Ketika tiba bulan Desember tepatnya tanggal 25 apalagi memasuki tahun baru,
menjadi bulan bulan dimana kenangan indah masa kecil hingga remaja di kampung
Muting sebuah kampung kecil didekat perbatasan RI-PNG Kabupaten Merauke Papua.
Kenangan itu memang sangat sulit untuk dilupakan dalam sejarah hidup saya,
dimana disitulah kebersamaan diantara keberagaman bisa saya rasakan dengan
indah. Sungguh jauh berbeda ketika saya kini berada di kota dimana masyarakatnya
banyak yang tidak lagi menghargai keberagaman itu.
Muting adalah kampung yang didiami penduduk asli Marind suku Papua yang ada
di Kabupaten Merauke dan mempunyai populasi kependudukan mayoritas beragama
Katholik. Penduduk Marind aslinya dikenal sangat ramah, terbukti dengan adanya
tradisi banyak ucapan selamat disini, ada : selamat pagi, selamat
siang. Selamat sore, selamat malam, selamat makan, selamat tidur dan selamat
lainnya. Pengaruh misionaris dari Belanda dirasakan sangat kuat disini terbukti
dari adanya bangunan bangunan Gereja
buatan Belanda dan sekolah yang juga dikelola yayasan dari misi serta sebuah
kompleks pekuburan Belanda yang kebanyakan adalah kuburan Pastor pastor dan
suster terdahulu. Sejak kecil saya sangat akrab dengan seorang pastor asal
Belanda yakni Pastor Benembrouk beliau adalah sosok seorang yang mencintai
anak anak dan dikenal ramah. Beliau sudah ada sejak saya belum lahir dikampung itu, namun ketika saya menginjak SMP beliau pulang
kembali ke negaranya. Di kampung kami memang tercatat hanya ada 2 Kepala
Keluarga beragama Islam (termasuk keluarga kami) selebihnya semuanya mayoritas beragama Kristen dan
Katholik. Kehidupan beragama disini begitu saling hormat menghormati. Ketika
ada kegiatan di Gereja maka semua umat tak terkecuali yang muslim akan ikut
membantu, menyumbang dan turut serta menghadiri perayaaannya. Begitupula ketika
ada kegiatan di Masjid maka tak terkecuali umat Kristiani pun ikut membantu dan
ikut menghadiri perayaannya bahkan turut pula memberikan kata sambutan
Saat menginjak bangku sekolah dasar, saya dimasukkan ke sekolah SD YPPK Don
Bosco satu satunya sekolah yang ada di kampung itu. Sekolah ini adalah
sebuah sekolah bantuan yayasan dari misi. Kelak dikemudian hari Muting baru
mempunyai SD Negeri dari pemerintah disaat saya sudah selesai menamatkan kuliah
di Jakarta ditahun 2000 an. Mau tidak mau saya sebagai penduduk Muting yang saat itu berasal dari penganut agama lain harus mencoba mengikuti segala
kegiatan yang dilakukan sekolah dikampung kami tersebut. Hal ini sebenarnya
bukan menjadi sebuah masalah sebab di Muting itu sikap saling hormat menghormati
antar pemeluk beragama sudah terjalin sejak lama dan bukan dijadikan sebuah perbedaan. Bahkan seluruh saudara saya
semua pernah bersekolah di Sekolah Yayasan Katholik ini.
Ketika bersekolah di Sekolah Katholik, orang tua saya juga tidak menolak
ketika kami diberikan pelajaran agama Katholik yang menjadi kurikulum wajib di
sekolah Katholik. Sebab mereka merasa bahwa memang sudah resiko bagi kami untuk
tinggal dilingkungan yang mayoritas penduduknya pemeluk agama Katholik dan
sekolah satu satunya dari misi jadi itu sudah patut disyukuri daripada tidak sekolah sama sekali.
Selain itu, semua kegiatan apapun saya beserta semua adik adik saya yang pernah
bersekolah dikampung kami juga tidak keberatan mengikutinya. Tak jarang saya
juga ikut masuk ke gereja untuk latihan menyanyi. Disekolah kami memang
diwajibkan setiap sebelum pulang sekolah ada sesi latihan menyanyi lagu lagu
Gereja selama satu jam. Saya sangat antusias mengikuti pelajaran menyanyi sebab
sejak kecil jiwa seni saya memang sudah muncul. Tak heran jika hampir semua
lagu Gereja saya hafal mati dikepala saya, seorang teman saya sempat heran
ketika saya bisa menyanyikan lagu lagu Gereja dengan fasih ketika kuliah dulu. Saya
juga sangat menghafal luar kepala semua doa seperti Doa Bapa kami dan Bunda
Maria. Yang uniknya, saya juga selalu mendapatkan nilai 9 bahkan pernah juga 10
di raport untuk pelajaran agama Katholik, sementara teman teman lain bahkan ada
yang diangka 4 hanya saya satu satunya yang diberi angka 9 ini. ini juga sering
terjadi ketika pelajaran agama berlangsung. Pak Guru terkadang memberi tugas
untuk maju kedepan menceritakan kisah Yesus, dan biasanya, sayalah anak yang paling
duluan mengangkat tangan dan maju bercerita disaat semua teman lain tak ada
yang berani maju. Saya ingat sekali pak guru sampai berkata begini : Hei kamu
lihat itu, acho saja yang agamanya lain tapi dia lebih menguasai kisah ini. Tentu
saja hal itu hingga kini tak dianggap aneh lagi sebab, sejak kecil saya memang
sangat mengidolakan sosok Yesus yang penuh Kasih. Dulu waktu kecil saya sering
mengkoleksi berbagai buku,komik tentang sosok Yesus. Bagi saya mengapa saya
mencintai Yesus sebab dalam agama kami juga ada sosok beliau yakni Nabi Isa,
yang berbeda hanya sudut pandangnya saja, selain itu, sama sama mengajarkan ajaran Kedamaian..
Agama bukanlah menjadi sebuah penghalang atau dinding yang memisahkan semua
umatnya, tetapi selayaknya harus menjadi alat pemersatu untuk saling memahami bagi
semua Umat apapun di bumi ini. Mengapa kami di Muting begitu teguh memegang
keberagaman ini ? tentu saja hal itu tak bisa dilepaskan dari sebuah kearifan
lokal yang diturunkan sejak dahulu disini. Yakni bagaimana orang orang
dikampung itu menyebut Masjid dengan panggilan “Gereja” juga. Dahulu tak ada
yang tahu apa itu “Masjid”. Mereka hanya tahu rumah ibadah itu semuanya namanya
“Gereja”. Jadi ketika hari Minggu maka Umat Kristiani akan pergi beribadah ke
Gereja dan ketika hari Jumat tiba maka Umat Islam akan pergi beribadah ke
Gereja juga (Masjid). Saya sering sekali dimasa kecil ketika sedang
bermain bersama teman teman lalu ada suara Adzan berbunyi dari Masjid dan saat
itu juga seorang teman saya bertanya : Co, ko tidak pergi ke ko punya Gereja
kah ? saya bilang ah sa malas kita pigi
mandi mandi saja ayo....Ternyata justru mereka yang lebih mengingatkan saya
tentang beribadah, itulah sekelumit kisah masa kecil saya.
Mungkin dari situlah maka muncul sebuah MOP (anekdot khas Papua) yang
bercerita tentang seorang Kepala kampung yang sedang berpidato tetapi dia
bingung ketika akan menyapa seorang Pastor lalu giliran Imam Masjid karena dia tak tahu
apa panggilannya, akhirnya dia pun berkata : yang terhormat Bapak Pastor dan
yang terhormat Bapak Pastor dari Gereja Islam..... ya itulah sebuah MOP yang
biasanya diangkat dari sebuah kejadian lucu sehari hari yang pernah terjadi di
Papua. Yang saya pernah saksikan memang seperti itulah kenyataannya bukan
sekedar hanya MOP lagi.
Bisa kita lihat betapa masyarakat di Muting menganggap agama apapun itu
harus saling hormat menghormati dan tidak perlu dianggap sebagai sesuatu yang
berbeda jauh. Jika orang Muting memanggil Mesjid dengan sebutan Gereja maka itu berarti mereka akan menghormatinya sama seperti menghormati rumah ibadahnya sendiri pula. Tidak akan mungkin masyarakat akan membakar gereja gereja yang disucikan ini sekalipun seandainya terjadi sebuah kerusuhan disana.
Ada lagi cerita unik ketika suatu saat saya akan mengumandangkan adzan di masjid, waktu itu seorang kawan saya menunggu saya dihalaman masjid, adzan di masjid Muting waktu itu memang sudah menggunakan speaker namun karena kampung kami belum ada listriknya kala itu maka kami harus hemat hemat baterei aki buat menyalakan speakernya. Ketika saya selesai adzan dan keluar masjid maka teman saya itu lalu bertanya : sudah selesai ? saya bilang iya ? teman saya : saya tidak mendengarnya, saya jawab bahwa saya tidak memakai pengeras suara, teman saya bertanya lagi : mengapa kamu tidak menggunakan pengeras suara ? saya jawab bahwa aki nya takut habis. Lalu teman saya tadi menyuruh saya kembali masuk masjid dan mengulangi adzannya menggunakan pengeras suara agar dia yang diluar juga bisa mendengarkannya. Sama sekali suara speaker bukanlah sebuah pengganggu. Bahkan ada beberapa Pace di ujung kampung yang pernah cerita kalau suara Adzan Magrib bagi mereka menjadi sebuah penanda bahwa waktunya mereka pulang ketika sedang asyik mencari ikan. Mereka menjadikan itu sebagai penanda waktu karena disaat cari ikan dirawa tentu mereka tidak menggunakan atau melihat jam, alhasil suara Adzan sebagai penanda waktu ketika Adzan Dhuhur berbunyi pertanda sudah jam 12 siang dan seterusnya. Buat Yang berada dirawa sangat membantu untuk menandai waktu.
Ya suara adzan lewat pengeras suara sudah terbiasa sejak dahulu didengar masyarakat sehingga itu bukanlah sebuah gangguan melainkan sebuah hiburan disaat kampung kami memang tak ada hiburan lain, bisa dibilang di Muting memang haus hiburan. Bahkan dulu seorang Camat pernah memasang speaker atau Toa pengeras suara didepan rumahnya yang setiap harinya non stop memutar lagu lagu penghibur masyarakat, dan tentu saja masyarakat sangat senang dan tidak merasa terganggu. Bahkan dimasa kini hampir semua rumah punya speaker besar yang kadang kadang suka diputar kencang kencang disaat mereka sedang senang.
Ketika besoknya akan Lebaran pun maka banyak masyarakat menunggu suara takbiran lewat pengeras suara masjid, dan ketika takbir pertama kali berbunyi semua orang akan merasa senang karena besok kita akan berpesta saling mengunjungi dan makan makan. Itulah tidak berlebihan jika saya menyimpulkan Lebaran dikampung kami bukan hanya milik kaum muslim tetapi juga bagi semua umat lainnya. Suara takbiran di malam lebaran menjadi semacam tradisi menyambut bahwa besok akan ada pesta besar bukan hanya bagi umat Islam saja melainkan semua yang ada dikampung itu. Saya masih ingat ada beberapa teman saya senang sekali begitu mendengar takbir berkumandang karena besok bakal acara makan makan besar kita.
Bukan hanya Masjid yang mengeluarkan suara besar lewat speaker hingga terdengar kesemua masyarakat, di gereja Katholik dikampung kami juga ada suara dentingan Lonceng gereja yang biasanya berbunyi di jam jam tertentu, misalnya menandai akan dimulainya ibadah atau ada kematian. Lonceng besar itu berada diatas menara tinggi gereja dan bunyinya bisa sampai di rawa terdengarnya. Uniknya ketika lonceng itu berbunyi biasanya kita semua akan berhenti dan diam sejenak mendengarkan bunyi lonceng gereja itu,bahkan orang yang sedang berjalan dijalanan juga berhenti sejenak. Seluruh aktifitas dihentikan sejenak sambil berdoa. Itu adalah sebuah kultur yang dibangun sejak jaman Belanda, belakangan kini kultur itu sudah jarang ada lagi dimasa sekarang. Suara suara itu bukan dianggap saling menganggu tetapi menjadi sebuah kebiasaan yang jika dihilangkan justru menjadi aneh. Kini Lonceng itu sudah tak berbunyi lagi sebab bangunannya sudah terlalu tua dan berbahaya jika di gerakkan diatas menara.
Ada lagi cerita unik ketika suatu saat saya akan mengumandangkan adzan di masjid, waktu itu seorang kawan saya menunggu saya dihalaman masjid, adzan di masjid Muting waktu itu memang sudah menggunakan speaker namun karena kampung kami belum ada listriknya kala itu maka kami harus hemat hemat baterei aki buat menyalakan speakernya. Ketika saya selesai adzan dan keluar masjid maka teman saya itu lalu bertanya : sudah selesai ? saya bilang iya ? teman saya : saya tidak mendengarnya, saya jawab bahwa saya tidak memakai pengeras suara, teman saya bertanya lagi : mengapa kamu tidak menggunakan pengeras suara ? saya jawab bahwa aki nya takut habis. Lalu teman saya tadi menyuruh saya kembali masuk masjid dan mengulangi adzannya menggunakan pengeras suara agar dia yang diluar juga bisa mendengarkannya. Sama sekali suara speaker bukanlah sebuah pengganggu. Bahkan ada beberapa Pace di ujung kampung yang pernah cerita kalau suara Adzan Magrib bagi mereka menjadi sebuah penanda bahwa waktunya mereka pulang ketika sedang asyik mencari ikan. Mereka menjadikan itu sebagai penanda waktu karena disaat cari ikan dirawa tentu mereka tidak menggunakan atau melihat jam, alhasil suara Adzan sebagai penanda waktu ketika Adzan Dhuhur berbunyi pertanda sudah jam 12 siang dan seterusnya. Buat Yang berada dirawa sangat membantu untuk menandai waktu.
Ya suara adzan lewat pengeras suara sudah terbiasa sejak dahulu didengar masyarakat sehingga itu bukanlah sebuah gangguan melainkan sebuah hiburan disaat kampung kami memang tak ada hiburan lain, bisa dibilang di Muting memang haus hiburan. Bahkan dulu seorang Camat pernah memasang speaker atau Toa pengeras suara didepan rumahnya yang setiap harinya non stop memutar lagu lagu penghibur masyarakat, dan tentu saja masyarakat sangat senang dan tidak merasa terganggu. Bahkan dimasa kini hampir semua rumah punya speaker besar yang kadang kadang suka diputar kencang kencang disaat mereka sedang senang.
Ketika besoknya akan Lebaran pun maka banyak masyarakat menunggu suara takbiran lewat pengeras suara masjid, dan ketika takbir pertama kali berbunyi semua orang akan merasa senang karena besok kita akan berpesta saling mengunjungi dan makan makan. Itulah tidak berlebihan jika saya menyimpulkan Lebaran dikampung kami bukan hanya milik kaum muslim tetapi juga bagi semua umat lainnya. Suara takbiran di malam lebaran menjadi semacam tradisi menyambut bahwa besok akan ada pesta besar bukan hanya bagi umat Islam saja melainkan semua yang ada dikampung itu. Saya masih ingat ada beberapa teman saya senang sekali begitu mendengar takbir berkumandang karena besok bakal acara makan makan besar kita.
Bukan hanya Masjid yang mengeluarkan suara besar lewat speaker hingga terdengar kesemua masyarakat, di gereja Katholik dikampung kami juga ada suara dentingan Lonceng gereja yang biasanya berbunyi di jam jam tertentu, misalnya menandai akan dimulainya ibadah atau ada kematian. Lonceng besar itu berada diatas menara tinggi gereja dan bunyinya bisa sampai di rawa terdengarnya. Uniknya ketika lonceng itu berbunyi biasanya kita semua akan berhenti dan diam sejenak mendengarkan bunyi lonceng gereja itu,bahkan orang yang sedang berjalan dijalanan juga berhenti sejenak. Seluruh aktifitas dihentikan sejenak sambil berdoa. Itu adalah sebuah kultur yang dibangun sejak jaman Belanda, belakangan kini kultur itu sudah jarang ada lagi dimasa sekarang. Suara suara itu bukan dianggap saling menganggu tetapi menjadi sebuah kebiasaan yang jika dihilangkan justru menjadi aneh. Kini Lonceng itu sudah tak berbunyi lagi sebab bangunannya sudah terlalu tua dan berbahaya jika di gerakkan diatas menara.
Yang kemudian merusak nilai kearifan lokal seperti ini dikemudian hari adalah
para pendatang yang semakin banyak di Muting yang mulai menghasut masyarakat
dengan menebarkan paham paham kebencian antar sesama sehingga sedikit demi
sedikit generasi yang terlahir kini tak lagi memahami hal hal indah seperti
dulu lagi. Mungkin mereka inilah yang disebut provokator. Potensi perpecahan dengan dalih agama seperti yang tejadi di Ambon terus terang juga pernah sempat ada potensi disini namun karena kesigapan pemerintah dan masyarakatlah yang membuat konflik itu tidak berkembang meluas.
Natal di Muting merupakan hari yang sangat bersejarah dalam kenangan saya, perayaan
Natal di Muting seperti sebuah perayaan besar yang ditunggu tunggu oleh semua
orang bukan hanya bagi umat Kristiani semata tapi juga bagi kami. Saya selalu
merasa seperti ada sebuah pesta yang harus dirayakan bersama. Kami pun
sekeluarga mulai dari Bapak, Ibu sampai adik adik saya akan berkeliling untuk
bertamu kerumah rumah penduduk sembari merasakan nikmatnya Kue Natal. Semua
akan saling salam dan mengucapkan Selamat Natal tak terkecuali imam Masjid
Muting pun begitu. Saya sendiri ketika kecil sangat terkesan dengan pohon
Natal atau yang kami sebut di Papua itu "Pohon Terang", tak jarang saya juga membuat pohon natal didepan rumah kami yang dihiasi
dengan kembang api, ada sebuah keunikan yang menarik perhatian saya untuk turut
merayakannya. Kami juga biasanya ikut menghadiri malam perayaannya yang biasanya
diselenggarakan dihalaman gereja disitu akan banyak acara menarik ditampilkan mulai dari pentas
drama hingga nyanyian yang berasal dari teman teman SD saya. Drama yang
dipentaskan biasanya disiang hari, ada drama prosesi jalan salib. Begitupula yang terjadi ketika acara Isra Miraj dilakukan umat Islam didepan halama mesjid. Ketika itu ada acara panggung hiburan gabungan antara masyarakat muslim dikampung Muting dengan masyarakat muslim dari desa transmigrasi didekatnya. Sewaktu pelaksanaan acara itu sebagian besar penontonnya adalah masyarakat Muting yang beragama Katholik, bahkan jauh hari sebelum acara pentas itu diadakan, masyarakat juga sudah memenuhi pintu masjid untuk menonton latihan yang kami lakukan didalam mesjid.
Lain lagi ketika Hari raya lebaran tiba di kampung Muting. Event ini bak
sebuah pesta besar yang akan selalu dipadati oleh para tamu yang rata rata
adalah umat Kristiani. Saya masih ingat betapa peristiwa itu terus terjadi
hingga berpuluh puluh tahun dan seakan menjadi tradisi yang akan terus dikenang
dimanapun kami berada. Ketika masyarakat Muting mendengar suara takbiran di
Masjid maka mereka sudah tahu bahwa besok akan Lebaran. Maka ke esokan paginya
mereka akan berbondong bondong dengan memakai pakaian rapi bertamu dan saling
menyalami selamat lebaran. Istilah di Merauke ini adalah : “pegang tangan”. Ini
adalah tradisi sejak lama, anak anak kecil akan datang dan berkata : “Tanta
atau om kita mau pegang tangan “ setelah itu tamu tamu akan duduk selayaknya
orang bertamu dan mencicipi hidangan apapun yang disuguhkan pemilik rumah. Terkadang
sampai dua hari berturut turut tamu yang datang mengalir tak putus putus,
terkadang juga sampai penuh sesak seperti sedang acara pernikahan sampai orang harus mengantri hingga kejalan hanya untuk bersalaman. Sudah
menjadi tradisi memang lebaran menjadi pesta besar besaran yang dirayakan
bersama sama dikampung ini tanpa mengenal kata beda. Perlu diketahui juga bahwa
di Muting tak ada tradisi memberikan uang atau amplop kepada anak anak yang
datang seperti yang terjadi dikota kota besar, jadi kedatangan anak anak tersebut adalah
sebagai bukti ketulusan mereka bukan karena dorongan ingin diberi uang dll.
Bahkan Bapak Pastor pun akan datang pula bertamu di hari raya umat Islam ini.
Inilah kemudian yang membuat Ibu saya tidak pernah merayakan Lebaran
dimanapun bahkan beberapa tahun lalu ketika sedang pulang ke kampung halamannya
di Kendari, ibu saya ditahan oleh saudaranya disana untuk berlebaran dikampungnya,
namun ibu saya menolak dan mengatakan bahwa kalau dia tak ada di Muting maka
lebarannya tidak akan seru. Sebab para tamunya sudah menunggunya. Sudah
berpuluh puluh tahun lebaran dirayakan selalu bersama masyarkat Muting tanpa
putus. Saudara ibu saya heran sebab kenapa tamunya banyak sedangkan masyarakat
di Muting kan mayoritas bukan Muslim ? Itulah kelebihan kami di Muting sebab
semuanya melakukan itu bukan karena dasar agama tetapi karena dasar kebersamaan
dan persaudaraan. Orang di Muting memang menganggap orang tua saya sudah
seperti orang tua mereka sendiri, semua memanggilnya “Tete dan Nene” setiap ada
isu yang tak nyaman dikampung ini maka masyarakat akan berupaya melindungi
mereka yang dianggap sebagai orang tua mereka juga. Bahkan kini Mereka juga sudah Haji sehingga dapat julukan baru "Tete Haji dan Nene Haji". Ibu saya sendiri pernah mendapat teguran dari salah seorang kerabatnya yang fanatik didaerah lain tentang sikap toleransi ini, namun ibu saya hanya menjawab : "biarlah jika seandainya itu dosa, maka saya yang akan menanggungnya sendiri tetapi saya yakin jika Tuhan itu Maha Tahu bahwa semua ini adalah semata mata saya lakukan sebagai hubungan baik antar sesama manusia didunia ini kecuali untuk urusan ibadah sebab ibadah adalah urusan manusia langsung dengan Tuhannya".
Mengapa ini bisa terjadi ? menurut analisa saya itulah saat dimana sebuah
perbedaan menjadi sebuah keindahan. Mengapa umat Islam tertarik berpartisipasi
dan ingin mengikuti kegiatan dan perayaan Natal, sebab ada sesuatu yang ingin
disaksikan sebagai sebuah keindahan baru yang beragam. Begitupula sebaliknya
umat Kristiani tertarik ingin menyaksikan serta merasakan kegiatan yang
dilakukan umat Islam sebab mereka ingin melihat sesuatu yang beragam dan
berbeda pula. Keberagaman dan perbedaan itulah yang menyatukan mereka sehingga
keduanya seperti saling membutuhkan satu sama lain didalam kehidupan. Maka keberagaman
itu memperkaya khazanah keindahan dalam kehidupan yang akan membuatnya makin
berwarna. Hari raya umat apapun akan dirayakan bersama sama tanpa mengenal agama. bagi kami hari raya itu untuk semua, ibadah untuk pribadi masing masing.
Begitulah gambaran akan sebuah Ke-Bhinekaan yang real dalam kenangan saya.
Sayang ketika semua itu kini mulai terkikis sedikit demi sedikit seiring dengan
masuknya pola pola pemikiran yang berupaya menghasut dan mengadu domba antar
umat beragama dimanapun berada. Semoga kearifan lokal yang terjadi dikampung
kecil ini bisa menjadi sebuah cermin bagi setiap manusia di manapun dalam
menjalankan kehidupannya selaku seseorang yang menganut agama yang dilandasi
dengan kedamaian.
Agama tak perlu menjadi sebuah permasalahan jika masing masing penganutnya
bisa saling harga menghargai didalam sebuah perbedaan yang indah.....
dan saya sangat bersyukur pernah menjadi saksi dari semua keindahan tersebut di kampung kami.....
dan saya sangat bersyukur pernah menjadi saksi dari semua keindahan tersebut di kampung kami.....
SELAMAT NATAL 2013 DAN TAHUN BARU 2014
UNTUK SEMUA SAUDARA SAUDARAKU UMAT KRISTIANI DI PAPUA
DAN DIMANA SAJA BERADA
“SEMOGA DAMAI SELALU DI HATI SEMUA”
I. Acho Bahtiar
0 comments:
Post a Comment