Pages

Monday, 17 August 2015

KENANGAN 17 AGUSTUS DI KAMPUNG MUTING MERAUKE

Sejak lahir hingga melewati masa kecil di Kampung Kecamatan Muting Kabupaten Merauke daerah didekat perbatasan RI-PNG itu saya memang tak pernah melihat dunia luar. Apa yang saya lihat, dengar dan rasakan sama persis seperti yang dirasakan kawan kawan saya anak anak Papua yang dibesarkan bersama sama ditengah alam rawa rawa Bian.

Termasuk sebuah acara seremoni tahunan yang selalu kami kenang dan kami tunggu setiap tahunnya. Bagi kami di kampung itu sebuah hiburan adalah sesuatu yang luar biasa mahalnya apalagi tak ada televisi di kampung kami, karena itulah acara tahunan seperti itu adalah pengobatnya. Berbagai acara yang digelar setiap memperingati 17 agustus satu minggu sebelumnya  dimulai dari adanya pasar malam selama satu minggu berturut turut serta kompetisi sepak bola antar kampung. Pasar malam di isi oleh berbagai hidangan kuliner sampai jualan dari masyarakat kampung mulai Dari Papeda sampai bebagai makanan yang jarang kita temui bisa di dapatkan disini. Ketika transmigrasi masuk di Muting sekitar akhir tahun 80 an, pesertanya jadi semakin banyak bahkan disinilah saya mengenal makanan bernama bakso buatan mas mas dari lokasi transmigrasi. Bukan hanya saya saja, bakso akhirnya menjadi sebuah makanan trend baru bagi warga Muting yang selama ini kami tak pernah melihat dan merasakannya.   Namun yang paling kami tunggu kehadirannya saat itu adalah panggung hiburan, yaitu sebuah panggung yang berada ditengah tengah lapangan. Setiap malamnya panggung itu akan di isi oleh berbagai penampilan dari masyarakat sendiri, ada yang menampilkan musik,tari,lomba Mop,hingga lawak. Semua dilakukan masyarakat dengan keikhlasan tanpa adanya himbauan apalagi paksaan.  Kenangan ini pernah saya visualkan dan reka ulang di dalam film Melody Kota Rusa ditahun 2010.
Saya sendiri pernah 5 kali tampil di panggung ini membawakan lawak bersama grup yang saya dirikan bersama teman teman di SMP. Yang menggelikan waktu itu adalah ketika kami tampil membawakan lawak untuk pertama kalinya. Waktu itu jenis lawakan yang sering dibawakan di panggung oleh kaka kaka kami di Muting adalah lawakan jenis drama atau theaterikal yang biasa dimainkan di gereja. Namun kami memberikan sebuah penampilan dengan gaya baru. Ini karena kami diajarkan melawak oleh seorang teman orang Jawa yang berasal dari lokasi transmigrasi, ia mengajarkan kami lawakan gaya modern atau yang mungkin waktu itu sedang trend seperti Srimulat. Jadilah penampilan kami mendapatkan sambutan yang bukan main meriahnya. Saking meriahnya sampai sampai panitia meminta kami mengulang lawakan itu di hari terakhir panggung hiburan atau tepatnya di malam puncak 17 agustus karena malam itu akan dihadiri oleh Bapak Camat yang katanya ingin sekali melihat penampilan kami. Sampai sekarang saya masih selalu merasa geli mengingat peristiwa itu karena tak bisa membayangkan ketika kami membawakan ulang lawakan panggung yang sudah kami bawakan beberapa hari sebelumnya di panggung yang sama dengan tema yang sama dan penonton yang sama, maka beberapa jokes yang kami lemparkan sudah bisa tertebak oleh penonton bahkan sebelum si pemain berbicara, masyarakat yang menonton sudah lebih duluan mengucapkan dialog yang akan di ucapkan pemain di panggung karena mereka sudah menghafalnya dari penampilan sebelumnya. Penampilan panggung kami juga terkadang menampilkan aksi aksi spektakuler misalnya menggunakan pistol pistolan mainan yang bisa mengeluarkan ledakan dan asap serta darah buatan yang ditaruh di dalam plastik kecil yang siap dipecahkan pemain ketika adegan tertembak atau didalam mulutnya jika terpukul.  Selama beberapa tahun selama saya duduk dibangku SMP grup kami menjadi grup lawak favorit yang selalu ditunggu tunggu masyarakat Muting waktu itu setiap 17 agustusan.

Yang uniknya sewaktu masih SD, saya dan adik malah pernah di minta ikut bermain dalam sebuah drama pertempuran antara pasukan Indonesia melawan Belanda yang dibuat oleh kaka kaka kami yang biasa membuat acara drama di Gereja. Namun drama kali ini bukan ditampilkan diatas panggung namun dimainkan oleh puluhan pemain ditengah lapangan bola di pagi hari dan ditonton oleh ratusan masyarakat yang mengelilingi lapangan. Waktu itu semua mainan senjata senjata saya juga dipinjam untuk permainan drama kolosal itu.

Sewaktu drama berlangsung, suara tembakan di dubbing secara langsung dari petugas tentara dipinggir lapangan yang menembakkan senjata dengan peluru hampa keudara sehingga membuat adegan drama yang kami mainkan serasa hidup dan menegangkan.  


Saya ingat ada satu dialog lucu waktu itu dimana seorang Pace tua yang berperan sebagai Bos pasukan Belanda yang rambutnya di cat kuning harus membaca dialog : "Kamu makan sagu dan saya makan roti" namun ketika bermain dia malah terbalik mengucapkan dialog itu menjadi : "Saya makan sagu kamu makan roti" mungkin karena saking terlalu semangat atau jujurnya beliau.
Ada lagi sebuah grup musik band lokal idola kampung kami yang selalu ditunggu penampilannya waktu itu. Sebuah band bernama mezmandelo band. Mereka adalah sekumpulan anak muda berbakat di kampung Muting yang membawakan lagu lagu berbahasa Marind (suku asli di Muting) namun dengan irama musik modern yang disukai anak muda masa itu.  Mereka juga sangat kreatif, beberapa alat musik mereka terbuat dari bahan buatan sendiri, maklum saja di kampung kami saat itu akses untuk ke kota Merauke hanya bisa ditempuh lewat pesawat twin otter kecil atau laut, perjalanan darat belum dibuka resmi sehingga untuk bisa melihat peralatan band normal seperti layaknya grup band betulan sulit terwujud saat itu. Listrik saja pun belum masuk dikampung kami, semua menggunakan genset kecil atau bahkan sebelumnya lagi hanya menggunakan lampu petromax yang dipompa.  Praktislah alat alat band mereka sangat unik, misalnya saja drum mereka terbuat dari kayu berlubang yang ditempeli kulit rusa sementara simbalnya diakali menggunakan  plat seng untuk atap. Sementara alat musik lainnya menggunakan gitar akustik, dan bas dari karet band. tentu saja karena sound system yang digunakan juga hanya berupa sound system untuk microfon bukan buat sebuah peralatan musik. Namun dengan keterbatasan alat alat itu pun bagi kami band itu sudah menjadi band paling keren dan top di kampung kami, setiap kali Mezmandelo tampil saya dan teman teman saya akan berteriak sekeras kerasnya sebagai fans fanatic sampai guling guling didepan panggung saking senangnya tak terhingga melihat band kebanggaan kami tampil. Saya sendiri mengakuinya hingga saat ini pun saya masih menjadi pengagum dan fans dari band itu walaupun kini para personelnya sudah tua tua semua dan sudah banyak yang meninggal.  Kelak di kemudian hari setelah saya menjadi seorang sutradara, saya pun mengabadikan kisah perjuangan band ini dalam film melody Kota Rusa (2010)lewat penggambaran walef band bahkan di sekuelnya Melody Kota Rusa 2 yang dibuat tahun 2012 ada 2 lagu dari band mezmandelo yang kami beli untuk di aransemen ulang dan dinyanyikan para pemain di film itu. Di tahun 2014 juga adik saya membantu mereka membuat rekaman lagu lagu mereka yang selama ini tak pernah terwujud dalam puluhan tahun, sayang sekali personel asli mereka yang dulu sudah tak ada lagi karena sudah tua dan meninggal.

Selain kenangan tentang band mezmandelo di panggung 17 agustus itu, ada lagi kenangan yang tak terlupakan hingga kini yaitu tentang pertandingan bola antar kampung yang juga menjadi hiburan paling ditunggu setiap tahunnya menjelang agustusan. Biasanya karena adanya pertandingan ini semua orang dari desa desa yang terpencil sekalipun akan datang berkumpul di kecamatan Muting untuk mendukung tim desanya. Padahal untuk mencapai kecamatan Muting saat itu mereka harus mengayuh perahu dengan dayung selama 1 atau 2 hari namun semangat masyarakat saat itu sangat tinggi. Memang tak ada bicara tentang makna dari semangat 17 agustus dan sebagainya, yang kami tahu waktu itu acara ini adalah sebuah pesta tahunan yang berisi hiburan untuk rakyat sama sekali tak ada hubungannya dengan rasa nasionalisme karena saat itupun saya sendiri tidak tahu nasionalisme itu apa. Yang kami tahu bahwa setiap bulan agustus akan ada acara pesta besar besaran di kampung kami dimana kami berkumpul. Dan semua akan berkumpul di kota kecamatan. Ketika pertandingan bola di gelar, semua berlomba untuk jadi yang terbaik membanggakan kampungnya. Penontonnya juga bukan main banyaknya. Namun ada dua tim yang paling di takuti masyarakat jika sedang bertanding yakni tim tentara dan polisi. Saya masih ingat hari itu ketika kami sedang asyik menuju lapangan ingin menonton pertandingan bola antara tim Koramil vs Polsek, waktu itu kami sudah terlambat setengah jam. Tiba tiba saja belum juga sampai di lapangan orang orang sudah berlarian kocar kacir lalu terdengar suara letusan senjata dilapangan, kami pun ikut berlarian pulang kerumah masing masing sambil tiarap didalam rumah. Hal ini sudah biasa kami lakukan setiap ada suara tembakan maka akan masuk rumah dan tiarap mirip ketika masa perang jaman dulu. Belakang dari saksi mata dilapangan kami baru diberi tahu bahwa tadi terjadi bentrokan yang bermula akibat salah satu gawang ada yang kebobolan dan salah satu pihak tidak terima dan menganggap itu kecurangan lalu mulai memakai senjata dan menembaki kaki lawannya. Untung saja insiden itu tidak memakan korban karena yang ditembak kakinya sempat menghindar dengan melompat.  Memang begitulah yang terjadi setiap para penegak hukum yang seharusnya memberi kedamaian ini bermain kadang mereka terlalu arogan tak mau kalah. Pernah ketika salah satu tim dari polsek bertemu dengan kampung Boha, terpaksa tim dari kampong boha harus melakukan walk out keluat dari lapangan karena merasa mereka diperlakukan tidak adil oleh wasit yang cenderung membela tim polsek. Jika bertemu dengan tim kampung memang mudah untuk melakukan itu namun ketika mereka bertemu tim tentara maka keduanya jelas tak akan mau mengalah. Setelah beberapa kali kejadian seperti ini terulang terus maka di tahun tahun berikutnya ada pelarangan untuk tim polisi dan tentara lagi untuk ikut bermain dalam kompetisi sepak bola antar kampung itu oleh Camat Muting.

Kenangan perayaan 17 agustus di Muting ini adalah sebuah kenangan yang akan terus saya kenang dalam hidup saya sebab sejak saya selesai kuliah di Jakarta dan balik ke kampung Muting di tahun 2000 an  ternyata semua kegiatan seperti ini sudah tak ada lagi, kini 17 agustus seperti biasa biasa saja, tak ada beda dengan hari lain. Panggung hiburan yang dulunya berdiri ditengah lapangan juga sudah tak ada lagi, bahkan kalaupun ada saya rasa sudah tak ada yang akan ikhlas mengisinya seperti dulu lagi. Itulah yang kemudian mendorong saya untuk menghidupkan kembali kenangan itu didalam film melody Kota Rusa ditahun 2010, seandainya saja aktifitas itu masih ada hingga sekarang mungkin saya juga tak akan mengangkat dan menghidupkannya kembali  ke dalam film untuk mengenangnya karena masih bisa melihatnya secara langsung.  Saya merasa perlu mengabadikan semua hal hal yang dulu saya lihat ke film agar bisa menjadi refleksi dan pelajaran bagi orang orang yang sekarang tidak bisa melihatnya lagi minmal sebagai bagian dari sejarah yang pernah terjadi di masa lalu.

Jika ada yang bertanya kenapa semua yang dulu itu kini hilang ? maka saya merasa bukan saya yang bisa menjawabnya karena  jawabnya ada di dalam diri kita masing masing…

Irham acho
17 Agustus 2015

No comments:

Post a Comment