Wacana tentang hadirnya bioskop rakyat kini mulai menguat kembali seiring makin rendahnya perolehan penonton film Indonesia di bioskop bioskop besar Nasional.
Di daerah daerah, dulunya film film Indonesia menjadi primadona bagi penonton. sayang hal tersebut kemudian terhenti sejak tahun 90 an dimana tekhnologi VCD dan DVD mulai berkembang seiring juga televisi makin menyiarkan banyak film film yang bagus, sementara di tahun 90 an itu film film Indonesia yang dibuat juga kebanyakan yang pamer dada dan paha. Maka minat masyarakat di daerah pun turun drastis dan imbasnya beberapa bioskop yang selalu penuh dan menjadi sumber hiburan satu satunya juga ikut tutup. Bioskop kemudian lebih banyak terpusat didaerah perkotaan,di Mall Mall besar dengan harga tiket yang tentunya juga jauh lebih mahal. Masyarakat daerah pun kini seakan tak mengenal apa itu bioskop. Apresiasi terhadap karya film pun jadi makin rendah. masyarakat kemudian menonton film Indonesia lewat media VCD/DVD atau televisi karena hanya itu media yang ada dikotanya.
dulu antusias penonton lebih tinggi menonton film Indonesia daripada film Barat
(sumber foto : Grup FB Merauke)
Sejak tahun 2010 saya mencoba merintis upaya menghidupkan kembali bioskop rakyat ini diujung timur Indonesia yang jauh dari segala hingar bingar dunia perfilman kita. Tujuannya karena saya melihat masih ada kerinduan dari masyarakat tentang film film Indonesia terutama film film bernuansa lokal yang dekat dengan keseharian mereka. Awalnya saya sendiri pesimis ini akan berhasil, namun seiring dengan waktu sedikit demi sedikit semuanya mulai menampakkan hasilnya.
Kisah berikut ini semata mata ingin membuktikan bahwa pasar penonton di daerah itu sebenarnya masih ada dan bukan sekedar wacana. Berikut beberapa usaha tersebut yang saya dokumentasikan dari tahun ke tahun.
TAHUN 2010
Di awal tahun ini, ini adalah usaha pertama saya melakukan experimen kecil melihat potensi penonton daerah yang selama ini tidak muncul kepermukaan. Saya mengajak adik saya untuk memproduksi sebuah film lokal bernuansa Papua berjudul Melody Kota Rusa, film yang dijuluki media Papua Pos sebagai film dengan gaya komedi Papua ini tak disangka mendapatkan apresiasi besar dari masyarakat di Merauke. Inilah pertama kalinya nostalgia gedung bioskop dihidupkan kembali dalam benak masyarakat. Dimana sebuah gedung rapat milik Dinas Kebudayaan Merauke kami sewa dan kami jadikan ruang pemutaran film. Pemutaran waktu itu juga dihadiri oleh Wakil Bupati Merauke, namun yang paling mengesankan bagi saya kala itu adalah hadirnya seorang mantan karyawan pemutar film bioskop tempo dulu yang ikut datang ingin bernostalgia kembali tentang gedung bioskop yang dulu pernah berjaya di masanya.
Tiket yang waktu itu kami beri harga RP. 25.000 untuk dua baris bangku dibagian depan khusus untuk pelajar. Sementara harga tiket normalnya RP. 50.000.
Namun yang tak kalah menarik adalah adanya satu baris (sekitar 10 Kursi) di bagian paling belakang dibuat lebih tinggi kedudukannya dari kursi lainnya yang normal. Kursi kelas VIP ini dihargai RP. 500.000 per dua orang. Kursi kursi ini dilengkapi meja dengan beberapa minuman dan snack didepannya. Dalam 3 hari pemutaran kursi kursi ini bahkan sempat sold out di hari pertamanya. Pembelinya rata rata adalah kalangan pejabat daerah atau anggota dewan.
Pemutaran Film Melody Kota Rusa dilakukan selama 3 hari. lalu kemudian dilanjutkan bulan berikutnya di putar dilapangan terbuka setelah Hak Siarnya dibeli oleh pemda Merauke untuk dijadikan film hiburan ke masyarakat luas. Ketika diputar terbuka di Lapangan Hasanab sai pada ulang tahun Merauke, yang menyaksikan kala itu sekitar puluhan ribu penonton memadati lapangan. Kelak kemudian film ini menjadi populer lewat CVD dan DVD dimana mana bahkan dibajak hingga keluar Papua bahkan ke Jakarta.
Suasana pemutaran dalam dokumen video bisa disaksikan disini :
Kesuksesan film Melody Kota Rusa pertama yang berhasil mengembalikan minat masyarakat ke bioskop daerah membuat kami dipaksa fansnya untuk memfilmkan kisah sekuelnya ditahun ini dengan judul Melody Kota rusa 2. Bahkan tak tanggung tanggung bapak Bupati Merauke sendiri ikut bermain sebagai dirinya sendiri di ending film ini. Film ini menuntaskan semua cita cita para tokoh dalam film sebelumnya yang belum tercapai. Kembali fenomena penonton yang berjubel terjadi di hari pertamanya. Film ini bahkan diputar lebih lama sekitar 1 minggu di gedung Mandala (eks bioskop lama) gedung yang kini sudah dijadikan sebuah lapangan bulu tangkis kembali kami sulap menjadi seperti dahulu lagi. Banyak masyarakat Merauke bernostalgia seakan kembali ke jaman dahulu lagi ketika bioskop berjaya.
Harga tiket kali ini dipatok RP. 50.000 untuk kursi biasa dan RP. 150.000 untuk kelas VIP. Kelas VIP juga ditambah menjadi 25 kursi. Meskipun gedung ini luar biasa pengap dan panas tanpa pendingin ruangan namun penonton rupanya masih berantusias tinggi menonton karya anak anak daerahnya, Saya sendiri sempat duduk didalam gedung tak tahan dan keluar saking panasnya membuat mata berair. Saya salut penonton tetap betah menonton dalam keadaan itu dengan tiket yang lebih mahal dari tiket bioskop 21 Nasional.
Selain diputar di eks gedung bioskop Mandala, Film Melody Kota Rusa 2 juga diputar pada saat menyambut HUT kota Merauke Februari 2012 dengan hak siar yang kembali di beli oleh pemda dengan menghitung per tiket jumlah masyarakat yang menontonnya dan diputar di Gedung Olah Raga Merauke yang kapasitasnya mencapai 1000 kursi sekali putar. terlihat di foto bagaimana suasana gedung yang full kapasitas sampai kursi yang biasa digunakan penonton olahraga di tribun pun masih dipenuhi pula. Dalam kondisi full konon gedung ini bisa menampung 1200 orang.
Film Melody Kota Rusa 2 juga bukan hanya diputar secara komersial di kota Merauke, kelak kemudian ada dua kota lainnya yang mengajukan pemutaran dikotanya dengan di koordinasi oleh Even Organizer setempat. diantaranya adalah di Boven Digoel dan Sorong. namun foto yang saya punya hanya ketika di Boven Digoel saja. Harga tiket Rp. 50.000 dan RP. 150.000 untuk VIP ditayangkan digedung serbaguna pemda Boven Digoel.
TAHUN 2012
Setelah saya mendirikan sebuah komunitas film bernama Papua Selatan Film Community di tahun ini, kami memulai produksi pertama kami dengan membuat sebuah film dengan genre yang belum pernah ada di Papua yakni genre Horror.
Film SPOK yang berarti hantu dalam istilah Papua ini dibuat dengan mengandalkan biaya dari sponsor Bank Papua dan Yamaha Merauke dan ditayangkan selama 1 Minggu disebuah gedung yang biasa disewakan untuk acara Wedding kelas atas. pemilihan gedung ini adalah karena kami ingin memberikan sebuah pelayanan baru kepada penonton yang selama ini merasa panas dengan suasana di gedung eks bioskop mandala dulu. Gedung kali ini menggunakan AC sekalipun harga sewanya mencapai RP. 7.000.000 per hari ditambah lagi biaya genset khusus buat menarik AC.
Harga tiket RP. 50.000 rata. Namun disediakan pula tiket VIP sebanyak 20 kursi seperti biasa dengan harga RP. 300.000 per tiket/per orang
Pemutaran film SPOK menjadi sejarah tersendiri bagi kami sebab antusias masyarakat kembali melonjak tinggi apalagi tiket menonton kali ini di sponsori oleh yamaha dengan memberikan hadiah door prize motor Fino bagi siapa yang beruntung. Kelak kemudian yang mendapatkan motor itu adalah salah satu orang yang berada di kota Merauke selain hadiah motor ada juga hadiah lain seperti TV, Hp blackberry dll. Tingginya penonton di film ini memang salah satunya dari daya tarik door prize itu, sebab hingga hari terakhir pemutaran tetap saja masih ada penonton membeli tiket dan memaksa masuk meskipun film tinggal 5 menit lagi berakhir. Pemutaran film SPOK ini menghasilkan hingga ratusan juta rupiah meskipun kemudian habis juga untuk membayar semua biaya operasional sewa gedung,kursi dll yang cukup tinggi.
TAHUN 2014
Setelah sempat vakum setahun ditahun 2013 karena sibuk membuat film Nasional berjudul Noble Hearts (mentari di ufuk timur) saya kembali meminta kepada produser film ini untuk memutarkan pertama kalinya untuk masyarakat Papua sebelum ditayangkan dibioskop Nasional. Produser kemudian mengabulkan permintaan saya (apalagi setelah melihat presentasi dokumentasi pemutaran film saya selama ini di Papua) dan film ini pun ditayangkan selama 7 hari di Kota Merauke dan 4 hari di Asmat . Karena ingin memberikan pelayanan yang lebih baik lagi kepada penonton maka kami menyewa Ruangan acara besar di Hotel Swiss bell seharga RP. 15.000.000 sehari.
Tiket yang waktu itu dijual seharga RP. 50.000 rata dengan 2 kali waktu pemutaran dan kapasitas kursi sebanyak 750 kursi sekali putar.
Disinilah ada sebuah kejadian lucu yang terjadi ketika kami menjual tiket kepada para pejabat dan anggota dewan, mereka tidak mau membeli tiket seharga RP. 50.000 tersebut. mereka meminta apakah ada tiket yang harganya lebih mahal untuk mereka. Rupanya mereka tidak mau disama ratakan kelasnya dengan masyarakat. Mungkin juga selama ini mereka sudah terbiasa disediakan kursi kelas VIP di film film kami sebelumnya. Namun sebenarnya sistem tiket VIP ini ada unsur positif juga bagi mereka, sebagian besar tiket yang dibeli pejabat dengan harga mahal itu kadang tidak digunakan oleh mereka langsung melainkan diberikan pada keluarganya untuk menonton. Mungkin para pejabat dan anggota dewan yang terhormat hanya ingin membantu produk anak daerahnya supaya bisa lebih maju lagi dengan cara membeli tiketnya yang termahal. itulah makanya ketika kami menyodorkan tiket RP 50.000 dianggap terlalu murah mereka minta yang ratusan ribu harganya.
Noble Hearts sukses diputar selama 7 hari di 3 gedung berbeda. 1 hari di swiss bell, 3 hari di Gedung Olahraga, dan 3 hari lagi di gedung milik Kebudayaan dimana kami dulu pernah memutar film Melody Kota Rusa pertama kali disana.
Film Noble Hearts lalu mengadakan tour mengunjungi kota kota besar lainnya di Papua, diantaranya adalah Asmat dan Jayapura. di daerah ini pun antusias penonton tak kalah besar. Lihatlah foto foto pemutaran di Kota Agats, Asmat berikut ini sungguh fenomenal, kota yang berada diatas air ini sebelumnya belum pernah tahu seperti apa bioskop itu, inilah pertama kalinya ada bioskop dikota itu. meskipun kapasitas gedungnya kecil hanya sekitar 300 orang dan terbuat dari papan namun antusias penonton tinggi hingga pemutaran dilakukan 2 kali dalam sehari.
Tiket di jual seharga RP. 50.000 dan ada 20 kursi VIP seharga RP 250.000 untuk pejabat disediakan dibagian belakang. berapa jumlah penontonnya selama 4 hari ? silahkan dilbayangkan dari fotonya saja.
gedung ini berdiri diatas air dan lumpur, kota Asmat adalah kota di atas air
Selain kursi bagian bawah rupanya bangku bagian atas juga dipenuhi penonton sekalipun mereka tetap membayar tiket dengan harga yang sama dengan yang dibawah.
Yang patut kita catat dari foto foto diatas bahwa semuanya itu adalah penonton bukan gratisan melainkan mereka membeli tiket seharga ukuran tiket Weekend di bioskop 21 nasional bahkan lebih.
Bioskop daerah memang masih memiliki potensi secara real untuk film Nasional mungkin juga akan lahir banyak film film bernuansa lokal kedepannya. Ada baiknya semua ini benar benar direalisasikan oleh Pemerintah agar dunia perfilman kita akan lebih bergairah kembali. bayangkan saja dengan penduduk sebanyak ini Indonesia masih kalah jauh dengan jumlah bioskop di negara berpenduduk kecil Malaysia yang jumlahnya hingga 39.000 layar sementara kita di Indonesia hanya ada kurang dari 1000 layar bioskop (sumber : http://www.merdeka.com/uang/jumlah-bioskop-di-indonesia-kalah-dibanding-malaysia-dan-jepang.html). Semoga saja ini bukan lagi hanya sebatas wacana. Seandainya ada yang mempercayakan kami untuk mengelola sebuah bioskop kecil di Papua pastilah saya akan dengan senang kami menerimanya karena kami sendiri telah membuktikannya dengan tindakan sejak dahulu.
Jakarta, 28 Juni 2015
Irham Acho
0 comments:
Post a Comment