Membuat film di Papua khususnya dibagian selatan Papua selama ini
sebenarnya ada begitu banyak kejadian yang memorable yang perlu saya bagikan
bahwa memang susah susah gampang juga, mungkin itulah yang membuat jarang
sekali orang dari luar yang datang kesana membuat film. Banyak kendala yang akan dihadapi tidak
seperti dikota kota lainnya sehingga harus punya kesabaran tingkat tinggi.
PERALATAN SYUTING TIRUAN HASIL KREATIFITAS SENDIRI
Syuting Film panjang pertama kami ditahun 2009 menjadi sebuah
kenangan yang tak bisa terlupakan. Semua di mulai dengan kesederhanaan,
kesulitan dan apa adanya. Saat itu kami memang mempunyai semangat tinggi untuk
membuat film dengan peralatan yang standart seperti layaknya pembuatan film
betulan. Kami ingin film kami juga ada pergerakan kamera dan mempunyai kualitas
yang bisa dinikmati secara baik. Namun kami juga sadar bahwa kami tinggal
diujung timur Indonesia dimana tak ada satupun fasilitas yang bisa menunjang
kegiatan kami ini, kecuali sebuah kamera XL One milik adik saya yang biasa digunakan untuk
mengambil gambar pernikahan. Kami tak ingin bikin film hanya dengan shot statis, kami juga ingin ada pergerakan kamera agar lebih dinamis.
Namun segala kekurangan tersebut tidak menjadikan kendala
berarti bagi kami, kami tetap berkeyakinan bisa membuat film dengan menggunakan
alat alat itu. Kami lalu mulai mencari berbagai contoh gambar dolly track
melalui internet. Itupun butuh waktu lama sebab internet dikota kami leletnya
bukan main. Setelah mendapatkan contoh gambarnya, kami lalu membawa gambarnya
ke sebuah tukang las dan memintanya untuk menirunya semirip mungkin.
Dalam waktu 3 Minggu seluruh besi rel dan tatakan tempat
duduk kamera sudah jadi namun yang menjadi kendala lagi waktu itu adalah roda
yang berjalan diatas rel nya. Rupanya roda itu kurang berfungsi dengan baik,
kami memang menggunakan roda kaki lemari yang dijepitkan pada bantalan rel.
untunglah waktu itu salah satu kru kami ada yang punya tugas ke Jakarta selama
satu minggu, maka kami pun memesannya untuk membeli kan roda kaki lemari lagi
yang sesuai dengan keinginan tukang las. Maka setelah semuanya bisa terpenuhi,
jadilah dolly track bikinan kami itu meskipun mirip secara fisik namun memang
tak semulus dolly track betulan yang biasa dipakai di film.
Untuk bisa mulus jalan nya sebelum digunakan bantalan rel
itu harus selalu dilumuri oli atau gumuk. Ini menjadikan sebuah kerepotan tersendiri karena setiap rel akan dipindahkan maka krunya harus siap
berlumuran oli dan lengket memegangnya. Rel juga begitu panjang sekali dan bisa
disambung menjadi dua, karena itu setiap pindah lokasi maka rel akan diletakkan
diatas mobil bak kecil dimana dialam mobil itu juga ada para pemain dan kru.
Kendaraan operasional kami satu satunya memang saat itu adalah mobil bak kecil
itu.
Hampir semua pengambilan gambar film Melody Kota Rusa
akhirnya menjadi lebih dinamis meskipun dikerjakan dikampung kecil lewat
bantuan alat alat bikinan sendiri tadi.
Ada lagi sebuah peralatan yang harus kami akali yaitu tiang
boom untuk menaruh mic audio. Kami hanya sempat membeli Mic kondensor Audio
namun tak bisa membeli tiangnya itupun pesannya lama sekali baru sampai barangnya. Karena itulah kami lalu memesan tiangnya
disebuah tempat pembuatan pipa aluminium. Kami sempat mencoba coba sebelum
akhirnya memutuskan membuatnya dari sebuah batang pipa yang cukup besar lalu di cat
hitam. sebelumnya malah kami juga pernah menggunakan batang kayu namun terlalu berat.
Beberapa tahun kemudian ketika kami membuat film Melody Kota
Rusa yang kedua, kami kembali terbentur dengan masalah audio ini. Ketika
beberapa pengambilan gambar di luar ruangan menjadi noise karena suara angin
keras menerpa mic audio. Kami lalu mencoba membuat tiruan untuk penahan angin
dari sebuah botol air mineral yang di bolong bolongi dan di tempeli bulu bulu
ayam. Namun sebelumnya juga kami sempat menggunakan kardus bekas air mineral
yang di lobangi seperti kandang ayam dan menempatkan microfon ditengahnya.
Bermacam cara kami lakukan guna mendapatkan hasil terbaik waktu itu. Sekali lagi
karena kami tinggal ditempat yang tidak menyediakan fasilitas fasilitas tadi,
sekalipun ada uang untuk membeli alat itu namun tidak ada satupun toko yang
menjual peralatan tersebut.
DI USIR KARENA DISANGKA WARTAWAN
Kejadian ini terjadi tahun 2011 ketika pertama kalinya kami menggunakan kamera DSLR 7 D untuk film Melody Kota rusa 2. Kami semua juga baru pertama kalinya tahu bahwa ada sebuah kamera foto yang bisa dijadikan alat buat merekam video ternyata. Hari itu kami harus melakukan pengambilan gambar secara mendadak karena bertepatan dengan tim Persipura Jayapura datang mengunjungi kota Merauke dalam rangka pertandingan sepakbola persahabatan dengan tim Persimer Merauke.
Para tim Persipura pun masuk sambil membawa piala mereka kedalam ruang VIP bandara dimana disitu sudah menunggu Bapak Bupati Merauke beserta wakilnya. Kami terus bergerak mengikuti rombongan bersama pemain film kami yang terus menempeli Boaz Salossa. Begitu masuk kedalam ruangan, Boaz langsung duduk didekat para pejabat lalu kemudian para pemain kami juga duduk didepannya mengobrol bersama. Di situlah terdengar berkali kali suara dari MC melalui microfone yang meminta kepada wartawan segera keluar dari ruangan. Kami sempat berhenti sebentar dan melihat ke sekeliling kami ternyata tak ada satupun wartawan yang ikut masuk diruangan itu hanya kami saja yang sedang melakukan syuting, karena memang sudah diijinkan oleh dinas kebudayaan. Bapak Bupati sendiri waktu itu juga langsung mempersilahkan kami untuk melakukan pengambilan gambar dan ia hanya menontonnya disamping. Namun kembali terdengar suara teguran makin keras meminta yang wartawan agar segera keluar dari ruangan agar tak mengganggu pengambilan gambar yang sedang berlangsung. Kami lalu menyadarinya bahwa yang dimaksud wartawan itu ternyata adalah kamera 7 D yang sedang melakukan pengambilan gambar dibagian paling depan sementara dibelakangnya ada kamera XL One yang menyoroti sebagai behind the scenenya (kamera dibalik layar) yang disangka sebagai kamera utamanya. MC mengira ada wartawan yang menghalangi pengambilan gambar sehingga kamera syuting berada dibelakang sementara kamera foto didepan.
Sampai akhirnya syuting selesai, materi kami memang terganggu audionya dengan suara suara teguran tadi, namun kami memakluminya bahwa mungkin memang belum banyak orang yang tahu dan mengira bahwa kamera foto itu hanya bisa buat memotret saja. Justru kamera XL one yang difungsikan hanya buat merekam aktifitas dibalik layar kami itulah yang disangka sebagai kamera utamanya karena bentuk kamera XL One memang meyakinkan besar dengan lensa yang panjang, sedangkan kamera 7D lebih mirip sebagai kamera foto milik wartawan, tak ada yang tahu bahwa sebenarnya kamera kecil itulah yang menghasilkan film film tersebut dalam kualitas HD.
DI USIR KARENA DISANGKA WARTAWAN
Kejadian ini terjadi tahun 2011 ketika pertama kalinya kami menggunakan kamera DSLR 7 D untuk film Melody Kota rusa 2. Kami semua juga baru pertama kalinya tahu bahwa ada sebuah kamera foto yang bisa dijadikan alat buat merekam video ternyata. Hari itu kami harus melakukan pengambilan gambar secara mendadak karena bertepatan dengan tim Persipura Jayapura datang mengunjungi kota Merauke dalam rangka pertandingan sepakbola persahabatan dengan tim Persimer Merauke.
Karena syuting kali ini bersifat semi documentary maka
kamera sifatnya hanya mengikuti obyek tokoh utamanya saja, sedangkan seluruh
gerakan dan dialog sudah diberikan pengarahan kepada para pemainnya untuk
langsung bergerak sendiri tanpa ada kehadiran sutradara didepan mereka.
Meskipun sifatnya spontanitas namun syuting ini sudah di atur dan di ijinkan
oleh Pemda lewat Dinas Kebudayaan dan Pariwisata bahkan pak Bupati pun sudah diberi tahu tetapi Persipura tidak tahu.
Tibalah rombongan Tim Persipura Jayapura yang turun dari
pesawat disambut oleh tarian tarian pembuka. Para pemain film Melody kota rusa
2 mulai diarahkan untuk mendekati salah satu bintang Persipura yakni Boaz
Salossa. Ya di skenario film sekuel ini memang digambarkan bagaimana minggus
yang sangat suka dengan Persipura akhirnya bisa bertemu dengan tim
kebanggaannya tersebut, ia juga diberikan adegan bertemu dan berdialog dengan
Boaz Salossa.
Adegan Kanib, Enob dan Minggus mendekati dan histeris
melihat Boaz Salossa. Ketika adegan sedang berlangsung, Boaz dan Ortisan
berbisik pada Kanib (Spikdion Baransano) yang mendekati mereka : “Kanib mari
kita foto dulu” lalu jawab Kanib “Ah kaka kita ini sekarang sedang syuting,
nanti saja sebentar kalau sudah selesai take”. Rupanya kedua pemain bola itu juga
menggemari film Melody Kota Rusa yang pertama sehingga mereka juga ngefans dengan
para pemainnya, sedangkan saat itu kita sedang melakukan pengambilan gambar secara
diam diam adegan anak anak Melody Kota Rusa yang ngefans dengan pemain
Persipura. Semua tidak ada yang tahu karena syuting dilakukan secara
spontanitas seakan akan dokumenter.
dalam adegan harusnya anak anak itu yang senang ketemu Boaz namun Boaz juga ikut senang ketemu mereka karena ia rupanya fans film Melody Kota Rusa pertama
Para tim Persipura pun masuk sambil membawa piala mereka kedalam ruang VIP bandara dimana disitu sudah menunggu Bapak Bupati Merauke beserta wakilnya. Kami terus bergerak mengikuti rombongan bersama pemain film kami yang terus menempeli Boaz Salossa. Begitu masuk kedalam ruangan, Boaz langsung duduk didekat para pejabat lalu kemudian para pemain kami juga duduk didepannya mengobrol bersama. Di situlah terdengar berkali kali suara dari MC melalui microfone yang meminta kepada wartawan segera keluar dari ruangan. Kami sempat berhenti sebentar dan melihat ke sekeliling kami ternyata tak ada satupun wartawan yang ikut masuk diruangan itu hanya kami saja yang sedang melakukan syuting, karena memang sudah diijinkan oleh dinas kebudayaan. Bapak Bupati sendiri waktu itu juga langsung mempersilahkan kami untuk melakukan pengambilan gambar dan ia hanya menontonnya disamping. Namun kembali terdengar suara teguran makin keras meminta yang wartawan agar segera keluar dari ruangan agar tak mengganggu pengambilan gambar yang sedang berlangsung. Kami lalu menyadarinya bahwa yang dimaksud wartawan itu ternyata adalah kamera 7 D yang sedang melakukan pengambilan gambar dibagian paling depan sementara dibelakangnya ada kamera XL One yang menyoroti sebagai behind the scenenya (kamera dibalik layar) yang disangka sebagai kamera utamanya. MC mengira ada wartawan yang menghalangi pengambilan gambar sehingga kamera syuting berada dibelakang sementara kamera foto didepan.
dalam ruangan ini adegan terganggu suara MC yang menyuruh wartawan keluar, wartawan yang dimaksud adalah kamera utama kami yakni kamera 7D yang mirip kamera foto wartawan
Sampai akhirnya syuting selesai, materi kami memang terganggu audionya dengan suara suara teguran tadi, namun kami memakluminya bahwa mungkin memang belum banyak orang yang tahu dan mengira bahwa kamera foto itu hanya bisa buat memotret saja. Justru kamera XL one yang difungsikan hanya buat merekam aktifitas dibalik layar kami itulah yang disangka sebagai kamera utamanya karena bentuk kamera XL One memang meyakinkan besar dengan lensa yang panjang, sedangkan kamera 7D lebih mirip sebagai kamera foto milik wartawan, tak ada yang tahu bahwa sebenarnya kamera kecil itulah yang menghasilkan film film tersebut dalam kualitas HD.
DI DATANGI INTEL TENTARA DAN DI INTEROGASI
Kejadian ini terjadi ketika kami sedang syuting film SPOK
horror pertama di Papua. Waktu itu ada adegan camping berkemah dipinggir pantai
yang pengambilan gambarnya dilakukan ditengah malam. Sejak awal tim artistik
kami telah menyiapkan segala keperluan guna mewujudkan adegan itu diantaranya
adalah meminjam tenda ke institusi militer karena waktu itu memang tak ada
budget buat kami untuk membeli tenda camping yang bagus, tim artistik bilang katanya banyak tenda camping milik tentara yang bisa dipinjam..
Ketika semua set sudah dipasang sebenarnya kami sudah merasa
tidak nyaman karena melihat tenda tenda yang diberikan ternyata semuanya
berwarna loreng loreng militer padahal sebenranya ada jenis tenda lain juga tapi kenapa malah yang loreng yang diberikan ?. Namun menurut tim artistik kami itu tak masalah,
sebab loreng sekarang juga bukan berarti hanya ciri khas tentara saja yang memakainya.
Lagipula akan butuh waktu yang lama jika kita harus mencari tenda lainnya lagi
apalagi waktu sudah menunjukkan jam 1 malam.
Ditengah malam buta itu, tiba tiba datang dua orang berbadan
tegap dan berambut cepak mendekati kelompok kami yang sedang mempersiapkan
adegan syuting dipinggir pantai tersebut. Mereka awalnya hanya membuntuti kami
dari kejauhan namun kemudian mendekati kami dan mulai menginterogasi kami.
Seseorang dari mereka malah Nampak sedang berkomunikasi dengan atasan mereka
lewat handpone. Rupanya mereka mencurigai kegiatan kami yang dilakukan ditengah
malam buta itu apalagi kami menggunakan tenda tenda tentara. Kami pun mulai
menjelaskan segalanya mulai dari tenda pinjaman dari pihak tentara sampai
dengan nama organisasi komunitas kami yaitu Papua Selatan Film Community.
Disitulah sempat terjadi kejadian yang lucu karena dua petugas tadi melaporkan
lewat handphone ke atasan mereka bahwa kami dari komunitas Papua Barat. Ini
membuat kami bisa saja dicurigai sebagai sebuah organisasi politik. Memang isu isu menyangkut politik sangat sensitif sekali di wilayah paling timur ini, salah sedikit kita bisa berhadapan dengan hukum.
Cukup lama kami bernegosiasi dengan dua petugas itu mencoba
menjelaskan bahwa kami ini kelompok pembuat film yang selama ini sudah sering
bikin film di Merauke jadi tak perlu di curigai macam macam.
Untunglah dua petugas itu mengenali karya karya kami
sebelumnya seperti Melody Kota rusa dan Epen Cupen, mereka lalu menjelaskan
kepada atasannya perihal penjelasan tadi dan akhirnya kami pun bisa kembali
syuting dan kedua orang itupun meninggalkan kami.
Setelah kepergian dua petugas itu maka kami lalu mencopot
tenda tenda loreng tadi dan segera menggantinya dengan terpal biasa saja, sebab
kami merasa tidak ingin dipersulit lagi dikemudian hari. Hari itu mungkin kami
berhasil menjelaskan kepada dua orang tersebut namun belum tentu dikemudian
hari kami bisa saja berhadapan lagi dengan komandannya gara gara tenda loreng
yang kami gunakan. Bisa saja komandan yang di Papua sudah setuju namun jikalau komandan yang ada di pusat Jakarta tidak terima ? bisa bisa film kita yang jadi imbasnya.....
adegan camping dengan background tenda tenda inilah yang sempat bikin masalah
DI TODONG PANAH DI PINGGIR RAWA
Ini kejadian yang tidak akan terlupakan bagi semua kru film
Noble Hearts : Mentari di ufuk timur ditahun 2013 lalu, terutama kru kru film dari Jakarta yang didatangkan kesana. Film ini memang menggunakan 10 kru Jakarta dan sisanya semua dari kru lokal. Salah satu saksi
sejarah yang turut menyaksikannya waktu itu juga adalah Bang Mathias Muchus
aktor kenamaan Indonesia.
Ceritanya bermula dari sebuah adegan yang kami persiapkan
akan diambil di pinggiran rawa kali bian dikampung Muting tempat kelahiran
saya juga sebagai sutradara film ini. Kedua orang tua saya sampai hari ini masih tinggal di kampung kecil itu. Kami syuting hari itu di Kali Bian, Jaraknya cukup jauh dari kampung harus menggunakan perahu
motor melewati rawa dan jalan potong hutan karena waktu itu sedang banjir. Semuanya
sebenarnya sudah dipersiapkan dengan matang mulai dari hunting lokasi hingga
perijinan tempatnya. Apalagi kami menggunakan salah satu tokoh masyarakat
setempat sebagai location managernya. Beberapa hari sebelum gambar dimulai,
sebuah set rumah bevak (tempat sementara) di pinggir kali bian itu telah
berdiri.
Tiba hari pengambilan gambar, kami mengambil gambar dengan
mulus semua nya hingga selesai. Namun ketika kami sedang akan makan siang
sebelum meninggalkan tempat itu, tiba tiba saja sebuah perahu datang dan
seorang bapak membawa parang dan panah menodongkannya dan berteriak keras memarahi seluruh orang
yang ada disitu. Ia berkata bahwa ini tanah dia, tidak bisa seenaknya saja
mengambilnya, ini namanya pencuri tanah katanya.
bevak dipinggir rawa inilah seting yang akan selalu dikenang Bang Mathias Muchus
Waktu itu yang menjadi sasaran kemarahannya adalah pace Klemens sebagai manager lokasi kami yang mengaku sudah meminta ijin ke keluarga pemilik tanah tersebut. Rupanya disitu baru kami tahu bahwa Pace Klemens memang sudah memberi tahu semua keluarga pemilik tanah itu namun ada salah satu paman mereka yang tinggal di sebuah hutan dan jarang kekampung yang baru saja tahu . Paman itu rupanya mendengar dari beberapa orang yang lewat ketika kami sedang syuting, ia menjadi marah mengira kami menduduki tanahnya tanpa ijin. Ia juga berteriak meminta dan memaksa kami harus membayar 10 juta saat itu juga.
Pace Klemens berusaha menjelaskan bahwa ini tanah bukan kita
ambil tetapi hanya dipinjam sementara saja buat syuting. Bahkan harusnya mereka enak
karena kita sudah membersihkan rumputnya dan membangunkan bevak diatasnya jadi
nanti bevaknya bisa jadi tempat istirahat mereka susai syuting tak perlu dibongkar lagi. Jadi harganya pun paling
hanya harga pinjam sementara saja bukan harga beli tanah.
Paman itu makin marah dan mulai mengangkat busurnya dan menodongkan panahnya ke Pace Klemens yang berdiri diantara para kru. Disamping perahu itu ada Bang Mathias Muchus yang tepat duduk diatas perahu bersebelahan dengan ibu yang mendayung perahu si Paman. Ia baru saja akan makan namun melihat kejadian itu dia hanya diam tak berkutik memegang nasi bungkusnya. Si ibu hanya tersenyum sambil berkata ke Bang Muchus : tidak papa…makan saja…itu dia marah sama pace Klemens saja bukan ke kalian…
Semua kru yang waktu itu hendak makan memang menghentikan
makannya. Ada 1 anggota koramil serta dua anggota polisi dari kota Merauke yang
ditugaskan mengawal kami selama di Muting juga tak bisa berbuat banyak, mereka sadar jika ini
masalah keluarga tentang salah paham. Mungkin sudah ijin tetapi ada satu
anggota keluarga yang tidak tahu karena tinggal dihutan. Mereka lalu
menyarankan si paman itu agar segera menemui ayah saya dikampung Muting untuk
menyelesaikan semuanya secara baik baik. Ayah saya memang dikenal sebagai tokoh masyarakat di kampung Muting yang didengarkan kata katanya. Film Noble Hearts ini sebenarnya mengangkat tentang kisah hidupnya di Muting, Mathias Muchus waktu itu sedang memerankan adegan sebagai ayah saya yang sedang membujuk seorang anak untuk sekolah dipinggir kali itu. Akhirnya semuanya kembali normal setelah si paman bersedia menemui ayah saya di kampung nanti.
Semua kru yang ketakutan segera pulang dan tak ingin kembali lagi ketempat itu ada rasa trauma.
Begitu kru tiba di darat dikampung, kembali sebuah masalah
besar mengagetkan semua ketika hasil rekaman
gambar selama di pinggir kali tadi dalam bentuk data tak bisa di loading ke computer. Datanya rupanya
kosong !
Bukan main stressnya kru termasuk bang Muchus karena tempat
tadi menjadi tempat yang yang paling sulit namun kini ternyata datanya tak
terekam. Bahkan loader yang menarik datanya sempat jadi sasaran kemarahan kru.
Untunglah data langsung dikirimkan ke Jakarta hari itu juga dan kami menunggu selama
5 hari dengan cemas, ternyata semua data bisa direcovery dan aman. Entah apa
yang membuat data itu bisa hilang awalnya. Untunglah kami tidak jadi kembali
lagi mengulang adegan yang sulit tadi.
Selama kami syuting film Melody kota rusa dengan kru anak
anak Merauke selama ini sebenarnya tak pernah mengalami masalah seperti ini terjadi, bahkan kami tak pernah dimintai apapun sepeserpun.
mungkin karena semua masyarakat melihat kami adalah anak anak daerah sehingga
masyarakat membantu dengan semangat tanpa pamrih. Namun ketika kami datang dengan membawa wajah
wajah baru dari Jakarta maka segala sesuatu menjadi beda ceritanya pula. Dulu hal
hal yang biasa kami bebas di dukung dengan gratis sekarang menjadi dihitung semuanya
bahkan apapun dikenai biaya.
LOKASI MEDAN YANG SULIT
Untuk menjangkau beberapa lokasi menarik memang butuh sebuah
kerja keras. Beberapa pengalaman selama mencari lokasi syuting sempat kami
alami diantaranya sewaktu hunting lokasi film SPOK dipinggiran hutan kawasan
taman nasional Merauke, mobil kami terperosok kedalam tanah yang gembur, tidak
disangka tanah yang terlihat ada rumputnya namun ketika di injak roda masuk
kedalamnya. Kami berupaya mengeluarkan mobil dari siang sampai malam. Namun sia
sia. Akhirnya kami pun pulang menumpang truk dijalan dan meminta bantuan di
kota. Mobil baru bisa di keluarkan jam 1 malam setelah membawa truk untuk menariknya keluar dari hutan itu.
Lalu beberapa film kami juga membutuhkan energi besar ketika
harus berjalan kaki berpuluh puluh kilometer masuk kedalam hutan untuk mencari
lokasi yang bagus. Jalan jalan tersebut tidak bisa dimasuki mobil karena itu
harus berjalan kaki, sehingga alat alat syuting pun harus dipikul bahkan kadang
dinaikkan keatas gerobak.
Ketika membuat film Noble Hearts, kami sempat menunda
syuting sehari karena hari pertama kami tiba dikampung Muting, truk yang
membawa peralatan kami tertanam lumpur dijalan sehingga harus dipindahkan semua
barang barangnya sedikit demi sedikit di mobil kecil. Semua kru harus bekerja
saling membantu, mau kru atau pemain semua bagaikan kuli dilapangan.
ADA BEBERAPA HAL SAKRAL YANG DILARANG DI EKSPOSE KAMERA
Di dalam budaya masyarakat Marind suku yang mendiami selatan
tanah Papua, adat itu mempunyai mata sehingga tak bisa seenaknya saja diekspose
di sebuah media. untuk bisa mengambil adegan adegan yang ada adat dan budayanya
memang diperlukan ijin ijin khusus. Bahkan untuk hal hal sepele yang tidak kami
sangka pun kadang bisa menimbulkan masalah.
Ketika membuat film Melody Kota Rusa, ada adegan yosim
yang berupa adegan permainan musik asli tradisional dan tarian muda. Waktu itu
saya meminta disediakan bass dari bambu seperti yang biasa saya lihat dimasa
kecil saya dikampung itu. Namun ada seorang tokoh masyarakat melarangnya dengan
alasan bambu selama ini digunakan untuk pesta adat jadi tak boleh di ekspose
sembarangan. Akhirnya kami pun membatalkannya dan mengganti dengan bass gitar
biasa. padahal betapa uniknya bass dari bambu itu sayang tak boleh diangkat ke media seenaknya.
Lalu ada juga sebuah rumah adat yang dilarang untuk diambil
gambarnya. Kejadian lucu terjadi ketika kami mengambil gambar persis didepan
rumah adat itu. Kamera utama yang kami gunakan sudah di wanti wanti jangan
mengambil gambar kearah rumah adat itu, namun kamera behind the scene (dibalik
layar) yang merekam aktivitas kami harus berputar putar mengambil gambar wajah
wajah kru dan sempat disangka mengarahkan kamera ke rumah adat itu. Maka semua
gambar pun dicek diperlihatkan dan terbukti memang tak ada gambarnya.
Seandainya saja terekam gambarnya kami bisa terkena denda adat. Rupanya kamera
behind the scene itu kebetulan saja sempat menghadap ke rumah adat namun tidak
merekam.
Beberapa kru film Noble Hearts sempat terkena denda adat
akibat melanggar patok merah yakni patok dimana yang punya rumah sedang berduka
dan halamannya tak boleh dilewati dengan kendaraan ber motor. Padahal didalam
filmnya sendiri ada adegan melanggar patok tersebut dan ditegur, namun rupanya
kru film yang dari Jakarta sendiri juga akhirnya terkena denda adat itu. Mereka
harus membayar sekitar 300.000 sampai 500.000.
Kejadian kejadian ini sebagai peringatan bahwa dimana bumi
dipijak disitu langit dijunjung, saya dan kawan kawan semua sudah tahu namun kawan kawan kami kru dari Jakarta tidak paham hal ini.
adegan rumah yang diberi patok merah tanda berduka di film Noble Hearts Mentari diufuk timur
DI TOLAK SYUTING DI SEBUAH SEKOLAH KARENA GENRE FILMNYA
HORROR
Ini juga pengalaman paling menggelikan selama syuting di
Merauke. Waktu itu kami berencana akan mengambil gambar disebuah sekolah
menengah atas untuk film Horror SPOK. Jauh hari sebelumnya tim kami sudah mengurus
segala ijinnya bahkan sudah bertemu langsung dengan Kepala Sekolah SMA
tersebut. Kami pun dengan percaya diri
sudah menurunkan semua peralatan syuting termasuk rel rel bikinan kami kedalam
halaman sekolah.
Hari itu ternyata sang Kepala Sekolah sedang berada di
Jakarta namun beliau lewat telepon sudah mengijinkan kami melakukan pengambilan
gambar ditemani guru guru disitu.
Rupanya terjadi kesalah pahaman diantara para guru disitu,
mereka mengira kami akan mengambil gambar adegan siswa siswi mereka. Itulah
makanya ketika kami minta beberapa siswa siswi disiapkan untuk menjadi figuran
disekolah itu, mereka sangat antusias karena mengira siswa siswi itu akan
bermain di film ini.
Namun rupanya para guru itu mendadak berubah sikapnya ketika
melihat para pemain utama film SPOK mulai masuk kelokasi syuting. Beberapa
kostum mereka memang kelihatan sedikit urakan. Ada yang bajunya digulung
lengannya, baju dikeluarkan keluar. Hingga mereka juga melihat pemeran utama
wanitanya yang memakai rok diatas lutut meskipun bukan rok mini. Kami sudah menjelaskan bahwa adegan itu bagian dari karakter pemuda yang nantinya akan dikejar SPOK/hantu didalamnya. Tidak mungkin karakter anak baik baik dalam hal ini mengikuti cerita fiksinya namun mereka tetap tak menerima.
Mulailah para guru itu memprotes dan keberatan jika film itu
di syuting di sekolahnya. Meskipun Kepala sekolah sudah mengijinkan mereka
tetap tak mau mengijinkan kami melanjutkan pengambilan gambar. Alasannya karena
film ini dianggap tidak mendidik dan dianggap bisa menjatuhkan citra sekolah mereka.
Apalagi katanya filmnya bukan film pendidikan tetapi film horror. Kami sempat
menjelaskan bahwa ini hanya sekedar film fiksi yang punya pesan nilai moral
juga didalamnya, jangan dikira sebuah film Horror tak bisa membawa pesan
positif. Mengenai kostum yang digunakan itu ini disesuaikan karena ini adalah
sekolah umum bukan sekolah berbasis agama jadi wajar saja asalkan tidak sexy
dan tak ada yang aneh aneh. Namun kembali lagi para guru malah menawarkan para
siswa siswinya untuk menjadi pemeran utamanya, mereka mengira syuting di
sekolah mereka berarti para siswanya yang akan bermain juga, ternyata kami
hanya meminjam lokasi sekolahnya saja karena itu mereka tetap keberatan.
Akhirnya kami pun di minta keluar sekolah, dan hari itu kami
harus dadakan menuju sekolah lain untuk meminta ijin syuting di sekolahnya. Beruntunglah sekolah kedua yang
kami tuju langsung mengijinkan kami dengan alasan bahwa ini adalah karya dari
anak anak daerah dengan kisah yang positif jadi tidak ada alasan untuk tidak
didukung oleh Kepala sekolahnya.
adegan berpakaian SMA seperti ini yang menjadi keberatan para guru
DISANGKA KERJASAMA DENGAN TENTARA GARA GARA BERFOTO DENGAN
TENTARA PERBATASAN
Ini sebuah kejadian yang cukup mengagetkan karena terkadang
niat baik malah bisa menjadi sesuatu hal yang buruk bagi kita.
Ketika syuting film di lokasi yang tempatnya didekat
perbatasan RI-PNG. Kita tahu bahwa daerah antara Merauke dan Muting itu
melewati perbatasan Negara Indonesia dan Papua Nugini jadi setiap 5 – 10 KM
akan ada pos penjagaan TNI yang di sebar disepanjang jalanan.
Ketika kami melakukan kegiatan syuting sudah pastilah para
petugas ini akan menjadi pintu pertama yang harus kita lewati sebelum masuk ke
lokasi syuting. Karena itulah jika ada pemain kami yang menjadi fans mereka,
mereka akan dengan segera berfoto bersama kami semua.
Terkadang kami akan berfoto bersama dengan komandannya
didepan gerbang pos militer tadi. Awalnya kami merasa itu hal biasa yang tak
perlu dirisaukan. Namun lain ceritanya ketika foto foto behind the scene itu
tersebar ke dunia maya. Kami sempat mendapatkan beberapa pertanyaan dan
serangan yang mengira bahwa film kami itu di biayai atau didanai atau
bekerjasama dengan TNI atau pihak militer Indonesia. Ini fitnahan fitnahan keji
yang ditujukan kepada kami disaat kami selama ini berjuang dengan sendiri apa
adanya mencari produser dengan tujuan berkarya murni tanpa adanya propaganda
ataupun tendensi pihak pihak tertentu sekarang malah di tuduh seperti itu.
Jelas saja tuduhan karena menilai foto tersebut sangatlah menyakitkan hati kami.
Justru kami ini pernah di curigai pihak
militer ketika membuat film dipantai dengan tenda tentara lalu kini kami malah
dicurigai kebalikannya, mengira kami bekerjasama dengan tentara !
Sejak kejadian itulah kami berupaya berhati hati menyebarkan
foto foto kegiatan dibalik layar. Semua harus diseleksi dengan ketat agar tidak
ada lagi yang salah paham kepada kami sehingga melakukan fitnahan yang
menyakitkan hati. Kisah ini ibarat foto seorang fans yang berpelukan dengan
artis pujaannya lalu memfitnahnya sebagai kekasih gelapnya. Semua di judge hanya dari foto.
Saya sendiri sebenarnya sangat tidak ingin membuat film dengan tendensi atau pesanan pihak tertentu, syukurlah semua karya karya kami selama ini lepas daris emua unsur seperti itu, seandainya jika saya mau sejak dulu sudah banyak pihak yang menawarkan saya tapi saya masih tetap memilih berkarya tanpa adanya unsur pesanan seperti itu.
Saya sendiri sebenarnya sangat tidak ingin membuat film dengan tendensi atau pesanan pihak tertentu, syukurlah semua karya karya kami selama ini lepas daris emua unsur seperti itu, seandainya jika saya mau sejak dulu sudah banyak pihak yang menawarkan saya tapi saya masih tetap memilih berkarya tanpa adanya unsur pesanan seperti itu.
IBU YANG MENANGIS LIHAT ANAKNYA DI PANAH
Kejadian konyol ini terjadi jauh ditahun 2000 an ketika saya
baru saja menyelesaikan kuliah film saya di IKJ. Waktu itu saya pulang
ke kampung saya Muting Merauke kampung kecil, dan mencoba membuat beberapa film pendek iseng
guna menghibur masyarakat. Caranya adalah kami melakukan syuting tanpa edit
dengan kamera Panasonic VHS kala itu. Syuting dilakukan dengan editing langsung
dilapangan, jadi ketepatan potongan gambar harus tepat, lalu pulangnya tinggal
di isi musik dan malamnya diputar. Playernya juga menggunakan kamera itu
langsung.
Pemutaran dilakukan didepan rumah saya dengan memakai sebuah
televisi 14 inch yang diletakkan agak tinggi dipojok halaman luar. Hari itu
jalanan didepan rumah penuh sesak sampai tak bisa dilalui lagi. Semua orang
kampung berkumpul melihat kesatu titik televisi kecil itu. Memang itulah kali
pertama mereka akan menyaksikan anak anak dikampungnya bermain dalam sebuah
film. Perlu diketahui bahwa selama ini masyarakat dikampung saya itu mereka
tahunya adegan adegan dalam film yang biasa dilihat itu adalah betulan. Orang
belum tahu jika film itu adalah sebuah kreasi tipuan saja. Selama ini mereka kira kalau ada adegan tertembak dan mati itu berarti mati benaran. Jangankan mereka, saya sendiri juga dulu menyangka begitu sampai akhirnya setelah saya keluar dari kampung saya dan kuliah di IKJ barulah saya berubah pikiran tentang film.
Waktu itu ada adegan seorang anak yang terkena panah hingga tembus di dadanya. Masyarakat menonton dengan tegang adegan itu. Tanpa terasa sebuah teriakan dari sudut memecah keheningan, rupanya ibu dari anak itu berteriak ketika melihat anaknya terpanah di televisi. Ia begitu ketakutan menangis sampai berlutut di tanah mengira anaknya betul betul dipanah hingga berdarah darah. Ia terus berteriak memanggil anaknya sambil maju mendekati layar TV itu. Beruntunglah si anak lalu mendekati ibunya sambil memeluknya dan memberi tahu bahwa dia tak kenapa kenapa. Si Ibu lalu membuka baju anaknya memastikan bekas luka panah tersebut dan memang tak ada.
Setelah menonton film malam itu besoknya disekolah anak itu
bercerita bahwa dia diperiksa dadanya oleh teman temannya untuk memastikan
apakah ada bekas luka panah seperti yang mereka lihat semalam.
inilah adegan kena panah yang kontroversial dikampung kami
Saya hanya diam berpikir melihat kejadian langka itu, terbayang sejenak kisah pertama kalinya ketika media film pertama kalinya diperlihatkan di publik oleh Lumiere bersaudara ditahun 1895 waktu itu konon saat memutar adegan sebuah kereta yang menuju kamera, maka semua penonton berlarian keluar ruangan saking takutnya mengira itu kejadian betulan.
Kelak kemudian peristiwa ini saya kenang sebagai sejarah masyarakat di kampung saya dalam memahami sebuah film sebagai sebuah hiburan. Mereka
baru tahu jika film itu hanya sebuah kreasi seni saja bukan betul betul terjadi
seperti yang dipikirkan mereka . saya menyebut ini sebagai titik
balik masyarakat kampung itu dalam mengapresiasi sebuah film sebagai sebuah
pengetahuan baru.
BERTENGKAR DENGAN ORANG KARENA SALAH PAHAM MENGIRA RUMAHNYA AKAN DI LEDAKKAN
Kejadian ini juga masih sejalan dengan diatas, masih tidak begitu lama dengan kejadian masyarakat kampung Muting yang baru saja mengetahui bahwa sebuah film itu hanyalah sebuah kreasi tipuan kamera belaka. Kini saya kembali membuat sebuah film yang bertema kepahlawanan dengan menggunakan banyak visual effect seperti ledakan, terbang dll dengan software instant effect partikel illusion.
Waktu itu kami berencana membuat sebuah adegan yang meledakkan beberapa rumah besar yang ada di kampung itu dengan menggunakan computer grafis atau efek visual. Beberapa adegan sudah kami ambil stok rumahnya tinggal di kerjakan saja di computer untuk efek ledaknya dan apinya. Rupanya rencana kami ini bocor dan tersebar dari mulut kemulut hingga sampai ke telinga pemilik salah satu rumah yang ingin diledakkan. Kontan saja ini membuat pemilik rumah jadi marah, ia mencari kami dan memberi tahu orang dan mengatakan bahwa kami ini katanya mengaku berpendidikan tinggi tetapi kog bisa bisanya ingin mem bom rumah orang ? itu kan tindakan orang yang tidak berpendidikan katanya....
Kami yang mendengar isu isu tersebut hanya bisa tersenyum saja mendengarnya, rupanya telah terjadi kesalah pahaman. Kami tidak bermaksud meledakkannya betul betul, itu hanya akan terjadi di efek computer saja, namun si pemilik rumah sudah terlanjur marah dan tetap menolak jika rumahnya diledakkan sekalipun dikomputer karena menurutnya pemali meledakkan rumah orang. Terjadi ketegangan akibat masalah sepele itu, akhirnya seorang pemilik rumah lainnya dengan senang hati mempersilakan kami untuk mem bom rumahnya. Silahkan saja katanya mau dibom atau dibakar atau dihancurkan juga tidak papa katanya toh itu hanya tipuan kamera saja toh. Ia juga ingin membuktikan bahwa mereka tak ingin membatasi kreatifitas kami selagi itu tidak merugikan mereka. Kenapa harus takut rumahnya mau diledakkan, toh juga Cuma ledakan versi computer bukan diledakkan benaran..ada ada saja….sewaktu di editing akhirnya kami putuskan untuk tidak jadi meledakkan rumah yang pemiliknya keberatan tersebut. Sebagai gantinya rumah rumah lainnya diledakkan dengan efek termasuk sekolah sekolah.
Salah satu adegan rumah yang diledakkan dengan visual komputer di film kami waktu itu
Kelak kemudian setelah filmya sudah jadi, semua orang sekampung duduk bersama menyaksikan filmnya sambil tertawa tawa bahwa asyik juga ya rumahnya bisa meledak dan terbakar begitu tanpa merugikan siapapun.
Yang lucunya pemeran utama film ini seorang anak kecil yang kami buat terbang, menjadi incaran semua orang setelah menontonnya terbang. Ia selalu ditanyai mengapa sampai ia bisa terbang seperti itu bagaimana caranya ? sekali lagi saya membuat sejarah baru lagi bagi apresiasi film dikampung saya.
2 comments:
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬
Isi blognya sangat menarik, ternyata salah satu kru pembuat Epen Cupen the movie ya?
Sangat banyak kisah yang menarik dan menambah wawasan tentang tanah Papua. :)
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬
Ya...ini adalah blog resmi milik sutradaranya yang selama ini selalu membuat film di Papua..thx atas kunjungannya....:)
Post a Comment