Friday, 17 January 2014

FILM NASIONAL DAN PROBLEMATIKANYA

<![endif]-->

     Perkembangan film Nasional kita saat ini tentu saja bisa dikatakan memprihatinkan nasibnya ditengah kemerosotan jumlah penonton dibioskop sejak beberapa tahun belakangan ini. Saya tertarik ikut mengulas fenomena ini sebagai bentuk sumbangan pikiran dengan pola pandang seorang sineas dari timur. Mengapa saya katakan seperti itu sebab tentu saja sudut pandang antara orang orang yang tinggal dibagian barat dengan bagian timur sangat berbeda jauh dalam melihat berbagai hal dinegara ini terutama masalah politik.

     Film menjadi sangat sukses dinegara ini ketika di era masa lalu dimana sebagian besar penonton tidak punya pilihan lain untuk melihat film kecuali datang ke bioskop. Lalu datanglah era dimana player pemutar film bisa dimiliki seseorang namun dalam jumlah terbatas dikarenakan harganya yang cukup mahal dan tak bisa terjangkau semua orang. Itulah jaman dimana video Betamax menjadi trend sekitar tahun 80 – 90 an. Di Merauke sendiri ada salah satu tempat penyewaan kaset betamax itu yang paling terkenal namanya Tahuna, pemiliknya adalah Mantan Camat Muting kampung kelahiran saya yang beliaunya kini telah tiada. Dulu satu satunya yang memperkenalkan kami dengan tekhnologi ini adalah beliau. Setiap malam minggu secara rutin pak camat selalu memutarkan film film seperti Film Jaka Sembung, Si Pitung, Rambo dll. Diantara film film tersebut film yang paling disukai masyarakat adalah komedi Warkop DKI. Seluruh masyarakat akan berkumpul didepan rumah camat untuk menonton lewat sebuah layar televisi 17 Inch yang ditaruh diterasnya. Tak jarang kami juga membawa tikar sambil tiduran menontonnya. Disaat saat tertentu pak camat juga menggunakan videonya itu untuk mencari dana pembangunan Gereja dikampung kami dengan cara menarik bayaran karcis pemutaran dibalai desa. Itulah pertama kalinya saya mengenal film nasional melalui sebuah kotak kecil bukan lewat layar lebar.

      Kelak kemudian saya baru mengenal bioskop ketika saya menginjak SMP, itupun terjadi saat dan adik saya dibawa orang tua saya ke kota Merauke. Film pertama sekali yang saya lihat dibioskop saat itu bersama bapak saya adalah Film Kabayan dan Gadis Kota. Kami mendapat bangku kayu dibarisan paling depan duduknya dekat layar. Saat itu di kota Merauke terdapat 2 bioskop yakni bioskop Mandala dan Ramayana. Kedua bioskop ini sangat dipadati penonton di malam malam tertentu sekalipun jaraknya sangat berdekatan, penonton hanya cukup berjalan puluhan langkah saja untuk menengok kebioskop sebelah memilih filmnya. Saya ingat ketika menginjak SMA dan harus tinggal dikotanya, dalam satu minggu mungkin ada 3 sampai 5 kali saya menonton bioskop sekalipun harus diam diam dan memanipulasi ijin sebab saya saat itu dititipkan tinggal dirumah saudara kami di Kota karena rumah kami hanya ada dikampung. Saya pernah mengantri karcis bioskop sampai terjepit dan hampir sesak nafas, bayangkan saja saya waktu itu masih kecil ditengah para orang dewasa yang sepertinya tak punya hiburan lain selain menonton. Waktu itu yang kita antrikan adalah tiket menonton Midnight. Sungguh luar biasa dikota kecil diujung timur ini film Midnight yang diputar pada jam 12 malam pun masih dipadati antrian tiketnya bahkan sampai kehabisan. Ruangan dipenuhi sesak oleh penonton. Biasanya yang diputar midnight itu adalah film film dengan poster agak seronok seperti misalnya saya ingat salah satunya berjudul Wild Orchid. Saya waktu itu ikut menonton karena tak punya pilihan lain untuk bermalam minggu selain mengikuti seorang teman saya yang sudah dewasa. Sebenarnya untuk ukuran anak  kecil seperti saya akan dilarang masuk, namun karena penjaga pintunya adalah om yang saya kenal maka dengan mudah kami diijinkan masuk. Yang lucunya adalah ketika tiba adegan hot nya akan mulai biasanya tiba tiba adegan putus secara kasar akibat gunting lembaga sensor film. Maka mulailah para penonton berteriak marah mungkin karena nafsunya tiba tiba terganggu akibat sensor tadi, mereka ada yang berteriak : wooii kasih kembali karcis... Ini kembali terjadi pada film In Bed With Madonna yang memasang poster super vulgar mengiming imingi penonton sesuatu yang hot tetapi ternyata semuanya kecewa sebab isinya adalah film dokumenter yang bahkan tak berwarna.
Seusai menonton, kami akan pulang beramai ramai dengan para penonton lain berjalan kaki hingga sampai dirumah, rasanya sangat indah masa itu dan itu terjadi berulang ulang hingga saya lulus SMA dikota Merauke dan harus melanjutkan kuliah di Jakarta.

     Itulah sekelumit kisah masa dimana film menjadi sebuah hiburan yang paling dicari orang dinegeri ini. Analisa saya itu semua bisa terjadi pada masa itu karena tak adanya pilihan lain dalam dunia hiburan visual. Sebab masa itu dikota kami hanya ada siaran televisi TVRI dan TPI saja selain itu tak adanya alat pemutar film portable yang mudah dimiliki semua orang. Saya ingat sekali dimasa SMA saya dan teman teman sering sekali berkumpul dirumah seorang teman kami yang mempunyai player betamax. Disitu kami bisa menginap hingga berhari hari hanya untuk menonton film film hasil sewaan kami di rental. Saya sejak SMA sangat terobsesi dengan kaset kaset betamax, koleksi yang saya kumpulkan jumlahnya sangat banyak. Keadaan ini memang jauh lebih baik daripada ketika saya masih dikampung Muting yang tak punya televisi serta listrik. Satu satunya hiburan saya pada masa itu adalah mendengarkan kaset cerita dari sanggar cerita. Itulah makanya tak heran jika saya hingga kini mengkoleksi ratusan kaset cerita.

     Berlanjut ketika saya mulai menduduki bangku kuliah di IKJ Jakarta, masa itu mulai memperkenalkan saya kepada sebuah alat pemutar film bernama VHS. Kembali saya menjadi orang yang terobsesi mengumpulkan VHS. Kamar kost saya sebagian besar dipenuhi sesak oleh kumpulan kaset VHS. Bersamaan dengan player VHS itu muncul pula alat yang lebih canggih bernama Laser Disc. Laser Disc ini sebenarnya sudah saya kenal sebelumnya di Merauke yakni lewat teman saya. Dirumah teman saya kami sering memutar film film laser disc, hanya saja tempat penyewaan kepingannya dikota Merauke masih sangat jarang dimasa itu. Di Jakarta lah kelak saya akhirnya bisa memiliki sendiri alat tersebut. Saya mempunya dua player VHS dan Laser Disc komplit lah julukan saya sebagai seorang yang maniak film. Apalagi dimasa tersebut tidak semua orang dirumahnya mempunyai alat tersebut. Bioskop pun diera itu masih ada penontonnya, hanya saja masa itu adalah masa dimana film Indonesia banyak yang dibuat adalah film film panas semata tanpa mempertimbangkan cerita dan sinematografinya. Untuk menonton film kami lebih sering berkumpul di kamar saya dan menyewa film film festival dari eropa disebuah rental di kemang dan ditonton hingga berhari hari didalam kamar yang sempit dan tanpa AC. Kelak ketika saya pindah dari kamar kost itu saya harus mengumpukan seluruh koleksi film saya kedalam 10 karung beras dan disimpan digudang sebab kini benda benda tersebut sudah tak bisa digunakan lagi.

     Saya memulai kuliah di sekolah film dengan niat ingin menjadi sutradara adalah tepat ketika jamannya film Indonesia sedang jatuh jatuhnya atau disebut mati suri. Saya sempat menyaksikan era sebelumnya dimana film film panas sempat berjaya, bahkan juga merasakan pernah menonton dibioskop di Simpang Senen dan PFN. Namun itu tidak bertahan lama ketika muncul larangan membuat film film panas dari MUI maka setelah itu runtuhlah film nasional. Tak ada lagi satupun film nasional di bioskop yang saya lihat sejak itu. Hanya satu saja yang sempat membuat gebrakan baru yaitu Kuldesak. Selain itu tak ada film indonesia dibioskop lagi, satu persatu bioskop selain grup 21 mulai tutup, saya juga mendengar kabar bahwa di merauke bioskop langganan kami yang hanya 2 buah itupun sudah ditutup menyusul keluarnya tekhnologi baru bernama VCD dalam bentuk kepingan cakram yang lebih praktis dan murah sehingga dapat dimiliki oleh semua orang dirumahnya. Tak dapat dipungkiri bahwa alasan dua bioskop dikota merauke menutup usahanya adalah akibat masuknya tekhnologi VCD yang tentu saja mematikan penonton mereka. Orang lebih suka memutar film dirumah lewat VCD ketika film yang diputar di bioskop adalah film film lama. Memang bioskop di Merauke adalah bioskop yang paling terakhir di Indonesia ini menerima pasokan film. Ada kalanya film itu sudah diputar di Pulau Jawa sejak lama dan akan diputar di Merauke setahun sesudahnya. Ini terjadi karena sistem proyektor yang digunakan dimasa itu masih menggunakan roll film sehingga yang dikirim kesana adalah roll roll film dimana filmnya sudah tak laku lagi dikota lain. Dengan kata lain Merauke menjadi penampung sisa sisa film yang sudah puas dinikmati didaerah lain dibagian barat. Jelas saja dengan hadirnya VCD masyarakat lebih cepat bisa menonton film film apapun hanya dengan menyewa di rental, kalau mau tunggu dibioskop mungkin tahun depan baru bisa melihatnya.

     Kilas balik mengingat ramainya penonton film ketika masih ada bioskop dikota kami itulah yang kemudian menginspirasi saya untuk kemudian mencoba menggerakkan kembali potensi pasar tersebut melalui pemutaran film film karya saya selama ini disana. Saya begitu optimis bahwa orang Merauke mempunyai niat ke bioskop masih tinggi hanya saja asal filmnya Fresh dan bukan film yang sudah ada VCD nya. Kelak kemudian tebakan saya tersebut menjadi kenyataan dimana setiap pemutaran film yang kami adakan di gedung yang disewa selalu dipadati penonton sekalipun dengan harga tiket yang lumayan tinggi.

     Masa ramainya bioskop nasional kemudian makin habis ketika tekhnologi yang datang semakin canggih dan menyenangkan untuk dinikmati dirumah. Era DVD, Blu Ray hingga Internet dengan Youtubenya kemudian seakan membuat kita malas menginjakkan kaki ke bioskop lagi. Bioskop bukan lagi sarana tempat mencari film sebab jika mencari film lebih enak mencarinya lewat mesin pencari seperti Google. Bioskop hanya bisa saya temui ketika sedang berjalan di Mall dan tak sengaja melewatinya, disaat itulah kadang kita iseng melihat ada film apa yang diputar, tapi kalau mengharapkan orang datang dengan tujuan utama menonton mungkin sudah sangat jarang terjadi dimasa kini. Satu satunya tujuan terbanyak orang untuk datang kebioskop dimasa kini adalah untuk mencari hiburan, misalnya dua pasangan yang sedang pacaran ingin mencari tempat yang enak tanpa diganggu atau dilihat orang tentu bioskoplah pilihannya. Medianya berubah menjadi ruang service publik dan bukan entertaining lagi. Untuk kalangan orang orang yang dulunya maniak film seperti saya pilihan ke bioskop lebih kepada ingin merasakan sensasi menonton secara tekhnologinya. Misalkan saya ingin menonton sebuah film dengan efek visual dan suara yang baik tentu saja pilihannya bioskop. Tapi hal tersebut juga mungkin akan berakhir jika suatu saat cita cita saya membangun home theater dirumah sendiri terwujud bisa jadi saya tak akan pernah ke bioskop lagi. Tekhnologi sekelas itu saat ini sudah menjadi murah dan bisa dimiliki siapapun dirumahnya.

      Sungguh mengenaskan nasib film dibioskop jadinya dimasa kini. Namun itulah sebuah konsekuensi yang harus diterima seiring kemajuan jaman. Salah satu cara untuk bisa mengikuti arus jaman tersebut adalah dengan ikut mengupgrade segala informasi dan pengetahuannya lewat kemajuan tekhnologi. Film film yang diinginkan penonton untuk dilihat di bioskop saat ini adalah film film dengan permainan tekhnologi yang juga tinggi seiring dengan tingginya tekhnologi pemutarnya yang menggunakan peralatan sound sistem hingga layar yang sangat besar hingga kini ada telhnologi yang setengah ruangan melingkar di Korea. Menonton film menjadi layaknya menonton sebuah wahana hiburan yang bisa membuat penontonnya terhibur segala galanya. Film tidak lagi menjadi sebuah media untuk tempat menyampaikan pesan semata seperti dulu lagi. Jika film tak bisa memenuhi kriteria tersebut maka film itu akan lebih layak dinikmati melalui layar kaca saja dalam bentuk FTV plus. Saya menyadari sepenuhnya konsekuensi tersebut sebagai seorang sineas yang besar di 3 masa. Masa keemasan film 80 an, masa kejatuhan film 90 an hingga masa ketika jelasan film/mengambang hingga sekarang ini ditahun 2000 an.

      Perlu adanya terobosan baru dari para sineas kita. Saya termasuk salah satu yang sedang memikirkan hal itu. Dan mungkin karya saya selanjutnya saya sedang mempersiapkan ke hal hal itu. Hanya saja yang perlu menjadi catatan bagi sineas kita adalah bagaimana kita bisa menempatkan konten lokal kita mengikuti kemajuan jaman tersebut. Ini tentu saja penting sebab dari semua karya yang mencoba meniru niru gaya hollywood maka tak akan pernah didapat hasil yang memuaskan. Hasil yang memuaskan akan tercapai manakala sebuah konten lokal digarap dengan pendekatan tekhnologi internasional. Membuat produk bercita rasa internasional tidak harus dengan mengikuti gaya film luar tetapi harus dilakukan dengan gaya kita sendiri. Contoh saja karya yang menembus internasional seperti Tom Yung Gung di Thailand yang kental lokal Thai Boxingnya atau The Raid yang kental lokal silatnya. Jangan pernah membuat karya tanpa menciri khaskan lokalitas kita karena itu tak akan punya nilai lebih. Analoginya sederhana saja, buat apa kita berusaha mengikuti gaya orang luar sementara orang orang hollywood saja berusaha membuat film mereka dengan mengadaptasi berbagai budaya lokal diluar negaranya sendiri. Lihat saja film Robin Hood,Hercules,dll bukankah itu kisah kisah yang bukan berasal dari Amerika sendiri asalnya ?

     Kita hanya akan mempunyai sebuah kekuatan di film lokal sendiri apabila kita bisa menggarap konten lokal kita tetapi dengan standarisasi tekhnis penggarapan ala hollywood. Kalau kita hanya meniru gestur dan gaya dari hollywood namun penggarapan tekhnis masih lokal maka itulah yang mengakibatkan jatuhnya kepercayaan penonton pada sineas negeri sendiri dimana kita dituduh hanya sebagai KW nya saja. Dan tentu saja sampai kapanpun harus tertanam dalam ingatan kita bahwa kekuatan kita tak akan pernah bisa menyamai hollywood. Seperti sebuah peperangan ketika melawan musuh dengan persenjataan dan keuangan lebih besar dan canggih maka cara mengalahkannya adalah dengan strategi dan skill yang telaten. Kita bisa mengalahkannya dengan cara lain selain menyamainya ada banyak contoh yang bisa kita lihat dari kisah kemajuan film dinegara sebelah. Cobalah bayangkan jika film sekelas Titanic misalnya tetapi yang memainkannya adalah bintang sinetron kita maka tetap saja akan dicela. Tetapi coba saja sebuah kisah sederhana atau kisah sinetron namun dimainkan oleh aktor sekelas Tom Hanks misalnya, maka tentu saja kualitasnya akan menjadi naik. Berbagai faktor memang sangat mempengaruhi itu.
Menarik memang jika kita melihat teori ini dari sebuah Pensil. Ambillah sebuah pensil lalu cobalah membuat gambar dengan pensil itu, saya pastikan jika anda bukan ahlinya dan tidak berbakat maka pensil itu akan jadi biasa biasa saja. Namun sebaliknya cobalah berikan pensil itu ke seseorang yang punya skill bagus menggambar, maka ditangannya pensil tersebut akan menjadi luar biasa bahkan tak terbayang dari sebuah pensil bisa lahir karya yang menakjubkan.

     Kata sebagian orang, penonton kita juga berperan dalam menentukan hidup matinya film dinegara ini, namun segala sesuatunya tidak bisa kita lemparkan kesalahannya kepada penonton semata. Sebelum kita menyalahkan penonton marilah kita coba bertanya pada diri kita sendiri bukankah kita juga termasuk penonton ? apakah kita saat ini mau menonton film Indonesia di bioskop ? kalau jawaban saya pribadi tentu tidak, sebab dalam tahun ini saja saya hanya menonton satu film saja dibioskop yakni tenggelamnya kapal van der wicjk itupun karena saya adalah penggemar novelnya. Karena itulah buat para sineas tak perlu menyalahkan para penonton sebab jika hal itu dilimpahkan ke kita sendiri sudahkah hari ini kita menonton film Indonesia ke bioskop ? tentu kita sendiri akan menggeleng. Jika kita saja orang yang suka film tak punya minat ke bioskop apalagi mereka penonton awam.

      Lalu ada pula saya dengar tanggapan salah satu praktisi film yang mengatakan bahwa pengaruh kritik atau review yang jelek akan membuat orang juga malas ke bioskop. Menurut saya itu juga tidak signifikan. Sebab tak pernah ada bukti bahwa kritik bisa membuat penonton jadi berkurang atau malah sebaliknya membludak. Contoh tidak jauh saja ada film Taman Lawang dan air terjun pengantin phuket yang dicela habis oleh kritikus bahkan menmpatkannya dalam daftar 10 film terburuk tahun lalu tetapi buktinya film itu adalah box office tahun 2013. sebelumnya dua tahun lalu pernah ada film Arwah goyang karawang Jupe Depe yang mendapat cacian bukan main pedasnya di sebuah review di Yahoo dan menyarankan jangan pernah menonton film ini, namun yang terjadi malah film itu hampir saja menjadi juara box office tahun 2011 dan menempati urutan kedua.
Sebaliknya coba kita lihat beberapa film yang mendapatkan review atau pujian selangit pun tidak selamanya akan berbuah penonton banyak. Contohnya film Sokola Rimba dan masih banyak lagi beberapa film lainnya yang tidak etis untuk disebutkan judulnya satu satu. Karena itulah, rasanya tidak bijak jika kita harus menyalahkan para penulis kritik tersebut juga sebagai bagian dalam mengurangi jumlah penonton sebab tak ada korelasinya kritik kritik mereka tersebut dengan kemunduran perfilman dimasa sekarang. Semua orang mempunyai hak menyampaikan pendapat. Para kritikus punya hak menulis, mengata ngatain dan itu lebih tepat disebut sebuah Opini pribadi sehingga sah sah saja di era keterbukaan demokrasi begini disuarakan masing masing orang. Selama hanya mengkritik, apapun bentuknya itu hak mereka dan sebagai sineas kita pun punya hak untuk membuat film, jadi prinsipnya selama tak ada saling melarang buat apa dipermasalahkan ? saya akan marah jika saya dilarang membuat film seperti halnya si kritikus juga tentu akan marah jika dilarang mengkritik. Jadi tak ada masalah saling menghargai pendapat satu sama lain, kritikus silahkan saja mengkritik sampai puas mengeluarkan pendapatnya dan si pembuat film juga silahkan saja membuat film sepuas puasnya dan semaunya mengeluarkan isi kepalanya. Bukankah hak kebebasan berpendapat itu dijamin dinegara ini. Kritikus mengeluarkan pendapatnya lewat tulisan dan sineas mengeluarkan pendapatnya lewat film jadi tak ada hukum yang mengharuskan salah satu pendapat saja yang harus dibenarkan, keduanya punya hak yang sama tak ada yang boleh memaksakan pendapatnya harus diterima. Yang saya tidak setuju hanya pada beberapa tulisan yang isinya sudah menuju ke fitnah, namun itu biasanya terjadi ketika si penulisnya tak mencoba meriset dahulu apa yang ditulisnya namun hanya memakai asumsi dan kira kira saja. Itulah makanya kenapa saya yang dulunya tak pernah mau membuka kehidupan pribadi saya kepublik, kini semakin sering menulisnya. Itu semata mata saya lakukan sejak adanya sebuah opini berbentuk fitnah yang mencoba menulis tentang siapa saya tetapi sama sekali ia tak mengenal siapa saya sedikitpun bahkan latar belakang saya sekalipun. Saya sendiri adalah orang yang sangat anti popularitas sebenarnya. Dahulu saya sengaja menyembunyikan identitas saya dengan maksud ingin menjadi orang dibelakang layar seutuhnya, saya hanya ingin orang mengenal karya karya saya tanpa harus mengenal siapa saya. Namun seiring dengan desakan media yang suka salah menulis tentang saya tersebut maka saya akhirnya mulai membuka diri sedikit demi sedikit melalui blog ini. Semua kisah saya ceritakan apa adanya termasuk hal hal yang pribadi semata mata agar tak ada lagi fitnah dimasa depan.

     Kini film Indonesia menjadi kembali pada titik mengambang dimana kebingungan para sienas kita tentang apa yang diinginkan penonton. Mengapa bioskop jadi sepi, selera seperti film apa yang disukai penonton. Membaca keinginan masyarakat penonton kita, Ada kalanya pendapat seorang teman saya di Merauke kadang bisa masuk akal juga, dia mengatakan bahwa film Indonesia sekarang ini penonton melihatnya dari siapa yang membuatnya dan dimana dibuatnya. Lalu saya mencoba membuat analogi sederhana semacam ini : Bagaimana jika seandainya film The Raid dengan kualitas yang sama tapi di sutradarai atau di produseri oleh KKD atau Shanker ? mungkin saja fenomenanya tak akan sekuat seperti saat ini pujiannya. Dan itu terbukti ketika KKD mencoba membuat film Jokowi yang secara ketokohan banyak penggemarnya dan dengan kualitas yang tak buruk pula, ternyata film itu juga tak sukses dipasaran alias tak banyak ditonton orang. Tetapi jika ada seorang produser atau sutradara yang sudah mempunyai basis citra baik dan banyak penggemar tertentu maka filmnya akan lumayan penontonnya bahkan diulas dalam media dengan tulisan mengandung pujian. Penonton kita lebih melihat kepada hal hal tersebut juga dalam memilih film tontonannya bukan ke premis yang ditawarkan.

     Itulah makanya jangan heran jika sepanjang sejarah film kita, tak pernah ada film indie dengan kualitas tekhnis apa adanya yang masuk dalam jajaran box officenya. Tentu saja hal ini sangat berbeda jauh dengan hollywood dimana sejarah pernah mencatat beberapa film indie dengan kualitas teknis rendah namun premis yang bagus bisa duduk dalam jajaran box office bahkan menempati ranking pertamanya. Sebut saja contohnya : Paranormal Activity, The Purge bahkan yang paling fenomenal adalah The Blair with the Project film indie anak anak kuliahan yang hanya dibuat dengan sebuah handycam saja. Hal seperti ini hanya mimpi jika kita berharap akan terjadi di Indoensia, gambaran para penonton bahwa ada harga ada barang seperti layaknya berbelanja memilih merk dagangnya ketimbang kualitasnya sehingga produk buatan lokal akan dihargai mahal jika dilabeli merk barat dulu. Sebuah film diukur dari production valuenya, jika terlihat murahan maka tak ada minat melihatnya, biasanya semua bisa terlihat hanya dari trailer dan posternya saja, sementara trailer dan poster hanya akan menginformasikan gambar bukan ceritanya. Film sejenis The Blair with the project atau Cloverfield mungkin akan dianggap bukan film jika diputar di bioskop kita. Bisa jadi kameramennya pun dibilang tidak profesional padahal memang konsep mereka disengaja begitu.

     Premis belum menjadi daya tarik bagi penonton kita, penonton masih lebih mengomentari hal hal tekhnis dibanding menghargai idenya. Jarang sekali sebuah film di Indonesia dipuji idenya, nomor satu yang selalu kita dengar adalah pujian terhadap gambarnya, dengan kata lain mungkin penonton kita suka dengan fotografi. Sebagus apapun sebuah film konsep dan idenya jika fotografinya tidak indah maka akan dicela penonton, begitu kira kira gambarannya. Karena itu jangan harapkan akan ada film dengan konsep seperti The Blair with the project untuk sukses dinegara kita.  

     Namun terlepas dari semua itu sekali lagi kita tak boleh pernah menyalahkan penonton sebab lain negara maka lain pula kulturnya, sama saja dengan kita mempertanyakan mengapa acara televisi seperti YKS yang hanya berisi hiburan belaka begitu yang sukses rating penontonnya tertinggi dibanding acara acara yang mendidik lainnya. Saya ingat betul bagaimana dilematis saya ketika membuat film untuk konsumsi masyarakat lokal di Papua. Ketika itu saya ingin membuat gambar dan lightingnya sangat filmis seperti yang selama ini saya pelajari disekolah film. Namun berdasarkan pertimbangan berbagai pihak yang memberi masukan, kami tak bisa menerapkan aturan tekhnis tersebut. Penonton lokal tidak suka melihat gambar yang gelap gelap, mereka lebih suka melihat gambar itu terang dan terlihat jelas wajah pemainnya. Praktislah tak ada pengaturan cahaya yang aneh aneh kami gunakan. Yang penting wajah pemain semua jelas. Bagi saya mungkin seperti sinetron barangkali. Ini akibat penonton masa kini telah terkontaminasi dengan sinetron. Giliran ketika film itu dipertontonkan ke orang film dijakarta maka saya akan dibilang tak bagus tekhnisnya ya serba salah, sebab sasaran kami memang seperti itu. Saya tak bisa juga membuat pola penceritaan non linear yang bolak balik karena akan membingungkan penonton disana. Setiap daerah punya cita rasa yang berbeda dalam melihat sebuah film. Seperti halnya makanan juga kan belum tentu orang dari Jakarta akan suka Sagu Bakar begitupula kami disana belum tentu suka makan Hamburger.
Saya pernah mencoba membuat editing sebuah acara balapan motor bergaya editing MTV yang sangat cepat dengan perpaduan musik keras seperti video klip dan membuatnya agak strobo gambarnya alias dikurangi frame ratenya dan hasilnya beberapa orang di merauke yang menyaksikan tayangan itu mengaku mual mual dan bhakan ada yang muntah. Mereka meminta saya merevisinya dan membuat editingnya menjadi normal saja tak usah dibuat dinamis begitu karena tak cocok dengan mata mereka, alhasil saya pun mengedit ulang dengan memperpanjang lama durasi shotnya dan menormalkan framenya kembali seperti sinetron. Itulah yang saya bilang selera luar tak bisa dipaksakan sama disebuah daerah tertentu. Mungkin ada perlunya kita mempelajari tekhnik kecerdasan EQ atau kecerdasan membaca situasi.

     Akhir dari tulisan ini saya hanya menyimpulkan bahwa untuk mengembalikan minat para penonton ke bioskop harus dimulai dari diri kita sendiri. Sebagai seorang sineas kini saya sedang berusaha untuk kedepannya membuat film tidak hanya di Papua saja. Bagi saya film film yang saya buat di Papua itu lebih dari sekedar film, itu adalah sarana saya dalam menceritakan situasi di Papua saat ini dan saat lalu dimasa kecil saya, jadi bukan kelasnya sebagai hiburan semata. Untuk dunia hiburan, Saya akan mencoba tema lain di daerah lain bahkan di ibukota dan tentu saja beberapa tahun belakangan ini saya sibuk mempelajari berbagai perkembangan tekhnologi dibidang film sebab itulah yang banyak luput dari perhatian sineas kita sekarang yang terlalu sibuk hingga tidak mengupgrade perkembangan terkini dibidang film dari luar sehingga bisa mengimbanginya, kita tak bisa lagi melawan derasnya arus film luar hanya dengan mengandalkan dan mempertahankan konsep konsep jadul, perlu ada terobosan baru bahkan aturan aturan seperti garis imajiner hingga teori film yang pernah dipelajari dikuliah pun sekarang sudah banyak dilanggar dan dimodifikasi. Dan untuk mengaplikasikan kata “dimulai dari diri kita sendiri” itulah, saya harus bisa membuat karya film yang mampu membuat, minimal saya sendiri atau teman teman dekat saya tertarik datang ke bioskop. Sebab jika saya sendiri saja atau keluarga saya tidak tertarik ke bioskop menonton filmnya lantas buat apa kita berharap banyak pada penonton film kita diluar sana yang tak akan pernah bisa kita salahkan ? ironisnya saya pernah mendengar cerita beberapa sineas yang mengatakan dia sendiri tak pernah menonton film film buatannya ketika tayang di bioskop, jika hal ini terjadi lalu siapa yang harus disalahkan ?

     Jika kembali pertanyaannya : Film seperti apa yang akan ditonton orang banyak ? maka saya lebih memilih untuk mengutip kata kata pak Sunaryo dari Grup 21 yang mengatakan ke saya bahwa : FILM ITU TIDAK ADA PROFESORNYA Jadi jelas tidak ada yang akan mampu menjawabnya dengan benar


Penulis : Irham Acho Bahtiar

0 comments:

Post a Comment

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Kakatua Kaskus | www.kakatua.web.id | Bloggerized by Irham Acho Bahtiar --- Izakod Bekai Izakod Kai | Satu Hati Satu Tujuan