Sunday, 12 February 2012

KEBANGKITAN WARNA BARU PERFILMAN LOKAL DARI UJUNG TIMUR

Mentari terbit pertama kali dari ufuk timur. Dan kamilah yang merasakan cahaya mentari itu disini pertama kali. Kamilah orang orang pertama di Indonesia yang bangun dan beraktifitas. Namun mengapa selama ini kami kami semua di wilayah timur ini justru selalu di cap tertinggal secara kemajuan dari wilayah Barat ?

Saat ini gairah perfilman Indonesia di wilayah yang selama ini dikuasai olehnya makin menurun dan tergerus oleh derasnya film film impor yang makin mendominasi selera penontonnya, Ketika tema tema film Indonesia semakin monoton dan menghandalkan pada sebuah sisi tema yang kalah bersaing dengan film film luar. Ketika banyak sineas Indonesia menjadi kurang bergairah memproduksi film Nasional karena menurunnya pasar dan daya jual film, justru suasana berbeda terjadi di ujung timur Nusantara ini.

Di kota kecil tempat kelahiran saya, Merauke yang disebut juga kota rusa kami justru sedang bangkit dan bergairah secara produktif dalam menghasilkan film film setiap tahunnya. Ya memang semuanya tak lepas semenjak eksperimen kecil kami di tahun 2009 - 2010 berjudul Melody kota Rusa.

Hingga saat ini, terhitung sudah 3 film panjang untuk diputar dilayar lebar serta Nasional yang kami hasilkan. serta ditambah beberapa sketsa MOP yang dikemas dalam bentuk DVD. melody Kota Rusa, Lost in Papua, Melody Kota Rusa 2 serta acara komedi EPEN CUPEN 1,2 dan 3 yang menjadi perhatian seluruh warga dunia di youtube hingga saat ini. dalam setiap tahun kami selalu mengeluarkan film secara berkala. bahkan kini tawaran membuat film ramai ramai mulai datang dari pemerintah daerah dimana kami tinggal.

Sebenarnya dikota Merauke, pasar film Nasional sendiri belum ada, namun kami selalu berupaya membuat sebuah ciri baru bagi perfilman di Papua. tentulah sangat berbeda dengan selera film yang ada di kota kota diluar Papua misalkan di Jakarta. disini, film film bertemakan horor remaja atau drama romantis yang digemari di kota kota Jawa kurang diminati, bahkan saat ini tidak ada satupun toko dvd original yang menjual film Indonesia di kota Merauke. dulu memang pernah ada tetapi kemudian tutup karena tidak ada pembelinya. entahlah mengapa penonton disini kurang menggemari film Indonesia. Mereka lebih suka membeli lagu lagu atau film film barat (itupun yang satu DVD isi banyak film dengan kualiats rendah resolusinya) melalui lapak lapak DVD bajakan dipinggiran jalan. sebagian orang dirumah malah lebih senang menonton sinetron atau infotainmen di TV. Selera dan apresiasi yang buruk itulah yang kini coba kami  ubah melalui film film buatan kami.

Selain pasar film, sebenarnya masyarakat di kota Merauke juga tidak terlalu antusias dengan lahan hiburan. berkali kali pernah diadakan konser maupun didatangkannya penyanyi penyanyi papan atas dari Jakarta tetapi antusias masyarakat Merauke dingin dingin saja. Pernah saat itu PEMDA Merauke mendatang banyak bintang bintang Indonesian Idol ditambah penyanyi terkenal Ibukota, namun nyatanya arena pertunjukan hanya di datangi oleh puluhan orang saja dan bahkan bisa dihitung dengan jari. Terkecuali jika diadakan pada saat pasar malam agustusan itu lain halnya sebab saat itu memang banyak yang datang ke acara pameran bukan untuk menonton panggung.

Yang menjadi perbedaan dengan kota kota lain adalah, karena di Merauke ini tidak ada satupun komunitas film atau perkumpulan pembuat film atau pun workshop film. jadi jangankan mendapatkan sekolah film, kursus atau pelatihan tentang membuat film pun semuanya buta disini. satu satunya yang mengerti tentang film hanyalah saya yang merangkap kerja sebagai kameramen, editor serta penulis skenario. Sangat berbeda dengan anak anak dikota kota besar di indonesia yang mempunyai komunitas KONFIDEN dll. Mungkin ini yang perlu di pertimbangkan dalam membandingkan karya karya dari kami dengan karya dari daerah lain. Perlu di ingat bahwa tidak ada satupun dari kru selain sutradara yang pernah mengecap pendidikan baik formal maupun informal tentang film, ibarat kata NOL skil. tapi yang membuat nya menjadi aneh karena film film yang kami produksi jadi juga dnegan baik dan bahkan bisa dinikmati dan  menjadi fenomenal dan legenda.

MEMBACA SELERA PENONTON DI MERAUKE

Semenjak kesuksesan Film Melody Kota Rusa yang berhasil menjadikan kedudukan kota Merauke dijuluki Kota Rusa kembali, kami terus melakukan eksperimen tema guna mengetahui bagaimana selera penonton di sini.
Sampai akhirnya saya terperangah ketika Film Lost in Papua diputar selama 3 hari di kota Merauke. itulah pencapaian penonton tertinggi sepanjang sejarah bioskop dadakan (gedung olah raga yang disulap menjadi bioskop) dikota Merauke ini. Masyarakat Merauke berduyun duyun memenuhi gedung yang panas tanpa AC dan bangku plastik seadanya dengan harga tiket yang mahal. bahkan untuk memasuki gedung sampai sampai ada yang merayap merangkak dibawah kaki penjaga pintu saking penuh sesaknya yang mengantri. jalan raya mandala pun dibuat macet. tiket pun terpaksa ditarik dari seluruh agen karena banyak yang ingin membeli tiket didepan gedung dan tidak kebagian.

Yang sungguh aneh dari fenomena tersebut adalah, film Lost in Papua menurut saya pribadi yang membuatnya, sebenarnya bukanlah film yang istimewa, film itu dibuat dengan agak terburu buru waktunya sehingga banyak kekurangan disana sini. ya film ini adalah hasil kolaborasi kami dengan kru Jakarta perbandingannya sekitar 60 persen kru lokal dan 40 persen kru Jakarta. penulisannya pun diserahkan pada penulis dari Jakarta. Tetapi sekali lagi aneh bin ajaib ketika banyak orang mengatakan filmnya tidak bagus, besoknya akan lebih banyak lagi penonton yang datang memenuhi gedung. bahkan tidak sedikit yang meminta agar waktu pemutaran diperpanjang karena masih banyak yang ingin menonton tapi tidak kebagian tiket. apa daya pada saat itu pihak produser partner dari Jakarta tidak mengijinkan kami menambah waktu putar sehingga pemutaran tetap dilakukan dalam 3 hari saja dengan berdesak desakan bahkan ada penonton yang tidak kebagian bangku dalam gedung terpaksa menonton sambil berdiri.

Dampak dari pemutaran yang cuma 3 hari dan membuat banyak yang tidak kebagian tiket tersebut membuat peredaran DVD Lost in Papua yang diedar ke pasaran tidak lama setelah pemutaran menjadi Best Seller mengalahkan peredaran DVD Melody Kota Rusa sebelumnya. dalam 2 hari saja 1000 keping DVD yang kami datangkan habis ditoko toko !. DVD inipun tidak semuanya dalam bentuk original sebab ada pemasok DVD bajakan yang juga ikut memasok dalam jumlah ribuan kekota ini. jika berharap dari DVD original saja maka mungkin akan habis dalam waktu 1 hari saja.  pihak Merauke Enterprice sempat menjadi panik mengatasi kelangkaan stok DVD dipasaran. Karena akibat kelangkaan DVD yang habis di toko toko akhirnya membuat DVD bajakan Lost in Papua menjadi laris manis dilapak lapak bajakan. sungguh ironis Film Lost in Papua yang diulas negatif oleh berbagai kritikus film di internet malah menjadi film terlaris sepanjang sejarah dikotanya, sementara film Melody Kota Rusa yang diulas positif dan fenomenal serta mendapatkan pujian luar biasa dari dalam dan luar negeri malah kalah jauh jumlah penontonnya !  

Lagi lagi, saya kembali beranalisa tentang selera penonton di kota Merauke. apakah ini yang diinginkan penonton kita ? yang aneh adalah ketika tak sedikit dari orang yang berkata film Lost in Papua jelek justru ikut membeli DVD nya. Namun sebenranya Lost in Papua adalah film yang tidak kosong juga sebab dalam film itu jelas memberi pesan bahwa Papua bukan hutan belantara semata seperti yang orang luar kira. Ada beberapa komentar orang yang belum pernah ke Papua di dunia maya yang mengatakan kaget dan tidak menyangka kalau di Papua ternyata ada diskotik juga, ada swalayan juga. Ternyata selama ini banyak orang diluar sana berpikir bahwa Papua itu masih hutan dan primitif. Lost in Papua telah mematahkan pemikiran pemikiran negatif tersebut dengan memberikan gambaran yang jelas bahwa Papua yang sekarang sudah maju dan modern sedangkan hal hal primitif dan negatif yang selama ini di ekspos itu hanyalah mitos dan bukan kenyataan. Karena itulah film ini dibuat dalam 2 sisi berbeda yakni realitas di awal film dan Fiksi di akhir film.  Hanya saja sempat ada dari beberapa penonton yang malah salah menanggapi maksud positif film ini dengan mencoba memutar balikkan fiksi menjadi kenyataan dan sebaliknya, padahal ide cerita film ini datangnya dari anak anak di Merauke sendiri.

namun terlepas dari semua itu, jujur saja saya sebenarnya lebih suka membuat film film yang berisikan pesan pesan moral kehidupan, realita serta mengangkat kearifan lokal seperti Melody Kota Rusa yang menggunakan potensi aktor lokal secara keseluruhan tanpa menggunakan nama artis besar seperti di Lost in Papua. Tapi kembali kita berhadapan dengan selera pasar yang menuntut unsur hiburan besar dalam sebuah film. saya teringat tentang film Arwah goyang JUPE DEPE yang tahun 2011 lalu meraih penonton tertinggi dibioskop nasional. film itu dihina hina, dicaci maki diberbagai media dan masyarakat namun anehnya justru menjadi box office disana. apakah ini gambaran sisi dunia hiburan ditanah air kita beserta para penontonnya ? pembuat film seperti saya dihadapkan pada sebuah dilema yang membingungkan. Lost in Papua yang dikatakan film jelek bisa lebih banyak penontonnya di kota Merauke dibandingkan Melody Kota Rusa yang dipuji dimana mana. mungkin senasib dengan apa yang dialami Garin Nugroho yang filmnya tak pernah laris dipasaran tetapi selalu dipuji dimana mana bahkan memenangi penghargaan diberbagai festival. dibioskop Indonesia terkadang film yang di hina dan dicela cela justru itulah yang paling banyak penontonnya. sebuah budaya yang aneh menurut saya. budaya penasaran dan ikut ikutan. Mana yang dibuat kontroversi selalu jadi hal yang laris sementara saya pribadi sangat membenci kontroversi. film yang banyak memuat konten lokal biasanya selalu sedikit penontonnya. untuk ukuran Melody Kota Rusa sebenarnya termasuk salah satu yang berhasil karena cukup fenomenal di Timur, tetapi lihatlah beberapa film Nasional yang mengangkat budaya selalu sedikit jumlah penontonnya sementara film film dengan Fiksi kelas tinggi dan menjual artis Top dengan dibumbui horor esek esek sangat banyak penontonnya.
Film yang bagus belum tentu banyak penontonnya, begitupula kebalikannya Film yang dikatakan jelek bisa jadi banyak penontonnya, tetapi membuat film adalah masalah hati. dan hati saya menginginkan membuat film yang mengangkat daerah ini, meskipun belum tentu film itu laris dipasaran. Film yang kami buat dengan hati adalah Melody Kota Rusa.

BERIKUT INI FOTO FOTO KETIKA FILM FILM KAMI DIPUTAR DI BIOSKOP DADAKAN DI MERAUKE




RENDAHNYA MINAT MASYARAKAT KOTA TERHADAP KONTEN LOKAL

Yang membuat saya sedih adalah ketika para artis/seniman yang sudah mengangkat nama Merauke tersebut kurang mendapat perhatian di tanah mereka sendiri. Apakah itu yang disebut krisis identitas sebuah bangsa ? Lihat saja baru baru ini ada sebuah acara besar di Kota Merauke tetapi yang diundang mengisi acara hanya artis artis ibukota saja, mereka mengabaikan artis lokal yang saat ini sedang naik daun dan dipuja puja di Papua dan timur Indonesia, paling tidak mengkolaborasikan mereka dengan artis tamu dari Jakarta itu sudah cukup. tetapi hingga saat ini para artis lokal yang disanjung sanjung dan dipuja puja diluar Merauke ini tak mendapatkan perhatian ditanah mereka sendiri. dimana jiwa nasionalisme mereka ? dimana rasa cinta pada budaya lokal Merauke dalam diri mereka ? sehingga artis Ibukota lebih dihargai ketimbang artis lokal yang sudah berprestasi dan disukai serta telah mengangkat nama Merauke hingga ke Malaysia dan Brunei. di tanah sendiri kadang mereka diabaikan oleh para pelaku usaha. pelaku usaha yang hanya ingin mengeruk keuntungan dari tanah ini tapi tidak pernah mempedulikan nasib para seniman tanah ini. Wajarlah jika wakil Ketua Dewan Kesenian Papua Bapak Rumasep mengatakan bahwa nasib seniman di tanah ini sangat memprihatinkan. Sebenarnya bukan masalah uang tetapi menyangkut apresiasi kita sendiri. Jika mereka saja bisa diapreasiasi dengan luar biasa diluar sana masa kita yang di merauke sendiri tidak mengapresiasinya ? saya justru kaget ketika Merauke yang hanya kota kecil ini tetapi ada beberapa pemilik Toko besar disini yang mengaku tidak tahu apa itu film Melody Kota Rusa, yang mereka tahu hanya film Lost in Papua saja. saya sangat terkejut mengetahu ada warga Merauke yang seperti itu, apakah dia tidak peka dengan keadaan di Merauke ? padahal baliho film ini ada diseluruh sudut kota dan promosinya gencar melalui berbagai media dan radio. Tidak malukah mereka dengan warga diluar Merauke hingga di Malaysia negeri yang jauh saja mengenal baik Melody Kota Rusa, Epen Cupen dll sementara mereka yang mengaku orang Merauke sendiri tidak tahu apa itu Melody Kota rusa ? ataukah orang tersebut tidak pernah keluar rumah ? sekali lagi kini kita tahu bahwa banyak orang orang yang tinggal di Merauke tetapi tidak peduli dengan apa yang terjadi di sini. mereka hanya ingin mencari uang saja ditanah ini tapi tak pernah memberi perhatiannya pada apa yang terjadi dinegeri ini. saya sangat sedih melihat ada warga yang seperti ini, sangat berbeda dengan cita cita kami yang ingin mengangkat citra daerah ini dengan memperhatikan kemajuan penduduk aslinya.
Layakkah orang orang begini menyebut identitas mereka sebagai orang Merauke ? tapi nyatanya masih banyak orang orang seperti itu yang tinggal di kota Merauke.
Sama saja hal nya dengan krisis identitas yang dialami remaja di Kota Besar seperti Jakarta yang lebih menyukai artis luar atau film Hollywood daripada artis Nasional artau film Indonesia. dimana jika ada pertunjukan artis luar akan lebih heboh dibandingkan pertunjukan artis Nasional.

Ada lagi sebuah cerita yang menggelitik namun sekaligus memprihatinkan dikota ini dimana salah seorang teman ayah saya menanyakan apakah anaknya yang membuat film Melody kota Rusa, lalu jawab ayah saya : iya. Orang itu lalu memberitahu bahwa seorang anaknya di Jawa memberi tahu bahwa ada sebuah film bagus dari merauke berjudul Melody Kota Rusa. anaknya itu juga mengirimkan DVD Film tersebut kekota Merauke. Ironisnya kejadian ini terjadi setelah satu tahun lebih Melody Kota Rusa menjadi fenomenal dipasaran. Aneh sekali lagi aneh, betapa memalukannya orang yang tinggal di Merauke tersebut yang tidak tahu apa apa tentang daerahnya sehingga justru iya mendapatkan informasi tersebut dari anaknya yang tinggal di Jawa. yang paling parahnya lagi kenapa DVD filmnya malah dikirim dari Jawa sedangkan disemua toko bahkan dipinggiran jalan DVD itu ada dijual dikota Merauke. Sulit berpikir mencari tahu mengapa itu bisa terjadi, apalagi Merauke ini hanya kota kecil sementara baliho film kami ada di mana mana disetiap sudut jalan.

Namun secara realitas, itulah gambaran dari wajah kota Merauke saat ini, di bagian kota telah didominasi oleh sebagian besar warga pendatang yang lebih menyukai kebudayaan luar dibanding kebudayaan lokal. itulah makanya film film seperti Melody Kota Rusa justru menjadi sangat sukses pemutarannya dikampung kampung dengan dipadati puluhan ribu penonton dibandingkan pemutaran dikota. sebab disitulah warga asli yang cinta konten lokal tinggal. Karena itulah saya juga lebih suka tinggal di kampung kelahiran kami Muting yang masih asli terjaga budaya lokalnya daripada di kota Merauke yang tak terlalu beda jauh sifat penduduknya dengan warga Jakarta. tidak heran jika terkadang sering terjadi ketegangan antara penduduk lokal dengan warga pendatang di kota akibat ketidak pekaan ini.

Itulah makanya mengapa dalam film Melody Kota Rusa 2 tema nya lebih banyak mengangkat rasa cinta terhadap Merauke dan Papua. semua dimaksudkan agar dapat membangun rasa nasionalisme untuk dapat mencintai daerahnya sendiri beserta budaya lokalnya, agar kita sebagai orang Merauke tidak mengalami krisis identitas, mengaku sebagai orang Merauke tetapi tidak mencintai atau tidak tahu daerahnya.

FENOMENA MELODY KOTA RUSA JUSTRU BESAR DILUAR MERAUKE

Tetapi yang terjadi di beberapa kota lain di Papua selain Merauke seperti Jayapura, Biak hingga Ambon adalah berbeda dengan di kota Merauke, dikota kota ini justru Melody Kota Rusa menjadi film yang sangat fenomenal dan terlaris, mungkin karena disana masih banyak masyarakat yang cinta konten lokal dibanding konten luar. dibuktikan dengan beberapa kali para pemain Melody kota Rusa seperti Suroso, kanib dan Enob melakukan perjalanan kesana dan mereka diserbu oleh ratusan penggemar dimana mana. pernah Enob bercerita ketika dia ke Jayapura, ia harus menyamar sewaktu naik angkot tetapi ketika penyamarannya diketahui salah seorang penumpang, maka satu isi angkot beserta supir supirnya pun turun dan berfoto dengannya. bahkan yang baru baru ini terjadi sewaktu mereka mengikuti acara Festival Budaya se Papua di Biak, panitia kewalahan mengatasi penggemar yang menumpuk bahkan memukul mukul kaca mobil serta menyerbu hotel tempat mereka menginap. yang uniknya dihari penampilan mereka dipanggung saat itu anak anak sekolah semuanya bolos bahkan Pemda setempat sampai menginstruksikan agar penampilan dari Merauke dilakukan setelah jam pualng sekolah agar anak anak tidak bolos sekolah tapi kenyataannya sedari pagi semua anak sudah bolos gara gara ingin melihat penampilan artis Melody Kota Rusa. Film film produksi kami dalam bentuk DVD juga menjadi sangat laris dikota ini. sampai sampai saya menemukan dipasaran sudah ada produser dari Jakarta yang menjiplak format DVD Epen Cupen yang dibuat dengan format daerah lain sekalipun ternyata penjualannya sangat jauh berbeda dengan kelarisan DVD Epen Cupen punya kami.

Saya menyatakan salut dengan kota kota besar di Papua dan Timur seperti Jayapura, Sorong, Serui, Biak, Nabire, Serui, Ambon, Manado, Makassar yang lebih mengapresiasi Melody Kota Rusa ketimbang warga Merauke sendiri yang seharusnya merasa bangga. Kini kami telah mendapatkan undangan dari berbagai daerah itu untuk mengadakan pemutaran Melody Kota Rusa 2.

Popularitas para pemain dibeberapa kota tersebut atau dikampung kampung di wilayah Merauke melebihi popularitas artis Jakarta. saya menyaksikan dengan mata kepala sendiri ketika syuting film Lost in Papua di Boven Digoel, masyarakat lebih antusias dan mengejar artis Melody Kota Rusa dibandingkan artis dari Jakarta yang saat itu kami bawa.

Namun terlepas dari semua itu kini saya ingin kembali pada idealisme saya yang tetap diselaraskan pada selera masyarakat di Timur. Idealisme yang dulu saya wujudkan dalam Film Melody Kota Rusa kini akan kembali dilanjutkan dalam film film kami berikutnya. Masyarakat di Timur menyukai genre Komedi. namun komedi yang ditampilkan pun bukan seperti komedi di Jawa. Komedi di timur mempunyai ciri khas melalui MOP. Itulah makanya mengapa di Melody Kota rusa pertama, Koran Papua Pos menjulukinya “Film yang bergaya Sinema Papua”

Meskipun Lost in Papua menjadi satu satunya film yang pernah laris luar biasa di Kota Rusa ini, tapi kedepannya saya tidak akan membuat film seperti itu lagi. sebab tujuan kami membuat film disini bukanlah hanya berorientasi pada keuntungan semata, kami ingin mengangkat para pelaku seni di tanah ini agar bisa sejajar dengan seniman didaerah lain yang maju. siapa sangka daerah paling ujung dinusantara ini yang dulu dianggap terbelakang kini malah menjadi ikon terdepan yang mengisnpirasi para pembuat film lokal daerah lainnya untuk maju. karena itulah tema tema yang akan disentuh kedepannya lebih kepada realitas dan kearifan lokal guna mengangkat citra baik di tanah Papua ini.

Jika waktu membuat Lost in Papua kami bekerjasama dengan PH dari Jakarta kini kami berkomitmen untuk memproduksi film secara mandiri bahkan sebisa mungkin bergandengan dengan Pemerintah daerah seperti yang sudah kami lakukan di film Melody Kota Rusa 2 dimana Bupati Merauke ikut terlibat langsung. dengan begitu maka film film yang kami hasilkan akan lebih independen dalam tema temanya tanpa dicampuri oleh unsur keinginan menjual dan mengikuti selera pasar.

Jika menilik sejarah pembuatan film di daerah, selama ini belum pernah ada film yang diproduksi oleh anak anak daerah di Indonesia yang bisa sukses di tayangkan secara komersil dengan jalur independen tanpa melalui jalur jaringan film resmi dan menjadi fenomena bahkan sampai ada orang luar yang menyebut film Melody Kota Rusa sebagai film Legendaris Merauke.

Apalagi ini bukanlah film pendek. ini film panjang yang dikemas secara komersil dan dibiayai oleh banyak sponsor secara besar besaran tanpa menggunakan satupun aktor Nasional melainkan aktor lokal namun ditayangkan secara komersil di gedung gedung yang disulap menjadi bioskop dadakan. Yang mengherankan adalah ketika film tersebut mencapai puncak kelarisan mengalahkan penjualan film Nasional didaerah ini. Seperti ketika membaca sebuah tulisan online di Media Indonesia yang mengabarkan penjualan DVD Melody Kota Rusa yang laris di Ambon mengalahkan penjualan DVD film Nasional.


TIDAK MUDAH MEMBUAT FILM DI DAERAH APALAGI DI PAPUA

Sejarah mencatat ada beberapa film panjang untuk bioskop yang pernah dibuat didaerah tetapi yang perlu digaris bawahi bahwa kru dan pemain yang digunakan dalam film itu sebagian besar adalah dari Jakarta. semua masih mengandalkan tenaga SDM dari ibukota hanya meminjam tempat dan menggunakan sedikit aktor lokal saja. biasanya posisi pemain utama masih ditempati aktor Nasional Tetapi kami lah yang pertama kali mencatat pembuatan film layar lebar pertama berstandar Nasional menggunakan 100 % tenaga SDM Lokal mulai dari kru hingga pemainnya. semua kru dan pemain terdiri dari anak anak Marind asli di Papua Selatan serta para warga pendatang yang lahir atau tinggal menetap dikota ini. kedepannya, apabila kami ingin mengkolaborasikan mereka dengan artis Jakarta maka artis Jakarta akan ditempatkan sebagai supporting aktor saja, tidak lebih tinggi dari kedudukan aktor lokal yang akan mendominasi setiap film film kami. Dengan begitu kami secara tidak langusng telah emmbantu program pemerintah dalam menyediakan lapangan kerja bagi penduduk asli merauke. Sehingga kedepannya kita bukan lagi hanya akan menjadi penonton di negeri sendiri tetapi juga ikut bermain didalamnya dan memberikan yang terbaik untuk negeri ini.

Aspek tekhnis pun kini mulai semakin membaik, jika di film pertama kami Melody kota Rusa kami masih menggunakan peralatan apa adanya dengan kamera XL One dan lighting serta sound yang tidak standart maka kini kami sudah memiliki perangkat alat kamera Canon 7D beserta aksesoris berstandart HD hasil bantuan Bapak Bupati Merauke serta peralatan studio musik guna mengerjakan sound mixingnya. kini kami bisa membuat film apapun dengan kualitas Nasional meski menggunakan SDM 100 %  lokal mulai dari pemain hingga kru nya, hingga post produksinya dan animasinya pun dikerjakan semua disini dengan tenaga tenaga amatir yang dilatih secara serius tanpa pendidikan formal seperti saya dulu.

Membuat film di tanah Papua tentu berbeda dengan membuat film didaerah lain. jika didaerah lain dengan mudah bisa membuat film hanya dengan bermodalkan alat saja dan biaya sedikit, tapi didaerah ini memerlukan dana yang cukup besar. transportasi, uang makan, serta bayaran pemain bukan sedikit yang harus dikucurkan sekalipun membuat film kecil kecilan. belum lagi dengan aturan aturan menyangkut adat dan budaya yang harus kita perhatikan dan konsultasikan dengan para sespuh masyarakat setempat. Itulah makanya mengapa saya tidak menyebut film kami dengan film indie tetapi film komersil. bagaimana mungkin film indie dibuat dengan dana besar dan mengandalkan pada banyak sponsor komersil yang mengiklankan produk mereka. Mau tidak mau kami harus berkolaborasi dengan para pengusaha secara komersil guna mewujudkan film yang dananya sebagian besar dari mereka tersebut. bahkan untuk memenuhi unsur tersebut ada kalanya kami harus memasukkan pemain titipan dari pengusaha yang mengucurkan dana buat film kami. makanya jangan heran apabila ada satu atau dua pemain yang aktingnya terlihat sangat kaku bagaikan robot dalam beberapa film film kami karena tanpa orang tua mereka kami tak akan sanggup membiayai film tersebut.





SULITNYA PEMAIN LOKAL DITERIMA SECARA NASIONAL

Kendala memasuki pasar Nasional adalah ketika stasiun TV menstandartkan untuk menempatkan artis Ibukota dalam film kami jika ingin ditayangkan distasiun TV mereka. apakah mungkin artis lokal dianggap kurang menjual di TV Nasional ?
Bahkan ada salah satu stasiun TV yang dengan terbuka kepada kami menyebutkan syarat jika ingin ditayangkan di TV mereka harus memasang artis Ibukota yang dikenal minimal 3 artis.
Fenomena ini bukan hanya terjadi di dunia pertelevisian, didunia film pun begitu, lihat saja film Denias yang sekalipun dibuat di Papua, tapi memajang sederet nama nama artis ibukota lebih banyak ketimbang aktor lokalnya yang dijual diposter. begitupula yang terjadi dengan Laskar Pelangi nama nama yang di pajang dicover depan DVD nya adalah nama nama artis ibukota sementara nama nama artis lokalnya hanya dipajang dibagian belakang dalam ukuran lebih kecil. seakan akan para produser itu tak berani menjual filmnya tanpa bergantung dari nama nama besar tersebut. dimana mana, film yang dibuat di daerah selalu menggunakan artis Ibukota yang bermain sebagai penduduk daerah tersebut. Lihatlah film Mirror Never Lies yang dibuat di Wakatobi Sulawesi Tenggara. pemeran penduduk aslinya pun sebagai pemeran utamanya harus dimainkan oleh artis besar dari Jakarta Atikah Hasiolan. Apakah artis lokal sana tidak punya nilai jual untuk menarik orang menonton ? ataukah tak ada artis lokal yang kualitas aktingnya berpotensi secara Nasional untuk bisa dijadikan pemeran utama ?  atau mungkin juga rasa tidak percaya diri dari para produser bahwa film yang tidak ada artis Ibukotanya sulit untuk laku dipasaran ?
Kami pun pernah melakukan hal yang sama di film Lost in Papua mengekori apa yang pernah dilakukan film film tersebut diatas dengan menjual nama artis Top Ibukota yang memang ternyata terbukti laris menyedot penonton. Namun anehnya memang nyatanya terbukti aktor lokal yang di sejajarkan penampilannya dengan aktor nasional di film itu tak pernah bisa lebih populer dibanding artis Jakarta tersebut. contoh saja pemeran film Denias hanya sekali bermain di film itu dan setelah itu tak pernah ditawari peran utama lagi di film lain. para pemeran Laskar Pelangi begitupula nasibnya, mereka tak pernah lebih tinggi popularitasnya dibanding para artis Top Ibukota yang namanya terus melambung setelah menjadi pendukung di film itu.

Biar bagaimanapun memang pengaruh artis Ibukota dalam jualan film masih terasa. tak bisakah ada sebuah film lokal yang menembus Nasional tanpa menggunakan artis Ibukota sama sekali ? Kini kami sedang mencoba itu dari bumi Anim-Ha meskipun kedengarannya sangat mustahil namun sudah kami buktikan dalam Melody kota Rusa pertama dan kedua yang berhasil menaikkan peran artis lokal menjadi artis artis populer di Papua.

FILM PANJANG AKAN TERUS EKSIS SETIAP TAHUN DARI UFUK TIMUR

Membuat film adalah sebuah pencapaian hati yang tidak bisa ditawar dengan apapun. Kami akan terus membuat film sekalipun TV TV atau Bioskop Nasional tak tertarik menayangkan film kami. Kami sudah cukup senang jika film film kami Melody Kota Rusa dan Epen Cupen mendapat apresiasi tinggi di Timur bahkan ke Asia Tenggara walau hanya lewat internet atau DVD. saya pun tak perlu harus mendaftarkan film saya ke festival film. karena bukan itu tujuan kami membuat film. Tujuan membuat film ditanah ini adalah semata mata sebuah langkah nyata memajukan tanah kelahiran kami saja, dengan menggambarkan realitas apa yang terjadi disini agar dunia luar tahu bahwa Papua tidak seperti apa yang mereka pikirkan. tidak lebih dari itu. Film adalah media komunikasi kami untuk menyampaikan pesan pesan dari tanah ini bahwa inilah yang saat ini terjadi disini dan selama ini banyak orang diluar sana termasuk pemerintah Indonesia yang tak pernah tahu atau salah paham tentang apa yang terjadi disini sebenarnya. Mereka malah lebih percaya pada beberapa media yang terkadang hanya memanas manasi suasana dan mengeneralisasi keadaan tanpa memikirkan dampaknya secara psikologis pada masyarakat Papua secara umum yang sebenarnya cinta akan kedamaian. Dan kami akan terus eksis bukan sekedar panas sementara saja.

Saya terkesan dengan kisah salah seorang pegawai Bank Swasta disini yang bercerita bahwa sebelumnya keluarganya tidak mengijinkan ia dari luar untuk bekerja di Muting karena mengira Papua tidak aman seperti yang selama ini di ekspos media media tentang keadaan Papua yang dikiranya masih hutan semua. namun semua ketakutan mereka hilang setelah mereka menonton Melody Kota Rusa, keluarganya akhirnya merasa nyaman dan mengijinkannya pergi ke Merauke untuk kemudian bertugas pedalaman Muting. katanya, Melody Kota rusa berhasil menggambarkan suasana yang sebenarnya terjadi di Merauke bagi orang yang belum pernah kesana.

Jangankan melalui film, selama ini lewat media apapun termasuk harus berdemo terkadang pemerintah pusat kurang memperhatikan apa yang menjadi aspirasi masyarakat Papua. Mungkin semua itu terjadi karena pemerintah kurang mengetahui apa yang sebenarnya terjadi disini, tidak mengetahui apa yang dirasakan. hanya sekedar menebak atau menyamaratakan dengan daerah lainnya. Karena itulah film film kami hadir untuk memberikan gambaran apa yang terjadi di daerah kami sebenarnya agar mereka mengerti dan memahami bahwa situasi dan kondisi di sini memang berbeda dengan daerah lainnya namun tetap ingin akan kedamaian.  

Biarlah orang orang diluar sana memandang film kami seperti apa, ada yang menyukai, ada yang mencibir, ada yang memuji, ada yang mengkritik dll, tetapi sedikit demi sedikit film film tersebut telah berbicara sendiri tentang bagaimana kehidupan kami disini, tentang apa yang diinginkan masyarakat disini dan tentang kearifan lokal di tanah ini.  Dan Jika penonton diluar sana jeli sebenarnya banyak sekali pesan yang kami coba sampaikan melalui film film kami selama ini yang akan membawa pada sebuah pencitraan yang positif dan bertujuan menciptakan sebuah kemajuan bagi negeri dimana matahari terbit pertama kali diufuk timur Nusantara ini.

Merauke, 12 Februari 2012, 

Selamat Ulang Tahun MERAUKE yang ke – 110
IZAKOD BEKAI IZAKOD KAI

0 comments:

Post a Comment

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Kakatua Kaskus | www.kakatua.web.id | Bloggerized by Irham Acho Bahtiar --- Izakod Bekai Izakod Kai | Satu Hati Satu Tujuan