Termasuk sebuah acara seremoni tahunan yang selalu kami
kenang dan kami tunggu setiap tahunnya. Bagi kami di kampung itu sebuah hiburan
adalah sesuatu yang luar biasa mahalnya apalagi tak ada televisi di kampung kami,
karena itulah acara tahunan seperti itu adalah pengobatnya. Berbagai acara yang
digelar setiap memperingati 17 agustus satu minggu sebelumnya dimulai dari adanya pasar malam selama satu
minggu berturut turut serta kompetisi sepak bola antar kampung. Pasar malam di
isi oleh berbagai hidangan kuliner sampai jualan dari masyarakat kampung mulai Dari
Papeda sampai bebagai makanan yang jarang kita temui bisa di dapatkan disini.
Ketika transmigrasi masuk di Muting sekitar akhir tahun 80 an, pesertanya jadi
semakin banyak bahkan disinilah saya mengenal makanan bernama bakso buatan mas
mas dari lokasi transmigrasi. Bukan hanya saya saja, bakso akhirnya menjadi
sebuah makanan trend baru bagi warga Muting yang selama ini kami tak pernah
melihat dan merasakannya. Namun yang paling kami tunggu kehadirannya
saat itu adalah panggung hiburan, yaitu sebuah panggung yang berada ditengah
tengah lapangan. Setiap malamnya panggung itu akan di isi oleh berbagai
penampilan dari masyarakat sendiri, ada yang menampilkan musik,tari,lomba Mop,hingga
lawak. Semua dilakukan masyarakat dengan keikhlasan tanpa adanya himbauan
apalagi paksaan. Kenangan ini pernah
saya visualkan dan reka ulang di dalam film Melody Kota Rusa ditahun 2010.
Saya sendiri pernah 5 kali tampil di panggung ini membawakan
lawak bersama grup yang saya dirikan bersama teman teman di SMP. Yang
menggelikan waktu itu adalah ketika kami tampil membawakan lawak untuk pertama
kalinya. Waktu itu jenis lawakan yang sering dibawakan di panggung oleh kaka
kaka kami di Muting adalah lawakan jenis drama atau theaterikal yang biasa
dimainkan di gereja. Namun kami memberikan sebuah penampilan dengan gaya baru.
Ini karena kami diajarkan melawak oleh seorang teman orang Jawa yang berasal dari
lokasi transmigrasi, ia mengajarkan kami lawakan gaya modern atau yang mungkin
waktu itu sedang trend seperti Srimulat. Jadilah penampilan kami mendapatkan
sambutan yang bukan main meriahnya. Saking meriahnya sampai sampai panitia
meminta kami mengulang lawakan itu di hari terakhir panggung hiburan atau
tepatnya di malam puncak 17 agustus karena malam itu akan dihadiri oleh Bapak
Camat yang katanya ingin sekali melihat penampilan kami. Sampai sekarang saya
masih selalu merasa geli mengingat peristiwa itu karena tak bisa membayangkan
ketika kami membawakan ulang lawakan panggung yang sudah kami bawakan beberapa hari
sebelumnya di panggung yang sama dengan tema yang sama dan penonton yang sama,
maka beberapa jokes yang kami lemparkan sudah bisa tertebak oleh penonton
bahkan sebelum si pemain berbicara, masyarakat yang menonton sudah lebih duluan
mengucapkan dialog yang akan di ucapkan pemain di panggung karena mereka sudah
menghafalnya dari penampilan sebelumnya. Penampilan panggung kami juga
terkadang menampilkan aksi aksi spektakuler misalnya menggunakan pistol
pistolan mainan yang bisa mengeluarkan ledakan dan asap serta darah buatan yang
ditaruh di dalam plastik kecil yang siap dipecahkan pemain ketika adegan
tertembak atau didalam mulutnya jika terpukul. Selama beberapa tahun selama saya duduk
dibangku SMP grup kami menjadi grup lawak favorit yang selalu ditunggu tunggu
masyarakat Muting waktu itu setiap 17 agustusan.
Yang uniknya sewaktu masih SD, saya dan adik malah pernah di minta ikut bermain dalam sebuah drama pertempuran antara pasukan Indonesia melawan Belanda yang dibuat oleh kaka kaka kami yang biasa membuat acara drama di Gereja. Namun drama kali ini bukan ditampilkan diatas panggung namun dimainkan oleh puluhan pemain ditengah lapangan bola di pagi hari dan ditonton oleh ratusan masyarakat yang mengelilingi lapangan. Waktu itu semua mainan senjata senjata saya juga dipinjam untuk permainan drama kolosal itu.
Sewaktu drama berlangsung, suara tembakan di dubbing secara langsung dari petugas tentara dipinggir lapangan yang menembakkan senjata dengan peluru hampa keudara sehingga membuat adegan drama yang kami mainkan serasa hidup dan menegangkan.
Saya ingat ada satu dialog lucu waktu itu dimana seorang Pace tua yang berperan sebagai Bos pasukan Belanda yang rambutnya di cat kuning harus membaca dialog : "Kamu makan sagu dan saya makan roti" namun ketika bermain dia malah terbalik mengucapkan dialog itu menjadi : "Saya makan sagu kamu makan roti" mungkin karena saking terlalu semangat atau jujurnya beliau.
Yang uniknya sewaktu masih SD, saya dan adik malah pernah di minta ikut bermain dalam sebuah drama pertempuran antara pasukan Indonesia melawan Belanda yang dibuat oleh kaka kaka kami yang biasa membuat acara drama di Gereja. Namun drama kali ini bukan ditampilkan diatas panggung namun dimainkan oleh puluhan pemain ditengah lapangan bola di pagi hari dan ditonton oleh ratusan masyarakat yang mengelilingi lapangan. Waktu itu semua mainan senjata senjata saya juga dipinjam untuk permainan drama kolosal itu.
Sewaktu drama berlangsung, suara tembakan di dubbing secara langsung dari petugas tentara dipinggir lapangan yang menembakkan senjata dengan peluru hampa keudara sehingga membuat adegan drama yang kami mainkan serasa hidup dan menegangkan.
Saya ingat ada satu dialog lucu waktu itu dimana seorang Pace tua yang berperan sebagai Bos pasukan Belanda yang rambutnya di cat kuning harus membaca dialog : "Kamu makan sagu dan saya makan roti" namun ketika bermain dia malah terbalik mengucapkan dialog itu menjadi : "Saya makan sagu kamu makan roti" mungkin karena saking terlalu semangat atau jujurnya beliau.
Ada lagi sebuah grup musik band lokal idola kampung kami
yang selalu ditunggu penampilannya waktu itu. Sebuah band bernama mezmandelo
band. Mereka adalah sekumpulan anak muda berbakat di kampung Muting yang
membawakan lagu lagu berbahasa Marind (suku asli di Muting) namun dengan irama musik
modern yang disukai anak muda masa itu. Mereka
juga sangat kreatif, beberapa alat musik mereka terbuat dari bahan buatan
sendiri, maklum saja di kampung kami saat itu akses untuk ke kota Merauke hanya
bisa ditempuh lewat pesawat twin otter kecil atau laut, perjalanan darat belum
dibuka resmi sehingga untuk bisa melihat peralatan band normal seperti layaknya
grup band betulan sulit terwujud saat itu. Listrik saja pun belum masuk
dikampung kami, semua menggunakan genset kecil atau bahkan sebelumnya lagi
hanya menggunakan lampu petromax yang dipompa. Praktislah alat alat band mereka sangat unik,
misalnya saja drum mereka terbuat dari kayu berlubang yang ditempeli kulit rusa
sementara simbalnya diakali menggunakan plat
seng untuk atap. Sementara alat musik lainnya menggunakan gitar akustik, dan
bas dari karet band. tentu saja karena sound system yang digunakan juga hanya
berupa sound system untuk microfon bukan buat sebuah peralatan musik. Namun
dengan keterbatasan alat alat itu pun bagi kami band itu sudah menjadi band
paling keren dan top di kampung kami, setiap kali Mezmandelo tampil saya dan
teman teman saya akan berteriak sekeras kerasnya sebagai fans fanatic sampai
guling guling didepan panggung saking senangnya tak terhingga melihat band
kebanggaan kami tampil. Saya sendiri mengakuinya hingga saat ini pun saya masih
menjadi pengagum dan fans dari band itu walaupun kini para personelnya sudah
tua tua semua dan sudah banyak yang meninggal. Kelak di kemudian hari setelah saya menjadi seorang
sutradara, saya pun mengabadikan kisah perjuangan band ini dalam film melody
Kota Rusa (2010)lewat penggambaran walef band bahkan di sekuelnya Melody Kota
Rusa 2 yang dibuat tahun 2012 ada 2 lagu dari band mezmandelo yang kami beli
untuk di aransemen ulang dan dinyanyikan para pemain di film itu. Di tahun 2014
juga adik saya membantu mereka membuat rekaman lagu lagu mereka yang selama ini
tak pernah terwujud dalam puluhan tahun, sayang sekali personel asli mereka
yang dulu sudah tak ada lagi karena sudah tua dan meninggal.
Selain kenangan tentang band mezmandelo di panggung 17
agustus itu, ada lagi kenangan yang tak terlupakan hingga kini yaitu tentang
pertandingan bola antar kampung yang juga menjadi hiburan paling ditunggu
setiap tahunnya menjelang agustusan. Biasanya karena adanya pertandingan ini
semua orang dari desa desa yang terpencil sekalipun akan datang berkumpul di
kecamatan Muting untuk mendukung tim desanya. Padahal untuk mencapai kecamatan
Muting saat itu mereka harus mengayuh perahu dengan dayung selama 1 atau 2 hari
namun semangat masyarakat saat itu sangat tinggi. Memang tak ada bicara tentang
makna dari semangat 17 agustus dan sebagainya, yang kami tahu waktu itu acara
ini adalah sebuah pesta tahunan yang berisi hiburan untuk rakyat sama sekali tak
ada hubungannya dengan rasa nasionalisme karena saat itupun saya sendiri tidak tahu
nasionalisme itu apa. Yang kami tahu bahwa setiap bulan agustus akan ada acara
pesta besar besaran di kampung kami dimana kami berkumpul. Dan semua akan
berkumpul di kota kecamatan. Ketika pertandingan bola di gelar, semua berlomba
untuk jadi yang terbaik membanggakan kampungnya. Penontonnya juga bukan main
banyaknya. Namun ada dua tim yang paling di takuti masyarakat jika sedang
bertanding yakni tim tentara dan polisi. Saya masih ingat hari itu ketika kami
sedang asyik menuju lapangan ingin menonton pertandingan bola antara tim
Koramil vs Polsek, waktu itu kami sudah terlambat setengah jam. Tiba tiba saja
belum juga sampai di lapangan orang orang sudah berlarian kocar kacir lalu
terdengar suara letusan senjata dilapangan, kami pun ikut berlarian pulang
kerumah masing masing sambil tiarap didalam rumah. Hal ini sudah biasa kami
lakukan setiap ada suara tembakan maka akan masuk rumah dan tiarap mirip ketika
masa perang jaman dulu. Belakang dari saksi mata dilapangan kami baru diberi
tahu bahwa tadi terjadi bentrokan yang bermula akibat salah satu gawang ada
yang kebobolan dan salah satu pihak tidak terima dan menganggap itu kecurangan
lalu mulai memakai senjata dan menembaki kaki lawannya. Untung saja insiden itu
tidak memakan korban karena yang ditembak kakinya sempat menghindar dengan
melompat. Memang begitulah yang terjadi
setiap para penegak hukum yang seharusnya memberi kedamaian ini bermain kadang
mereka terlalu arogan tak mau kalah. Pernah ketika salah satu tim dari polsek bertemu
dengan kampung Boha, terpaksa tim dari kampong boha harus melakukan walk out
keluat dari lapangan karena merasa mereka diperlakukan tidak adil oleh wasit yang
cenderung membela tim polsek. Jika bertemu dengan tim kampung memang mudah
untuk melakukan itu namun ketika mereka bertemu tim tentara maka keduanya jelas
tak akan mau mengalah. Setelah beberapa kali kejadian seperti ini terulang
terus maka di tahun tahun berikutnya ada pelarangan untuk tim polisi dan
tentara lagi untuk ikut bermain dalam kompetisi sepak bola antar kampung itu
oleh Camat Muting.
Kenangan perayaan 17 agustus di Muting ini adalah sebuah
kenangan yang akan terus saya kenang dalam hidup saya sebab sejak saya selesai
kuliah di Jakarta dan balik ke kampung Muting di tahun 2000 an ternyata semua kegiatan seperti ini sudah tak
ada lagi, kini 17 agustus seperti biasa biasa saja, tak ada beda dengan hari
lain. Panggung hiburan yang dulunya berdiri ditengah lapangan juga sudah tak
ada lagi, bahkan kalaupun ada saya rasa sudah tak ada yang akan ikhlas
mengisinya seperti dulu lagi. Itulah yang kemudian mendorong saya untuk
menghidupkan kembali kenangan itu didalam film melody Kota Rusa ditahun 2010,
seandainya saja aktifitas itu masih ada hingga sekarang mungkin saya juga tak
akan mengangkat dan menghidupkannya kembali ke dalam film untuk mengenangnya karena masih bisa
melihatnya secara langsung. Saya merasa
perlu mengabadikan semua hal hal yang dulu saya lihat ke film agar bisa menjadi
refleksi dan pelajaran bagi orang orang yang sekarang tidak bisa melihatnya
lagi minmal sebagai bagian dari sejarah yang pernah terjadi di masa lalu.
Jika ada yang bertanya kenapa semua yang dulu itu kini
hilang ? maka saya merasa bukan saya yang bisa menjawabnya karena jawabnya ada di dalam diri kita masing masing…
Irham acho
17 Agustus 2015
No comments:
Post a Comment