Disini saya sebagai sutradara film Noble Hearts akan membagi berbagai informasi yang selama ini biasa ditanyakan oleh para wartawan mengenai film saya. Berikut ini adalah hasil wawancara yang baru baru ini saya lakukan dengan Majalah MOP Papua yang bertempat di Jayapura beberapa waktu lalu tentang film Noble Hearts (Mentari di Ufuk Timur)semoga bisa dijadikan acuan buat media lainnya yang ingin tahu tentang info film ini kelak.
Daftar Wawancara :
1. Apa inti cerita dari film ini ?
JAWAB :
Inti dari cerita ini hanya satu kalimat saja yakni pendidikan itu sangat penting. Namun apa yang dituturkan lewat film ini tentu saja dari sudut pandang yang agak beda dari yang selama ini kita lihat secara umum.
Wajah pendidikan di kampung kampung terpencil bukan hanya di Papua saja
tapi diseluruh wilayah indonesia sangat memprihatinkan bahkan masih ada yang
terjadi sampai kini. Saya yakin jika nanti menonton, akan banyak hal yang belum pernah dilihat muncul dalam film ini, itulah yang ingin saya ceritakan seperti hal nya saya sering bercerita tentang pengalaman masa kecil saya hingga besar di ujung tanah Papua. Film ini mencoba menyadarkan penonton kita semua bukan
hanya di Papua saja tapi secara nasional bahwa betapa pentingnya pendidikan,
dan semua orang punya hak yang sama mendapatkan pendidikan. Karena itu
pendidikan harus diperjuangkan oleh semua orang tanpa harus selalu bergantung
ke pemerintah semata. Tema film ini adalah masalah universal yang bukan menjadi
masalah di Papua saja tetapi di manapun bisa terjadi.Tapi selain pesan diatas banyak pesan lainnya sebab film ini tidak berfokus pada pendidikan saja tetapi juga ke banyak sisi kearifan lokal dan budaya di tanah Marind. Penonton sendiri yang pada akhirnya akan menentukan apa inti film ini saya hanya menceritakan saja secara polos kepada anda semua dari sudut pandang orang yang lahir dan besar disana. Ada sesuatu yang selama ini beda permasalahannya dari yang selalu kita pikirkan tentang pendidikan.
Bahwa apa yang terjadi di ujung timur Indonesia ini tidaklah sesimple yang ada dalam pemikiran pemerintah kita. Apakah masalah pendidikan itu hanya akan selesai dengan cara mendirikan sekolah,fasilitas dan guru gurunya saja ? Film ini akan berkata tidak ! sebab ada masalah lain yang lebih penting yaitu bagaimana mendorong minat anak anak itu untuk bersekolah. Apa jadinya jika sebuah sekolah ada, tetapi tak ada yang mau menjadi muridnya ? inilah yang ingin disampaikan oleh Noble Hearts.
Bahwa apa yang terjadi di ujung timur Indonesia ini tidaklah sesimple yang ada dalam pemikiran pemerintah kita. Apakah masalah pendidikan itu hanya akan selesai dengan cara mendirikan sekolah,fasilitas dan guru gurunya saja ? Film ini akan berkata tidak ! sebab ada masalah lain yang lebih penting yaitu bagaimana mendorong minat anak anak itu untuk bersekolah. Apa jadinya jika sebuah sekolah ada, tetapi tak ada yang mau menjadi muridnya ? inilah yang ingin disampaikan oleh Noble Hearts.
2. Apa pesan utama yang ingin disampaikan
lewat film ini ?
JAWAB :
Film ini membawa pesan utama kepada semua orang agar menyadari bahwa betapa
pentingnya pendidikan itu hingga ke jenjang yang lebih tinggi. Sebab Pendidikan
adalah kunci dari sebuah kemajuan. Warisan alam suatu ketika dapat habis atau
di curi tetapi warisan pendidikan akan berguna untuk selamanya dan tak bisa
dicuri oleh bangsa lain. Begitupula perjuangan untuk mewujudkan pendidikan yang
baik harus dimulai dari lingkungan kita sendiri yang didasari oleh hati yang
mulia tanpa mengharapkan imbalan apa apa. Itu menurut bahasanya pengamat, kalau bahasanya film lain lagi, semuanya tersampaikan melalui adegan yang tersirat. Sebenarnya pesannya tidak secara langsung ke pendidikan tetapi karena dasar ceritanya sudah dalam bentuk pendidikan jadi otomatis menjadikan orang akan berpikir kearah pendidikan.
pesan utama yg ingin dibawa juga sebenarnya agar dapat dicarikan solusi yang terbaik untuk anak anak dipedalaman ini dimana daya bersaing mereka masih belum bisa disejajarkan secara global dan wajib mendapatkan perhatian khusus di tanah mereka sendiri. Termasuk dengan kebijakan dan kurikulum yang diterapkan disana.
pesan utama yg ingin dibawa juga sebenarnya agar dapat dicarikan solusi yang terbaik untuk anak anak dipedalaman ini dimana daya bersaing mereka masih belum bisa disejajarkan secara global dan wajib mendapatkan perhatian khusus di tanah mereka sendiri. Termasuk dengan kebijakan dan kurikulum yang diterapkan disana.
3. Ide ceritanya berasal dari siapa ? Apakah
merupakan kisah nyata ataukah fiktif
JAWAB :
Semua film yang pernah saya buat di Papua sebenarnya bukan sekedar film. ada sesuatu yang lebih dari sekedar film disitu. Saya sendiri menganggap film yang saya buat di tanah kelahiran saya itu sebagai sebuah cerita yang saya sampaikan kepada teman teman ditanah lain. Dulu sewaktu saya kuliah di Jakarta, ketika berkumpul teman teman saya paling suka mendengarkan saya bercerita tentang kisah kampung halaman saya di Papua. Jika dulu sebatas cerita lisan, kini saya bawakan melalui sebuah media lain yakni film. Itulah motivasi saya dalam membuat film selama ini di Papua. Tanpa tendensi apapun saya hanya ingin bercerita secara polos tentang apa yang saya lihat dan saya ketahui disana. Banyak hal hal yang hanya kita yang tahu. jangankan orang diluar Papua yang buta keadaan disana, bahkan banyak orang Merauke sendiri yang hidupnya di kota tidak mengetahui apa yang terjadi di kampungnya.Apa yang saya lihat dan tahu disana itulah yang saya angkat secara jujur agar teman teman didaerah lain juga bisa tahu dan tidak lagi salah dalam memandang orang Papua. Oleh karena itu pendekatan yang saya ambil adalah dari sudut pandang orang Papua yang membuat film, bukan sudut pandang orang luar yang datang ke Papua membuat film. penerapannya adalah dengan cara menghadirkan banyak unsur dan kejadian yang selama ini tidak diketahui siapapun selain kami yang besar disana. Bahkan saya bisa pastikan jika seorang sutradara sebesar mas Garin pun jika kesana beliau tak akan mudah dapat informasinya dari masyarakat sebab budaya orang Marind di selatan itu sangat tertutup tidak mudah iuntuk di ekspose sangat berbeda berbeda dengan wilayah Papua lainnya. Dukungan yang diberikan masyarakat muting pada film ini lebih kepada karena kami lahir disana jika tidak tentu kami akan dipersulit. Itulah yang kemudian mebuat saya berpikir jika bukan saya yang mengangkat kisah ini siapa lagi ? ini kisah yang menjadi sebuah problem serius di kampung kami hingga saat ini.
Semua film yang pernah saya buat di Papua sebenarnya bukan sekedar film. ada sesuatu yang lebih dari sekedar film disitu. Saya sendiri menganggap film yang saya buat di tanah kelahiran saya itu sebagai sebuah cerita yang saya sampaikan kepada teman teman ditanah lain. Dulu sewaktu saya kuliah di Jakarta, ketika berkumpul teman teman saya paling suka mendengarkan saya bercerita tentang kisah kampung halaman saya di Papua. Jika dulu sebatas cerita lisan, kini saya bawakan melalui sebuah media lain yakni film. Itulah motivasi saya dalam membuat film selama ini di Papua. Tanpa tendensi apapun saya hanya ingin bercerita secara polos tentang apa yang saya lihat dan saya ketahui disana. Banyak hal hal yang hanya kita yang tahu. jangankan orang diluar Papua yang buta keadaan disana, bahkan banyak orang Merauke sendiri yang hidupnya di kota tidak mengetahui apa yang terjadi di kampungnya.Apa yang saya lihat dan tahu disana itulah yang saya angkat secara jujur agar teman teman didaerah lain juga bisa tahu dan tidak lagi salah dalam memandang orang Papua. Oleh karena itu pendekatan yang saya ambil adalah dari sudut pandang orang Papua yang membuat film, bukan sudut pandang orang luar yang datang ke Papua membuat film. penerapannya adalah dengan cara menghadirkan banyak unsur dan kejadian yang selama ini tidak diketahui siapapun selain kami yang besar disana. Bahkan saya bisa pastikan jika seorang sutradara sebesar mas Garin pun jika kesana beliau tak akan mudah dapat informasinya dari masyarakat sebab budaya orang Marind di selatan itu sangat tertutup tidak mudah iuntuk di ekspose sangat berbeda berbeda dengan wilayah Papua lainnya. Dukungan yang diberikan masyarakat muting pada film ini lebih kepada karena kami lahir disana jika tidak tentu kami akan dipersulit. Itulah yang kemudian mebuat saya berpikir jika bukan saya yang mengangkat kisah ini siapa lagi ? ini kisah yang menjadi sebuah problem serius di kampung kami hingga saat ini.
Ide Ceritanya muncul sudah sejak 3 tahun yang lalu ketika saya sedang
berlibur ke kampung kelahiran saya di Muting di wilayah merauke. Saat itu ayah
saya (Pak Bahtiar) mendapat undangan untuk hadir dalam ulang tahun SMA negeri
di muting. Beliau diundang untuk bercerita kepada murid baru tentang kisah
berdirinya SMA muting. Saya pun bertanya kepada ayah saya mengapa beliau sampai
diundang dan bahkan menjadi anggota komite sekolah itu sementara beliau kan
bukan guru ? lalu ayah saya pun menceritakan kisah dibalik berdirinya SMA
tersebut. Seketika itu juga saya menjadi terharu mendengarnya ternyata dibalik
megahnya sekolah itu tersimpan sebuah kisah yang sungguh luar biasa. Dalam
benak saya kisah ini harus saya jadikan film agar dapat menginspirasi semua
orang diseluruh indonesia. Salah satu premis yang menjadi daya tarik saya pada
saat itu adalah kisah bagaimana mereka mencari murid hingga ke pelosok daerah
terpencil hingga naik perahu dan motor. Itu yang membuat saya yakin film ini
berbeda ceritanya dari film pendidikan manapun selama ini. Sebab selama ini
semua film pendidikan rata rata bercerita tentang anak anak yang ingin
bersekolah namun fasilitas sekolah atau gurunya tidak ada. Sedangkan kisah
disini justru kebalikannya yakni ketika beberapa orang siap mendirikan sekolah,
tapi tidak ada satupun yang mau menjadi muridnya. Jadi kisah ini adalah di
inspirasi oleh kisah nyata, hanya saja demi kepentingan sebuah film kami
menambahkan unsur unsur dramatis dan fiksi supaya enak di tonton sebagai sebuah
hiburan.kami tidak membuat secara persis juga karena ini bukanlah film
dokumenter. Saya merasa lebih mudah mengangkat kisah ini sebab saya sendiri
pernah bersekolah di SMP negeri muting dengan guru guru yang sama dan kebetulan
tokoh yang berperan dalam kisah ini adalah ayah saya sendiri sehingga sangat
memudahkan.
Sosok Pak Bahtiar dalam film ini bagi saya seperti mengingatkan akan seorang marketing yang tidak saja menjual sebuah produk barang semata tetapi mencoba menawarkan sebuah minat untuk bersekolah kepada anak anak itu dengan cara khas nya, tidak semua memang berhasil, tetapi satu dua anak yang berhasil dibujuknya adalah harta tak ternilai bagi kemajuan Muting kelak. Jika saya pernah mendengar bahwa dahulu agama dibawa salah satunya melalui perdagangan hingga ke pelosok negeri ini Maka disini pendidikanlah yang dibawa lewat kegiatan tersebut. Di ujung timur ini memang minat pendidikan harus dilakukan dengan cara menjemput bola. Jika tak pandai membujuk maka tak akan ada yang sekolah.
Namun terus terang yang semakin menguatkan niat saya untuk serius pada projek ini adalah ketika menyaksikan sendiri kejadian seperti yang terjadi dalam film ini menimpa salah satu pemain saya yang bernama Yosep. Yosep adalah anak Muting yang kami orbitkan lewat film film kami disana sejak masih kecil. Namanya mulai terangkat setelah bermain dalam film Melody kota Rusa. waktu itu ia masih SMP, tetapi seketika menginjak bangku SMA Yosep mulai susah masuk sekolah, ia lebih sering bolos atau kehutan ikut orang tuanya, entahlah niat untuk sekolah baginya seakan tidak ada lagi. Kini Yosep sudah berhenti sekolah karena dikeluarkan dari sekolah. Kami sudah berupaya membujuknya tapi hasilnya sia sia. Saya pun sempat melakukan syuting film Melody kota rusa 2 di SMA tersebut dan mendapati bahwa komposisi para muridnya sangat tidak fair. sebagian besar semuanya didominasi oleh para pendatang dari warga transmigrasi. Anak asli Marind sendiri hanya bisa dihitung dengan jari. bahkan kelulusan kemarin katanya hanya ada belasan murid asli Marind yang lulus ditengah ratusan pendatang. Ada lagi kejadian yang baru saja terjadi dimana seorang kru kami disana anaknya ada yang disekolahkan oleh Pemda ke Surya Institute di Tangerang. Sayangnya hanya setahun ia bertahan. sekarang ia kembali ke Muting, ketika saya tanya kenapa kembali tidak sekolah lagi, ia mengatakan bahwa anaknya tidak betah disana, entahlah kenapa bisa begitu. inilah yang semakin menguatkan saya untuk harus menceritakan kisah Noble Hearts ke Nasional agar pemerintah bisa mencarikan solusi bagi kelancaran pendidikan anak anak Marind disana kedepannya. Saya adalah bagian dari mereka yang lahir, hidup dan besar ditengah tengah mereka jadi saya merasa wajib untuk menyuarakan ini. ( untuk lebih jelasnya mengenai masalah ini bisa menonton Original Story Mentari di ufuk Timur di youtube )
Kisah seperti ini sebenarnya sejak saya SD sampai SMP sudah sering terjadi didepan mata saya, hanya saja saya mengira kisah itu sudah usai di masa kini ternyata pemikiran saya salah, kisah itu masih terus terjadi hingga saat ini. Adegan guru mengabsen seperti yang saya hadirkan secara detail di film Noble Hearts ini ternyata memang masih saja terulang hingga saat ini di sana. Saya sedih mengapa ini terus terjadi pada saudara saudara saya disana. Yang bisa saya lakukan kini hanya menceritakannya ke Publik agar bisa dicarikan solusi bagi permasalahan yang terjadi di kampung Muting ini.
Film ini adalah sebuah pembelaan terhadap posisi anak anak Marind di kampung Muting yang disatu sisi harus diperhatikan oleh pemerintah. selama ini mereka diposisikan sama dengan para pendatang sementara untuk berkompetisi belum saatnya. Perlu ada perhatian khsuus untuk anak anak Marind. Mereka akhirnya banyak yang mengalah dan tidak meneruskan sekolahnya. Dulu sewaktu bersekolah di SD Muting saya adalah murid paling kecil fisiknya dikarenakan semua teman teman saya sudah rata rata berumur dewasa semua. Ini merupakan wajah pendidikan dipedalaman yang memprihatinkan. Minat bersekolah tidak ditanamkan sejak usia dini, kebanyakan muncul setelah mulai dewasa.
Sebagian besar penggambaran dalam film ini adalah reka ulang dari hasil pengamatan saya sejak kecil di Muting. Saya mencoba merekonstruksinya seakurat mungkin sesuai dengan kejadian yang saya saksikan sendiri saat itu. Meski begitu tidak semua hasil pengamatan saya kan di adegankan seperti kejadian murid memukul guru atau murid mengancam guru dengan panah itu saya hilangkan sebab saya menjaga jangan sampai penonton salah pengertian lagi meski kejadian itu benar benar pernah terjadi di kampung kami.
kalau mau disebut, bisa saya komposisikan ada 50 persen rekonstruksi ulang dari peristiwa asli dalam film ini dan 50 persennya lagi adalah khayalan penulis berdasarkan lingkungan tempat tinggal saya.
Sosok Pak Bahtiar dalam film ini bagi saya seperti mengingatkan akan seorang marketing yang tidak saja menjual sebuah produk barang semata tetapi mencoba menawarkan sebuah minat untuk bersekolah kepada anak anak itu dengan cara khas nya, tidak semua memang berhasil, tetapi satu dua anak yang berhasil dibujuknya adalah harta tak ternilai bagi kemajuan Muting kelak. Jika saya pernah mendengar bahwa dahulu agama dibawa salah satunya melalui perdagangan hingga ke pelosok negeri ini Maka disini pendidikanlah yang dibawa lewat kegiatan tersebut. Di ujung timur ini memang minat pendidikan harus dilakukan dengan cara menjemput bola. Jika tak pandai membujuk maka tak akan ada yang sekolah.
Namun terus terang yang semakin menguatkan niat saya untuk serius pada projek ini adalah ketika menyaksikan sendiri kejadian seperti yang terjadi dalam film ini menimpa salah satu pemain saya yang bernama Yosep. Yosep adalah anak Muting yang kami orbitkan lewat film film kami disana sejak masih kecil. Namanya mulai terangkat setelah bermain dalam film Melody kota Rusa. waktu itu ia masih SMP, tetapi seketika menginjak bangku SMA Yosep mulai susah masuk sekolah, ia lebih sering bolos atau kehutan ikut orang tuanya, entahlah niat untuk sekolah baginya seakan tidak ada lagi. Kini Yosep sudah berhenti sekolah karena dikeluarkan dari sekolah. Kami sudah berupaya membujuknya tapi hasilnya sia sia. Saya pun sempat melakukan syuting film Melody kota rusa 2 di SMA tersebut dan mendapati bahwa komposisi para muridnya sangat tidak fair. sebagian besar semuanya didominasi oleh para pendatang dari warga transmigrasi. Anak asli Marind sendiri hanya bisa dihitung dengan jari. bahkan kelulusan kemarin katanya hanya ada belasan murid asli Marind yang lulus ditengah ratusan pendatang. Ada lagi kejadian yang baru saja terjadi dimana seorang kru kami disana anaknya ada yang disekolahkan oleh Pemda ke Surya Institute di Tangerang. Sayangnya hanya setahun ia bertahan. sekarang ia kembali ke Muting, ketika saya tanya kenapa kembali tidak sekolah lagi, ia mengatakan bahwa anaknya tidak betah disana, entahlah kenapa bisa begitu. inilah yang semakin menguatkan saya untuk harus menceritakan kisah Noble Hearts ke Nasional agar pemerintah bisa mencarikan solusi bagi kelancaran pendidikan anak anak Marind disana kedepannya. Saya adalah bagian dari mereka yang lahir, hidup dan besar ditengah tengah mereka jadi saya merasa wajib untuk menyuarakan ini. ( untuk lebih jelasnya mengenai masalah ini bisa menonton Original Story Mentari di ufuk Timur di youtube )
Kisah seperti ini sebenarnya sejak saya SD sampai SMP sudah sering terjadi didepan mata saya, hanya saja saya mengira kisah itu sudah usai di masa kini ternyata pemikiran saya salah, kisah itu masih terus terjadi hingga saat ini. Adegan guru mengabsen seperti yang saya hadirkan secara detail di film Noble Hearts ini ternyata memang masih saja terulang hingga saat ini di sana. Saya sedih mengapa ini terus terjadi pada saudara saudara saya disana. Yang bisa saya lakukan kini hanya menceritakannya ke Publik agar bisa dicarikan solusi bagi permasalahan yang terjadi di kampung Muting ini.
Film ini adalah sebuah pembelaan terhadap posisi anak anak Marind di kampung Muting yang disatu sisi harus diperhatikan oleh pemerintah. selama ini mereka diposisikan sama dengan para pendatang sementara untuk berkompetisi belum saatnya. Perlu ada perhatian khsuus untuk anak anak Marind. Mereka akhirnya banyak yang mengalah dan tidak meneruskan sekolahnya. Dulu sewaktu bersekolah di SD Muting saya adalah murid paling kecil fisiknya dikarenakan semua teman teman saya sudah rata rata berumur dewasa semua. Ini merupakan wajah pendidikan dipedalaman yang memprihatinkan. Minat bersekolah tidak ditanamkan sejak usia dini, kebanyakan muncul setelah mulai dewasa.
Sebagian besar penggambaran dalam film ini adalah reka ulang dari hasil pengamatan saya sejak kecil di Muting. Saya mencoba merekonstruksinya seakurat mungkin sesuai dengan kejadian yang saya saksikan sendiri saat itu. Meski begitu tidak semua hasil pengamatan saya kan di adegankan seperti kejadian murid memukul guru atau murid mengancam guru dengan panah itu saya hilangkan sebab saya menjaga jangan sampai penonton salah pengertian lagi meski kejadian itu benar benar pernah terjadi di kampung kami.
kalau mau disebut, bisa saya komposisikan ada 50 persen rekonstruksi ulang dari peristiwa asli dalam film ini dan 50 persennya lagi adalah khayalan penulis berdasarkan lingkungan tempat tinggal saya.
4. Bila kisah nyata siapa yang menjadi
inspirasinya dan pada tahun berapa kejadian atau peristiwa tersebut terjadi ?
JAWAB :
Inspirasi dari kisah ini diambil dari spirit tokoh tokoh pendiri SMA
Muting. Dalam hal ini saya tentu tidak bisa mengambil seluruh narasumber
aslinya untuk diangkat ke film sebab akan terlalu rancu dan mengganggu
karakterisasi pengembangan pemain jika terlalu banyak tokoh yang ingin
diangkat. Karena itulah saya kemudian memutuskan arah film akan fokus ke mana.
Maka saya pun mengadakan riset dan wawancara khusus pada 3 orang tokoh saja
yakni Pak Wambrauw (Mantan kepala sekolah SMP Muting yang menjadi pencetus ide
pembangunan SMA), Pak Bahtiar (Tokoh Masyarakat pendatang paling lama disana yang sudah puluhan
tahun hidup bersama sama masyarakat Muting dan selalu memperjuangkan hak anak
anak disana), dan Felix Gebze ( Salah satu murid yang dibujuk sekolah di SMA
Muting dan kini telah berhasil dan menjadi sekertaris desa ).
Saya berhasil meriset segala dialog hingga adegan adegan detail yang dilakukan Pak Bahtiar pada waktu itu. Dan semuanya kelak dituangkan ke dalam skenario sama persis dengan dialog yang pernah beliau ucapkan.
Saya berhasil meriset segala dialog hingga adegan adegan detail yang dilakukan Pak Bahtiar pada waktu itu. Dan semuanya kelak dituangkan ke dalam skenario sama persis dengan dialog yang pernah beliau ucapkan.
Ketika penulisan naskah dilakukan, saya bekerjasama dengan penulis
profesional dari Jakarta Kim Kemmat, guna menambahkan nilai nilai dramatis yang
akan membuat filmnya menarik tanpa mengurangi esensi dasarnya. Selama penulisan
pun saya selalu mengkontrol terus agar tidak lari dari kisah aslinya. Karena
itulah kamipun sepakat menambahkan beberapa tokoh fiksi berdasarkan sosok orang
orang disekitar para pendiri tersebut. Maka muncullah karakter Pak Kasimirus
Mahuze guru asal Marind serta Ibu Dewi Ambarwati seorang guru dari lokasi
transmigrasi. Sebenarnya kedua tokoh inipun bukan betul betul fiksi sebab dalam
kenyataannya memang ada beberapa guru yang terlibat dalam pembangunan SMA itu
yang berlatar kultur seperti gambaran kami. Hanya saja kami menggunakan nama
fiksi untuk ke dua tokoh tersebut agar bisa lebih bebas mengeksplorasi
karakternya tanpa harus meminta ijin dari karakter aslinya. Alhasil hanya ada 3
karakter yang dibuat memakai nama aslinya dengan seijin tokohnya yakni Pak
Wambrauw, Pak Bahtiar dan Felix Gebze kisah keseharian mereka pun dibuat
berdasarkan kisah kehidupan asli mereka dimasa itu.
Kejadiannya sendiri berlangsung sejak tahun 1997 sampai 1998 ketika di
jaman pemerintahan orde baru. Saat itu saya sedang menyelesaikan kuliah saya di
Institut Kesenian Jakarta jurusan Film jadi saya tidak berada di Muting ketika
kejadian ini terjadi, karena itulah saya hanya mendengarkan berdasarkan
testimoni para tokoh saksi hidup dari cerita ini Namun saya bisa merasakan semua
auranya sebab saya juga adalah salah satu alumni SMP Negeri Muting dimasa
kepemimpinan Pak Wambrauw.
5. Mengapa memilih settingnya di Muting
Kabupaten Merauke ?
JAWAB :
Alasan pertama mengapa mengambil setting film ini di Muting pertama kalinya
adalah karena memang kisah ini terjadi di Muting. Hanya saja kami memang sempat
melakukan survey dengan maksud ingin mengadakan syuting disekitar kota merauke
saja mengingat jalan darat menuju muting sangat jauh dan kondisinya sedang
rusak di musim hujan. Namun selama satu minggu kami melakukan hunting
diseputaran merauke ternyata kami berkesimpulan bahwa “roh” film ini ada di
muting. Sangat sulit memindahkan lokasi syuting kedaerah lain mengingat muting
mempunya ciri khas pemandangan alam yang tidak ada samanya di daerah lain.
Muting adalah kampung yang dikelilingi rawa dengan begitu keindahan pemandangan
guna keperluan film lebih akan didapatkan di muting daripada di kota merauke.
Kami ingin memaparkan kisah ini sebagaimana kisah aslinya dengan suasana
aslinya. Apalagi kali bian muting juga ibarat sungai amazon nya merauke perlu
diangkat nilai pariwisatanya sebab itulah yang selama ini kami sebut di film
Melody kota rusa dengan “kolam susu” dimana masyarakat bisa hidup hanya dengan
mengandalkan isi kali bian tersebut. Lihat saja keindahan kali bian selama ini
telah banyak menarik banyak acara TV seperti “Mancing Mania” dan “Berburu”
Alasan kedua tentu saja karena saya adalah putra kelahiran Muting dimana
ketika kita membuat sebuah karya akan lebih baik jika kita membuat tentang
sesuatu yang sangat kita kenal dan sangat dekat dengan kita, dan hal tersebut
menurut saya adalah Muting kampung kelahiran saya. Karena itulah saya sangat
senang bisa menggarap film di tanah kelahiran saya setelah sebelumnya Melody
Kota rusa 1 dan 2 juga saya buat di kampung yang sama. Saya bukan seperti
membuat film tetapi seperti membuat sebuah rekonstruksi ulang apa yang pernah
saya saksikan disana sejak kecil.
saya masih selalu ingat kata kata dosen saya di IKJ dulu mas Seno Gumira Ajidarma yang mengatakan : membuat sebuah karya tidak perlu harus muluk muluk sebab, Karya yang terbaik adalah karya sederhana yang paling dekat dengan kita dan kita tahu betul.
saya masih selalu ingat kata kata dosen saya di IKJ dulu mas Seno Gumira Ajidarma yang mengatakan : membuat sebuah karya tidak perlu harus muluk muluk sebab, Karya yang terbaik adalah karya sederhana yang paling dekat dengan kita dan kita tahu betul.
6. Siapa tokoh utama dari film ini ?
JAWAB :
Tokoh utamanya bukan hanya satu tapi ada 4 orang yakni :
Pak Wambrauw yang dimainkan oleh Drs. Daud Hollenger, Mpd (Bapak kepala
dinas kebudayaan dan pariwisata kabupaten Merauke) , Pak Bahtiar yang dimainkan
oleh aktor senior Mathias Muchus, Pak Kasimirus Mahuze yang dimainkan oleh
penyanyi Top asal Papua Edo Kondologit dan ibu Dewi Ambarwati yang dimainkan
oleh nadine Chandrawinata Mantan putri Indonesia
Ditambah 2 tokoh utama anak anak yaitu Sefnat Mahuze yang dimainkan oleh talenta
baru dari Merauke Richard Hollenger dan ikbal yang dimainkan oleh artis cilik
Nasional Saddam Bassalamah
Selain mereka, ada juga kami libatkan ratusan pemain pendukung diantaranya
mereka mereka yang selama ini sudah kita kenal bermain dalam film kami
sebelumnya seperti sketsa mop papua epen cupen yang populer di youtube yakni :
Klemens Awi (Cello), Nato Koparok (Nato beko), Tukang Mopnya Merauke Thomas
Kimko (Bung Toki) dan Mas Suroso yang dikenal dalam film melody kota rusa,
mereka semua turut bermain dalam film ini.
7. Bila membaca sinopsisnya, mau mirip –
mirip dengan Laskar Pelangi, tentang bagaimana menyelematkan sekolah yang
hendak di tutup. Apakah tidak takut nantinya di katakan mendompleng ketenaran
Laskar Pelangi ?
JAWAB :
Memang tidak sedikit ada banyak orang suka berasumsi negatif jika hanya mendengar atau membaca saja tetapi belum menonton. satu satunya jalan untuk mengatasi itu ya dengan menontonnya terlebih dahulu. Kisah seperti ini adalah kisah yang terjadi dan merupakan sebuah permasalahan serius di kampung saya dan tidak di ada adakan atau di karang karang bebas demi kepentingan komersial semata. bahkan untuk mewujudkannya pun sampai ada campur tangan PEMDA Merauke didalamnya. Jadi sangat berbeda dengan tujuan film pendidikan lainnya. Ini bisa dikatakan semacam film idealis yang tidak mengejar keuntungan semata tetapi lebih kepada penyampaian isi didalamnya. Jika masih belum juga paham bisa melihat beberapa film saya seperti Melody kota Rusa dahulu, disitu akan di mengerti apa maksud saya membuat film disana. Bagi saya membuat film itu adalah juga membangun daerah saya.
Saya rasa justru kisahnya berbeda sekali dengan laskar pelangi, temanya saja yang mungkin sama tentang pendidikan tapi isi ceritanya berbeda. kalau di laskar pelangi ceritanya tentang bagaimana perjuangan guru muslimah dan murid laskar pelanginya mempertahankan sekolah mereka dan bercerita tentang suka duka selama disekolah, kalau disini justru kebalikannya, kisah dimana beberapa orang ingin mendirikan sekolah yang tadinya tidak ada di kampung mereka namun tidak ada satupun anak yang mau menjadi muridnya. Justru itu nilai uniknya dimana sebagian besar adegan dalam film ini justru tentang pencarian murid di kali bian, dikampung kampung kecil, berpetualang naik perahu, naik sepeda hingga kepelosok hanya untuk mencari murid murid yang tidak mau sekolah. Berbagai cara mereka lakukan untuk membujuk anak anak ini supaya mau sekolah. Jadi jangan heran jika nanti menonton film ini sekalipun bertema pendidikan tapi hanya ada satu adegan kelas didalamnya sisanya adalah adegan di rawa rawa dan kampung kampung. Kalau laskar pelangi mungkin lebih banyak menitik beratkan ke adegan sekolah belajar mengajarnya dikelas, tetapi disini lain, sebagian besar adegan dilakukan di alam bebas bukan diruangan, bahkan adegan anak anaknya lebih ke petualangan mereka dikali bian semacam film petualangan sherina. Arah film ini juga bukan ke arah film anak anak sekolah seperti biasanya tetapi akan lebih fokus ke kisah para guru nya. Tetapi jika suatu ketika ada yang ingin menyama nyamakan dengan laskar pelangi tidak masalah, sebab lebih baik film ini disamakan dengan film sebesar dan sebagus laskar pelangi daripada di samakan dengan film film jelek.
Satu yang perlu diketahui juga bahwa suami dari produser laskar pelangi sendiri yakni bang mathias muchus pun ikut bermain di film ini dan beliau sendiri mengakui jika mbak mira lesmana istrinya juga suka dengan kisah ini dan beliau juga tidak mengangap kisah ini ada kesamaan dengan laskar pelangi. Namun Bagi beliau kisah ini mengandung keunikan sendiri karena memaparkan sebuah kearifan lokal di wilayah paling timur dan bagi mereka kisah ini sangat universal karena bisa terjadi bukan hanya di Papua saja tapi dibelahan dunia manapun kisah begini sering terjadi. Bahkan mbak mira lesmana tadinya ingin sekali ikut menyusul bang muchus ke Merauke melihat kami syuting jika dia tidak sibuk. Jadi lenyaplah sudah kekhawatiran kami bahwa film ini disamakan dengan laskar pelangi sebab buktinya si pembuat laskar pelangi pun ternyata menyukainya dan memuji ceritanya.
Saya rasa justru kisahnya berbeda sekali dengan laskar pelangi, temanya saja yang mungkin sama tentang pendidikan tapi isi ceritanya berbeda. kalau di laskar pelangi ceritanya tentang bagaimana perjuangan guru muslimah dan murid laskar pelanginya mempertahankan sekolah mereka dan bercerita tentang suka duka selama disekolah, kalau disini justru kebalikannya, kisah dimana beberapa orang ingin mendirikan sekolah yang tadinya tidak ada di kampung mereka namun tidak ada satupun anak yang mau menjadi muridnya. Justru itu nilai uniknya dimana sebagian besar adegan dalam film ini justru tentang pencarian murid di kali bian, dikampung kampung kecil, berpetualang naik perahu, naik sepeda hingga kepelosok hanya untuk mencari murid murid yang tidak mau sekolah. Berbagai cara mereka lakukan untuk membujuk anak anak ini supaya mau sekolah. Jadi jangan heran jika nanti menonton film ini sekalipun bertema pendidikan tapi hanya ada satu adegan kelas didalamnya sisanya adalah adegan di rawa rawa dan kampung kampung. Kalau laskar pelangi mungkin lebih banyak menitik beratkan ke adegan sekolah belajar mengajarnya dikelas, tetapi disini lain, sebagian besar adegan dilakukan di alam bebas bukan diruangan, bahkan adegan anak anaknya lebih ke petualangan mereka dikali bian semacam film petualangan sherina. Arah film ini juga bukan ke arah film anak anak sekolah seperti biasanya tetapi akan lebih fokus ke kisah para guru nya. Tetapi jika suatu ketika ada yang ingin menyama nyamakan dengan laskar pelangi tidak masalah, sebab lebih baik film ini disamakan dengan film sebesar dan sebagus laskar pelangi daripada di samakan dengan film film jelek.
Satu yang perlu diketahui juga bahwa suami dari produser laskar pelangi sendiri yakni bang mathias muchus pun ikut bermain di film ini dan beliau sendiri mengakui jika mbak mira lesmana istrinya juga suka dengan kisah ini dan beliau juga tidak mengangap kisah ini ada kesamaan dengan laskar pelangi. Namun Bagi beliau kisah ini mengandung keunikan sendiri karena memaparkan sebuah kearifan lokal di wilayah paling timur dan bagi mereka kisah ini sangat universal karena bisa terjadi bukan hanya di Papua saja tapi dibelahan dunia manapun kisah begini sering terjadi. Bahkan mbak mira lesmana tadinya ingin sekali ikut menyusul bang muchus ke Merauke melihat kami syuting jika dia tidak sibuk. Jadi lenyaplah sudah kekhawatiran kami bahwa film ini disamakan dengan laskar pelangi sebab buktinya si pembuat laskar pelangi pun ternyata menyukainya dan memuji ceritanya.
8. Apakah keistimewaan film Noble Hearts ini
dibanding film film anda sebelumnya ?
JAWAB :
Tentu saja ini adalah film dimana saya akhirnya menemukan kembali gaya saya
yang sempat hilang selama ini. Sebelumnya saya ingin menjelaskan kembali bahwa
sepanjang hidup dan karier saya di film, sudah banyak karya yang saya buat
tetapi hanya ada satu karya yang setiap saya menontonnya saya selalu meneteskan
air mata dan betul betul mengingatnya yakni film melody kota rusa film yg hanya beredar di Papua, itulah film
yang akan terkenang selamanya di hati saya. Sebab bagi saya itulah untuk
pertama kalinya saya membuat film dengan hati dan memaparkan sesuatu secara real.
Bagaimana film itu mampu bercerita secara sederhana apa adanya dan itu adalah
sesuatu yang nyata dan pernah saya alami selama saya tinggal dan besar di
Papua.sayangnya film itu dulu dibuat dnegan sangat minim tekhnisnya. Film Melody kota rusa begitu nyata karena dibuat lewat pendekatan sudut
pandang kami kami yang tinggal di Muting dan Merauke dan bukan lewat sudut
pandang orang luar dalam memandang Papua, karena itulah wajar jika banyak hal
hal baru akan ditemui oleh orang yang belum pernah ke Papua di film tersebut.
Nah inilah yang saya sebut titik balik atau back to basic di film Noble hearts
ini saya kembali menggunakan pendekatan tersebut. Saya mencoba menggambarkan
secara sudut pandang kami yang ada di Muting pada masa itu. Seakan akan kami
bercerita kepada para penonton dari luar Papua yang akan menonton film ini
nanti. Inilah gaya saya sebenarnya !
Pengalaman merupakan guru yang terbaik. Saya tidak ingin mengulangi kesalahan saya lagi yang pernah saya lakukan
waktu itu dalam film Nasional 2 tahun lalu yakni Lost in Papua. Disitu saya
mencoba coba membuat film dengan pendekatan sudut pandang orang dari luar Papua
melihat kedalam Papua,disitu saya mencoba melepaskan cerita ke orang lain dan hasilnya saya sendiri tidak suka dan kecewa. Menurut
saya itu bukan gaya saya, Idenya pun dari orang
lain sedangkan untuk Noble Hearts idenya murni kembali dari saya saya
saat ini sangat berhati hati memilih ide dari orang lagi sebab jika ada
apa apa bukan sipemilik ide yang diserang tapi sutradaranya.waktu itu saya mencoba lari dari gaya saya selama ini
dan kini saya kembali di film Noble Hearts menggunakan gaya saya kembali dengan
pendekatan yang persis sama dengan yang pernah saya terapkan dahulu di film
Melody Kota Rusa. Jika dahulu film Melody Kota Rusa banyak yang bilang
kekurangannya justru di tekhnisnya, maka kini saya mencoba menyempurnakan semua
itu dengan cara menggunakan cara bercerita, sudut pandang, cara directing yang sama dengan
Melody Kota Rusa tetapi dalam hal tekhnisnya tidak seperti film Melody Kota
Rusa lagi yang apa adanya dan amatir, karena kini saya didukung oleh para kru
yang profesional dan bisa mewujudkan tata kamera, dan suara secara baik.
Selama ini, rata rata film film bioskop yang pernah dibuat di Papua saya
lihat selalu mengambil tema berdasarkan isu isu yang diketahui secara umum oleh
orang orang diluar Papua, misalnya kekerasan atau isu pendidikan dimana guru
susah atau fasilitas sekolah tidak ada. Inilah yang saya sebut dilihat dari
sudut pandang orang diluar Papua sebab isu yang diangkat adalah umum yang biasa
sering kita baca di berita yang tersebar secara nasional. Noble hearts tentu
berbeda dengan semua itu, seperti halnya Melody Kota Rusa juga yang dulu banyak
mengangkat isu isu lokal yang tak pernah terekspose secara nasional, kini yang
diceritakan juga adalah sebuah kisah yang selama ini tak pernah terangkat
secara nasional. Sekalipun temanya umum tentang pendidikan, namun kisahnya unik
dan bukan umum dimana sebuah sekolah hendak dibangun tetapi tak ada murid yang
mengisinya. Andai saja saya tak pernah menuangkan semua ini kedalam karya film
mungkin saja kisah ini akan terkubur hanya di muting saja untuk selamanya.
Inilah yang saya sebut dengan melihat dari sudut pandang kami yang ada di
Muting. Jadi anggap saja film ini seperti sebuah cerita yang dikisahkan dari
orang orang Muting kepada pendengar/penonton dari luar Muting agar tahu seperti
apa kehidupan kami disana. Ditambah lagi segala apa yang saya angkat dalam film
ini sedetail detailnya adalah rekaman perjalanan yang saya amati,saya rasakan dan
saya dengar selama saya lahir, besar hingga sekarang di Kampung kelahiran saya
Muting. Jadi murni sekali film ini dibuat berdasarkan sudut pandang dari dalam
dan bukan dari luar.saya ingin seakan akan sedang bercerita sebagai anak yang lahir di muting dan ingin menceritakan pengalaman saya semasa kecil dikampung itu kepada teman teman diluar Papua, cara itu yg dulu saya lakukan di film lokal melody kota rusa maka kini saya coba di film Nasional.
9. Berapa lama waktu yang di butuhkan untuk
persiapan film ini ? apa saja tahapan – tahapannya ?
JAWAB :
Persiapannya sendiri cukup membutuhkan waktu dan penantian yang panjang.
Sejak tahun 2011 lalu kami telah membuat proposal film ini untuk mencari dana
guna mewujudkan kisah ini. Melalui papua selatan film community sebuah wadah
kelompok perfilman di merauke yang saya dirikan bersama rekan saya haryanto
mahuze dan saat ini kami telah banyak menghasilkan beberapa film lokal seperti
SPOK. Kami berencana sebenarnya untuk menjadikan film ini atas dukungan Pemda
merauke namun penantian kami sangat panjang dan kami mencoba mencari sponsor
kesana kemari namun belum mendapat hasil maksimal. Tentu saja film ini berbeda
dengan film film sebelumnya yang kami buat untuk konsumsi lokal seperti melody
kota rusa atau SPOK. Dimana film film itu tidak terlalu memakan biaya banyak
sebab tidak menggunakan artis jakarta dan peralatan dari jakarta. Namun utuk
film noble hearts ini kami ingin standarisasinya sekelas nasional. Kami ingin
sasaran film ini untuk bioskop nasional bukan kelas lokal lagi. Sudah cukup
kami sukses secara lokal dengan karya karya kami terdahulu. Dan syarat untuk
memasuki pasar nasional itu salah satunya harus menggunakan artis nasional
sebagai nilai jualnya. Karena itulah kami telah mempersiapkan semua konsep film
ini sejak dua tahun lalu, bahkan kamipun telah mengambil wawancara dengan tokoh
tokoh utamanya untuk digunakan sebagai bahan riset dalam mengolah naskahnya
sebelum skenarionya ditulis.
10. Berapa budget yang di gelontorkan untuk
membuat film ini ? dan sumber dananya dari mana ?
JAWAB :
Diawal tahun 2013 inilah keinginan kami bisa terjawab sudah. Melalui teman
saya dijakarta, saya mencoba menawarkan naskah film ini ke salah satu produser
yakni Pak Bambang Irawan dari King Pro Cinema yang selama ini berpengalaman
membuat iklan dan FTV di televisi. Tak disangka beliau merespon kisah ini dan
bersedia mendanai film ini. Anehnya dari sekian banyak cerita yang saya sodorkan beliau memilih kisah ini. Jadilah kami atas nama papua selatan film community
kemudian bekerjasama dengan king pro cinema guna mewujudkan film ini, ditambah
lagi dengan dukungan dari pemda merauke dibawah dinas kebudayaan dan pariwisata
yang mensupport penuh kegiatan film ini, bahkan bupati merauke bapak Drs.
Romanus Mbaraka, MT membuatkan surat rekomendasi khsusus kepada semua SKPD
untuk membantu kelancaran film kami sebab dianggap film ini mempunyai nilai
nilai baik bagi penonton yakni pendidikan sehingga perlu didukung pemerintah
daerah.
Selain dukungan pemerintah, kami juga mendapat dukungan penuh melalui surat
rekomendasi dukungan dari Lembaga Masyarakat Adat Malind Anim Mbyan distrik
muting tempat pengambilan gambar dilakukan sebagai wujud dukungan terhadap
putra putri kelahiran muting yang ingin kembali membangun daerahnya. Karena
itulah kami diberikan ijin untuk menampilkan kebudayaan masyarakat marind di
muting seperti Nggatsi yang selama ini belum pernah ditampilkan di film manapun.
Mengenai berapa besar biaya film ini dibuat sebenarnya standart dengan
besarnya biaya film film nasional saat ini namun tak dapat kami pungkiri bahwa
kami mengalami over budget hingga 3 kali lipat karena faktor alam dan cuaca. namun
karena adanya dukungan pemda merauke kami banyak terbantu dalam hal fasilitas
akomodasi dan transportasi sehingga mengurangi beban biaya produksi. Dan
kesimpulannya untuk ukuran sebuah film yang dibuat di papua mungkin inilah film
dengan biaya terkecil yang pernah dibuat di Papua dan kami bisa melakukannya !
karena Papua Selatan Film Community ada di Papua
11. Rencana pemasaran film ini nantinya
seperti apa ? Apakah akan di CD kan atau sebagai film layar lebar yang di putar
di bioskop ?
JAWAB :
Pemasaran film ini sendiri tentu akan kita lakukan melalui pemutaran film
di bioskop nasional, hal ini guna mengembalikan biaya produksi yang telah
dikeluarkan oleh pihak produser. Namun sebelum pemasaran secara nasional, pihak
papua selatan film dan king pro cinema sepakat untuk mengadakan tour keliling
timur indonesia dulu (papua, ambon, makassar, manado) sebelum memasuki bioskop
nasional. Langkah ini dilakukan mengingat film ini dibuat di Merauke dan
dikerjakan oleh 70 persen anak anak merauke ditambah 30 persen kru profesional
yang didatangkan dari jakarta sehingga dirasa perlu diadakan pemutaran perdana
diwilayah timur duluan sebab selama ini semua film yang dibuat di Papua selalu
di release duluan di jawa sehingga orang orang di timur tidak bisa menontonnya
karena tidak ada bioskop kita hanya menunggu lewat CD bajakan saja. Kami ingin
merubah semua itu dengan memberikan kesempatan buat saudara saudara kita ditimurlah
yang menyaksikan pertama kali di wilayah timur melalui gedung gedung yang
disewa sebelum memutar di bioskop jawa. Jadi ibaratnya kami memakai filosofi
matahari terbit seperti penggalan dialog Edo kondologit dalam film ini : matahari selalu muncul dari ufuk timur itu
menandakan bahwa kita lah orang orang di bagian timur ini yang pertama kali
bangun, bekerja,sekolah dll daripada saudara saudara kita dibagian barat sana.
Mengenai proses CD atau DVD nya akan diedarkan seperti layaknya film
nasional lainnya. Hanya saja tentu jaraknya akan sangat lama dengan penayangan
bioskopnya. Sebab untuk mengembalikan biaya produksi film yang besar harus
melalui penayangan digedung dengan penghasilan penjualan tiket. jika
mengandalkan pada penjualan CD yang untung adalah para pembajaknya bukan
produsernya. Kalau produser tidak kembali modalnya lalu kapan kita bisa bikin
film lagi ?
12. Masalah atau kendala apa yang dihadapi
dalam proses pembuatan film ini ?
JAWAB :
Sebenarnya tidak terlalu banyak masalah tekhnis, hanya saja faktor cuaca
yang tidak menentu pada saat kami melakukan syuting itu yang cukup menyulitkan
dan membuat waktu molor. Beberapa kali ketika akan mengambil gambar kami di
terpa hujan. Selain itu faktor jauhnya lokasi antar satu tempat dengan tempat
lainnya membuat kami terpaksa harus butuh waktu seharian untuk ke muting. Selain
itu faktor komunikasi sering membuat salah paham antara kru jakarta dengan kru
lokal tapi bagi saya itu hal yang sudah biasa terjadi dan bisa dimaklumi karena
perbedaan dialeg bahasa cara menyampaikan orang timur dan barat yang berbeda.
Selain itu kendala terbesar difilm ini adalah dimana kami harus
menghidupkan kembali suasana tahun 1997 dan itu tidak mudah. Saat ini muting
sudah banyak kemajuan, rumah rumah yang dulunya atap sekarang sudah mulai pakai
seng. jalan yang dulu tanah skrg sudah aspal mulus. Dulu tidak ada listrik
sekarang sudah masuk listrik PLN. Kami sangat kesulitan memasang angle kamera
karena banyaknya tiang listrik dijalan. Begitupula dengan kostum dan kendaraan
yang digunakan. Gedung sekolah SMP lama saat ini sudah dijadikan gudang dan
kami harus kembali men-setnya menjadi sebuah sekolah tua kembali seperti dulu. Sementara
itu, wajah kota merauke dulu kami ambil disekitar wilayah semangga dan kurik
sebab kota merauke yang sekarang sudah terlalu modern. Ada beberapa Miss properti yang terjadi di film ini menyangkut jaman tersebut teteapi saya rasa itu tidak akan terlalu mempengaruhi esensi yang dibawa dalam film ini nantinya sebab kekuatan film ini ada pada ceritanya. Kendala yang paling terbesar
justru terletak pada hati kita semua para pemain dan krunya. Namun kita
berhasil menyatukannya dalam perbedaan besar.
13. Bagaimana proses mobilisasi peralatannya ?
Apakah ada kesulitan ?
JAWAB :
Diperjalanan menuju muting mobil yang mengangkut alat alat syuting tertanam
dilumpur selama 3 hari sehingga semua kru harus bahu membahu memindahkan barang
barangnya ke mobil kecil dan diangkut bolak balik sedikit demi sedikit ke
tempat syuting. Bagi kami yang sudah terbiasa dengan alam muting tidak menjadi
masalah tetapi bagi beberapa kru dan artis jakarta mereka agak kesulitan
beradaptasi dan menganggap seperti sebuah tantangan berat. Saya lahir dan besar
di muting sehingga pernah mengalami masa masa sulit dengan kondisi jalanan
lebih parah sampai kadang menginap satu bulan dijalanan jadi tidak terlalu
berpengaruh bagi saya. Namun bagi kru jakarta terjebak satu malam saja di
lumpur itu sudah menjadi hal yang sangat luar biasa sekali sulitnya.
Ketika syuting di rawa, kami mengangkut semua peralatan dengan perahu. Yang
paling sulit adalah ketika adegan sefnat dan ikbal yang perahunya terbalik
ditengah hujan deras ditengah kali bian. Ini adegan yang sangat menguras tenaga
dan sulit dibuat. Semua kru harus masuk kedalam air termasuk kamera setinggi
leher manusia ditenggelamkan kedalam rawa, itupun disiram oleh air hujan buatan
dari mesin pompa air. Adegan extrim ini kami lakukan guna menghasilkan gambar
dramatis yang natural bagi penonton tanpa harus banyak mengandalkan efek
komputer. Lensa kamera kami rusak tersiram air dan beberapa alat juga terendam
air. Adegan yang hanya bisa dinikmati beberapa detik nantinya di film tetapi
dikerjakan berjam jam dengan susah payah.
14. Bagaimana dengan artis – artis yang
terlibat ? Apakah mereka mengalami kesulitan selama proses syuting, khususnya
beradaptasi dengan lingkungan dan masyarakat ?
JAWAB :
Secara umum semua pemain dan artis nasional yang terlibat mempunyai kesan
baik dalam film ini. Mereka sangat menikmati setiap adegan dan suasana selama
syuting. Bahkan dibeberapa adegan yang dimainkan mathias muchus, saya sampai
meneteskan air mata atau bahkan emosi sebab beliau memainkan semua adegannya
dari hati dan berhasil menghidupkan kembali sosok Pak Bahtiar menjadi nyata,
dan untuk kali ini juga saya jujur bahwa dalam menggarap film ini saya betul
betul menggunakan hati sehingga bisa merasakan setiap perubahan emosi dari
karakter karakter didalamnya. Mengenai adaptasi dengan masyarakat tidak begitu
sulit sebab saya tahu betul karakter masyarakat dimuting yang ramah dan mudah
diajak berdialog, saya selalu berkonsultasi dengan Para ketua adat sebelum
melakukan pengambilan gambar menyangkut budaya. Selama syuting semua pemain dan
kru tinggal di rumah orang tua saya sehingga semuanya sangat dirasakan
suasananya disitu. Bahkan ketika mereka selesai syuting pun mereka sangat
terharu sebab banyak kenangan baik yang terukir disana.
Begitupula dengan nadine chandrawinata sebagai seorang mantan putri
indonesia yang menyukai alam dan sering bepergian kemana mana, ia sangat cepat
beradaptasi dengan lingkungan manapun. Ia juga tidak manja dan tidak meminta
fasilitas yang macam macam apalagi ia sadar kita tinggal di kampung yang jauh
dari kota. Sebagian waktu saya habis setiap malam untuk menemaninya ngobrol
guna menghilangkan kejenuhan sebab dimuting tidak ada hiburan apapun. Listrik
pun akan padam tepat jam 12 malam. Jadi kerjaan kita sehabis syuting pulang
makan, ngobrol dan tidur begitu terus selama dua minggu. Nadine sangat suka
bergaul dengan masyarakat sekitar. Ia paling suka jika kami turun ke
rawa.sekalipun ia tidak ada scenenya, ia memaksa ikut karena ingin menikmati
keindahan rawa muting.
Yang menjadi daya tarik dalam film ini adalah dimana Edo Kondologit sebagai
seorang artis top asal Papua untuk pertama kalinya beliau bermain sebagai peran
utama dalam film layar lebar yang berkisah tentang Papua. Itu yang membedakan
dari film film Papua lainnya sebab kita tahu selama ini kaka edo itu sulit
sekali bisa diajak main film dikarenakan kesibukannya di musik namun khusus
untuk film ini beliau bersedia meluangkan waktunya untuk bermain di film ini
karena kepedulian beliau terhadap pendidikan di Papua dan beliau ingin
berpartisipasi karena menganggap kisah ini sangat bagus. Figur kaka edo adalah
sebuah contoh keberhasilan anak anak Papua di bidang seni yang mencurahkan
perhatiannya bagi pembangunan di Papua. Beliau sangat suka menghibur kami
selama syuting sehingga suasana syuting menjadi santai dan tidak tegang. Saya
sangat bangga bisa bekerjasama dengan kaka edo.
Selain kaka edo, saya juga salut dengan Bapak kepala dinas kebudayaan
merauke kaka Daud Holenger yang begitu mensupport penuh film ini. Beliau betul
betul bermain sebagai seorang aktor profesional tidak kalah dari artis nasional.
Beliau sampai rela mengorbankan waktunya di kantor demi memainkan peran Pak
Wambrauw di film ini. Saya sangat memuji talenta kaka daud sebab beliau memang
bekas anak teater sewaktu kuliah dulu katanya. Anaknya Richard Hollenger pun
mengikuti jejak ayahnya sehingga terpilih dalam casting untuk memerankan tokoh
sefnat mahuze. Permainan akting mereka semua sangat natural dan patut diacungi
jempol.
15. Berapa lama waktu syuting ? Berapa lama
proses penggarapan ? Berapa banyak kru yang terlibat ? dan kapan akan di
launching atau pemutaran perdana ?
Film ini sebagian besar dikerjakan oleh kru dari papua selatan film
community. Hanya beberapa kru inti seperti kameraman, penata suara dan penata
kostum yang didatangkan dari Jakarta sebagai tenaga profesional. Jumlah krunya
sekitar 35 orang totalnya sebagian besar lebih banyak dari merauke namun ketika
dimuting kru bertambah hingga sekitar 50 orang sebab medannya sulit. Kru dari
Jakarta hanya 10 orang. Waktu syutingnya sekitar 20 hari setelah sebelumnya
semua kru sudah stand by dimerauke satu bulan untuk hunting dan mempersiapkan set serta kebutuhan lainnya.
Launching pertama kali direncanakan di kota merauke sekitar awal tahun 2014 setelah itu akan dilanjut ke beberapa kota besar di Papua lainnya. saat
ini film sedang memasuki tahap editing atau penyuntingan gambar di Jakarta. Film ini akan menjadi film paling inspiratif yang pernah saya buat meskipun saya sadar ini bukanlah karya saya yang terbaik secara tekhnis, ada banyak kekurangan tekhnis yang memang sulit untuk dihindari untuk kali ini.
Saya sendiri siap apabila nanti kelak film ini diputar secara Nasional dan mendapatkan kritikan secara tekhnis bahwa memang begitulah adanya, karena bagi saya film ini lebih kuat dalam segi cerita dan akting pemainnya daripada tekhnis kameranya. Selain dalam bentuk film rencananya kisah ini akan dibuatkan dalam bentuk novel
serta akan dibuat pula dokumenter dari kesaksian tokoh tokoh aslinya sehingga
bisa terlihat kisah originalnya yang tentu saja agak berbeda dengan yang
tersaji dalam film fiksinya. Menurut kisah aslinya perjuangan mendirikan SMA
muting masih terus berlanjut hingga bertahun tahun sampai akhirnya berdiri
bangunan megahnya. Sementara di film kami hanya menceritakan sampai titik
pencarian 8 orang muridnya saja berakhir. Keutuhan ceritanya akan
kami paparkan sendiri melalui liputan dokumenter asli dari tokoh tokoh aslinya.untuk Nasional diperkirakan ditahun 2014
Dengan diputar perdananya di Papua dan bukan di Nasional sekaligus menekankan pada motivasi pembuatan film ini yang bukan bertujuan hanya sekedar film tetapi lebih dari itu, untuk memberikan wawsan pencerahan buat kita semua bahwa ada sebuah masalah yang ingin di pecahkan bersama lewat film ini. Bukan hanya penonton diluar Papua saja tetapi terutama juga untuk penonton dan pemerintah di Papua sendiri sebab kisah ini bukan hanya terjadi di Muting Merauke tapi banyak juga terjadi di wilayah Papua lainnya seperti di berita ini :
http://tabloidjubi.com/2013/05/03/kepala-distrik-harus-diberi-pemahaman-tentang-pendidikan/
Dengan diputar perdananya di Papua dan bukan di Nasional sekaligus menekankan pada motivasi pembuatan film ini yang bukan bertujuan hanya sekedar film tetapi lebih dari itu, untuk memberikan wawsan pencerahan buat kita semua bahwa ada sebuah masalah yang ingin di pecahkan bersama lewat film ini. Bukan hanya penonton diluar Papua saja tetapi terutama juga untuk penonton dan pemerintah di Papua sendiri sebab kisah ini bukan hanya terjadi di Muting Merauke tapi banyak juga terjadi di wilayah Papua lainnya seperti di berita ini :
http://tabloidjubi.com/2013/05/03/kepala-distrik-harus-diberi-pemahaman-tentang-pendidikan/
0 comments:
Post a Comment