Monday, 5 November 2012

PAPUA SELATAN FILM COMMUNITY “Membangun lewat film “


 
Saya memutuskan untuk kembali menetap dikota kelahiran saya Merauke sejak tahun 2010 lalu adalah bukan tanpa sebab yang penting. Tetapi demi sebuah harapan demi kemajuan daerah yang telah membesarkan saya sejak kecil ini. Bagaimana tidak, betapa saya harus mengorbankan pekerjaan tetap saya  yang sudah mulai bagus disebuah PH (Production House) di Jakarta untuk kemudian memulai segalanya dari Nol dikota Merauke tanpa bantuan teman teman seprofesi di film. Saya harus mengorbankan penghasilan saya yang besar dikota jakarta untuk kemudian hidup tanpa penghasilan yang jelas di Merauke ?

Lalu semuanya juga tidak lepas dari kekecewaan saya atas kerjasama yang buruk dengan produser dari Jakarta beberapa waktu lalu ketika kami diajak memproduksi sebuah film Nasional yang akhirnya justru membuat saya kecewa. Ini semakin membakar semangat saya untuk berjuang sendiri dari ujung timur ini tanpa harus kecewa untuk kedua kalinya.

Kini semuanya harus dimulai BACK TO BASIC cita cita sedari dulu semenjak kecil. Membuat film di Papua bukanlah sebuah tujuan semata untuk urusan film. Tapi lebih dari itu ini adalah urusan membangun. Membangun lewat film. Sama seperti cita cita saya ketika ingin menjadi sutradara dahulu, yakni ingin memberikan lapangan kerja untuk orang lain.

Tentu saja menurut kaca mata saya yang lahir dan tinggal menetap di Papua, mempromosikan Papua lewat film bukan semata mata hanya itu yang kami cari pada intinya. Sudah sederet nama nama besar yang telah datang ke Papua dan mengangkat Papua dan mempromosikannya keluar lewat karya maupun film film mereka. Tetapi tentu saja itu bisa disebut sebatas meminjam tempat dan pemerannya saja. Para kru didatangkan dari Jakarta, lalu mereka menggarap filmnya selama kurang lebih satu bulan lalu kemudian kembali lagi ke Jakarta menyelesaikan dan memasarkan dengan kata lain filmnya dibuat oleh production house dari luar lalu ke Papua untuk memproduksinya kemudian kembali ke Jakarta untuk menjualnya disana, lalu apa bedanya dengan beberapa film dokumenter asing seperti dari BBC yang datang membuat film di Papua dan setelah itu menghilang setelah filmnya jadi ? Perputaran uang lari keluar bukan kedalam sebab hasil penjualan film itu akan masuk kekantong orang yang tinggal diluar. Lihat saja ada berapa banyak proyek pemerintah berdana besar di Papua yang dikerjakan orang dari luar dan uangnya lari semua ke luar tidak berputar di Papua. Ini karena minimnya kepercayaan pejabat pejabat atau pengusaha di Papua terhadap anak anak lokal sini. Mereka lebih percaya pada orang orang luar atau orang Jakarta daripada anak daerahnya sendiri. Pengalaman ketika pertama kali membuat film di Merauke saya harus memakai sebutan orang dari Jakarta jika ingin di terima oleh sponsor atau investor, mereka tidak ada yang percaya kalau disebut sutradaranya anak Merauke. Inilah juga yang menjadi curhatan hati pace pace dan mace mace disini sewaktu saya pertama kali kembali ke Muting (kampung kelahiran saya) setelah lulus dari Institut Kesenian Jakarta ditahun 2000 an lalu. Mereka berkata, selama ini banyak orang yang datang membuat film disini sampai sampai ada juga orang bule (orang barat) juga yang datang mereka ambil gambar kita, mereka bayar setelah itu kita dikasih uang yang banyak setelah itu mereka pergi. Mereka kira kita sudah senang dengan dikasih uang dan mereka pergi membawa film itu bahkan kita sendiri tidak pernah menontonnya sampai kapanpun. Perumpamaannya sepertinya mereka membeli kita. Lalu kapan masyarakat di Papua bisa menjadi pemainnya dan bukan hanya jadi penonton ? dalam arti kata ini diibaratkan tentang bagaimana membuat sebuah daerah masyarakatnya menjadi sebuah penghasil ( pengeksport) yang berkarya bukan pengimport alias diposisi konsumen terus atau hanya boneka. Jawaban saya untuk pace pace dan mace mace saat itu adalah : tunggu saja nanti film film saya tidak akan pernah keluar dari sini, mereka tetap akan ada dan kembali untuk kalian semua. Yang bikin kita sendiri dan yang main juga kita. Saya bukan bikin film disini untuk cari uang tapi untuk kembali ke kita semua, untuk menghibur kita semua disini bukan untuk dijual ditanah orang tapi akan berputar uangnya ditanah kita sendiri dan dilakukan oleh anak anak kita sendiri. Dan hal ini kemudian berhasil saya buktikan dalam film pertama saya disana berjudul Melody kota Rusa yang Launching, penayangan serta penjualannya dilakukan semuanya di Merauke hingga lama kelamaan tersebar dengan sendirinya keluar tanpa disebarkan.

Banyak anak anak Papua yang berhasil diluar sana tetapi sangat sedikit dari mereka yang mau kembali ke kampung halamannya untuk membangun daerahnya dari dalam. Mereka pasti lebih senang bekerja diluar karena posisinya mungin sudah bagus dan segala fasilitas ada. Tidak seperti di Papua yang segalanya sulit. Termasuk internet yang lambat.

Inilah kemudian yang mendasari hati saya untuk berani mengambil keputusan tegas bahwa saatnya saya kembali ke Merauke. Saya harus berusash payah tinggal dengan fasilitas sederhana tidak seperti di Jakarta. Saya akan bangun film dari kota ini. Saya akan impor film dari sini, bukan saya sendiri tetapi bersama seluruh anak anak Papua disini. Kita bersatu menjadi kota penghasil bukan lagi kota pengkonsumsi produk luar. Sebab banyak kesalahan yang selama ini dilakukan oleh orang orang yang datang kesini bahwa mereka hanya datang bekerja mengeruk uangnya saja namun tidak berusaha membangun masyarakatnya supaya bisa sama seperti mereka. Kita harus memberikan kesempatan, memberikan bekal yang baik agar suatu saat kedepan mereka akan bisa bersaing juga dengan anak anak lain di daerah lain yang sudah maju. Saya ingin bangga bukan karena ini film dari Papua tetapi saya ingin bangga karena ini yang bikinnya semuanya dari anak anak Papua dengan begitu berakhir sudah masa konsumtif kita selama ini terhadap karya karya luar sebab sekarang kita juga sudah bisa berkarya sendiri.

Sebelum menjadi sebuah komunitas, berkali kali dalam film film terdahulu saya selalu berupaya menyisipkan anak anak lokal untuk menjadi pekerja seninya. Dibawah bimbingan saya sendirian kini mereka ada beberapa diantaranya telah ikut bekerjasama dalam film Nasional sekalipun. Padahal anak anak ini sebelumnya tak punya sekolah atau keahlian apapun dibidang film. Selama ini dikota Merauke sendiri anak anak suku Marind tidak ada atau sangat jarang sekali kita temukan mereka di sebuah sanggar seni manapun, namun lewat film film kami seperti Meody Kota Rusa kami berhasil mengumpulkan bakat bakat asli dari suku Marind tersebut dan hingga kini mereka jadi populer di Papua juga.

Tentu saja inilah yang menjadi sebuah dilema besar bagi saya ketika beberapa dari film kami sulit untuk menacpai kesempurnaan tekhnisnya. ini terjadi disaat seluruh kru yang saya gunakan dalam film film selama ini digunakan langsung dari anak anak Papua sendiri. Saya bertahan untuk tidak menggunakan kru dari luar. Namun untuk beberapa kasus saya pun terpaksa harus mencoba mendatangkan kru seperti kameraman dan penata musik karena tekanan dari pihak bioskop yang selalu mengkritik kami kearah sinematografi dan scoring. Apa boleh buat sekali lagi kami emmang sangat terbatas karena tidak ada yang punya dasar sinematografi selain saya disini, tidak ada komunitas film apapun disini. Bahkan bioskop pun tak ada disini.   Dalam beberapa film kami bukan lagi menonjolkan pada isi film tetapi pada semangat pembuatannya.

Di tahun 2012 inilah kami berhasil mendirikan komunitas tersebut setelah selesai memproduksi film Melody Kota Rusa 2 dan membawanya bertemu dengan Direktur Perfilman Nasional Bapak Syamsul Lussa yang bersedia mendukung kami secara penuh, maka kami memutuskan mendirikan sebuah komunitas yang berdiri dibawah naungan Dinas Kebudayaan dan pariwisata Merauke dengan tujuan mengumpulkan bakat bakat seni film dan televisi di Papua Selatan untuk kemudian mereka akan dilatih sebagai penerus generasi yang sekarang. Meeka akan dilibatkan sebagai pemain, kru bahkan produser.

Dibawah naungan wadah PSF ini kami mulai melatih bukan saja pembuatan film tetapi juga bagaimana memproduseri, mendistribusikan bahkan menjualnya serta mencari sponsor utnuk sebuah film. Saya ingin kedepannya merekalah sendiri yang akan memproduksi dan menjual film filmnya tidak harus selalu dari sebuah produser besar. Dengan kata lain inilah cara berbisnis alternatif, tidak hanya kita mengenal jualan makanan atau baju, atau jadi pegawai, kita bisa juga berusaha dibidang hiburan. Dan hal ini sudah kami buktikan  langsung dalam film pertama komunitas ini yang juga diproduseri oleh anak anak ini sendiri. Mereka semua yang bekerja tanpa adanya dukungan dari produser besar, tanpa adanya suntikan dana dari investor. Tetapi semuanya belerja keras mencari sponsor hingga memasarkan film itu kegedung gedung seperti layaknya bioskop di kota kota besar. Hasilnya mereka sendiri yang rasakan, untungnya kita bagi bersama, jika gagal kita tanggung sama sama. Mereka lah yang menggaji kru kru lepas lainnya. Diantara Mereka sekarang bahkan sudah menjadi seorang produser bukan pekerja lagi. Kini mereka juga sedang dipersiapkan untuk membuka sebuah stasiun TV lokal sendiri dengan bantuan seorang investor dari kota Merauke sendiri.
Beberapa dari karya karya kami tidak semuanya berhasil secara keuangan meskipun penontonnya banyak tapi belum dapat menutupi biaya produksinya. Namun itulah sebuah resiko dalam mencapai sebuah harapan baru.

Film SPOK sendiri kembali membuktikan bahwa kami ingin daerah ini sebagai penghasilnya. Jika kelak akan diputar di Nasional itu cerita nomor dua. Yang penting film itu di hasilkan dari sini maka daerah inilah yang harus menyaksikannya pertama kali. Dengan begitu banyak sekali cita cita kami yang harus kami wujudkan dimasa depan. Jika kini kami mulai membalikkan sebuah perumpamaan tentang kita memproduksi film dan bukan menjadi penonton. Maka kedepannya dalam film film kami selalu ada perubahan image terutama bagaimana mengangkat masyarakat Papua menjadi tokoh utama dalam film sebagai protagonis. Tidak lagi menjadi antagonis atau selalu seram seperti dalam film film Indonesia selama ini.

Sebenarnya fenomena yang mengisnpirasi kami seperti ini sudah pernah terjadi ditahun 80 an dahulu dimana nama Papua pernah berjaya didunia seni melalui grup musik seperti Black Sweet dan Black Brothers yang kemudian dikenal secara Nasional. Uniknya dalam grup grup tersebut pula digawangi oleh berbagai unsur etnis didalamnyam sekalipun semuanya berasal dari Papua. Seperti ini pula kami sekarang, dari berbagai macam etnis orang tua yang berbeda beda, namun kami satu karena kami sama sama lahir disini dan sama sama ingin membangun tanah kelahiran kami.

Tahun ini pula dinas kebudayaan Merauke pun mencanangkan julukan baru untuk diletakkan di even even promo wisata bagi kota Merauke yakni “Merauke sebagai kota penghasil film” dan bukan tidak mungkin ditahun yang akan datang kami juga berencana akan membuat even PAPUA FILM FESTIVAL yang akan melombakan kompetisi film pendek dari seluruh Indonesia yang akan diadakan dikota Merauke termasuk anaka naka Merauke akan ikut setelah kami mengadakan workshop disekolah sekolah mengenai film pendek. Dan dengan begitu pula kami akan terus berkomitmen untuk setiap tahunnya terus menghasilkan film panjang dari kota ini.

Sekali lagi, film film dari kami bukan sekedar film sebagai sebuah ambisi dari kami tetapi lebih dari itu ada pembangunan besar dibalik ini semua. Pembangunan untuk masyarakat Papua yang kita cintai. Dan kini sedikit demi sedikit sudah mulai ada dampaknya bagi kota Merauke itu sendiri dan kedepannya bagi Papua pada umumnya.

Dan inilah susunan pengurus di PAPUA SELATAN FILM COMMUNITY untuk generasi pertama, semoga akan cepat lahir generasi kedua nanti

SUSUNAN KEPENGURUSAN
PAPUA SELATAN FILM COMMUNITY

PELINDUNG/PENASEHAT
DRS. DAUD HOLLENGER, MPD
DRS. AYUB PEDAI
ARNOLD SISHAM

KETUA UMUM
IRHAM ACHO BAHTIAR

KETUA II
MARTEN HARYANTO MAHUZE

WAKIL KETUA
NATO OHOIWUTUN

SEKERTARIS
TANIA SULENDORONG
MIKE SULENDORONG
OKTOW BOROTODING

BENDAHARA
MARIA TAN GEBZE

DIVISI MARKETING DAN PROMOSI
AKEW ( KOORDINATOR )
KAKA FRANKY WOHEL
PAULINA VIOLETTA SULENDORONG
HAMDAN

DIVISI SEKRETARIAT
KLEMENS AWI ( KOORDINATOR )
RICHARDUS WALAB KAIZE

DIVISI UMUM
MARSIANA TUKU
RIZKY FARIZAH

DIVISI PERLENGKAPAN
NATO KOPAROK
EGA NUGRAHA

1 comments:

sadanace said...

Blackjack Review and Slots Sites - JDH Hub
Blackjack is a traditional table game that has a very simple and fun game to be 화성 출장샵 learned 순천 출장샵 and enjoyed! 시흥 출장안마 But 영천 출장마사지 for players who don't have a blackjack 제주도 출장마사지 table,

Post a Comment

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Kakatua Kaskus | www.kakatua.web.id | Bloggerized by Irham Acho Bahtiar --- Izakod Bekai Izakod Kai | Satu Hati Satu Tujuan