Tulisan ini merupakan kumpulan pemikiran saya yang saya curahkan dalam dialog di Sub forum Movies kaskus.us menanggapi kemelut yang menimpa perfilman dan bioskop Nasional kita saat ini dimana ada anggapan bahwa Film indonesia akan maju apabila film asing dibatasi impornya. Begitupula dengan beberapa pandangan bahwa banyak Insan Film Indonesia yang sekarang merasa senang dengan tidak masuknya film film Hollywood akibat masalah pajak seperti saat ini. Bagi mereka momentum ini katanya bisa memajukan film lokal. Whattt ????? !!!! apakah sesimple itu cara buat memajukan perfilman kita ?
Saya Sineas Indonesia, pembuat film Indonesia namun secara jujur saya sangat mendukung masuknya film Holywood blockbuster ke bioskop Indonesia dan tidak menganggap film film itu sebagai ancaman untuk film Nasional.
Dukungan ini bukan karena saya pengen dapat referensi, sebab referensi kan bisa didapat dari menonton DVD saja tidak perlu ke bioskop. lewat dvd justru semakin enak bisa diulang ulang adegan yg mau dipelajari. jadi salah kalau ada yg bilang kebioskop buat nyari referensi. ke bioskop itu buat mencari hiburan bermutu.
tapi saya mendukung agar film hollywood blockbuster masuk kembali bersanding dengan film film Indonesia di Bioskop, sebab sejak awal saya sadar bahwa untuk saat ini, pemerataan jumlah bioskop yang ada di Indonesia ini tidak merata dan adil. sebagian besar bioskop yang menentukan nasib rating dan pemasukan bisnis perfilman kita berada dikota kota besar yang notabene selera penontonnya menyukai film film hollywood. Penontonnya banyak yg tertarik kebioskop buat menonton film holywood, nanti setibanya dibioskop itu ketika melihat ada poster film indonesia yang menarik atau trailernya diputar barulah mungkin bisa berubah pikiran menonton film indonesia. tapi untuk membuat mereka tertarik kebioskop hanya karena film indonesia sangatlah sulit terjadi sekalipun film indonesianya bagus.
disinilah biang masalahnya,jadi ketika film hollywood itu distop masuk maka otomatis akan membuat kematian bagi bioskop2 tsb. lalu kalau bioskop2 tsb mati setelah itu bioskop mana lagi yg diharapkan memutar film film kita nanti ? sementara jauh sebelum itu (ditahun 90 an) semua bioskop didaerah yang menjadi basis film indonesia telah lebih dulu mati.
lantas yg paling sedih mendengar pernyataan dari beberapa orang film yg mengatakan bahwa situasi ini bisa membuat film indonesia maju. maju dari mana ? maju itu kalau penontonnya mau nonton film indonesia tanpa dipaksa alias memilih sendiri karena suka. dengan menerapkan cara membatasi dan mempersulit masuknya film impor skrg seakan pemerintah memaksa rakyat buat menonton film indonesia, padahal mereka lupa jika bioskop itu sebagian besar berada ditempat tempat yg bukan menjadi basis konsumen film indonesia.
nanti kalau akibat situasi ini bioskop jadi sepi lantas film indonesia mau diputar dimana lagi ? untuk saat ini saya katakan film indo masih nebeng dulu, belum saatnya kita terlalu PEDE bilang bisa menguasai pasar kita sendiri tanpa adanya film asing. kecuali jika kita sudah kayak di India yang notabene masyarakatnya lebih menyukai film India sendiri daripada film barat karena ada ciri khasnya sehingga walaupu film India tidak lebih bagus dari film hollywood tapi masyarakatnya tetap memilih film India sebagai tontonan nomor satunya sehingga film film barat pun harus di dubbing dalam bahasa India semua jika masuk sana. jika kita sudah seperti ditahap seperti ini, barulah mungkin kita bisa Pede dan silahkan membatasi film hollwood tadi karena saat itu penonton sudah lebih memilih film lokal daripada asing sebagai tontonan utamanya. Kalau sekarang belum saatnya, dengan adanya film asing saja sebagai pancingan, film lokal tidak banyak ditonton apalagi jika yang ditayangin hanya film lokal saja ? apakah memang sudah sedahsyat itu daya tarik film lokal untuk bioskop bioskop dikota besar ?
Ada lagi anggapan dini juga yang menuding film film horor esek esek sebagai biang keladinya, menurut saya sejak tahun 70, 80 an dimana film Indonesia pernah berjaya dulu pun film horor plus esek esek ini pun sudah ada, namun nyatanya itu tidak mempengaruhi perkembangan film dimasa itu. bahkan jaman dahulu adegan sexnya biasanya lebih vulgar ditampilkan. Hebatnya, diantara semua jenis film, genre inilah yang paling eksis bertahan dari masa ke masa.jadi rasanya agak berlebihan jika kini mereka malah dikambing hitamkan sebagai penyebab terpuruknya perfilman kita. sebab bagaimanapun juga kan masyarakat yang memilih sendiri. jika memang penonton tidak menginginkan film film seperti itu juga, pastilah para produsernya sudah tidak akan memproduksinya lagi. jangankan di indonesia di Amerika saja kelompok penyuka genre ini masih eksis juga kog hingga saat ini. Bedanya dulu ditahun 80 an perkembangan film berjenis ini masih seimbang dengan film film berkualitas yang muncul kala itu. namun sekarang justru timpang disaat lebih banyak filmberbau horror yang muncul ketimbang genre lainnya. itu semua tidak lepas pula dari penentuan arah pasar yang diinginkan penonton oleh para produser yang tidak mau rugi. ya memang kita juga harus fair, tidak ada satupun orang yang mau menghambur hamburkan uang tanpa berpikir keuntungan pasti. kalau namanya gambling dan meraba raba itu namanya main judi.
Akibat dari tudingan kegenre horror ini akhirnya sangat berdampak bagi para sineas yang ingin membuat horror secara baik. misalnya saja film horror atau kisah legenda, mistis dll (bukan pocong atau kuntilanak) yang akhirnya malah disama samakan dengan horror kebanyakan. lalu akan muncul ketakutan sineas untuk memproduksi film horror atau legenda lagi karena takut dicap stereotype dengan yang beredar sekarang ini. sebenarnya tema apapun asalkan itu tergarap baik maka sebenarnya tetap bisa bagus. film tema dewasa pun jika digarap baik tentu akan jadi berkelas. saat ini sineas jadi takut memmbuat tema dewasa karena takut nanti dicap membuat film esek esek murahan lagi.
saya yakin seandainya pun tidak ada film horor plus esek esek dibiokop memangnya menjamin penonton sekarang ini akan menontonnya ? buktinya lihat saja tuh film Minggu Pagi di Victoria Park, Pintu terlarang, BATAS, merantau, rumah dara apakah ketika tayang mereka banyak penontonnya melebihi film holywood di bioskop ? tidak juga kan ? malah beberapa diantaranya memprihatinkan jumlah penontonnya dan sangat dibawah standart jumlahnya, lalu setelah itu apakah kita masih berharap produsernya akan mau membuat film berikutnya lagi jika film sebelumnya gagal dipasaran ? itulah makanya ketika ada sineas yang membuat film bermutu paling hanya sekali dua kali setelah itu hilang entah kemana. tetapi lihatlah para pembuat film horor esek esek itu sekali membuat film akan terus dilanjutkan dengan film berikutnya hanya dalam selang satu bulan. itu karena mereka berhasil meraup keuntungan yang tinggi sehingga produser punya dana untuk membuat film berikutnya lagi. Ini semacam lingkaran setan yang sulit diberantas. dimana faktor selera penonton yang memadati pemutaran film horor esek esek itu juga ikut mempengaruhi terus diproduksinya film jenis ini tanpa bisa kita menyalahkan pembuatnya. sementara untuk membuat film yang bermutu dibutuhkan dana yang besar sementara dalam peredarannya belum tentu meraih untung bahkan balik modal sekalipun. mana ada produser yang mau keluarkan uang buat invest film nasional jika uangnya nanti tidak balik ? jadilah beberapa sineas seperti saya harus berjuang secara independent mencari investor yang berani mendanai pembuatan film yang keluar dari jalur mainstream selama ini.
Jadi intinya memang tidak mudah menarik kelompok penyuka holywood tadi untuk menonton film indonesia sekalipun tanpa horor dan esek esek, bahkan banyak dari orang orang yang sering mengkritik keras film horor esek esek pun tidak ada yang berniat menonton film film Indonesia bermutu dan yang bersih dari paha dan dada tersebut ketika sedang tayang di bioskop. mungkin saja juga karena stereotype yang sudah terlanjur melekat di dalam film nasional akibat film film esek esek tadi yang terlalu banyak sebelumnya, kalau itu saya rasa bisa ada benarnya.
Jika ada yang bilang dengan memberlakukan pajak besar terhadap film luar maka dengan begitu film Indonesia akan maju, ITU PEMIKIRAN YANG SALAH BESAR !
yang benar itu adalah, untuk memberi keringanan ke sineas kita, pajak film Indonesia yang kalau perlu ditiadakan. tidak perlu dengan mempersulit birokrasi dan pajak buat film luar. Kecuali kalau memang ada alasan lain misalnya pemerintah kekurangan pemasukan pajak dll. tapi kalau alasannya demi buat memajukan film nasional itu non sense....
darimana korelasi yang menghubungkan bahwa para pembuat film kehilangan gairah membuat film bagus gara gara pajak film impor terlalu kecil ? yang ada justru pajak film indonesia sendiri yang harusnya di perkecil atau di tiadakan. para pembuat film tidak bergairah membuat film film bagus lagi lebih diakibatkan karena sebagian besar film film itu drop di pasaran. jadi sekali membuat film jangankan untung balik modal juga tidak. lalu darimana uang buat bikin film berukutnya lagi ? dvdnya pun hanya bajakannya atau downloadannya yang laris. jadi penyebab film Indoensia tidak maju adalah bukan karena pengaruh film impor tetapi masalahnya ada di lingkaran kita sendiri mulai dari pembuat sampai ke penonton.
Sineas Indonesia yang sejati adalah mereka mereka yang berani berkompetisi tanpa takut tersaingi dengan film film hollywood blockbuster.
saya tidak pernah merasa takut orang lebih memilih film hollywood ketimbang film saya. saya juga tidak masalah jika kelompok penyuka film hollywood itu membanding bandingkan film holywood dengan film saya bahkan mencelanya. Bagi saya dalam membuat arah film semua sudah ada pasarnya masing masing kog. tergantung kelompok mana yang mau disasar. dikelompok basis loyalitas pencinta film Indonesia pun terjadi kebalikan dimana mereka akan mengkritik film Barat dan mengagungkan film Indonesia. Namun jika film kita mau ditonton oleh kelompok yang suka film holywood blockbuster maka buatlah film Indonesia yang setaraf dengan film hollywood yang disukai itu kalau ada produser yg berani secara budget. Jangan memaksakan penonton tsb untuk beralih menonton film film yang bukan menjadi selera mereka. sama saja ibarat memaksa orang yg suka film action untuk nonton film drama lebay. sebab dalam hal tontonan itu merupakan hak pribadi masing masing orang dalam menikmati sebuah hiburan tanpa adanya pemaksaan selera.
Alangkah baiknya semua sineas dan insan film lokal tak perlu lagi bermanja atau mengkambing hitamkan sesuatu sebagai dampak terpuruknya film nasional kita. lebih baik buktikan saja dengan membuat karya karya yang bagus. sebenarnya permasalahan yang menimpa para sineas ini adalah karena kurangnya minat para penonton lokal terhadap karya karya lokal itu sendiri. tapi sekali lagi itu bukan sebuah permasalahan yang terjadi akibat kesalahan suatu pihak saja. bukan pula karena bagus tidaknya sebuah film tetapi sebuah permasalahan yang sangat kompleks seperti sebuah lingkaran setan dimulai dari produser, distributor, bioskop hingga ke penonton lalu berputar kembali ke produser semua yang perlu dibenahi karena kini telah menjadikan sebuah kebiasaan dan trend yang memperburuk citra perfilman kita. semua tak akan bisa disalahkan tetapi harus dimulai dari kita sendiri jika ingin merubahnya kearah lebih baik tanpa harus dipaksakan.
sebuah analoginya, ada sebuah kelompok yang suka musik Rock lalu dipaksa mendengarkan musik dangdut hanya karena pemerintah ingin memajukan musik dangdut, lalu musik rock di stop masuk. ya tetap saja mereka sulit menerimanya.apakah mudah memindahkan selera itu ?
apakah karena kelompok penyuka rock ini tak mau mendengar musik dangdut lantas musik dangdut akan mati ? tentu tidak juga karena musik ini akan diminati ketika berada pada sasaran pendengar yang tepat. dan hingga kini kebanyakan penyuka dangdut itupun masih tetap banyak didaerah daerah.lalu buat mencuri perhatian peminat rock itu buatlah dangdut dengan dimasuki unsur rock dipadu akhirnya toh bisa saja penikmat rock akan melirik sedikit demi sedikit. contohnya Ridho Roma yg bisa membuat aransemen dangdut disukai dari kalangan org yg gak suka dangdut. sampai saya juga heran keponakan saya yg suka musik underground kog jadi suka dangdut juga akhirnya gara gara ridho roma.
dengan kata lain, film indonesia sebenarnya masih tetap diminati didaerah2 kog, hanya saja MANA BIOSKOPNYA ? kalau musik medianya masih mudah pakai tape. kalau film kan perlu bioskop.
nah saat ini, saya salah satu sineas yg saat ini mencoba menghidupkan film itu dari daerah. salah satunya saya terpaksa bikin pemutaran sendiri dgn menyewa gedung dan menarik karcis sendiri. ternyata hasilnya lumayan kog. antusias penonton terhadap film Indonesia masih tinggi. saya berhasil mengadakan eksperimen yg membuktikan film jika dikemas dgn ciri lokal sebenarnya bisa mengungguli film barat tanpa harus menyetop film barat. dvd film saya disana lebih laris daripada film barat penjualannya.
jujur saya sendiri merasa bangga jika film saya bisa bersanding dibioskop bersama film film asing. itu tandanya kita bisa bersaing secara sehat dengan film film manca negara. dan justru kita makin tertantang untuk membuat karya yang bisa mengungguli penonton film hollywood. Buat sineas Indonesia semua, jangan takut bersaing dengan film luar. kita bisa kog buat film tanpa harus bersaing secara tekhnologi. dan kita bisa mencuri perhatian penonton dengan mengangkat berbagai keunikan di Indonesia yang tidak bisa dibuat oleh orang Barat. contohnya saja film India mempunyai kekuatan pada bagian tarian dan nyanyinya. itulah makanya bisa dikata kalau di India semua film wajib ada unsur itu didalamnya jika mau laris disana. Namun ketika unsur itu dicoba untuk ditiru oleh negara negara diluar India, apakah akan bisa sama ? sulit menyamainya ternyata. mereka memang punya khas sendiri yang tidak mudah ditiru orang dari luar negaranya.
saat ini ukuran kesuksesan sebuah film adalah dikota kota besar yg merupakan basis pecinta film hollywood, jika dalam waktu seminggu jumlah penonton kita sedikit langsung diturunin sama 21. padahal jika didaerah bisa jadi kebalikannnya tapi sayang gak ada bioskopnya. saya ingat dulu tahun 90 an film indonesia itu laris dibioskop daerah. tapi krn waktu itu MUI meminta menyetop semua film yg panas panas saat itu maka mati surilah perfilman kita krn berkurang nya pasokan film indo kedaerah (saat itu sineas2 semacam riri-mira belum muncul). bioskop daerah pun tutup karena film asing kurang laku disana. ditambah monopoli pasokan film oleh 21. yg membuat bioskop non 21 gulung tikar.
salah satu jalan terbaik buat menghidupkan film Indonesia adalah hidupkan bioskop secara merata kembali. didaerah mungkin banyak orang yg ingin mendirikan bioskop salah satunya saya, tapi MANA PASOKAN FILMNYA ? selama ini dikuasai semua oleh jaringan 21. akhirnya itu menjadi awal matinya semua bioskop non 21 didaerah. masa film yg dikirim kebioskop daerah keburu yg basi semua sudah keburuan sama dvdnya keluar.
mendingan itu yg pemerintah bahas daripada ngeribetin pajak melulu yang hasilnya bukan malah memajukan tapi malah menghancurkan film Nasional.
saya hanya tertawa jika ada sineas yg akhirnya berubah pikiran atau menjilat ludah sendiri ketika sudah merasakan akibatnya skrg.
paling saya hanya ingin bertanya ke mereka : apakah benar skrg makin maju bro ?
MENGAPA JUSTRU FILM FILM HORROR YANG PALING LAKU DI BIOSKOP SAAT INI ?
Disini saya akan membahas anggapan sebagian orang bahwa produser sekarang kebanyakan hanya membuat film film horror murahan yang bahkan dibumbui dengan adegan sex hanya karena memikirkan keuntungan semata. ya menurut saya sampai kapanpun itu tak akan pernah berhenti selama penontonnya juga menginginkan hal itu. sebenarnya ini pun tak lepas dari unsur kurangnya pemerataan bioskop di seluruh Indonesia lagi sehingga mempengaruhi pemerataan selera yang bervariasi disetiap daerahnya.
saya kebetulan mempunyai latar belakang kehidupan di 3 wilayah di indonesia. yang pertama saya lahir di Papua, bagian paling timur dari Indonesia ini. saya mengikuti semua perkembangan sejak bioskop masih berdiri disana. saya masih ingat film film berjenis apa saja yang paling laku kala itu bahkan hingga saat ini melalui VCD atau DVD disana. Horror menjadi genre yang sangat tidak laku disana. masyarakat lebih menyukai genre genre action atau komedi. itulah jawaban mengapa saya akhirnya memasukkan unsur action dan komedi dalam film saya Lost in Papua dan malah mengurangi unsur horror dan Thrillernya.
masih ingat dulu ketika tahun 2000 an ada sebuah film horror pertama yang akhirnya memicu trend horror hingga saat ini yakni film Jelangkung buatan Rizal Mantovani dan Jose Purnomo yang menjadi fenomenal di Jakarta tepat ketika saya sedang menjalani kuliah di IKJ. saya sendiri terlibat langsung dalam fenomena ini dimana seumur hidup saya menonton film Indonesia dengan membeli tiket seharga 3 kali lipat melalui calo saking begitu banyaknya penotnon yang tak kebagian tiket mengantrinya sejak pagi. namun apa yang terjadi di wilayah barat Indonesia ini sangat berbeda dengan wilayah timur, dimana film Jelangkung sama sekali tidak diminati disana. bahkan saya pernah mencoba memutarkan film tersebut melalui layar tancap dan para penonton meminta menggantinya saja. mereka lebih suka diputarkan film film Warkop DKI atau film perang jaman dulu kayak Lebak Membara, Pasukan berani mati dll.
hingga saat ini pun DVD/VCD film film yang dijual disana kebanyakan seputar film Indonesia jaman dulu yang paling laris. sementara horror horror jaman sekarang tidak laku dipasaran. kalaupun ada paling film percintaan atau komedi yang terbaru yang laku.
Namun sebaliknya, fenomena terbesar terjadi di wilayah timur kita ketika film Ada Apa dengan Cinta keluar. dan wilayah paling ramainya itu adalah di Sulawesi Selatan dikampung Orang tua saya Makassar. dulu Jelangkung kurang sukses disini tetapi film AADC menjadi film paling fenomenal saat itu disana. sementara jika saya mau bilang sebenarnya jelangkung masih lebih fenomenal daripada AADC di Jakarta. buktinya saya masih bisa mendapatkan tiket secara normal tidak seperti waktu menonton Jelangkung.
Perbedaan selera tersebutlah yang membuat saya maklum pula ketika Film saya Melody kota rusa sangat fenomenal di Timur namun belum tentu diwilayah Barat juga akan seperti itu. ya tentu saja karena saya meramunya dengan menggunakan selera masyarakat sana.
begitulah sekiranya gambaran mengapa akhirnya di bioskop kita sekarang horror merupakan film yang paling banyak ditonton orang. ya pastilah masalahnya kan bioskop paling banyak berada dibagian wilayah Barat indonesia, sebagian besar di Jakarta dan pinggirannya yang notabene seleranya banyak yang suka horror. bioskop paling timur di Indonesia hanya ada di Ambon itupun hanya ada 1 bioskop saja. selama bioskop masih tidak merata di Indonesia maka selama itu pula para produser akan mengikuti selera para penonton dimana bioskopnya paling laku filmnya. seandainya saja bioskop itu paling laku didaerah Papua, mungkin saja para produser akan berlomba lomba membuat film film perang dan Komedi karena genre itu yang paling laku disana.
BISAKAH KITA MEMBUAT FILM SEKELAS HOLLYWOOD ?
saya perlu sedikit curhat disini sebagai seorang filmmaker, saya cukup miris melihat sebuah kenyataan yang terjadi dalam dunia film nasional kita. yaitu dimana para produser dan investor mengukur keberhasilan seorang sutradara film itu adalah dari sebuah film yang laku di pasaran. bukan dari bagus tidaknya sebuah film.
jadi ketika film kita bagus sebagus bagusnya bahkan dipuji kritikus film maupun semua review, namun kemudian gagal mendapatkan penonton dipasaran, maka itu tidak menjadi jaminan kita akan dipercaya membuat film berikutnya lagi. itulah makanya kita mungkin bertanya mengapa para pembuat film film yang bagus dan dipuji jarang sekali mengeluarkan film berikutnya ? ya jawabannya adalah karena mereka akan kesulitan mencari pendana buat filmnya lagi apabila filmnya gagal dipasaran.
untuk film yang disebut sebut bagus dan dipuji seperti MERANTAU sajapun menurut kabarnya mereka tidak berhasil meraup keuntungan di bioskop kita.
itulah makanya mereka akhirnya kemudian akan lama buat mengeluarkan film barunya lagi itupun tentunya akan lebih diperkecil budgetnya kelak untuk produksi barunya.
saya yang tadinya bergerak dari industri film didaerah dan berhasil mendapatkan kesuksesan film saya di daerah, lain halnya ketika masuk ke industri bioskop nasional dengan berpartner bersama produser jakarta. disitu mulai terjadi hilangnya unsur unsur idealisme kita karena disatu sisi kita akan terbebani untuk harus mengembalikan uang si produser. maka jadilah mau tidak mau kita harus mengikuti selera berbagai pihak sekalipun kita gak suka.
maka jangan heran jika banyak sutradara berlomba lomba menciptakan film yang laku dipasaran agar mereka tetap bisa terpakai didunia film.
jangan heran pula jika ada sutradara menghasilkan film yang menang diberbagai festival dalam dan luar tetapi di negeri sendiri ia kesulitan kerja dan tak ada produser yang mau memakainya.
setiap produser indonesia skrg mengambil sutradara dengan mempertimbangkan film apa yang pernah dibuatnya yang menghasilkan penonton terbanyak. bukan dari segi bagus tidak nya film itu. jika itu film bioskop maka akan dicek berapa jumlah pemasukan tiketnya. jika ia pernah buat sinetron maka akan langsung di cek berapa rating sinetron itu di stasiun tv waktu tayang dulu.
saya pun tidak luput terjebak dalam fenomena ini, beberapa teman sesama orang film yang selalu menanyakan film saya bukan dari masalah bagus tidaknya tapi dari berapa jumlah penonton film kamu kemarin ? ukuran kesuksesan saat ini adalah jumlah penonton, percuma membuat film yang dipuja puji setinggi langit mendapatkan penghargaan sana sini kalau akhirnya tidak diminati penonton dinegeri sendiri.
jadi jika ingin membuat film bagus dan idealis tanpa mikir keuntungan bisa bisa saja tapi harus kita danai sendiri tanpa berharap balik modal (gambling)
tetapi jika ingin memikirkan kelangsungan karier didunia film ya silahkan membuat film yang dipastikan bakalan ramai penontonnya.
sebuah ironi dalam dunia hiburan.....
kalau menurut pendapat saya pribadi sih, ketika saya bekerja untuk produser yang orientasinya bisnis maka saya harus membuat sebuah produk yang sesuai keinginan dia buat bisnis. kalau tidak mau ya jangan memakai duit orang. sebab tujuan produser itu rata2 adalah bisnis dan keuntungan. kalau mau idealis ya jangan memakai duit orang, kasihan kan nanti orang rugi siapa yang tanggung jawab ?
lain lagi ketika saya ingin membuat sebuah film art yang bagus dengan tujuan ingin dipuji maka saya harus siap dgn segala resiko tidak balik modal dan itu harus pakai duit saya sendiri sehingga tidak merugikan orang lain.
sampai saat ini saya selalu memisahkan antara gaya film indie saya dgn film komersil di bioskop saya. jadi jangan heran jika suatu saat saya bisa bikin film ringan dan bisa dicela tapi suatu ketika saya juga bisa bikin film bagus yang dipuji semua itu terjadi karena saya tidak ingin disebut terlalu idealis, lain hal nya kalau saya sudah punya uang yang banyak yg siap dihambur hamburkan tanpa perlu balik.
saya jujur pernah menghitung biaya jika ingin membuat film indonesia semacam lord of the ring SFX dan CGI nya.
lalu saya konsultasi dengan beberapa animator dan visual effeck yang selama ini bekerja diluar sebagai desainer video game serta bagian visual effect yang telah terbukti mengerjakan beberapa efek film indonesia hebat, dan mereka berani memutuskan dengan angka RP. 50 milyar untuk CGI nya saja.
jadi perkiraan saya jika efeknya saja 50 milyar tarohlah produksinya sendiri habis paling tinggi RP.100 milyar total RP 150 milyar berarti kita sudah bisa buat film sekelas lord of the ring di indonesia.
cuman siapa produser yg berani keluarin budget segitu ?
selama ini budget termahal setahu saya juga film merah putih yang sampai RP 40 milyar
lalu apakah kita bisa menyaingi tekhnologi film Hollywood ?
saya mau sedikit share nih kalau negara tetangga kita malaysia sudah lebih selangkah maju soal CGI nya
dibuktikan dari film HIKAYAT MERONG MAHAWANGSA
yang baru baru tayang dibulan maret lalu (link downloadannya film lengkapnya sudah banyak di google)
ini trailernya :
itu hanya dibuat dengan budget 8 juta RM atau setara sekitar 12 milyar. masih jauh lebih kecil dari anggaran film merah putih, tapi CGI nya sudah jauh lebih maju dan belum pernah ada di film film kita.
pemasaran film itupun sudah secara worldwide bukan hanya di malaysia saja. Kira kira sudah berapa langkahkah kita tertinggal dari Negara tetangga kita ini ?
tapi setidaknya ada sebuah harapan, jika Malaysia saja bisa mengapa kita tak bisa ?
tapi tetap saja, jika mau membuat film film jenis kolosal dijaman skrg gak bisa nanggung lagi efeknya kayak dulu. skrg penonton selalu membandingkan dgn efek CGI ala hollywood. kalau kelihatan chromakeynya atau 3D nya kurang real malah bakal jadi bahan olok olokan jadinya. bahkan film Malaysia Hikayat Merong Mahawangsa efeknya dibuat mendekati gaya hollywood pun banyak di cela efeknya karena jelas masih kalah jauh jika mau dibandingkan dgn hollywood. padahal kalau untuk kelas asia sudah lumayanlah. sulit memang disaat standarisasi film jenis kolosal sudah dipopulerkan gayanya oleh hollywood. sementara dunia film kita kalau saya bilang sih masih seperti tahun ketika film Benhur dibuat. kemarin saya iseng nonton film hollywood tahun 80 an judulnya Return to OZ kelanjutannya wizard of oz, saya mikir terus sesudahnya untuk bikin efek real kayak film itu saja kog sampai skrg tidak ada satupun film kita yg bisa. padahal di barat sudah bisa tahun 80 an begitu sekalipun belum ada efek secanggih skrg tapi kog bisa terlihat seperti CGI modern ya ? hebat memang ahli efeknya.
tapi saya mikir kalau seandainya ada produser berani keluarin duit lebih kenapa kita gak datangin saja ahli efek yg negrjakan film film itu ? kalau perlu kita buat film kolosal tapi yg garap efeknya kita akai jasa ILM yg ngerjain CGI jurrasic park. pertanyaannya skrg siapakah yg bersedia membiayai untuk melakukan hal itu ?
tekhnologi sebenarnya bisa kita gunakan asal ada duitnya buat nyewa ahli efek itu datang ke indo. saya pun kalau senadainya disuruh bikin film kolosal tentu saya gak akan malu untuk mengundang para ahli efek luar. kalau budgetnya terbatas ya palking tidak kita bisa pakai ahli efek yg ngerjain hikayat merong mahawangsa lah dari malaysia. kenapa harus malu ?
betul memang untuk menyiasati hal itu kita harus menciptakan gaya sendiri walaupun sederhana tapi jadi kekuatan yg tak bisa dikalahkan hollywood. contohnya gak usah tinggi2 itu perfilman india sekalipun banyak yg mencela krn gayanya yang lebay tapi buktinya mereka berhasil tembus dunia.
Kalau dibandingin dengan film film blockbuster sih jangankan Indonesia gan,diseluruh Asia dan timur tengah juga belum ada yg bisa bikin film sekelas Transformer ataupun Harry Potter. negara negara yg maju pun gak bisa nyaingin hollywood apalagi negara kita yang sulit ini.
tapi kalau mau, kita bisa kayak Iran yang bioskopnya berkembang tanpa adanya film asing disana, filmnya bisa beredar keseluruh dunia padahal film filmnya sederhana dan tidak ada efek efek canggih sama sekali. ceritanya juga melodrama kehidupan namun dikemas dgn unik membawa budaya daerahnya, cuman karena khas daerahnya kental sama seperti film India yang bisa sukses mendunia tanpa spesial efek sekalipun banyak nyanyi dan nari narinya yang lebay. Itu pun terjadi dari dukungan penontonnya sendiri terhadap karya lokal yang lebih tinggi daripada ke film asing.
Atau kita bisa lihat perfilman Hongkong yang berhasil membuat ciri khas actionnya atau Thailand yang terkenal dengan horor khasnya. sedikitpun mereka tidak berusaha untuk menyaingi hollywood dengan cara membuat film seperti Transformer dll. tetapi mereka mengakalinya dengan membuat sesuatu yang tidak bisa dibuat oleh sineas sineas Hollywood.
Kesimpulannya, memajukan film Indonesia sangat kompleks, membutuhkan pembenahan secara bersama di semua bidang, bukan hanya pada produksi filmnya dan insan filmnya saja namun juga pada fasilitas Bioskopnya, penontonnya, pemerintahnya dan itu tak bisa berdiri sendiri sendiri. Contohnya jika berdiri sendiri : silahkan saja bikin film yang bagus sekali tapi siapa yang akan menontonnya jika tak ada bioskopnya di daerah ? sementara di kota besar yang ada bioskopnya penonton lebih menomor satukan film hollywood dahulu. jadi masalahnya tidak sesimple itu, bukan hanya dengan membuat film bagus lantas film Indonesia bisa maju. buktinya hingga saat ini sudah banyak sekali film Indonesia yang menembus Festival film Internasional dan dipuji setinggi langit di review review, tapi nyatanya dinegeri sendiri film tersebut tidak mendapatkan apresiasi besar dari penonton, atau mungkin hanya menjadi fenomena film tahunan sesaat yang kemudian hilang begitu saja tak berbekas. tapi yang pasti untuk saat ini, dengan tidak masuknya film hollywood ke Indonesia bukan berarti akan dapat memajukan film Indonesia. tetapi mungkin akan malah memperpuruknya. kecuali jika bioskop telah merata di seluruh Indonesia dan tak dikuasai oleh jaringan 21 lagi.
Saat ini, kita belum bisa KePeDe an merasa film Indonesia sudah dicintai di basis bioskop yang ada saat ini, apalagi memaksa mereka untuk mencintai karya lokal. terkecuali jika perfilman kita sudah seperti di Iran ataupun di India yang dimintai lokal karena mempunyai cita rasa khas tersendiri
kalau nanti suatu saat bioskop sudah merata dan masyarakat kita sudah lebih memilih film Indonesia daripada film luar tanpa dipaksa, barulah kita bisa berkata : Tak masalah ada atau tidak adanya film Hollywood di Indonesia.
Tapi untuk saat ini kata kata itu masih belum tepat dikeluarkan !
Saya sendiri pun berharap suatu saat mungkin bisa keluar kata kata itu tapi sekali lagi bukan untuk kondisi saat ini.
satu satunya jalan untuk memajukan adalah dengan membuat pemerataan bioskop ditanah air sehingga basisnya tidak lagi berada di kota kota besar saja, namun selain itu pasokan film juga tidak boleh dimonopoli satu jaringan saja namun harus merata.
masa kita saat ini baru bisa bangga dengan jumlah penonton tertinggi hanya 4 juta orang saja untuk Laskar Pelangi ? sementara di Malaysia yang negara kecil itu untuk film biasa biasa saja tidak perlu sekelas Laskar Pelangi tapi buktinya mereka bisa mendapatkan jumlah penonton untuk film lokal mereka lebih banyak dari itu ? bahkan berkali kali lipat jumlahnya dibanding penonton kita untuk satu film. ibarat kata untuk sebuah film horror yg dianggap biasa biasa saja di Malaysia jumlah penontonnya bisa lebih banyak dari jumlah penonton film yang dianggap terbaik di negara kita.
bayangkan penduduk kita ada 200 juta lebih tapi untuk mendapatkan penonton 500 ribu saja di bioskop sekarang kog susahnya minta ampun ? hanya berapa persen dari jumlah rakyat kita yang menonton bioskop saat ini ? sementara gairah menonton film lokal itu sebenarnya masih tinggi di daerah seperti yang sudah saya buktikan beberapa waktu lalu lewat karya karya saya di Merauke.
sebaiknya pemerintah dan insan perfilman kita fokus kearah situ untuk membangkitkan perfilman kita bukan fokus ke masalah film luar yang malah dijadikan kambing hitam terpuruknya film lokal kita.
Sunday, 5 June 2011
MEMAJUKAN PERFILMAN INDONESIA TANPA HARUS MEMBATASI FILM ASING
6/05/2011 12:04:00 am
irham acho bahtiar
4 comments
4 comments:
Wah, saya sangat setuju dengan pendapat mas. Maaf kalo tidak sopan, saya mahasiswi jurusan pajak sekarang sedang mengambil skripsi mengenai pajak film impor yang sedang bermasalah ini, kalo boleh mas mau jadi narasumber saya? Kalo mas mau saya bisa hubungi lewat mana? terima kasih :)
setuju mas dengan tulisan anda ... selain itu maaf menurut saya pribadi ,cerita dalam film Indonesia itu biasanya mudah ditebak dan agak kurang pas para pemeran dalam film tersebut .. saya kebetulan mahasiswi komunikasi yang sedang mempelajari tentang dunia perfilman dan media... :)
thank atas komentar komentarnya...bagi yg mau menghubungi saya bisa lewat facebook saya saja irham acho bahtiar atau twitter irhamachob@yahoo.com
KUNJUNGI BERITA BOLA DAN LIVE STEARMING TERUPDATE DAN TERPOPULER YANG WAJIB ANDA KUNJUNGI:
MenitGoal.com
lihatbola.live
lihatbola.asia
asianbookie.id
prediksipapa.com
rekanbola.com
Post a Comment