Sedikit flashback ketika saya
kuliah di Jakarta
ada banyak kenangan dan pandangan yang saya temui terutama tentang perspektif
orang diluar Papua memandang Papua selama ini.
Setiap saya mengatakan saya berasal dari Merauke Papua maka yang saya
terima adalah ejekan dan celaan seakan akan saya ini berasal dari hutan. Bahkan
tak jarang sindiran bernada rasis saya sering dengar. Memang pandangan orang
luar yang belum pernah menginjak tanah Papua lebih di pengaruhi oleh media
media yang mereka lihat, dengar dan baca. Bagi sebagian orang pikiran mereka
merasa bahwa Papua itu semuanya hutan dan belum ada perkotaan, tak akan ada
gedung megah dalam bayangannya. Dialeg yang saya gunakan pun tak jarang menjadi
bahan lelucon diantara kawan kawan. Belum lagi jika ada yang bertanya : Tapi kog lu gak hitam ? Saya hanya tenang sambil menunjuk ke teman saya yang berdarah India disamping saya sambil berkata "Dia ini orang Indonesia atau orang India ? lalu jawab mereka : orang Indonesia, hanya keturunannya saja yang India sehingga fisiknya berbeda. Maka saya pun tersenyum menjawab : Nah begitu juga saya.
Saya memang tak menampik jika hidup saya
telah menyatu di Papua. Semua keluarga saya tinggal di Papua tak ada satupun diluar Papua, hanya saya sendiri yang merantau ke Jakarta. Namun walaupun saya berada dimanapun tapi hati saya selalu
tertinggal disana seperti ari ari saya yang ditanam di bawah pohon mangga
disamping rumah. Dimana masa kecil saya hingga masa bermain saya berada
ditengah tengah penduduk asli Marind yang tak pernah mengenal tekhnologi. Bahkan Televisi pun kami tak tahu itu apa.
Muting ketika itu menjadi daerah yang bisa dikatakan terisolir akibat buruknya
hubungan transportasi antara kota
dan desa. Dulu waktu saya umur 5 tahun sempat ada pesawat twin otter yang
seminggu sekali kesana namun ketika menginjak SMP jalan yang bisa kita tempuh
untuk menuju ke kota Merauke hanyalah satu satunya lewat darat menggunakan
mobil Landrover tua milik Babah Sang Keo. Itupun terkadang, satu satunya mobil
yang dimuati banyak orang tersebut sering mogok ditengah jalan sehingga kita
harus menginap dijalan yang berlumpur bagaikan bubur bukan hanya satu hari tapi
bisa berminggu minggu bahkan sebulan. Baru beberapa tahun belakangan ini kami mulai dikenal di seluruh Indonesia setelah film film yang saya buat di Muting menjadi perhatian di Papua. Tanpa sadar sudah 5 film cerita ( 4 Non bioskop dan 1 Bioskop) yang saya buat dengan mengambil setting di kampung Muting sejak awal kembalinya saya dari kuliah perfilman di Jakarta.
Kembali ke kisah sewaktu kuliah
dulu, saya berpendapat bahwa pandangan teman teman saya terhadap Papua yang
kala itu masih disebut Irian Jaya sangat sempit. Mungkin dalam kepala mereka
disana masih sangat terbelakang atau bahkan belum memakai baju. Ini tentunya
tidak lepas dari peranan media (cetak dan televisi) yang selalu mengeksploitasi lebih sering Papua hanya pada
suku Dhani di Wamena saja terutama yang masih menggunakan pakaian adat.
Sehingga perspektif orang luar ketika menyebut Papua maka mereka akan
menyamaratakan dengan mengira semua orang di Papua itu memakai Koteka atau
masih tinggal di hutan hutan. Saya sering sekali mendapat ejekan seperti : Lu
dari Papua ya, kog gak make Koteka ? disana lu pakai koteka ya ? saya hanya
menjawab : Papua itu luas sekali bung. Saya dan masyarakat Marind di bagian selatan sejak lahir, kami tidak pernah melihat orang memakai Koteka disana. Yang memakai
Koteka itu adalah budaya dari orang di Wamena. Jadi jangan mentang mentang
Papua lantas disama ratakan semuanya pakai koteka. Itulah yang saya sebut
sempit wawasannya. Jika membayangkan kota Merauke, bayangan mereka seperti
sebuah kampung, maka silahkan lihat film film yang saya buat disana, disitu ada
penampakan Swalayan, toko besar, diskotik, lalu lintas kemacetan jalan raya,masyarakat yang multi etnik seperti di Jakarta dll.
Tidak ada bedanya dengan kota Bogor kalau saya bilang. Mengenai gaya hidup ? Masyarakat
merauke yang tinggal di kota rata rata sudah sama maju gaya
hidupnya sama seperti orang di kota Jakarta jadi jangan di remehkan dengan menganggap
mereka orang udik, HP jenis terbaru apapun sudah ada di kotanya.
Jika saya ingin menganggap secara
presentasi mungkin bisa di anggap bahwa hanya 10 persen yang diketahui
masyarakat yang tidak pernah menginjak Papua tentang Papua. Dan apabila mereka
sudah datang ke Papua sebatas berkunjung pun maka hanya 25 persen yang mereka
tahu.
Bukan hanya di waktu kuliah saja hal
ini terjadi, bahkan hingga dimasa kini pun. Beberapa tulisan atau bahkan
pandangan masih saja merupakan bentuk kecilnya wawasan orang diluar Papua dalam
memandang Papua. Semua yang diucapkan hanya sebatas referensi dari media, entah
dari televisi, entah dari bacaan dll dan sebagian besar adalah media nasional bukan media lokal Papua. Contoh saja : Jika ada sebuah kejadian
kekacauan atau kerusuhan di Sorong, Timika atau di Jayapura, banyak orang langsung
bilang wah Papua kacau tuh lu gak takut apa pulang ke kampung lu ? Nah inilah
yang saya bilang kurangnya wawasan mengenal geografis Papua yang begitu luas.
Bukan hanya perorangan yang seperti itu bahkan media televisi Nasional pun akan
berlomba membuat berita dengan judul : Papua Membara. Meski kejadiannya hanya
di Timika saja. Nah kalau sudah begini maka banyak teman atau saudara saya akan
menelpon saya dan khawatir sambil bertanya bagaimana nasib saudara saudara kamu
di Merauke sana
? seakan akan semua Papua ini kondisinya sudah seperti neraka barangkali.
Saya bisa menjawab dengan cara
seperti ini : Ambil sebuah gambar peta Indonesia, Taruhlah tangan anda di
peta Papua, atau lebih mudahnya taruhlah penggaris yang mempunyai ukuran diatas
peta Papua. Cobalah ukur jarak antara
Merauke dan Sorong. Nah setelah itu kini pindahkan pengukur tadi ke atas peta
Jawa dan ukurlah jarak antara DKI Jakarta dengan Surabaya atau Jawa Timur. lebih jauh mana ?
Setelah sudah diukur. maka saya
akan bertanya : Jika ada sebuah kejadian terjadi di Surabaya
apakah orang Jakarta
akan terpengaruh atau tahu hanya dari mulut kemulut ? begitupula sebaliknya.
Nah begitulah juga dengan luasnya
wilayah Papua yang kalian salah artikan tersebut.
Ketika ada kejadian entah itu
kerusuhan atau penembakan didaerah Barat kepala burung atau Timika sana maka otomatis kita
yang ada didaerah bagian selatan Papua ini tidak tahu apa apa. Jangankan
mendengar terpengaruh pun tidak secara keamanan. Mengapa ? sebab jarak antara
kedua wilayah tersebut (Sorong dan Merauke) sangat jauh sekali bahkan melebihi
jarak antara Jakarta dan Surabaya. Bahkan untuk kesanapun dari Merauke
hanya bisa ditempuh dengan jalur pesawat udara dan laut tak ada jalur darat. Saya
yang sudah puluhan tahun lahir hingga besar ditanah ini pun hanya pernah
menginjakkan kaki di Nabire, Biak dan Timika
karena transit pesawat saja.
Yang lebih menggelikan lagi, ada
pertanyaan seperti ini : oh kamu dari Papua ya, oh ya saya juga punya saudara
itu disana, dimana ? itu di Fak fak.
Wah jauh amat….asal perlu
diketahui saja bahwa orang Merauke bisa jadi ada yang belum pernah seumur
hidupnya menginjak tanah Fak Fak begitupula orang Fak Fak bisa jadi ada yang
belum pernah menginjak tanah Merauke. Tak ada jalur darat seperti kereta
api atau bis malam seperti di Jawa. Jika
kita dari Merauke mau ke Fak Fak itu sama saja kita sudah mau keluar daerah
ongkosnya pun tak beda jauh dengan ke luar Papua.
Karena itu pula sudut pandang
ataupun komentar dari wilayah lain tak bisa disama ratakan terhadap semua
wilayah. Jika ada sebuah komentar dari penduduk Papua yang berada di wilayah
tengah misalnya mengomentari penduduk di wilayah Selatan maka belum tentu
pemikirannya tersebut akan diikuti oleh wilayah yang dikomentarinya dan tidak bisa di sebut sebagai sebuah sudut pandang yang mewakili orang Papua secara keseluruhan. Satu
contoh saja pemilihan Gubernur Papua kemarin terlihat sekali contohnya di Selatan yang menjadi pemenangnya justru calon yang lain begitupula di wilayah
lain. Ini menunjukkan bahwa dari segi kependudukan pun mempunyai pola pikir
yang berbeda disetiap wilayahnya dari berbagai segi termasuk politik.
Inilah yang sering sekali tidak
dipahami oleh banyak orang di luar Papua bahkan oleh media media besar yang
sering memberitakan. Ketika menyebut sebuah wilayah maka semua latar belakang
serta adat istiadatnya sudah berbeda jauh tidak lagi bisa disamakan. Sampai
sampai ada pandangan keliru yang mengira di Merauke orang pakai koteka juga.
Padahal koteka di Merauke hanya akan kita lihat apabila ada karnaval budaya
setiap bulan agustus atau dijual di toko barang souvenir tidak ada bedanya
dengan di luar Papua.
Adat istiadat antara suku di Wamena dengan adat istiadat orang Marind di Merauke mempunyai perbedaan
mencolok. Jika budaya Wamena lebih terbuka dan mudah di ekspose ke umum (karena
itulah media lebih sering mengeksposenya) maka sebaliknya dalam budaya Malind
Anim, kebudayaan itu disebut mempunyai mata sehingga tak bisa sembarangan di
ekspos atau di eksploitasi. Sejak saya kecil saya sering mengikuti upacara adat
sakral Marind yang disebut main Shi. Upacara tersebut tertutup sifatnya dan tak
bisa ditonton sembarangan orang, Bahkan kami yang menontonnya kala itu pun harus
di gosok seluruh badannya dengan sejenis daun tertentu agar tak terkena
tulahnya. Jangankan orang asing yang dilarang menonton acara itu kamera
foto atau video pun akan dilarang mengambil gambarnya. Saya menjadi saksi sejarah akan
hilangnya satu persatu budaya dari masyarakat Marind di tanah Anim Ha. Ada satu kebudayaan
masyarakat Marind yang hingga saat ini telah punah dan tak pernah diadakan
lagi. Yakni adat berduka atau disebut adat SAL. Dimasa itu seseorang yang baru
saja kehilangan anggota keluarga akan tinggal dalam rumah dengan menutup
seluruh badannya tanpa boleh menyalakan api dan tidak mengadakan kegiatan apapun
sama sekali kecuali ke kamar kecil. Didepan rumahnya akan dipasang patok merah
penanda bahwa ia sedang berduka. Kini yang tersisa dari adat tersebut hanyalah
patok merah yang masih bisa terlihat di kampung Muting jika kita berjalan jalan
keliling kampung sedangkan ritual adatnya sendiri sudah tak diterapkan lagi.
Semuanya kini terekam dalam memori saya yang terus berharap agar budaya budaya
penuh kearifan lokal seperti ini janganlah sampai hilang. Salah satunya saya
telah abadikan dalam beberapa film saya seperti budaya Yosim asli yang saya
berulang kali tampilkan rekonstruksinya dalam film film terdahulu saya.
Kini budaya Yosim pun sudah
hampir punah. Anak anak Marind dimasa mendatang hanya akan melihatnya dalam
film film saya seperti di film Melody
Kota Rusa. Saya mencoba sedikit demi
sedikit mengangkatnya sebab jika bukan saya sebagai anak Muting siapa lagi ? saya pernah
menyaksikan seorang Warga Negara Asing diusir dari kampung saya karena
mengambil gambar tanpa ijin. Padahal yang diambilnya hanya gambar rawa saja. Sebenarnya secara hukum dia tidak salah sebab bagi orang didaerah lain disangkanya mengambil gambar pemandangan umum itu bebas
saja seperti layaknya kita memotret pemandangan alam bebas, tapi bagi masyarakat Muting semua wilayah itu ada pemiliknya dan harus dibayar dengan ijinnya. Si bule
pun di denda dan disuruh pulang sambil di maki maki. Saya masih diberi banyak keleluasaan
mengeksploitasi Muting sebab saya anak kelahiran Muting. Dalam film Noble
Hearts pun akhirnya saya bisa diberi keleluasaan oleh tua tua adat LMA Muting
untuk mengangkat tarian adat Nggatsi yang selama ini dianggap tabu juga untuk
di filmkan. Semua itu berhasil dilakukan karena kepercayaan tetua adat yang tinggi kepada saya yang diharapkan membangun tanah kelahirannya.
Satu demi satu budaya di kampung
Muting mulai tergerus perkembangan jaman.
Saya sempat terkesima mendengar penuturan Bapak saya, orang yang telah
lama menginjakkan kaki di kampung Muting semenjak Muting masih belum modern ( Papua baru pertama bergabung dengan RI ).
Beliaulah yang pertama kali mengenalkan masyarakat garam, gula, kopi, teh dll
karena beliau adalah seorang pedagang. Kata Bapak : dulu orang orang di
kampung adalah orang orang yang
jujur, baik hati dan tulus. Kaum pendatanglah yang mengajari mereka berbohong, mencuri, menipu dll. Lambat laun para penduduk kampung yang polos dan baik hati
lama kelamaan banyak yang berubah mengikuti cara cara para pendatang yang
rakus,tamak,licik dan jahat. Semua keburukan sifat saat ini adalah hasil dari meniru cara cara kaum pendatang. Memang
kearifan lokal adalah yang terbaik namun sangat disayangkan jika akhirnya
tergerus oleh kemajuan jaman. para pendatang mulai memasuki kampung kampung ini semenjak tahun 80 an dimana era Transmigrasi gencar dilakukan pemerintah. Dulu masyarakat kampung Muting mempunyai semangat gotong royong tanpa pamrih dan masih jelas dalam ingatan saya kala itu setiap pekerjaan selalu dilakukan saling membantu beramai ramai, bahkan yang menjadi memori kenangan adalah disaat setiap tanggal 1 januari tahun baru ada semacam pesta masyarakat merayakan tahun baru dengan cara bernyanyi dengan iringan gitar jukulele keliling kampung dan kami yang waktu itu masih kecil ikut dalam rombongan tersebut sambil beryosim ria. Setiap rumah yang diisnggahi rombongan arak arakan itu akan diberikan berbagai macam kue atau makanan ringan. Kini semua itu tak ada lagi. Satu persatu hilang menyusul dengan munculnya sifat para pendatang yang lebih individualistik atau biasa disebut orang jakarta dengan " Lu Lu, Gue Gue". Kini masyarakat kampung seakan mengikuti pola pola sifat para pendatang tersebut sehingga semangat kebersamaan dan gotong royong yang dulu pun hilang. Saya merekam jejak perkembangan ini semenjak rumah kami masih beratap daun sagu dan berdinding gaba gaba.
Jika menyebut kata Papua, pasti
yang ada dalam benak kepala teman teman kita yang belum pernah menginjak Papua
adalah stereotip. Kalau bukan berkhayal tentang alamnya yang indah seperti
dalam film Denias atau dalam dokumenter Raja Ampat, satu lagi pasti ingat
koteka. Ya itu terjadi akibat peranan media massa yang memang selalu lebih cenderung
mengangkat wilayah wilayah tersebut. Tidak salah memang karena mungkin wilayah wilayah itu punya daya tarik pemandangan alam yang luar biasa. Padahal masih banyak sekali wilayah Papua
lainnya yang tidak pernah terekspose. Siapa yang sangka ketika gerakan gerakan
kecil kami di wilayah Selatan ini akhirnya bisa membuka akses masuknya banyak
media seperti acara acara televisi yang saat ini sudah mulai sering mengekspose
bagian Selatan ? Sejak itulah mungkin penonton baru sadar jika wilayah Selatan
Papua lebih cenderung alamnya berupa rawa rawa dan dataran seperti yang
terlihat di acara mancing mania dll. Semua acara tersebut bisa masuk ke Merauke
atas partisipasi kami disana yang mengundang mereka datang. Sebelumnya tak
pernah ada media yang mau datang mengekspose kami. Mungkin memang faktor
kesulitan tekhnis menyebabkan mereka merasa kesulitan untuk datang jika tak ada
yang menuntun, selain sikap tertutupnya secara adat masyarakat Marind yang
kurang begitu suka diekspose keluar.
Dalam berbagai cara saya berupaya
memperkenalkan sisi lain dari Papua yang dikenal selama ini. Ketika saya
ditanya mengapa tidak membuat film di Wamena atau di Raja Ampat juga ? saya
menjawab bukankah sudah ada yang membuatnya ? sudah berkali kali daerah daerah
tersebut dijadikan latar belakang pengambilan gambar film bahkan raja ampat
sudah dikenal dimata dunia. Lagi pula banyak teman teman saya disana para sineas
dari Jayapura,Wamena, Sorong dll mereka lah yang punya tugas untuk mengekspose
daerahnya masing masing. Dengan begitu kita sama sama berjuang mengangkat Papua
di wilayah masing masing. Papua secara geografis terlalu luas. Untuk menjelajah
wilayah Selatan saja buat di filmkan saya mungkin belum bisa mendapatkannya dalam kurun waktu
sepuluh tahun, apalagi harus ke daerah lain ? Karena itu saya memang lebih fokus
ke daerah yang saya kuasai yakni Selatan.
Saya juga merasa lebih mengenal lingkungan dimana saya tinggal agar
tidak terjadi kesalahan dalam konsepnya nanti. Apalagi dukungan yang saya
dapatkan dari tempat tinggal saya di Merauke semakin menguatkan saya untuk
terus mencoba memperkenalkan wilayah Selatan ini.
Yang terpenting bagi saya bahwa
apa yang saya buat selama ini di Merauke adalah bukan dari sekedar film. Semua
karya saya Bukan sekedar film yang harus dinilai atau di tonton buat hiburan
saja. Didalamnya begitu banyak misi yang saya bawa bukan secara pribadi tetapi
suara masyarakat kami. Memang tidak terlihat secara jelas tapi bagi yang cerdas
dan mau menela’ah apa isi karya saya seperti Melody Kota Rusa, Epen Cupen, Noble
Hearts dll sebenarnya ada sesuatu yang tersirat didalamnya yang saya harapkan bisa
mengubah cara pandang orang orang diluar sana seperti yang telah saya ceritakan
diatas. Mungkin ada yang hanya menilai sebatas tekhnis dan isi tetapi lebih
dari itu ada sesuatu yang terbawa dalam alam bawah sadar mereka sehingga bisa
merubah cara pandang mereka serta wawasannya dalam melihat Papua tidak lagi
seperti selama ini mereka dapatkan hanya dari media massa saja.
Sekali lagi ini bukanlah sekedar film tetapi ada sesuatu yang ingin
diperlihatkan dan ingin disampaikan ke teman teman semua. Itulah mengapa dalam setiap film film saya
entah itu berupa fiksi semata ataupun horror sekalipun yang saya buat disana,
saya selalu menampilkan sesuatu bagian yang tidak pernah orang lihat di
manapun, mereka akan menyaksikannya pertama kali lewat film itu. Itulah yang
saya sebut dengan menyampaikan sesuatu ibarat bercerita kepada teman teman
diluar sana
tentang apa yang ada di daerah kami dan tak ada di daerah lain. Sebab media
luput dalam menceritakan hal hal tersebut selama ini. Bahkan beberapa film yang pernah saya buat,
saya sempat menyelipkan adegan rekonstruksi persis dengan kejadian yang pernah
saya alami disana. Tapi semuanya kembali tergantung penonton yang menilai,
terkadang penonton yang tidak jeli malah mengira adegan tersebut hanya sebuah
rekayasa atau hiburan semata atau bahkan dijadikan tertawaan saja, tetapi
sebenarnya saya mencoba melukiskan semua gerak tubuh serta kejadian berdasarkan
rekam jejak pengalaman masa kecil saya disana. Mungkin saya terlalu halus dalam
menyajikannya atau mungkin juga terlalu menghibur sehingga adegan adegan
tersebut hanya berlalu dengan asumsi sebagai hiburan semata dimata penonton. Wajarlah karena saya berada dijalur fiksi.
Saya termasuk pecinta film film beraliran Satir. itulah mengapa hampir semua film saya ada adegan satirnya. ini yang kadang membuat penonton salah sangka sebab bisa saja ketika adegannya serius mereka akan tertawa. Satir memang terjadi ketika kita mentertawai sesuatu yang tidak pantas untuk ditertawakan Orang akan mengira saya gagal membuat adegan serius tetapi yang terjadi malah saya sebenarnya sengaja membuatnya ,ketika membuat beberapa adegan serius itu sebenarnya saya tertawa bukan main ketika menulisnya jadi ketika penonton tertawa juga berarti tercapai juga keinginan saya. saya akui adegan satir tak akan pernah lepas dari semua karya karya saya semacam sudah menjadi ciri khas dari gaya saya. saya suka membuat orang terhibur tanpa harus bermaksud untuk menghibur secara frontal. Cukup tersenyum itu sudah berhasil bukan sebuah lawak yang butuh tertawa sampai gigi kering.
Semua yang dituturkan seperti di
film Melody Kota Rusa atau Noble Hearts dibuat dengan penuh kepolosan .Tentu
saja sebab film film jenis tersebut bukanlah sekedar film tetapi sebuah suara
yang ingin disampaikan langsung dari desa Muting. Suara yang selama ini tak
terdengar keluar bahkan oleh Pemerintah Kota nya sendiri. Suara itu dikemas
dalam bentuk hiburan yang pada akhirnya nanti akan dinilai secara tekhnis oleh
banyak pengamat. Saya tentu saja sangat menerima jika sebuah karya akan
diperhitungkan secara tekhnis. Bahkan saya termasuk sutradara yang bisa
mengatakan itu memang jelek kalau memang jelek. Saya tak pernah membela sesuatu
jika memang jelek, namun itu semua sebatas ukuran tekhnisnya. Lain lagi jika itu
dilihat sebatas bukan film maka yang terlihat adalah suara kami semua bukan
individual saya lagi. Suara inilah yang kemudian akan menempatkan karya itu
untuk bisa di terima secara universal dan bukan tekhnisnya, karena itulah
biasanya yang saya bela adalah bukan hal tekhnisnya sebab tekhnis ada ukurannya
tetapi apa yang disebut lebih dari sekedar film itu tak ada batasannya. Contohnya saja bagaimana seorang pengamat film bisa mengomentari budaya Papua sementara dia sendiri tidak pernah ke Papua dan tidak tahu apa apa tentang Papua, yang masuk akal adalah ketika ia mengomentari sisi tekhnisnya saja sebab itu yang dia kuasai, sementara isi kultur dan budaya Papua belum tentu ia kuasai.
Pencapaian saya sebenarnya sangat
sederhana sekali untuk film film ini, contoh saja untuk film Melody Kota Rusa,
betapa bahagianya saya ketika mendengar penuturan beberapa orang mabuk yang
asyik duduk menonton pemutaran film ini dilapangan Hasanab Sai beberapa tahun
lalu. Kala itu sedang berlangung adegan ending dimana akibat dodi mabuk dan
menghancurkan impian teman teman mereka semua, saat itulah keluar sebuah celetukan dari
salah satu pemabuk di lapangan tersebut yang ikut menonton. Pemabuk itu
menangis sambil berkata : Aduh kawan, kasihan sekali dorang…itu gara gara koe
dodi ! (ironis dia menyalahkan dodi yang mabuk padahal dia sendiri sedang mabuk) lalu
temannya berkata : Iya sudah kawan makanya mulai besok kita tidak usah mabuk
lagi, gara gara mabuk itu makanya dorang gagal…..
Itulah sepenggal kisah nyata yang
saya saksikan sendiri bagaimana film punya implementasi nyata dalam merubah cara
pandang seseorang hanya dengan menyaksikannya sebagai hiburan saja. Bahkan saya
pun hanya tersenyum ketika membaca beberapa komentar di dinding FB orang yang
berkata setelah menyaksikan film saya : ternyata di Papua itu ada tempat ajeb
ajebnya juga ya kirain hanya hutan semua” itu pun sudah cukup bagi saya melihat
perubahannya karena yang mereka tangkap akhirnya lebih dari sekedar film. Bukan
perkataan : Wah keren filmnya atau Filmnya inspiratif, bukan kata kata itu yang
saya inginkan tetapi bisa memaknainya lebih dari sekedar film tanpa disadari
maka itulah yang saya tunggu keluar dibenak benak penontonnya.
Perlu diketahui sekarang Papua mulai aktif dan keras memerangi Miras dan pemabukan tidak seperti beberapa
tahun lalu sebelum film ini dibuat. Di kota
Merauke sendiri para pemabuk mulai berkurang dan pembunuhan dijalan oleh
pemabuk sangat jarang terjadi lagi tidak seperti ketika masa syuting film
tersebut. Ada atau tidak hubungannya dengan film ini, yang jelas saya
ikut senang karena itulah yang saya sebut lebih dari sekedar film, yang berarti
bukan film untuk dinilai atau dihibur semata. Masih banyak kisah nyata lainnya
dampak dari film tadi dikenyataan salah satunya Rasisme sedikit demi sedikit
mulai hilang. Jika terjadi perdebatan rasis saya pernah melihat sendiri sang penengah mengutip kata kata Mas Suroso di
Film maka perdebatan pun usai dengan diakhiri tertawa bersama mengingat tingkah
Mas Suroso yang polos menasehati tentang kebersamaan. Itulah makanya mengapa film film yang saya buat di Papua ini, saya lebih antusias untuk sukses di Papua daripada di luar Papua sebab sangat berfungsi bagi kami sendri disana. Jika diluar Papua mungkin saja film film seperti ini hanya diperlakukan sebagai bahan hiburan semata atau untuk di kritik saja tak lebih dari itu tetapi di Papua film film itu punya nilai lebih dari sekedar film.
Untuk film Noble Hearts yang
sebentar lagi tayang, harapan pencapaian saya juga masih sangat sederhana saja.
Semoga sahabat saya Yosep salah satu satu pemain film Melody Kota Rusa, bisa mau
kembali meneruskan kembali sekolahnya di Muting,. Saat ini beliau tidak mau melanjutkan
sekolah dan memilih ikut orang tuanya ke hutan dan ke rawa. Kejadian nyata yang
terjadi sangat dekat dengan kita sendiri. Atau pun Yosep yosep yang lain bisa
melihat film ini. Pencapaian sederhana macam itulah yang saya dambakan bukan
pencapaian film ini harus di puji atau disanjung, ataupun menang di Festival
atau laku di bioskop. Itu jauh sekali, harapan saya lebih kepada pembangunan
kampung saya kedepannya tanpa neko neko. Bagi saya lebih baik filmnya biasa
biasa saja tetapi tepat guna lebih dari sekedar film daripada film ini menjadi
sebuah karya seni luar biasa tetapi tak
bisa ditangkap maksudnya oleh mereka yang saya inginkan di kenyataan. itulah jawabannya mengapa sudah berpuluh puluh kali orang bertanya kesaya mengapa saya tidak mendaftarkan film film saya ke festival film manapun, atau mempromosikannya ke luar Papua dengan gencar. saya jawab karena film saya belum layak untuk kesitu, film ini tidak ditujukan untuk itu. Ada saatnya nanti saya akan bikin film yang memang tujuannya ke festival. tapi untuk saat ini film film ini tujuannya lebih dari sekedar film bukan kelasnya festival. Tercatat baru dua kali kami di undang, pertama di Festival film Salatiga, dan yang kedua di daftarkan oleh Produsernya (adik saya) atas nama ia sendiri sebagai pembuatnya ke AFI (Apresiasi Film Indonesia) meskipun saya sendiri tidak menyetujuinya karena merasa tidak pantas masuk ke festival sebagus itu, ini kan hanya film sederhana saja tidak punya nilai lebih untuk dinilai para juri festival, itupun akhirnya terjadi setelah di hubungi oleh panitia AFI yang meminta kami ikut berpartisipasi.
Saya memang selalu berusaha obyektif dalam melihat semua karya saya, saya merasa masih banyak kekurangan dalam hal tekhnis dalam beberapa film saya dan saya masih terus belajar untuk memperbaikinya hingga kini. Dan saya juga sadari jika kekurangan itu bukanlah karena keinginan atau kelalaian saya tetapi itulah resikonya ketika kita bekerjasama dengan tim anak anak lokal yang belum mempunyai skill apa apa. Saya harus sabar, akan ada saatnya nanti kita harus perlu terus belajar. Kelebihan dalam film saya disana itu hanya satu yang bisa saya banggakan, yakni film film tersebut tidak akan bisa dibuat oleh orang luar sebab saya dekat dan mengetahui kunci kelancaran membuat film didaerah saya. Bagi yang tidak tahu maka akan berhadapan dengan bermacam persoalan mulai dari perijinan, adat, hingga tuntutan masyarakat hingga biaya yang tak terhingga.
Ukuran sukses memang berbeda menurut kacamata saya. Jika "sukses" bagi kebanyakan orang diartikan sebagai sebuah pencapaian mendapatkan ambisinya, namun bagi saya sukses itu adalah seperti yang saya gambarkan di dalam ending film Melody Kota Rusa. Sesuatu yang damai dan nyaman meskipun bukan dalam bentuk pencapaian materi yang berlimpah.
Setiap orang punya tujuan atau motivasi yang berbeda beda ketika membuat film, ada yang mungkin menginginkan pengakuan orang banyak, menginginkan dapat menang di festival, menginginkan filmnya sukses, menginginkan jadi orang terkenal, menginginkan uang banyak dll.
Saya termasuk orang yang mempunyai motivasi berbeda dari semua diatas, karena film bagi saya adalah sebuah cara untuk menyampaikan cerita,nasehat,kearifan lokal,rahasia yang saya ketahui kepada orang lain dengan cara menghibur tanpa harus membuat orang tersinggung atau menyakiti. Film adalah sebuah media bagi saya untuk bisa berkomunikasi dengan penonton diluar sana yang tak pernah tahu apa yang terjadi disini. Apalagi saya sejak kecil hidup dilingkungan yang tak pernah mengenal dunia luar yang modern karena itulah kini saatnya saya bercerita untuk semua orang tentang semua yang tak pernah mereka ketahui sebelumnya.
Masih banyak yang ingin saya angkat dan perlihatkan dalam film film saya secara menghibur (bukan dokumenter). Sebenarnya terlalu banyak rahasia
yang saya ketahui ditanah ini sejak saya lahir. Termasuk tentang peristiwa
menyangkut politik maupun HAM. Semua terekam jelas dalam benak saya. Namun saya
memilih untuk keluar dari jalur politik. Saya lebih cenderung akan menceritakan
tentang hal hal non politik saja dalam film saya. ( Saya adalah orang yang dibesarkan di Papua di masa pemerintahan Orde Baru yang situasi politiknya sangat berbeda dengan masa sekarang )
Saya sendiri sebenarnya pernah
berencana untuk membuat sebuah film dokumenter berdasarkan jejak sejarah kelam
di era 90-2000 an lalu. Namun kemudian saya membatalkannya karena saya tidak ingin
menimbulkan pro dan kontra apalagi melihat dampaknya yang nanti bisa berakibat
fatal bagi kedamaian. Padahal saya telah menyiapkan semuanya mulai dari materi,
Narasumber hingga barang buktinya. Kini para narasumber satu persatu telah
banyak yang meninggal dan biarlah kisah tersebut terkubur bersama semua apa
yang saya ketahui. Sejak pengalaman itu Saya
memilih untuk tidak bersentuhan lagi dengan politik dalam karya karya saya
kedepannya demi untuk kedamaian di negeri ini. Beberapa kontroversi telah memecah belah persatuan orang Papua sendiri. Saya menganggap akan sulit maju jika terjadi perpecahan dikalangan anak bangsa sendiri. Salah satu pemicu perpecahan itu adalah kontroversi itu. Karena itu saya menghindari apapun yang bertujuan memecah belah persatuan anak anak Papua. Justru kemudian saya berupaya mendirikan komunitas film di Merauke adalah dengan tujuan menyatukan mereka semua. Karena salah satu kelemahan yang kita tidak sadari disana adalah ketika kita begitu mudah terhasut oleh orang orang luar. Semua visi misi mengenai hak hak dan pembelaan terhadap masyarakat Marind saya lakukan lebih halus lewat film film fiksi saya contohnya yang tebaru adalah Noble Hearts yang membela keadilan bagi anak anak Marind di dunia pendidikan.
Jangan sekali kali mencoba berpikir bahwa film film saya mengandung sebuah propaganda pihak tertentu apalagi menyangkut politik bahkan yang paling konyol adalah mengira film film ini untuk mendukung secara sepihak (nasionalisme Indonesia). Saya tekankan bahwa tidak pernah ada dalam film film saya di Papua adegan adegan yang terlalu membela kepentingan politik tertentu dan tidak ada pula menyudutkan siapapun. Dalam film film saya tak ada adegan hormat bendera, tak ada ucapan memuji muji negara Indonesia, jika pun ada latar belakang bendera itu adalah set properti artistik yang disesuaikan dengan kenyataan pada saat itu di lokasi kejadian. yang ada hanyalah kisah tentang kejadian sehari hari, persahabatan yang memang seperti apa adanya. Saya tetap membuat film dari sudut pandang masyarakat di Papua Selatan dimana saya tinggal apa adanya tanpa direkayasa. dimana kehidupan masyarakat begitu heterogen dan multi etnik yang terbentuk asimilasinya sejak ratusan tahun lalu. Lihat saja slogan daerah nya pun sudah mencerminkan keberagaman : "Satu hati satu tujuan" atau terjemahan luasnya semacam Bhinneka Tunggal Ika. Tentu ini berbeda dengan wilayah Papua lainnya sudut pandangnya sehingga tak bisa disamakan. Seandainya film ini dibuat di wilayah Papua lainnya tentu akan beda juga cerita nya lagi. Yang ada dalam film Melody Kota rusa adalah gambaran apa adanya dan rekonstruksi kejadian ditahun 80-90 an di Muting. Bahkan satu adegan nasehat dari Tete Frans orang tua adat disitu dilakukan tanpa skenario. Tanpa disangka beliau mengucapkan kata : Bhinneka Tunggal Ika tanpa kita minta seperti itu. Film itu terbentuk dengan sendirinya dengan polos tanpa ada tendensi propaganda pihak tertentu. Apalagi saat pembuatan film MKR itu Pemda Merauke dan Bupatinya kala itu tidak merespon kami sama sekali. Justru dalam film film saya berikutnya seperti Noble Hearts anda akan lihat bagaimana saya membela hak anak anak Marind dengan banyak mengkritisi dan menyindir pemerintah kita sendiri yang kurang adil terhadap anak anak Asli Papua.
Saya kemudian lebih nyaman memilih pola film cerita daripada dokumenter dengan alasan bahwa dengan cara inilah pesan yang saya sampaikan lebih mudah menyebar dengan sendirinya dan ditonton orang banyak dibandingkan dokumenter yang membutuhkan segmentasi penonton khusus dan tempat pemutaran khusus juga. Film cerita akan lebih mudah masuk ke rumah rumah orang secara pribadi melalui DVD tanpa bisa kita kendalikan, sebab dimana ada permintaan maka disitulah akan ada pasarnya. Apa yang sukses akan segera menjadi fenomenal, dengan begitu setiap visi kita akan mudah masuk secara massal. Tapi bukan berarti suatu ketika saya tak akan membuat dokumenter juga karena dokumenter juga diperlukan untuk merekam jejak secara real sebagai bahan dasar sebelum dibuatkan fiksinya. Tapi saya percaya teman teman saya di wilayah Papua yang lain sudah banyak yang mengisi lahan tersebut. Sehingga kini saya lebih fokus mengisi lahan fiksi yang sangat jarang ditempati sineas sineas dimasa kini. Melalui film fiksi saya tetap selalu berjuang demi kemajuan Papua yang saya cintai, hanya mungkin tidak akan terlihat jelas karena saya selalu memasukkan unsurnya sangat halus dalam setiap adegannya.
Yang masih menjadi perjuangan saya hingga kini di Merauke adalah proses regenerasi. Selama ini semuanya masih terus mengandalkan kepada skill individual saya sendiri, inilah yang menurut saya tidak benar, karena saya memulai ini bukan untuk tujuan mempopulerkan pribadi saya sebagai sutradaranya. Karena itu kini saya dengan ikhlas berupaya membagikan semua ilmu saya kesemua anak anak Papua disana agar kelak merekalah yang akan berkarya bukan saya lagi. Ya perjuangan menciptakan industri film di timur ini adalah juga demi pencapaian sebuah kualitas SDM lokal sehingga mampu berdiri sendiri suatu saat dengan kekuatannya sendiri. Saya berupaya memajukan SDM di Papua dengan dasar keahlian di bidang yang saya kuasai. Sedikit demi sedikit itu yang sedang saya lakukan hingga hari ini. karena cita cita saya hanya ada satu :
"SAYA INGIN MELIHAT PERFILMAN MERAUKE ( PAPUA ) MAJU SUATU KETIKA, TAPI TANPA ADA SAYA LAGI DISANA......."
Salam Damai Izakod Bekai Izakod Kai
penulis : irham acho bahtiar
Sineas dari Merauke
0 comments:
Post a Comment