Terkadang saya hingga kini masih tak bisa percaya Muting kampung kecil
tanah tempat saya dilahirkan diujung timur Indonesia ini, yang dulunya adalah
sebuah kampung yang terisolasi,tidak dikenal,begitu terbelakang di kota Merauke
Papua. Kini mendadak menjadi berubah drastis dalam 3 tahun ini kearah yang
lebih baik.
3 tahun ini pula sebuah catatan mengukir bagaimana perjuangan kami
mengangkat tanah tempat kami dilahirkan tersebut. Sungguh sangat kontras jika
di runut kebelakang wajah kampung didekat perbatasan RI – PNG ini. Banyak
cerita sedih yang kami simpan dan kenang disana dan mungkin tak kan pernah
terlupakan sampai kapanpun.
Dimulai sejak saya lahir tanpa mengenal listrik, bagaimana saya pertama
kali mengenal apa itu televisi disaat menginjak SMP, ketika saya tahu apa itu
yang disebut kulkas semua itu terjadi ketika saya sudah dibangku SMP, praktis
sebelumnya kehidupan kami di muting seperti sebuah kampung terbuang yang tak
pernah tahu dunia luarnya.
Semenjak SMA saya harus pindah secara terpaksa ke kota merauke dan tinggal
dengan orang lain dikarenakan kecamatan Muting sampai tahun itu (1991) masih
belum mempunyai Sekolah Menengah Atas. Otomatis semua anak yang ingin
melanjutkan sekolahnya kejenjang lebih tinggi dengan sangat terpaksa harus
bersusah payah hidup menumpang orang di kota Merauke. Sahabat sahabat saya Anak
anak asli marind lebih memilih kehutan ikut orang tuanya. Saya sendiri ikut
menumpang di rumah orang dikarenakan orang tua saya pun belum mempunyai rumah
saat itu di kota merauke. Semuanya masih tinggal di kampung muting yang sangat
terbelakang sekali waktu itu. Sewaktu saya pergi kekota waktu itu belum ada
listrik PLN sama sekali di muting. Kami menggunakan disel pemberian perusahaan
yang pernah berproyek di situ sebagai penerang sementara diwaktu malam, itupun
tergantung ada solar baru bisa menyala.
Setelah lulus di SMA Negeri 1 Merauke tahun 1994, saya akhirnya meneruskan
kuliah sesuai bakat saya di Institut Kesenian Jakarta ( kisah mengapa saya bisa
kuliah disini sudah saya ceritakan di tulisan yang lain) ayah saya pada saat
itu sebenarnya tidak mampu secara materi menyekolahkan saya sejauh itu tetapi
akhirnya semua bisa terwujud dengan niat yang tinggi ingin kearah perubahan
nasib. Setelah lulus dari IKJ tahun 2000 saya mulai berkarier sedikit demi
sedikit menambah pengalaman. Selama rentang waktu itu pula 1994 – 2000 saya
tidak pernah pulang ke Merauke lagi menengok kampung saya Muting. Saya
meninggalkan Papua untuk kuliah dijakarta pada masa pemerintahan orde baru.
Sampai akhirnya tiba di orde reformasi ditahun 2001 saya mempunyai
kesempatan untuk pulang pertama kalinya setelah sudah mempunyai sedikit ilmu
yang saya timba dibangku IKJ jurusan Film dan televisi. Saya kembali
menginjakkan kaki ditanah kelahiran saya. Namun alangkah terkejutnya saya
ketika mendapati bukan kemajuan yang saya lihat tetapi sebuah kemunduran total.
Betapa kampung muting yang dulunya ketika saya tinggalkan mulai ada titik
terang kini malah seakan kembali ke kekegelapan. Memang keadaan ketika saya
pergi dulu sebenarnya sudah mulai lebih baik daripada saat itu.
Saya mulai membandingkan ketika saya terakhir meninggalkan Muting, kami
menggunakan kendaraan Bus yang keluar masuk muting dengan bayaran karcis tiket
bus yang masih terjangkau (saat itu jalan masih tanah namun rata dan tak
berlumpur dimusim panas). Tapi kini saya mendapati kenyataan bahwa dari kota
merauke menuju muting kami terpaksa harus menumpang kendaraan truk barang
dengan bayaran ratusan ribu, dengan duduk entah didepan dekat sopir atau kalau
tidak kebagian duduk di bagian belakang bak bersama barang barang lainnya. Saya
sampai tidak tega melihat ayah atau ibu saya juga ikut melakukan kegiatan ini,
ibu saya yang sudah tua pun harus berdiri menahan angin di bak truk karena
memang hanya itu satu satunya pilihan kendaraan bagi masyarakat muting. Kami
tidak diberikan pilihan, jalanan menuju muting sudah sangat rusak parah.
Mungkin kata orang lebih parah daripada medan offroad. Terkadang ibu saya
sampai ikut menginap berminggu minggu dijalanan disaat truk mereka tertanam.
Mereka hidup dengan memakan apa saja muatan isi truk. Kejadian ini terjadi di akhir tahun 90 an
sampai tahun 2000 an. Saya pun sempat ikut merasakan penderitaan rakyat muting
itu. Semua harga barang menjadi mahal. Bahkan muting sempat hampir mengalami
bencana kelaparan akibat jalanan rusak dan akses bahan sembako tidak bisa masuk
ke muting. Apalagi kini masyarakat di muting sudah mulai sulit menggantungkan
hidupnya pada hasil alam sebab rusa sudah makin sulit didapat.
Keadaan dikampung saat itu sendiri makin diperparah dengan adanya listrik
pemerintah yang dioperasikan tanpa jadwal yang pasti. Terkadang listrik bisa
mati begitu lama berminggu minggu terkadang juga menyala lagi. Maklum saat itu
masih menggunakan mesin diesel jadi tergantung dari bahan bakar dan
operatornya. Jika bahan bakar menipis maka lampu dihemat, istirahat dulu.
Itupun jadwal lampu menyalanya hanya dimulai dari jam 6 sore dan berakhir jam
11 malam. Banyak sekali kenyataan yang saya dapati sangat berbeda ketika masa
kecil saya dahulu. Dulu Muting masih lebih ramai setiap menjelang 17 agustus
dalam satu minggu lapangan dipenuhi bermacam kegiatan mulai dari pertandingan
bola, pasar malam, hingga panggung hiburan dimana pertama kalinya saya mengasah
bakat sebagai sutradara dalam berbagai pementasan drama dan lawak dikampung
kami dulu. Kini semua itu sudah tak ada lagi. Muting yang saya lihat kini
bagaikan kota mati. Beberapa rumah malah sudah kosong tanpa penghuni
ditinggalkan orangnya untuk pindah kekota Merauke. Muting tidak ada harapan
untuk menghasilkan lagi. Mungkin diantara semua orang yang punya usaha
dikampung itu ayah saya yang masih bertahan karena hatinya sudah dekat dengan masyarakat
disana. Apalagi ayah saya sudah tinggal dikampung itu semenjak masyarakat
kampung muting belum mengenal kopi dan gula. Selebihnya orang lebih suka
berusaha dikota merauke daripada di muting yang penduduknya makin berkurang dan
tak ada penghasilannya. Saya sering merenung berhari hari, saya jadi jarang
keluar rumah selama di muting. Apa lagi yang menarik di muting ? dimana cerita
masa kecil kami yang begitu indah dikampung ini ? kini kampung ini begitu sepi.
Orang orang lebih suka kehutan dan tinggal disana. Anak anak tidak ada yang mau
sekolah. Masih terlihat bekas bangunan pasar yang dibangun dijaman orde baru
namun ternyata tak digunakan hingga kini.
Lalu saya sempat meninjau bekas SD saya SD YPPK Don Bosco sebuah sekolah yayasan
Misi Katholik satu satunya dimuting yang masih tetap sama bangunannya dari
papan bahkan bangku yang saya duduki pun masih sama sudah reot. Begitupula
dengan SMP saya dulu masih berdinding papan, alangkah mirisnya kehidupan di
Muting.
Dimana sahabat sahabat kecil saya dulu ? rata rata mereka telah pindah ke
kota atau daerah lain meninggalkan muting karena dianggap muting tidak membawa
perubahan bagi kehidupan mereka. Saya merasa kesepian di tanah tempat saya
lahir. Ibu saya membawa saya berkeliling kesetiap rumah menyalami semua
penduduk mengingatkan saya kembali pada semua penduduk yang kaget melihat saya
telah dewasa (ketika meninggalkan Muting saya masih sangat muda seumuran SMP)
beberapa malah sangat antusias seperti Tete Frans Wamugu Almarhum seorang
seniman besar Marind yang menggantungkan harapan besar pada saya untuk terus
berkarya demi kemajuan orang di Muting beliau banyak menitipkan cerita rakyat
Marind ke saya. Saya pun berhasil merekam sebuah adegan Yosim (tarian favorit remaja
yang saat ini sudah mulai punah di Papua) Hingga kini rekaman itu saya simpan
sebagai arsip, kelak kemudian adegan yosim akhirnya berhasil saya tampilkan
dalam film pertama kami Melody Kota Rusa. Bagi saya rekaman acara yosim itu
akan saya simpan dan perlihatkan untuk semua anak cucu kita di Papua agar
mereka bisa mengenali apa saja adat budaya yang saat ini sudah tak ada lagi.
Itulah awal bagaimana saya mulai melakukan apa yang saya bisa, apa yang
saya dapatkan dibangku kuliah untuk kemudian diterapkan dikampung saya sendiri.
Setelah kunjungan pertama saya ditahun 2001 itu saya pun kembali ke Jakarta
kembali meneruskan profesi saya sekaligus mematangkan ilmu yang saya dapat di
bidang perfilman. Mungkin saja badan saya saat itu bekerja dijakarta tapi hati
saya jiwa saya tetap di Merauke. Bagaimana tidak, semua keluarga saya ada
disana. Tidak ada satupun saudara saya dan orang tua saya yang tinggal diluar
Papua. Semua akhirnya bekerja dan menikah disana. Hanya saya satu satunya yang
mengadu nasib ditanah Jawa.
Hingga ditahun 2007 entah kenapa tiba tiba ada rasa kerinduan pada orang
tua saya untuk berkumpul kembali dimerauke. (cerita lengkapnya sudah pernah
diceritakan dalam kisah cerita pembuatan Film Melody Kota Rusa) singkatnya
setelah saya memutuskan kembali tinggal di Kota Merauke bersama orang tua dan
saudara saudara saya, saya pun menolak beberapa pekerjaan dibidang film dan
televisi di Jakarta yang saat itu sedang bagus bagusnya perjalanan karier saya.
Saya memilih sebuah ide bersama adik saya untuk membuat sebuah film cerita
yang isinya mengangkat apa yang selama ini kita rasakan dan kita ketahui selama
kita lahir dan tinggal di Muting. Maka lahirlah film Melody Kota Rusa yang bagi
banyak orang dianggap sebagai film lucu dan menghibur dengan karakter dodi yang
kocak. Namun dibalik semua itu saya justru sering menangis jika menyaksikan
film itu, karena banyak sekali gambaran napak tilas dari kehidupan yang penah
kami rasakan pahitnya selama kami lahir dan besar bersama masyarakat Marind di
Muting tergambar disitu. Semuanya kami gambarkan secara halus dan tersirat.
Bahkan secara judul saja pun sebenarnya mengandung arti tersirat dimana kata
Melody merupakan perumpamaan ketika sebuah alunan nada berdiri sendiri tidak
akan menghasilkan sebuah keindahan yang besar tetapi ketika nada nada itu
bergabung membentuk sebuah melody maka akan menghasilkan sebuah harmonisasi
yang indah. Inilah arti dari sebuah kebersamaan sebagaimana yang juga terukir
oleh slogan filosofi berbahasa Marind Izakod bekai Izakod Kai atau satu hati
satu tujuan. Hal ini mengingatkan saya ketika di era pemerintahan GusDur dahulu
Papua hampir saja rusuh, dan saat itu disaat semua warga pendatang yang sudah
tinggal lama di Papua beramai ramai pergi meninggalkan Papua, namun yang
terjadi dengan keluarga kami dan masyarakat muting adalah sesuatu yang begitu
menyentuh. Semua masyarakat Muting bersidang dan memutuskan meminta ayah dan
Ibu saya tetap tinggal disana bahkan mereka berjanji akan melindungi kami sebab
kami adalah bagian dari mereka selama ini. Kami bukanlah orang yang datang
setelah Papua modern tetapi ayah saya menginjakkan kaki di Muting sebagai
perantau semenjak kampung itu masih sangat tertinggal sekali bahkan baju yang
dipakai pun saat itu masih pemberian pemerintah orba. Ayah saya memulai segala
pekerjaan di muting sama seperti yang dilakukan penduduk aslinya, pernah
mencari kulit buaya, berburu rusa untuk dendeng, menjual ayam, hingga akhirnya
membuat kios kecil dari modal berburunya.
Semua masa lalu di muting yang begitu berliku liku perjalannnya memang
begitu mempengaruhi dalam setiap karya karya saya, itulah makanya film Melody
Kota Rusa dibuat dengan setting semuanya di Muting tentang kisah anak anak
Muting yang juga ingin maju sama seperti orang orang di kota.
Inilah sebuah cikal bakal bagaimana Muting mulai dilirik oleh banyak orang.
Ketika akhirnya film Melody Kota rusa booming dan dibajak dimana mana, mulai
dari Papua, ambon hingga makassar, kami memang membuat film ini dengan tujuan
sasaran masyarakat di Indonesia Timur maka itulah dialognya sangat kental
dialegnya. Dimana mana Muting mulai dikenal. Dibeberapa pembicaraan melalui
dunia maya bahkan saya pernah mendapati beberapa orang yang mencari cari peta
Muting, Muting itu dimana ? itu kampung apa ? kenapa tidak pernah ada dalam
buku pelajaran ya ?
Pengaruh dari Film Melody kota rusa kemudian melahirkan karya baru sketsa
komedi MOP Papua Epen kah Cupen toh yang kemudian gaungnya didunia maya malah
lebih besar lagi penggemarnya bahkan hingga ke Malaysia. Tidak heran jika
kemudian ditahun 2011 pun kami terpaksa mulai memproduksi Film Melody Kota Rusa
2 sebagai lanjutan dari yang pertama. Semuanya terjadi atas desakan para
fansnya. Banyak orang tidak terima cerita yang pertama digantung begitu, mereka
ingin menyaksikan kelanjutan kisahnya hingga sukses. Banyak pula yang mengira
kisah MKR itu betul betul terjadi.
Disinilah bagaimana wajah Muting mulai berubah seiring dengan film Melody
Kota rusa pertama dan kedua. Jika di Film melody kota rusa pertama banyak
diperlihatkan jalan antar Muting Merauke yang berlumpur dan tanah.
Perbandingannya mulai terasa di MKR 2 dimana jalanan disitu kami perlihatkan
sudah mulai bagus dan sebagian besar sudah diaspal. Film ini bercerita dengan
jujur apa yang terjadi disana kami perlihatkan.
Lalu apa korelasinya dengan pembangunan besar besaran yang saat ini banyak
terfokus ke Muting dibanding dengan daerah lain di Merauke ?
Mungkin saja setelah menyaksikan film melody kota rusa pertama pemerintah
akhirnya dalam hal ini bupati Merauke akhirnya memperbaiki jalanan tersebut.
Bahkan untuk menunjukkan dukungannya terhadap film ini Pak Bupati Merauke Drs.
Romanus Mbaraka, MT yang saat itu barus aja terpilih ikut pula bermain dalam
film Melody Kota Rusa 2 sekaligus memberikan dukungan penuh terhadap pembuatan
filmnya dengan menyumbang secara finasial agar kami dapat membeli alat yang lebih
bagus.
Saat ini ada 2 daerah dimerauke yang sedang dikebut pembangunannya dan
tahun 2012 lalu dipasangi jaringan telekomunikasi serta internet yakni Muting
dan Kimaam. Analisa kami Kimaam sudah pasti menajdi sasaran pembangunan sebab
itu adalah kampung kelahiran Bapak Bupati Kita saat ini, namun Muting itulah
yang membuat kami kagum, kini menjadi kampung yang diprioritaskan setara dengan
Kimaam padahal ketika pemilihan bupati lalu beliau kalah suara di sepanjang
masyarakat kali bian Muting. Ini yang kemudian mendasari bahwa sedikit
banyaknya film telah berhasil mempopulerkan Muting dimata pemerintah daerah
sendiri hingga akhirnya menjadi skala prioritas pembangunan.
Saya melihat ada sebuah perkembangan yang terjadi dari tahun ke tahun
semenjak dimulainya Muting menjadi sasaran eksploitasi dalam media film film
kami. Apalagi ketika mulai banyak berdatangan media luar yang kemudian ikut
tertarik datang ke Muting seperti acara Trans 7 MANCING MANIA, BERBURU, JEJAK
PETUALANG, FISH ON hingga yang terakhir adalah Tim dari TV One lewat acara
ENSIKLOTIVI yang mewawancarai kegiatan perfilman kami disana. Yang menarik dari
tim TV One adalah ketika mereka dikota Merauke mereka mengungkapkan
keinginannya untuk ingin ke Muting. Lalu saya bertanya pada mereka karena apa
kog tertarik ingin ke muting ? mereka menjawab gara gara nonton film Melody
Kota Rusa. Saya hanya tertawa dan berucap jujur bahwa Muting sebenarnya tidak
seindah seperti yang dilihat di film. Tapi saya juga tidak dapat memungkiri
bahwa kekuatan film memang sangat besar sekali sehingga Muting yang dulunya
terisolasi tidak dikenal, tidak ada apa apanya kini malah dicari cari orang
dari luar. Dulu mungkin orang dikota Merauke sendiri saja banyak yang tidak
tahu Muting dimana, tapi kini semuanya tahu Muting. Bahkan banyak orang merauke
sendiri yang penasaran ingin ke muting.
Wajah Muting saat ini, sejak tahun 2012 semakin sering diperhatikan
pemerintah, mulai dari masuknya jaringan Telkomsel hingga semua orang di muting
kini sudah bisa berkomunikasi lewat HP. Saya pun juga senang bisa telpon
telponan dengan orang tua saya disana, tidak lagi lewat surat seperti yang
selama ini kami lakukan.
Sebuah jalur tiang listrik juga terlihat sudah dipasang melintasi hutan
hingga ke daerah transmigrasi yang katanya adalah rencana listrik besar PLN
yang akan menyala siang dan malam 24 jam. Inilah yang selama ini kami tunggu
tunggu tidak lagi hidup dengan listrik dari jam 6 sore sampai jam 11 malam
lagi.
Dan yang paling membuat saya senang adalah jalanan antar merauke muting kini
sudah diaspal beton mulus, bahkan mobil mobil sekelas kijang pun sudah banyak
yang bisa masuk kemuting, dulu jangan harap kami bisa lihat kendaraan kayak
begitu di muting makanya kami sangat udik sekali jika lihat ada mobil bagus
masuk Muting waktu kecil. Masyarakat tidak lagi bergantung pada truk sebagai
kendaraan umum jika pergi kekota, kini sudah ada kendaraan angkot dalam kota
yang masuk ke Muting memuat mereka.
Dulu jembatan jembatan banyak yang putus sehingga mobil banyak yang membuat
jalan darurat masuk hutan, kini semua jembatan gorong gorong telah diganti
beton semua.
Kehidupan Muting mulai bergairah lagi. Bahkan ditahun 2012 lalu banyak
sekali investor asing yang berencana masuk membuka lahan perkebunan disana. Tak
heran jika masyarakat Muting baru baru ini dibagi uang ganti rugi tanah dari
perusahaan tersebut.
Di pertengahan antara Muting Merauke di mana lokasi itu kami tampilkan
diawal film Melody Kota Rusa, kini daerah itu dijadikan wisata pemancingan bagi
banyak bos bos yang datang dari kota Merauke. Sepanjang perjalanan saya baru
baru ini saja saya melihat lalu lalang kendaraan berbagai macam merk mahal
begitu ramai, tidak seperti beberapa tahun lalu kita hanya bisa melihat truk
saja didepan mata.
Sekolah kami yang dulunya jelek dengan papan kini mulai dari SD, SMP hingga
SMA sudah berdiri dengan bangunan beton megah. Semenjak dahulu film melody kota
rusa pertama di putar dikota merauke dengan antusias penonton memenuhi gedung
selama 3 hari sejak itu memang media lokal selalu mengangkatnya, bahkan
beberapa headline berita pemerintah sempat menuliskan bahwa melody kota rusa
menyoroti wajah kampung yang tertinggal. Mungkin itulah yang membuat Bupati
terpilih diperiode berikutnya memberikan lebih perhatiannya pada Muting
dibandingkan daerah lain sebab, secara tidak langsung Muting pembangunannya
selalu disoroti media sehingga jika Muting terpuruk maka akan terlihat pula
wajah Merauke yang jelek diluar sana apalagi filmnya sudah mulai disukai
diseluruh indonesia. Maka dengan membangun kampung Muting menjadi baik maka
akan terlihat wajah Merauke yang juga baik pembangunannya sebab berkali kali
kini Muting sudah di ekspose oleh media televisi nasional.
Saya bangga bisa terlibat dalam merekam jejak pembangunan tersebut melalui
film sebab di film film kamilah terlihat bagaimana sebuah perubahan dari
pembanguan sedikit demi sedikit terwujud hingga membentuk wajah Muting yang
lebih baik seperti sekarang ini.
Mungkin memang tidak secara langsung pengaruhnya tetapi sedikit banyaknya
saya yakin bahwa Melody Kota Rusa mempunyai pengaruh kuat akan sebuah
perjalanan perubahan yang terukir dikampung kami. Dan semua perubahan itu
terjadi hanya dalam rentang 3 tahun sejak beredarnya film Melody Kota Rusa
pertama hingga yang kedua ditahun 2012
Jakarta, 19 mei 2013
Irham acho bahtiar
0 comments:
Post a Comment