. bahkan jaman dahulu adegan sexnya biasanya lebih vulgar ditampilkan. Hebatnya, diantara semua jenis film, genre inilah yang paling eksis bertahan dari masa ke masa.jadi rasanya agak berlebihan jika kini mereka malah dikambing hitamkan sebagai penyebab terpuruknya perfilman kita. sebab bagaimanapun juga kan masyarakat yang memilih sendiri. jika memang penonton tidak menginginkan film film seperti itu juga, pastilah para produsernya sudah tidak akan memproduksinya lagi. jangankan di indonesia di Amerika saja kelompok penyuka genre ini masih eksis juga kog hingga saat ini. Bedanya dulu ditahun 80 an perkembangan film berjenis ini masih seimbang dengan film film berkualitas yang muncul kala itu. namun sekarang justru timpang disaat lebih banyak filmberbau horror yang muncul ketimbang genre lainnya. itu semua tidak lepas pula dari penentuan arah pasar yang diinginkan penonton oleh para produser yang tidak mau rugi. ya memang kita juga harus fair, tidak ada satupun orang yang mau menghambur hamburkan uang tanpa berpikir keuntungan pasti. kalau namanya gambling dan meraba raba itu namanya main judi.
Akibat dari tudingan kegenre horror ini akhirnya sangat berdampak bagi para sineas yang ingin membuat horror secara baik. misalnya saja film horror atau kisah legenda, mistis dll (bukan pocong atau kuntilanak) yang akhirnya malah disama samakan dengan horror kebanyakan. lalu akan muncul ketakutan sineas untuk memproduksi film horror atau legenda lagi karena takut dicap stereotype dengan yang beredar sekarang ini. sebenarnya tema apapun asalkan itu tergarap baik maka sebenarnya tetap bisa bagus. film tema dewasa pun jika digarap baik tentu akan jadi berkelas. saat ini sineas jadi takut memmbuat tema dewasa karena takut nanti dicap membuat film esek esek murahan lagi.
saya yakin seandainya pun tidak ada film horor plus esek esek dibiokop memangnya menjamin penonton sekarang ini akan menontonnya ? buktinya lihat saja tuh film Minggu Pagi di Victoria Park, Pintu terlarang, BATAS, merantau, rumah dara apakah ketika tayang mereka banyak penontonnya melebihi film holywood di bioskop ? tidak juga kan ? malah beberapa diantaranya memprihatinkan jumlah penontonnya dan sangat dibawah standart jumlahnya, lalu setelah itu apakah kita masih berharap produsernya akan mau membuat film berikutnya lagi jika film sebelumnya gagal dipasaran ? itulah makanya ketika ada sineas yang membuat film bermutu paling hanya sekali dua kali setelah itu hilang entah kemana. tetapi lihatlah para pembuat film horor esek esek itu sekali membuat film akan terus dilanjutkan dengan film berikutnya hanya dalam selang satu bulan. itu karena mereka berhasil meraup keuntungan yang tinggi sehingga produser punya dana untuk membuat film berikutnya lagi. Ini semacam lingkaran setan yang sulit diberantas. dimana faktor selera penonton yang memadati pemutaran film horor esek esek itu juga ikut mempengaruhi terus diproduksinya film jenis ini tanpa bisa kita menyalahkan pembuatnya. sementara untuk membuat film yang bermutu dibutuhkan dana yang besar sementara dalam peredarannya belum tentu meraih untung bahkan balik modal sekalipun. mana ada produser yang mau keluarkan uang buat invest film nasional jika uangnya nanti tidak balik ? jadilah beberapa sineas seperti saya harus berjuang secara independent mencari investor yang berani mendanai pembuatan film yang keluar dari jalur mainstream selama ini.
Jadi intinya memang tidak mudah menarik kelompok penyuka holywood tadi untuk menonton film indonesia sekalipun tanpa horor dan esek esek, bahkan banyak dari orang orang yang sering mengkritik keras film horor esek esek pun tidak ada yang berniat menonton film film Indonesia bermutu dan yang bersih dari paha dan dada tersebut ketika sedang tayang di bioskop. mungkin saja juga karena stereotype yang sudah terlanjur melekat di dalam film nasional akibat film film esek esek tadi yang terlalu banyak sebelumnya, kalau itu saya rasa bisa ada benarnya.
Jika ada yang bilang dengan memberlakukan pajak besar terhadap film luar maka dengan begitu film Indonesia akan maju, ITU PEMIKIRAN YANG SALAH BESAR !
yang benar itu adalah, untuk memberi keringanan ke sineas kita, pajak film Indonesia yang kalau perlu ditiadakan. tidak perlu dengan mempersulit birokrasi dan pajak buat film luar. Kecuali kalau memang ada alasan lain misalnya pemerintah kekurangan pemasukan pajak dll. tapi kalau alasannya demi buat memajukan film nasional itu non sense....
darimana korelasi yang menghubungkan bahwa para pembuat film kehilangan gairah membuat film bagus gara gara pajak film impor terlalu kecil ? yang ada justru pajak film indonesia sendiri yang harusnya di perkecil atau di tiadakan. para pembuat film tidak bergairah membuat film film bagus lagi lebih diakibatkan karena sebagian besar film film itu drop di pasaran. jadi sekali membuat film jangankan untung balik modal juga tidak. lalu darimana uang buat bikin film berukutnya lagi ? dvdnya pun hanya bajakannya atau downloadannya yang laris. jadi penyebab film Indoensia tidak maju adalah bukan karena pengaruh film impor tetapi masalahnya ada di lingkaran kita sendiri mulai dari pembuat sampai ke penonton.
Sineas Indonesia yang sejati adalah mereka mereka yang berani berkompetisi tanpa takut tersaingi dengan film film hollywood blockbuster.
saya tidak pernah merasa takut orang lebih memilih film hollywood ketimbang film saya. saya juga tidak masalah jika kelompok penyuka film hollywood itu membanding bandingkan film holywood dengan film saya bahkan mencelanya. Bagi saya dalam membuat arah film semua sudah ada pasarnya masing masing kog. tergantung kelompok mana yang mau disasar. dikelompok basis loyalitas pencinta film Indonesia pun terjadi kebalikan dimana mereka akan mengkritik film Barat dan mengagungkan film Indonesia. Namun jika film kita mau ditonton oleh kelompok yang suka film holywood blockbuster maka buatlah film Indonesia yang setaraf dengan film hollywood yang disukai itu kalau ada produser yg berani secara budget. Jangan memaksakan penonton tsb untuk beralih menonton film film yang bukan menjadi selera mereka. sama saja ibarat memaksa orang yg suka film action untuk nonton film drama lebay. sebab dalam hal tontonan itu merupakan hak pribadi masing masing orang dalam menikmati sebuah hiburan tanpa adanya pemaksaan selera.
Alangkah baiknya semua sineas dan insan film lokal tak perlu lagi bermanja atau mengkambing hitamkan sesuatu sebagai dampak terpuruknya film nasional kita. lebih baik buktikan saja dengan membuat karya karya yang bagus. sebenarnya permasalahan yang menimpa para sineas ini adalah karena kurangnya minat para penonton lokal terhadap karya karya lokal itu sendiri. tapi sekali lagi itu bukan sebuah permasalahan yang terjadi akibat kesalahan suatu pihak saja. bukan pula karena bagus tidaknya sebuah film tetapi sebuah permasalahan yang sangat kompleks seperti sebuah lingkaran setan dimulai dari produser, distributor, bioskop hingga ke penonton lalu berputar kembali ke produser semua yang perlu dibenahi karena kini telah menjadikan sebuah kebiasaan dan trend yang memperburuk citra perfilman kita. semua tak akan bisa disalahkan tetapi harus dimulai dari kita sendiri jika ingin merubahnya kearah lebih baik tanpa harus dipaksakan.
sebuah analoginya, ada sebuah kelompok yang suka musik Rock lalu dipaksa mendengarkan musik dangdut hanya karena pemerintah ingin memajukan musik dangdut, lalu musik rock di stop masuk. ya tetap saja mereka sulit menerimanya.apakah mudah memindahkan selera itu ?
apakah karena kelompok penyuka rock ini tak mau mendengar musik dangdut lantas musik dangdut akan mati ? tentu tidak juga karena musik ini akan diminati ketika berada pada sasaran pendengar yang tepat. dan hingga kini kebanyakan penyuka dangdut itupun masih tetap banyak didaerah daerah.lalu buat mencuri perhatian peminat rock itu buatlah dangdut dengan dimasuki unsur rock dipadu akhirnya toh bisa saja penikmat rock akan melirik sedikit demi sedikit. contohnya Ridho Roma yg bisa membuat aransemen dangdut disukai dari kalangan org yg gak suka dangdut. sampai saya juga heran keponakan saya yg suka musik underground kog jadi suka dangdut juga akhirnya gara gara ridho roma.
dengan kata lain, film indonesia sebenarnya masih tetap diminati didaerah2 kog, hanya saja MANA BIOSKOPNYA ? kalau musik medianya masih mudah pakai tape. kalau film kan perlu bioskop.
nah saat ini, saya salah satu sineas yg saat ini mencoba menghidupkan film itu dari daerah. salah satunya saya terpaksa bikin pemutaran sendiri dgn menyewa gedung dan menarik karcis sendiri. ternyata hasilnya lumayan kog. antusias penonton terhadap film Indonesia masih tinggi. saya berhasil mengadakan eksperimen yg membuktikan film jika dikemas dgn ciri lokal sebenarnya bisa mengungguli film barat tanpa harus menyetop film barat. dvd film saya disana lebih laris daripada film barat penjualannya.
jujur saya sendiri merasa bangga jika film saya bisa bersanding dibioskop bersama film film asing. itu tandanya kita bisa bersaing secara sehat dengan film film manca negara. dan justru kita makin tertantang untuk membuat karya yang bisa mengungguli penonton film hollywood. Buat sineas Indonesia semua, jangan takut bersaing dengan film luar. kita bisa kog buat film tanpa harus bersaing secara tekhnologi. dan kita bisa mencuri perhatian penonton dengan mengangkat berbagai keunikan di Indonesia yang tidak bisa dibuat oleh orang Barat. contohnya saja film India mempunyai kekuatan pada bagian tarian dan nyanyinya. itulah makanya bisa dikata kalau di India semua film wajib ada unsur itu didalamnya jika mau laris disana. Namun ketika unsur itu dicoba untuk ditiru oleh negara negara diluar India, apakah akan bisa sama ? sulit menyamainya ternyata. mereka memang punya khas sendiri yang tidak mudah ditiru orang dari luar negaranya.
saat ini ukuran kesuksesan sebuah film adalah dikota kota besar yg merupakan basis pecinta film hollywood, jika dalam waktu seminggu jumlah penonton kita sedikit langsung diturunin sama 21. padahal jika didaerah bisa jadi kebalikannnya tapi sayang gak ada bioskopnya. saya ingat dulu tahun 90 an film indonesia itu laris dibioskop daerah. tapi krn waktu itu MUI meminta menyetop semua film yg panas panas saat itu maka mati surilah perfilman kita krn berkurang nya pasokan film indo kedaerah (saat itu sineas2 semacam riri-mira belum muncul). bioskop daerah pun tutup karena film asing kurang laku disana. ditambah monopoli pasokan film oleh 21. yg membuat bioskop non 21 gulung tikar.
salah satu jalan terbaik buat menghidupkan film Indonesia adalah hidupkan bioskop secara merata kembali. didaerah mungkin banyak orang yg ingin mendirikan bioskop salah satunya saya, tapi MANA PASOKAN FILMNYA ? selama ini dikuasai semua oleh jaringan 21. akhirnya itu menjadi awal matinya semua bioskop non 21 didaerah. masa film yg dikirim kebioskop daerah keburu yg basi semua sudah keburuan sama dvdnya keluar.
mendingan itu yg pemerintah bahas daripada ngeribetin pajak melulu yang hasilnya bukan malah memajukan tapi malah menghancurkan film Nasional.
saya hanya tertawa jika ada sineas yg akhirnya berubah pikiran atau menjilat ludah sendiri ketika sudah merasakan akibatnya skrg.
paling saya hanya ingin bertanya ke mereka : apakah benar skrg makin maju bro ?
MENGAPA JUSTRU FILM FILM HORROR YANG PALING LAKU DI BIOSKOP SAAT INI ?
Disini saya akan membahas anggapan sebagian orang bahwa produser sekarang kebanyakan hanya membuat film film horror murahan yang bahkan dibumbui dengan adegan sex hanya karena memikirkan keuntungan semata. ya menurut saya sampai kapanpun itu tak akan pernah berhenti selama penontonnya juga menginginkan hal itu. sebenarnya ini pun tak lepas dari unsur kurangnya pemerataan bioskop di seluruh Indonesia lagi sehingga mempengaruhi pemerataan selera yang bervariasi disetiap daerahnya.
saya kebetulan mempunyai latar belakang kehidupan di 3 wilayah di indonesia. yang pertama saya lahir di Papua, bagian paling timur dari Indonesia ini. saya mengikuti semua perkembangan sejak bioskop masih berdiri disana. saya masih ingat film film berjenis apa saja yang paling laku kala itu bahkan hingga saat ini melalui VCD atau DVD disana. Horror menjadi genre yang sangat tidak laku disana. masyarakat lebih menyukai genre genre action atau komedi. itulah jawaban mengapa saya akhirnya memasukkan unsur action dan komedi dalam film saya Lost in Papua dan malah mengurangi unsur horror dan Thrillernya.
masih ingat dulu ketika tahun 2000 an ada sebuah film horror pertama yang akhirnya memicu trend horror hingga saat ini yakni film Jelangkung buatan Rizal Mantovani dan Jose Purnomo yang menjadi fenomenal di Jakarta tepat ketika saya sedang menjalani kuliah di IKJ. saya sendiri terlibat langsung dalam fenomena ini dimana seumur hidup saya menonton film Indonesia dengan membeli tiket seharga 3 kali lipat melalui calo saking begitu banyaknya penotnon yang tak kebagian tiket mengantrinya sejak pagi. namun apa yang terjadi di wilayah barat Indonesia ini sangat berbeda dengan wilayah timur, dimana film Jelangkung sama sekali tidak diminati disana. bahkan saya pernah mencoba memutarkan film tersebut melalui layar tancap dan para penonton meminta menggantinya saja. mereka lebih suka diputarkan film film Warkop DKI atau film perang jaman dulu kayak Lebak Membara, Pasukan berani mati dll.
hingga saat ini pun DVD/VCD film film yang dijual disana kebanyakan seputar film Indonesia jaman dulu yang paling laris. sementara horror horror jaman sekarang tidak laku dipasaran. kalaupun ada paling film percintaan atau komedi yang terbaru yang laku.
Namun sebaliknya, fenomena terbesar terjadi di wilayah timur kita ketika film Ada Apa dengan Cinta keluar. dan wilayah paling ramainya itu adalah di Sulawesi Selatan dikampung Orang tua saya Makassar. dulu Jelangkung kurang sukses disini tetapi film AADC menjadi film paling fenomenal saat itu disana. sementara jika saya mau bilang sebenarnya jelangkung masih lebih fenomenal daripada AADC di Jakarta. buktinya saya masih bisa mendapatkan tiket secara normal tidak seperti waktu menonton Jelangkung.
Perbedaan selera tersebutlah yang membuat saya maklum pula ketika Film saya Melody kota rusa sangat fenomenal di Timur namun belum tentu diwilayah Barat juga akan seperti itu. ya tentu saja karena saya meramunya dengan menggunakan selera masyarakat sana.
begitulah sekiranya gambaran mengapa akhirnya di bioskop kita sekarang horror merupakan film yang paling banyak ditonton orang. ya pastilah masalahnya kan bioskop paling banyak berada dibagian wilayah Barat indonesia, sebagian besar di Jakarta dan pinggirannya yang notabene seleranya banyak yang suka horror. bioskop paling timur di Indonesia hanya ada di Ambon itupun hanya ada 1 bioskop saja. selama bioskop masih tidak merata di Indonesia maka selama itu pula para produser akan mengikuti selera para penonton dimana bioskopnya paling laku filmnya. seandainya saja bioskop itu paling laku didaerah Papua, mungkin saja para produser akan berlomba lomba membuat film film perang dan Komedi karena genre itu yang paling laku disana.
BISAKAH KITA MEMBUAT FILM SEKELAS HOLLYWOOD ?
saya perlu sedikit curhat disini sebagai seorang filmmaker, saya cukup miris melihat sebuah kenyataan yang terjadi dalam dunia film nasional kita. yaitu dimana para produser dan investor mengukur keberhasilan seorang sutradara film itu adalah dari sebuah film yang laku di pasaran. bukan dari bagus tidaknya sebuah film.
jadi ketika film kita bagus sebagus bagusnya bahkan dipuji kritikus film maupun semua review, namun kemudian gagal mendapatkan penonton dipasaran, maka itu tidak menjadi jaminan kita akan dipercaya membuat film berikutnya lagi. itulah makanya kita mungkin bertanya mengapa para pembuat film film yang bagus dan dipuji jarang sekali mengeluarkan film berikutnya ? ya jawabannya adalah karena mereka akan kesulitan mencari pendana buat filmnya lagi apabila filmnya gagal dipasaran.
untuk film yang disebut sebut bagus dan dipuji seperti MERANTAU sajapun menurut kabarnya mereka tidak berhasil meraup keuntungan di bioskop kita.
itulah makanya mereka akhirnya kemudian akan lama buat mengeluarkan film barunya lagi itupun tentunya akan lebih diperkecil budgetnya kelak untuk produksi barunya.
saya yang tadinya bergerak dari industri film didaerah dan berhasil mendapatkan kesuksesan film saya di daerah, lain halnya ketika masuk ke industri bioskop nasional dengan berpartner bersama produser jakarta. disitu mulai terjadi hilangnya unsur unsur idealisme kita karena disatu sisi kita akan terbebani untuk harus mengembalikan uang si produser. maka jadilah mau tidak mau kita harus mengikuti selera berbagai pihak sekalipun kita gak suka.
maka jangan heran jika banyak sutradara berlomba lomba menciptakan film yang laku dipasaran agar mereka tetap bisa terpakai didunia film.
jangan heran pula jika ada sutradara menghasilkan film yang menang diberbagai festival dalam dan luar tetapi di negeri sendiri ia kesulitan kerja dan tak ada produser yang mau memakainya.
setiap produser indonesia skrg mengambil sutradara dengan mempertimbangkan film apa yang pernah dibuatnya yang menghasilkan penonton terbanyak. bukan dari segi bagus tidak nya film itu. jika itu film bioskop maka akan dicek berapa jumlah pemasukan tiketnya. jika ia pernah buat sinetron maka akan langsung di cek berapa rating sinetron itu di stasiun tv waktu tayang dulu.
saya pun tidak luput terjebak dalam fenomena ini, beberapa teman sesama orang film yang selalu menanyakan film saya bukan dari masalah bagus tidaknya tapi dari berapa jumlah penonton film kamu kemarin ? ukuran kesuksesan saat ini adalah jumlah penonton, percuma membuat film yang dipuja puji setinggi langit mendapatkan penghargaan sana sini kalau akhirnya tidak diminati penonton dinegeri sendiri.
jadi jika ingin membuat film bagus dan idealis tanpa mikir keuntungan bisa bisa saja tapi harus kita danai sendiri tanpa berharap balik modal (gambling)
tetapi jika ingin memikirkan kelangsungan karier didunia film ya silahkan membuat film yang dipastikan bakalan ramai penontonnya.
sebuah ironi dalam dunia hiburan.....
kalau menurut pendapat saya pribadi sih, ketika saya bekerja untuk produser yang orientasinya bisnis maka saya harus membuat sebuah produk yang sesuai keinginan dia buat bisnis. kalau tidak mau ya jangan memakai duit orang. sebab tujuan produser itu rata2 adalah bisnis dan keuntungan. kalau mau idealis ya jangan memakai duit orang, kasihan kan nanti orang rugi siapa yang tanggung jawab ?
lain lagi ketika saya ingin membuat sebuah film art yang bagus dengan tujuan ingin dipuji maka saya harus siap dgn segala resiko tidak balik modal dan itu harus pakai duit saya sendiri sehingga tidak merugikan orang lain.
sampai saat ini saya selalu memisahkan antara gaya film indie saya dgn film komersil di bioskop saya. jadi jangan heran jika suatu saat saya bisa bikin film ringan dan bisa dicela tapi suatu ketika saya juga bisa bikin film bagus yang dipuji semua itu terjadi karena saya tidak ingin disebut terlalu idealis, lain hal nya kalau saya sudah punya uang yang banyak yg siap dihambur hamburkan tanpa perlu balik.
saya jujur pernah menghitung biaya jika ingin membuat film indonesia semacam lord of the ring SFX dan CGI nya.
lalu saya konsultasi dengan beberapa animator dan visual effeck yang selama ini bekerja diluar sebagai desainer video game serta bagian visual effect yang telah terbukti mengerjakan beberapa efek film indonesia hebat, dan mereka berani memutuskan dengan angka RP. 50 milyar untuk CGI nya saja.
jadi perkiraan saya jika efeknya saja 50 milyar tarohlah produksinya sendiri habis paling tinggi RP.100 milyar total RP 150 milyar berarti kita sudah bisa buat film sekelas lord of the ring di indonesia.
cuman siapa produser yg berani keluarin budget segitu ?
selama ini budget termahal setahu saya juga film merah putih yang sampai RP 40 milyar
lalu apakah kita bisa menyaingi tekhnologi film Hollywood ?
saya mau sedikit share nih kalau negara tetangga kita malaysia sudah lebih selangkah maju soal CGI nya
dibuktikan dari film HIKAYAT MERONG MAHAWANGSA
yang baru baru tayang dibulan maret lalu (link downloadannya film lengkapnya sudah banyak di google)
ini trailernya :
itu hanya dibuat dengan budget 8 juta RM atau setara sekitar 12 milyar. masih jauh lebih kecil dari anggaran film merah putih, tapi CGI nya sudah jauh lebih maju dan belum pernah ada di film film kita.
pemasaran film itupun sudah secara worldwide bukan hanya di malaysia saja. Kira kira sudah berapa langkahkah kita tertinggal dari Negara tetangga kita ini ?
tapi setidaknya ada sebuah harapan, jika Malaysia saja bisa mengapa kita tak bisa ?
tapi tetap saja, jika mau membuat film film jenis kolosal dijaman skrg gak bisa nanggung lagi efeknya kayak dulu. skrg penonton selalu membandingkan dgn efek CGI ala hollywood. kalau kelihatan chromakeynya atau 3D nya kurang real malah bakal jadi bahan olok olokan jadinya. bahkan film Malaysia Hikayat Merong Mahawangsa efeknya dibuat mendekati gaya hollywood pun banyak di cela efeknya karena jelas masih kalah jauh jika mau dibandingkan dgn hollywood. padahal kalau untuk kelas asia sudah lumayanlah. sulit memang disaat standarisasi film jenis kolosal sudah dipopulerkan gayanya oleh hollywood. sementara dunia film kita kalau saya bilang sih masih seperti tahun ketika film Benhur dibuat. kemarin saya iseng nonton film hollywood tahun 80 an judulnya Return to OZ kelanjutannya wizard of oz, saya mikir terus sesudahnya untuk bikin efek real kayak film itu saja kog sampai skrg tidak ada satupun film kita yg bisa. padahal di barat sudah bisa tahun 80 an begitu sekalipun belum ada efek secanggih skrg tapi kog bisa terlihat seperti CGI modern ya ? hebat memang ahli efeknya.
tapi saya mikir kalau seandainya ada produser berani keluarin duit lebih kenapa kita gak datangin saja ahli efek yg negrjakan film film itu ? kalau perlu kita buat film kolosal tapi yg garap efeknya kita akai jasa ILM yg ngerjain CGI jurrasic park. pertanyaannya skrg siapakah yg bersedia membiayai untuk melakukan hal itu ?
tekhnologi sebenarnya bisa kita gunakan asal ada duitnya buat nyewa ahli efek itu datang ke indo. saya pun kalau senadainya disuruh bikin film kolosal tentu saya gak akan malu untuk mengundang para ahli efek luar. kalau budgetnya terbatas ya palking tidak kita bisa pakai ahli efek yg ngerjain hikayat merong mahawangsa lah dari malaysia. kenapa harus malu ?
betul memang untuk menyiasati hal itu kita harus menciptakan gaya sendiri walaupun sederhana tapi jadi kekuatan yg tak bisa dikalahkan hollywood. contohnya gak usah tinggi2 itu perfilman india sekalipun banyak yg mencela krn gayanya yang lebay tapi buktinya mereka berhasil tembus dunia.
Kalau dibandingin dengan film film blockbuster sih jangankan Indonesia gan,diseluruh Asia dan timur tengah juga belum ada yg bisa bikin film sekelas Transformer ataupun Harry Potter. negara negara yg maju pun gak bisa nyaingin hollywood apalagi negara kita yang sulit ini.
tapi kalau mau, kita bisa kayak Iran yang bioskopnya berkembang tanpa adanya film asing disana, filmnya bisa beredar keseluruh dunia padahal film filmnya sederhana dan tidak ada efek efek canggih sama sekali. ceritanya juga melodrama kehidupan namun dikemas dgn unik membawa budaya daerahnya, cuman karena khas daerahnya kental sama seperti film India yang bisa sukses mendunia tanpa spesial efek sekalipun banyak nyanyi dan nari narinya yang lebay. Itu pun terjadi dari dukungan penontonnya sendiri terhadap karya lokal yang lebih tinggi daripada ke film asing.
Atau kita bisa lihat perfilman Hongkong yang berhasil membuat ciri khas actionnya atau Thailand yang terkenal dengan horor khasnya. sedikitpun mereka tidak berusaha untuk menyaingi hollywood dengan cara membuat film seperti Transformer dll. tetapi mereka mengakalinya dengan membuat sesuatu yang tidak bisa dibuat oleh sineas sineas Hollywood.
Kesimpulannya, memajukan film Indonesia sangat kompleks, membutuhkan pembenahan secara bersama di semua bidang, bukan hanya pada produksi filmnya dan insan filmnya saja namun juga pada fasilitas Bioskopnya, penontonnya, pemerintahnya dan itu tak bisa berdiri sendiri sendiri. Contohnya jika berdiri sendiri : silahkan saja bikin film yang bagus sekali tapi siapa yang akan menontonnya jika tak ada bioskopnya di daerah ? sementara di kota besar yang ada bioskopnya penonton lebih menomor satukan film hollywood dahulu. jadi masalahnya tidak sesimple itu, bukan hanya dengan membuat film bagus lantas film Indonesia bisa maju. buktinya hingga saat ini sudah banyak sekali film Indonesia yang menembus Festival film Internasional dan dipuji setinggi langit di review review, tapi nyatanya dinegeri sendiri film tersebut tidak mendapatkan apresiasi besar dari penonton, atau mungkin hanya menjadi fenomena film tahunan sesaat yang kemudian hilang begitu saja tak berbekas. tapi yang pasti untuk saat ini, dengan tidak masuknya film hollywood ke Indonesia bukan berarti akan dapat memajukan film Indonesia. tetapi mungkin akan malah memperpuruknya. kecuali jika bioskop telah merata di seluruh Indonesia dan tak dikuasai oleh jaringan 21 lagi.
Saat ini, kita belum bisa KePeDe an merasa film Indonesia sudah dicintai di basis bioskop yang ada saat ini, apalagi memaksa mereka untuk mencintai karya lokal. terkecuali jika perfilman kita sudah seperti di Iran ataupun di India yang dimintai lokal karena mempunyai cita rasa khas tersendiri
kalau nanti suatu saat bioskop sudah merata dan masyarakat kita sudah lebih memilih film Indonesia daripada film luar tanpa dipaksa, barulah kita bisa berkata : Tak masalah ada atau tidak adanya film Hollywood di Indonesia.
Tapi untuk saat ini kata kata itu masih belum tepat dikeluarkan !
Saya sendiri pun berharap suatu saat mungkin bisa keluar kata kata itu tapi sekali lagi bukan untuk kondisi saat ini.
satu satunya jalan untuk memajukan adalah dengan membuat pemerataan bioskop ditanah air sehingga basisnya tidak lagi berada di kota kota besar saja, namun selain itu pasokan film juga tidak boleh dimonopoli satu jaringan saja namun harus merata.
masa kita saat ini baru bisa bangga dengan jumlah penonton tertinggi hanya 4 juta orang saja untuk Laskar Pelangi ? sementara di Malaysia yang negara kecil itu untuk film biasa biasa saja tidak perlu sekelas Laskar Pelangi tapi buktinya mereka bisa mendapatkan jumlah penonton untuk film lokal mereka lebih banyak dari itu ? bahkan berkali kali lipat jumlahnya dibanding penonton kita untuk satu film. ibarat kata untuk sebuah film horror yg dianggap biasa biasa saja di Malaysia jumlah penontonnya bisa lebih banyak dari jumlah penonton film yang dianggap terbaik di negara kita.
bayangkan penduduk kita ada 200 juta lebih tapi untuk mendapatkan penonton 500 ribu saja di bioskop sekarang kog susahnya minta ampun ? hanya berapa persen dari jumlah rakyat kita yang menonton bioskop saat ini ? sementara gairah menonton film lokal itu sebenarnya masih tinggi di daerah seperti yang sudah saya buktikan beberapa waktu lalu lewat karya karya saya di Merauke.
sebaiknya pemerintah dan insan perfilman kita fokus kearah situ untuk membangkitkan perfilman kita bukan fokus ke masalah film luar yang malah dijadikan kambing hitam terpuruknya film lokal kita.
Saya lahir dan besar hingga bersekolah di Muting, Merauke Papua, ketika kuliah melanjutkan ke Institut Kesenian Jakarta Jurusan Film, Tahun 2000 saya kembali ke kampung kelahiran saya dan memulai untuk membangun perfilman lokal disana memberdayakan 100 % SDM Lokal. Dan sejak 2009 sampai hari ini kami sudah menghasilkan 6 film panjang di Papua, 3 diantaranya ditayangkan untuk bioskop Nasional, selain itu saya juga menjadi kreator dari sketsa komedi Mop Papua Epen Cupen yang di buat sejak 2010 dan masih tetap eksis hingga kini di youtube dan vidio.com serta mendirikan Papua Selatan Film Community dan Rumah Semut film yang mewadahi kreatifitas karya perfilman Merauke dari tanah Papua.