<![endif]-->
Perkembangan film Nasional kita saat ini tentu saja bisa dikatakan
memprihatinkan nasibnya ditengah kemerosotan jumlah penonton dibioskop sejak
beberapa tahun belakangan ini. Saya tertarik ikut mengulas fenomena ini sebagai
bentuk sumbangan pikiran dengan pola pandang seorang sineas dari timur. Mengapa
saya katakan seperti itu sebab tentu saja sudut pandang antara orang orang yang
tinggal dibagian barat dengan bagian timur sangat berbeda jauh dalam melihat
berbagai hal dinegara ini terutama masalah politik.
Film menjadi sangat sukses dinegara ini ketika di era masa lalu dimana
sebagian besar penonton tidak punya pilihan lain untuk melihat film kecuali
datang ke bioskop. Lalu datanglah era dimana player pemutar film bisa dimiliki
seseorang namun dalam jumlah terbatas dikarenakan harganya yang cukup mahal dan
tak bisa terjangkau semua orang. Itulah jaman dimana video Betamax menjadi
trend sekitar tahun 80 – 90 an. Di Merauke sendiri ada salah satu tempat
penyewaan kaset betamax itu yang paling terkenal namanya Tahuna, pemiliknya
adalah Mantan Camat Muting kampung kelahiran saya yang beliaunya kini telah
tiada. Dulu satu satunya yang memperkenalkan kami dengan tekhnologi ini adalah
beliau. Setiap malam minggu secara rutin pak camat selalu memutarkan film film
seperti Film Jaka Sembung, Si Pitung, Rambo dll. Diantara film film tersebut
film yang paling disukai masyarakat adalah komedi Warkop DKI. Seluruh
masyarakat akan berkumpul didepan rumah camat untuk menonton lewat sebuah layar
televisi 17 Inch yang ditaruh diterasnya. Tak jarang kami juga membawa tikar
sambil tiduran menontonnya. Disaat saat tertentu pak camat juga menggunakan
videonya itu untuk mencari dana pembangunan Gereja dikampung kami dengan cara
menarik bayaran karcis pemutaran dibalai desa. Itulah pertama kalinya saya mengenal
film nasional melalui sebuah kotak kecil bukan lewat layar lebar.
Kelak kemudian saya baru mengenal bioskop ketika saya menginjak SMP, itupun
terjadi saat dan adik saya dibawa orang tua saya ke kota Merauke. Film pertama sekali
yang saya lihat dibioskop saat itu bersama bapak saya adalah Film Kabayan dan
Gadis Kota. Kami mendapat bangku kayu dibarisan paling depan duduknya dekat
layar. Saat itu di kota Merauke terdapat 2 bioskop yakni bioskop Mandala dan
Ramayana. Kedua bioskop ini sangat dipadati penonton di malam malam tertentu
sekalipun jaraknya sangat berdekatan, penonton hanya cukup berjalan puluhan
langkah saja untuk menengok kebioskop sebelah memilih filmnya. Saya ingat
ketika menginjak SMA dan harus tinggal dikotanya, dalam satu minggu mungkin ada
3 sampai 5 kali saya menonton bioskop sekalipun harus diam diam dan
memanipulasi ijin sebab saya saat itu dititipkan tinggal dirumah saudara kami
di Kota karena rumah kami hanya ada dikampung. Saya pernah mengantri karcis bioskop
sampai terjepit dan hampir sesak nafas, bayangkan saja saya waktu itu masih
kecil ditengah para orang dewasa yang sepertinya tak punya hiburan lain selain
menonton. Waktu itu yang kita antrikan adalah tiket menonton Midnight. Sungguh
luar biasa dikota kecil diujung timur ini film Midnight yang diputar pada jam
12 malam pun masih dipadati antrian tiketnya bahkan sampai kehabisan. Ruangan
dipenuhi sesak oleh penonton. Biasanya yang diputar midnight itu adalah film
film dengan poster agak seronok seperti misalnya saya ingat salah satunya
berjudul Wild Orchid. Saya waktu itu ikut menonton karena tak punya pilihan
lain untuk bermalam minggu selain mengikuti seorang teman saya yang sudah
dewasa. Sebenarnya untuk ukuran anak
kecil seperti saya akan dilarang masuk, namun karena penjaga pintunya
adalah om yang saya kenal maka dengan mudah kami diijinkan masuk. Yang lucunya
adalah ketika tiba adegan hot nya akan mulai biasanya tiba tiba adegan putus
secara kasar akibat gunting lembaga sensor film. Maka mulailah para penonton
berteriak marah mungkin karena nafsunya tiba tiba terganggu akibat sensor tadi,
mereka ada yang berteriak : wooii kasih kembali karcis... Ini kembali terjadi
pada film In Bed With Madonna yang memasang poster super vulgar mengiming
imingi penonton sesuatu yang hot tetapi ternyata semuanya kecewa sebab isinya
adalah film dokumenter yang bahkan tak berwarna.
Seusai menonton, kami akan pulang beramai ramai dengan para penonton lain
berjalan kaki hingga sampai dirumah, rasanya sangat indah masa itu dan itu
terjadi berulang ulang hingga saya lulus SMA dikota Merauke dan harus
melanjutkan kuliah di Jakarta.
Itulah sekelumit kisah masa dimana film menjadi sebuah hiburan yang paling
dicari orang dinegeri ini. Analisa saya itu semua bisa terjadi pada masa itu
karena tak adanya pilihan lain dalam dunia hiburan visual. Sebab masa itu
dikota kami hanya ada siaran televisi TVRI dan TPI saja selain itu tak adanya
alat pemutar film portable yang mudah dimiliki semua orang. Saya ingat sekali
dimasa SMA saya dan teman teman sering sekali berkumpul dirumah seorang teman
kami yang mempunyai player betamax. Disitu kami bisa menginap hingga berhari
hari hanya untuk menonton film film hasil sewaan kami di rental. Saya sejak SMA
sangat terobsesi dengan kaset kaset betamax, koleksi yang saya kumpulkan
jumlahnya sangat banyak. Keadaan ini memang jauh lebih baik daripada ketika
saya masih dikampung Muting yang tak punya televisi serta listrik. Satu satunya
hiburan saya pada masa itu adalah mendengarkan kaset cerita dari sanggar cerita.
Itulah makanya tak heran jika saya hingga kini mengkoleksi ratusan kaset
cerita.
Berlanjut ketika saya mulai menduduki bangku kuliah di IKJ Jakarta, masa
itu mulai memperkenalkan saya kepada sebuah alat pemutar film bernama VHS.
Kembali saya menjadi orang yang terobsesi mengumpulkan VHS. Kamar kost saya
sebagian besar dipenuhi sesak oleh kumpulan kaset VHS. Bersamaan dengan player
VHS itu muncul pula alat yang lebih canggih bernama Laser Disc. Laser Disc ini
sebenarnya sudah saya kenal sebelumnya di Merauke yakni lewat teman saya.
Dirumah teman saya kami sering memutar film film laser disc, hanya saja tempat
penyewaan kepingannya dikota Merauke masih sangat jarang dimasa itu. Di Jakarta
lah kelak saya akhirnya bisa memiliki sendiri alat tersebut. Saya mempunya dua
player VHS dan Laser Disc komplit lah julukan saya sebagai seorang yang maniak
film. Apalagi dimasa tersebut tidak semua orang dirumahnya mempunyai alat
tersebut. Bioskop pun diera itu masih ada penontonnya, hanya saja masa itu adalah
masa dimana film Indonesia banyak yang dibuat adalah film film panas semata
tanpa mempertimbangkan cerita dan sinematografinya. Untuk menonton film kami
lebih sering berkumpul di kamar saya dan menyewa film film festival dari eropa
disebuah rental di kemang dan ditonton hingga berhari hari didalam kamar yang
sempit dan tanpa AC. Kelak ketika saya pindah dari kamar kost itu saya harus
mengumpukan seluruh koleksi film saya kedalam 10 karung beras dan disimpan
digudang sebab kini benda benda tersebut sudah tak bisa digunakan lagi.
Saya memulai kuliah di sekolah film dengan niat ingin menjadi sutradara
adalah tepat ketika jamannya film Indonesia sedang jatuh jatuhnya atau disebut
mati suri. Saya sempat menyaksikan era sebelumnya dimana film film panas sempat
berjaya, bahkan juga merasakan pernah menonton dibioskop di Simpang Senen dan
PFN. Namun itu tidak bertahan lama ketika muncul larangan membuat film film
panas dari MUI maka setelah itu runtuhlah film nasional. Tak ada lagi satupun
film nasional di bioskop yang saya lihat sejak itu. Hanya satu saja yang sempat
membuat gebrakan baru yaitu Kuldesak. Selain itu tak ada film indonesia
dibioskop lagi, satu persatu bioskop selain grup 21 mulai tutup, saya juga
mendengar kabar bahwa di merauke bioskop langganan kami yang hanya 2 buah
itupun sudah ditutup menyusul keluarnya tekhnologi baru bernama VCD dalam
bentuk kepingan cakram yang lebih praktis dan murah sehingga dapat dimiliki
oleh semua orang dirumahnya. Tak dapat dipungkiri bahwa alasan dua bioskop
dikota merauke menutup usahanya adalah akibat masuknya tekhnologi VCD yang
tentu saja mematikan penonton mereka. Orang lebih suka memutar film dirumah
lewat VCD ketika film yang diputar di bioskop adalah film film lama. Memang
bioskop di Merauke adalah bioskop yang paling terakhir di Indonesia ini
menerima pasokan film. Ada kalanya film itu sudah diputar di Pulau Jawa sejak
lama dan akan diputar di Merauke setahun sesudahnya. Ini terjadi karena sistem
proyektor yang digunakan dimasa itu masih menggunakan roll film sehingga yang
dikirim kesana adalah roll roll film dimana filmnya sudah tak laku lagi dikota
lain. Dengan kata lain Merauke menjadi penampung sisa sisa film yang sudah puas
dinikmati didaerah lain dibagian barat. Jelas saja dengan hadirnya VCD
masyarakat lebih cepat bisa menonton film film apapun hanya dengan menyewa di
rental, kalau mau tunggu dibioskop mungkin tahun depan baru bisa melihatnya.
Kilas balik mengingat ramainya penonton film ketika masih ada bioskop
dikota kami itulah yang kemudian menginspirasi saya untuk kemudian mencoba
menggerakkan kembali potensi pasar tersebut melalui pemutaran film film karya
saya selama ini disana. Saya begitu optimis bahwa orang Merauke mempunyai niat
ke bioskop masih tinggi hanya saja asal filmnya Fresh dan bukan film yang sudah
ada VCD nya. Kelak kemudian tebakan saya tersebut menjadi kenyataan dimana
setiap pemutaran film yang kami adakan di gedung yang disewa selalu dipadati
penonton sekalipun dengan harga tiket yang lumayan tinggi.
Masa ramainya bioskop nasional kemudian makin habis ketika tekhnologi yang
datang semakin canggih dan menyenangkan untuk dinikmati dirumah. Era DVD, Blu
Ray hingga Internet dengan Youtubenya kemudian seakan membuat kita malas
menginjakkan kaki ke bioskop lagi. Bioskop bukan lagi sarana tempat mencari
film sebab jika mencari film lebih enak mencarinya lewat mesin pencari seperti
Google. Bioskop hanya bisa saya temui ketika sedang berjalan di Mall dan tak
sengaja melewatinya, disaat itulah kadang kita iseng melihat ada film apa yang
diputar, tapi kalau mengharapkan orang datang dengan tujuan utama menonton
mungkin sudah sangat jarang terjadi dimasa kini. Satu satunya tujuan terbanyak
orang untuk datang kebioskop dimasa kini adalah untuk mencari hiburan, misalnya
dua pasangan yang sedang pacaran ingin mencari tempat yang enak tanpa diganggu
atau dilihat orang tentu bioskoplah pilihannya. Medianya berubah menjadi ruang
service publik dan bukan entertaining lagi. Untuk kalangan orang orang yang
dulunya maniak film seperti saya pilihan ke bioskop lebih kepada ingin
merasakan sensasi menonton secara tekhnologinya. Misalkan saya ingin menonton
sebuah film dengan efek visual dan suara yang baik tentu saja pilihannya
bioskop. Tapi hal tersebut juga mungkin akan berakhir jika suatu saat cita cita
saya membangun home theater dirumah sendiri terwujud bisa jadi saya tak akan
pernah ke bioskop lagi. Tekhnologi sekelas itu saat ini sudah menjadi murah dan
bisa dimiliki siapapun dirumahnya.
Sungguh mengenaskan nasib film dibioskop jadinya dimasa kini. Namun itulah
sebuah konsekuensi yang harus diterima seiring kemajuan jaman. Salah satu cara
untuk bisa mengikuti arus jaman tersebut adalah dengan ikut mengupgrade segala
informasi dan pengetahuannya lewat kemajuan tekhnologi. Film film yang
diinginkan penonton untuk dilihat di bioskop saat ini adalah film film dengan
permainan tekhnologi yang juga tinggi seiring dengan tingginya tekhnologi
pemutarnya yang menggunakan peralatan sound sistem hingga layar yang sangat
besar hingga kini ada telhnologi yang setengah ruangan melingkar di Korea.
Menonton film menjadi layaknya menonton sebuah wahana hiburan yang bisa membuat
penontonnya terhibur segala galanya. Film tidak lagi menjadi sebuah media untuk
tempat menyampaikan pesan semata seperti dulu lagi. Jika film tak bisa memenuhi
kriteria tersebut maka film itu akan lebih layak dinikmati melalui layar kaca
saja dalam bentuk FTV plus. Saya menyadari sepenuhnya konsekuensi tersebut
sebagai seorang sineas yang besar di 3 masa. Masa keemasan film 80 an, masa
kejatuhan film 90 an hingga masa ketika jelasan film/mengambang hingga sekarang
ini ditahun 2000 an.
Perlu adanya terobosan baru dari para sineas kita. Saya termasuk salah satu
yang sedang memikirkan hal itu. Dan mungkin karya saya selanjutnya saya sedang
mempersiapkan ke hal hal itu. Hanya saja yang perlu menjadi catatan bagi sineas
kita adalah bagaimana kita bisa menempatkan konten lokal kita mengikuti
kemajuan jaman tersebut. Ini tentu saja penting sebab dari semua karya yang
mencoba meniru niru gaya hollywood maka tak akan pernah didapat hasil yang
memuaskan. Hasil yang memuaskan akan tercapai manakala sebuah konten lokal
digarap dengan pendekatan tekhnologi internasional. Membuat produk bercita rasa
internasional tidak harus dengan mengikuti gaya film luar tetapi harus
dilakukan dengan gaya kita sendiri. Contoh saja karya yang menembus
internasional seperti Tom Yung Gung di Thailand yang kental lokal Thai
Boxingnya atau The Raid yang kental lokal silatnya. Jangan pernah membuat karya
tanpa menciri khaskan lokalitas kita karena itu tak akan punya nilai lebih.
Analoginya sederhana saja, buat apa kita berusaha mengikuti gaya orang luar
sementara orang orang hollywood saja berusaha membuat film mereka dengan
mengadaptasi berbagai budaya lokal diluar negaranya sendiri. Lihat saja film
Robin Hood,Hercules,dll bukankah itu kisah kisah yang bukan berasal dari
Amerika sendiri asalnya ?
Kita hanya akan mempunyai sebuah kekuatan di film lokal sendiri apabila
kita bisa menggarap konten lokal kita tetapi dengan standarisasi tekhnis penggarapan
ala hollywood. Kalau kita hanya meniru gestur dan gaya dari hollywood namun
penggarapan tekhnis masih lokal maka itulah yang mengakibatkan jatuhnya
kepercayaan penonton pada sineas negeri sendiri dimana kita dituduh hanya
sebagai KW nya saja. Dan tentu saja sampai kapanpun harus tertanam dalam
ingatan kita bahwa kekuatan kita tak akan pernah bisa menyamai hollywood.
Seperti sebuah peperangan ketika melawan musuh dengan persenjataan dan keuangan
lebih besar dan canggih maka cara mengalahkannya adalah dengan strategi dan skill
yang telaten. Kita bisa mengalahkannya dengan cara lain selain menyamainya ada
banyak contoh yang bisa kita lihat dari kisah kemajuan film dinegara sebelah.
Cobalah bayangkan jika film sekelas Titanic misalnya tetapi yang memainkannya
adalah bintang sinetron kita maka tetap saja akan dicela. Tetapi coba saja
sebuah kisah sederhana atau kisah sinetron namun dimainkan oleh aktor sekelas Tom
Hanks misalnya, maka tentu saja kualitasnya akan menjadi naik. Berbagai faktor
memang sangat mempengaruhi itu.
Menarik memang jika kita melihat teori ini dari sebuah Pensil. Ambillah
sebuah pensil lalu cobalah membuat gambar dengan pensil itu, saya pastikan jika
anda bukan ahlinya dan tidak berbakat maka pensil itu akan jadi biasa biasa saja.
Namun sebaliknya cobalah berikan pensil itu ke seseorang yang punya skill bagus
menggambar, maka ditangannya pensil tersebut akan menjadi luar biasa bahkan tak
terbayang dari sebuah pensil bisa lahir karya yang menakjubkan.
Kata sebagian orang, penonton kita juga berperan dalam menentukan hidup
matinya film dinegara ini, namun segala sesuatunya tidak bisa kita lemparkan
kesalahannya kepada penonton semata. Sebelum kita menyalahkan penonton marilah
kita coba bertanya pada diri kita sendiri bukankah kita juga termasuk penonton
? apakah kita saat ini mau menonton film Indonesia di bioskop ? kalau jawaban
saya pribadi tentu tidak, sebab dalam tahun ini saja saya hanya menonton satu
film saja dibioskop yakni tenggelamnya kapal van der wicjk itupun karena saya
adalah penggemar novelnya. Karena itulah buat para sineas tak perlu menyalahkan
para penonton sebab jika hal itu dilimpahkan ke kita sendiri sudahkah hari ini
kita menonton film Indonesia ke bioskop ? tentu kita sendiri akan menggeleng.
Jika kita saja orang yang suka film tak punya minat ke bioskop apalagi mereka
penonton awam.
Lalu ada pula saya dengar tanggapan salah satu praktisi film yang
mengatakan bahwa pengaruh kritik atau review yang jelek akan membuat orang juga
malas ke bioskop. Menurut saya itu juga tidak signifikan. Sebab tak pernah ada
bukti bahwa kritik bisa membuat penonton jadi berkurang atau malah sebaliknya
membludak. Contoh tidak jauh saja ada film Taman Lawang dan air terjun
pengantin phuket yang dicela habis oleh kritikus bahkan menmpatkannya dalam
daftar 10 film terburuk tahun lalu tetapi buktinya film itu adalah box office
tahun 2013. sebelumnya dua tahun lalu pernah ada film Arwah goyang karawang
Jupe Depe yang mendapat cacian bukan main pedasnya di sebuah review di Yahoo
dan menyarankan jangan pernah menonton film ini, namun yang terjadi malah film
itu hampir saja menjadi juara box office tahun 2011 dan menempati urutan kedua.
Sebaliknya coba kita lihat beberapa film yang mendapatkan review atau
pujian selangit pun tidak selamanya akan berbuah penonton banyak. Contohnya
film Sokola Rimba dan masih banyak lagi beberapa film lainnya yang tidak etis
untuk disebutkan judulnya satu satu. Karena itulah, rasanya tidak bijak jika
kita harus menyalahkan para penulis kritik tersebut juga sebagai bagian dalam
mengurangi jumlah penonton sebab tak ada korelasinya kritik kritik mereka
tersebut dengan kemunduran perfilman dimasa sekarang. Semua orang mempunyai hak
menyampaikan pendapat. Para kritikus punya hak menulis, mengata ngatain dan itu
lebih tepat disebut sebuah Opini pribadi sehingga sah sah saja di era
keterbukaan demokrasi begini disuarakan masing masing orang. Selama hanya
mengkritik, apapun bentuknya itu hak mereka dan sebagai sineas kita pun punya
hak untuk membuat film, jadi prinsipnya selama tak ada saling melarang buat apa
dipermasalahkan ? saya akan marah jika saya dilarang membuat film seperti
halnya si kritikus juga tentu akan marah jika dilarang mengkritik. Jadi tak ada
masalah saling menghargai pendapat satu sama lain, kritikus silahkan saja
mengkritik sampai puas mengeluarkan pendapatnya dan si pembuat film juga
silahkan saja membuat film sepuas puasnya dan semaunya mengeluarkan isi
kepalanya. Bukankah hak kebebasan berpendapat itu dijamin dinegara ini.
Kritikus mengeluarkan pendapatnya lewat tulisan dan sineas mengeluarkan
pendapatnya lewat film jadi tak ada hukum yang mengharuskan salah satu pendapat
saja yang harus dibenarkan, keduanya punya hak yang sama tak ada yang boleh
memaksakan pendapatnya harus diterima. Yang saya tidak setuju hanya pada
beberapa tulisan yang isinya sudah menuju ke fitnah, namun itu biasanya terjadi
ketika si penulisnya tak mencoba meriset dahulu apa yang ditulisnya namun hanya
memakai asumsi dan kira kira saja. Itulah makanya kenapa saya yang dulunya tak
pernah mau membuka kehidupan pribadi saya kepublik, kini semakin sering
menulisnya. Itu semata mata saya lakukan sejak adanya sebuah opini berbentuk
fitnah yang mencoba menulis tentang siapa saya tetapi sama sekali ia tak
mengenal siapa saya sedikitpun bahkan latar belakang saya sekalipun. Saya
sendiri adalah orang yang sangat anti popularitas sebenarnya. Dahulu saya
sengaja menyembunyikan identitas saya dengan maksud ingin menjadi orang
dibelakang layar seutuhnya, saya hanya ingin orang mengenal karya karya saya
tanpa harus mengenal siapa saya. Namun seiring dengan desakan media yang suka
salah menulis tentang saya tersebut maka saya akhirnya mulai membuka diri
sedikit demi sedikit melalui blog ini. Semua kisah saya ceritakan apa adanya
termasuk hal hal yang pribadi semata mata agar tak ada lagi fitnah dimasa
depan.
Kini film Indonesia menjadi kembali pada titik mengambang dimana
kebingungan para sienas kita tentang apa yang diinginkan penonton. Mengapa
bioskop jadi sepi, selera seperti film apa yang disukai penonton. Membaca
keinginan masyarakat penonton kita, Ada kalanya pendapat seorang teman saya di
Merauke kadang bisa masuk akal juga, dia mengatakan bahwa film Indonesia
sekarang ini penonton melihatnya dari siapa yang membuatnya dan dimana
dibuatnya. Lalu saya mencoba membuat analogi sederhana semacam ini : Bagaimana
jika seandainya film The Raid dengan kualitas yang sama tapi di sutradarai atau
di produseri oleh KKD atau Shanker ? mungkin saja fenomenanya tak akan sekuat
seperti saat ini pujiannya. Dan itu terbukti ketika KKD mencoba membuat film
Jokowi yang secara ketokohan banyak penggemarnya dan dengan kualitas yang tak
buruk pula, ternyata film itu juga tak sukses dipasaran alias tak banyak
ditonton orang. Tetapi jika ada seorang produser atau sutradara yang sudah
mempunyai basis citra baik dan banyak penggemar tertentu maka filmnya akan
lumayan penontonnya bahkan diulas dalam media dengan tulisan mengandung pujian.
Penonton kita lebih melihat kepada hal hal tersebut juga dalam memilih film
tontonannya bukan ke premis yang ditawarkan.
Itulah makanya jangan heran jika sepanjang sejarah film kita, tak pernah
ada film indie dengan kualitas tekhnis apa adanya yang masuk dalam jajaran box
officenya. Tentu saja hal ini sangat berbeda jauh dengan hollywood dimana sejarah
pernah mencatat beberapa film indie dengan kualitas teknis rendah namun premis
yang bagus bisa duduk dalam jajaran box office bahkan menempati ranking
pertamanya. Sebut saja contohnya : Paranormal Activity, The Purge bahkan yang
paling fenomenal adalah The Blair with the Project film indie anak anak
kuliahan yang hanya dibuat dengan sebuah handycam saja. Hal seperti ini hanya
mimpi jika kita berharap akan terjadi di Indoensia, gambaran para penonton
bahwa ada harga ada barang seperti layaknya berbelanja memilih merk dagangnya
ketimbang kualitasnya sehingga produk buatan lokal akan dihargai mahal jika
dilabeli merk barat dulu. Sebuah film diukur dari production valuenya, jika
terlihat murahan maka tak ada minat melihatnya, biasanya semua bisa terlihat
hanya dari trailer dan posternya saja, sementara trailer dan poster hanya akan
menginformasikan gambar bukan ceritanya. Film sejenis The Blair with the
project atau Cloverfield mungkin akan dianggap bukan film jika diputar di
bioskop kita. Bisa jadi kameramennya pun dibilang tidak profesional padahal
memang konsep mereka disengaja begitu.
Premis belum menjadi daya tarik bagi penonton kita, penonton masih lebih
mengomentari hal hal tekhnis dibanding menghargai idenya. Jarang sekali sebuah
film di Indonesia dipuji idenya, nomor satu yang selalu kita dengar adalah
pujian terhadap gambarnya, dengan kata lain mungkin penonton kita suka dengan
fotografi. Sebagus apapun sebuah film konsep dan idenya jika fotografinya tidak
indah maka akan dicela penonton, begitu kira kira gambarannya. Karena itu
jangan harapkan akan ada film dengan konsep seperti The Blair with the project
untuk sukses dinegara kita.
Namun terlepas dari semua itu sekali lagi kita tak boleh pernah menyalahkan
penonton sebab lain negara maka lain pula kulturnya, sama saja dengan kita
mempertanyakan mengapa acara televisi seperti YKS yang hanya berisi hiburan
belaka begitu yang sukses rating penontonnya tertinggi dibanding acara acara
yang mendidik lainnya. Saya ingat betul bagaimana dilematis saya ketika membuat
film untuk konsumsi masyarakat lokal di Papua. Ketika itu saya ingin membuat
gambar dan lightingnya sangat filmis seperti yang selama ini saya pelajari
disekolah film. Namun berdasarkan pertimbangan berbagai pihak yang memberi masukan,
kami tak bisa menerapkan aturan tekhnis tersebut. Penonton lokal tidak suka
melihat gambar yang gelap gelap, mereka lebih suka melihat gambar itu terang
dan terlihat jelas wajah pemainnya. Praktislah tak ada pengaturan cahaya yang
aneh aneh kami gunakan. Yang penting wajah pemain semua jelas. Bagi saya
mungkin seperti sinetron barangkali. Ini akibat penonton masa kini telah
terkontaminasi dengan sinetron. Giliran ketika film itu dipertontonkan ke orang
film dijakarta maka saya akan dibilang tak bagus tekhnisnya ya serba salah,
sebab sasaran kami memang seperti itu. Saya tak bisa juga membuat pola
penceritaan non linear yang bolak balik karena akan membingungkan penonton
disana. Setiap daerah punya cita rasa yang berbeda dalam melihat sebuah film.
Seperti halnya makanan juga kan belum tentu orang dari Jakarta akan suka Sagu
Bakar begitupula kami disana belum tentu suka makan Hamburger.
Saya pernah mencoba membuat editing sebuah acara balapan motor bergaya
editing MTV yang sangat cepat dengan perpaduan musik keras seperti video klip
dan membuatnya agak strobo gambarnya alias dikurangi frame ratenya dan hasilnya
beberapa orang di merauke yang menyaksikan tayangan itu mengaku mual mual dan
bhakan ada yang muntah. Mereka meminta saya merevisinya dan membuat editingnya
menjadi normal saja tak usah dibuat dinamis begitu karena tak cocok dengan mata
mereka, alhasil saya pun mengedit ulang dengan memperpanjang lama durasi
shotnya dan menormalkan framenya kembali seperti sinetron. Itulah yang saya
bilang selera luar tak bisa dipaksakan sama disebuah daerah tertentu. Mungkin ada
perlunya kita mempelajari tekhnik kecerdasan EQ atau kecerdasan membaca
situasi.
Akhir dari tulisan ini saya hanya menyimpulkan bahwa untuk mengembalikan
minat para penonton ke bioskop harus dimulai dari diri kita sendiri. Sebagai
seorang sineas kini saya sedang berusaha untuk kedepannya membuat film tidak
hanya di Papua saja. Bagi saya film film yang saya buat di Papua itu lebih dari
sekedar film, itu adalah sarana saya dalam menceritakan situasi di Papua saat
ini dan saat lalu dimasa kecil saya, jadi bukan kelasnya sebagai hiburan
semata. Untuk dunia hiburan, Saya akan mencoba tema lain di daerah lain bahkan
di ibukota dan tentu saja beberapa tahun belakangan ini saya sibuk mempelajari
berbagai perkembangan tekhnologi dibidang film sebab itulah yang banyak luput
dari perhatian sineas kita sekarang yang terlalu sibuk hingga tidak mengupgrade
perkembangan terkini dibidang film dari luar sehingga bisa mengimbanginya, kita
tak bisa lagi melawan derasnya arus film luar hanya dengan mengandalkan dan
mempertahankan konsep konsep jadul, perlu ada terobosan baru bahkan aturan
aturan seperti garis imajiner hingga teori film yang pernah dipelajari dikuliah
pun sekarang sudah banyak dilanggar dan dimodifikasi. Dan untuk mengaplikasikan
kata “dimulai dari diri kita sendiri” itulah, saya harus bisa membuat karya
film yang mampu membuat, minimal saya sendiri atau teman teman dekat saya
tertarik datang ke bioskop. Sebab jika saya sendiri saja atau keluarga saya tidak
tertarik ke bioskop menonton filmnya lantas buat apa kita berharap banyak pada
penonton film kita diluar sana yang tak akan pernah bisa kita salahkan ?
ironisnya saya pernah mendengar cerita beberapa sineas yang mengatakan dia
sendiri tak pernah menonton film film buatannya ketika tayang di bioskop, jika
hal ini terjadi lalu siapa yang harus disalahkan ?
Jika kembali pertanyaannya : Film seperti apa yang akan ditonton orang
banyak ? maka saya lebih memilih untuk mengutip kata kata pak Sunaryo dari Grup
21 yang mengatakan ke saya bahwa : FILM ITU TIDAK ADA PROFESORNYA Jadi jelas
tidak ada yang akan mampu menjawabnya dengan benar
Penulis : Irham
Acho Bahtiar
0 comments:
Post a Comment