Membuat sebuah film panjang apalagi film yang layak dikonsumsi orang banyak bahkan diputar di bioskop Nasional tentu membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Jangankan untuk sebuah film komersil, film independen pun setidaknya harus menelan biaya yang cukup besar. kalau untuk ukuran film Hollywood film film dengan budget dibawah $ 500.000 adalah film film yang disebut Low Budget. Film dengan budget murah yang kemudian bisa diakui dunia misalnya film El Mariachi karya Robert Rodriguez. Untuk ukuran film Indonesia sendiri belum bisa dipastikan berada diangka berapa ukuran Low nya sebab banyak sekali film film Indonesia sekarang di bioskop juga yang di buat dengan ukuran budget membuat sebuah FTV/Sinetron. Namun sekalipun sekecil kecilnya budget tersebut angka tersebut tetap berkisar pada level ratusan juta rupiah.
Banyak sekali semangat pembuat film di berbagai daerah yang penuh dengan ide ide segar dan baru namun sulit sekali untuk di wujudkan karena terkendala masalah dana. Begitu besar ambisi untuk membuat film jika tidak di bantu oleh pendanaan yang mantab maka sulit pula untuk mencapai hasil yang maksimal.
Tapi apakah modal uang adalah satu satunya syarat untuk membuat film ?
Kalau memang begitu sampai kapan kita akan terus menunggu dan menunggu, hingga kita akan terkubur mati bersama ide ide tersebut ?
Dan orang yang biasanya ditunggu untuk memberikan dana tersebut adalah pihak yang disebut dengan PRODUSER
Inilah yang menjadi awal kegelisahan kami ketika merintis film film pertama kami di Merauke.
Beberapa tahun ini sejak tahun 2009 kami membuat beberapa film dengan dukungan dana dari PH lokal Merauke Enterprice mulai dari film Melody Kota Rusa pertama hingga yang kedua di 2012 ini. Namun selepas perjalanan kami melakukan tour penayangan MKR 2 keliling Papua dan Jawa beberapa bulan lalu, kami akhirnya memutuskan untuk mendirikan sebuah komunitas film yang diberi nama Papua Selatan Film Community. Tujuan berdirinya komunitas ini adalah karena adanya keinginan untuk melakukan regenerasi terhadap SDM Perfilman didaerah ini. sehingga di masa yang akan datang kelak akan ada generasi baru anak anak Papua yang akan menggantikan posisi kami dalam menjaga eksistensi produksi film di bumi Anim Ha ini. Tentu proses ini membutuhkan banyak perjuangan mulai dari mencari bakat bakat baru, pencarian bibit pemain dan kru, pelatihan dan workshop film kesekolah sekolah hingga bekerjasama dengan pengusaha lokal untuk mendirikan stasiun Televisi Lokal kreatif yang akan memberdayakan SDM ada dalam wadah komunitas kami.
Saya hanya ingin perjuangan yang sudah saya rintis sejak awal suatu saat tidak berhenti karena harus bergantung kepada saya terus. Ilmu yang saya miliki dari bangku Institut Kesenian Jakarta ini harus saya turunkan pada anak anak asli di Merauke. Komitmen yang harus kami jaga adalah bisa menghasilkan minimal 1 buah film setiap tahunnya di kota Merauke. terlepas dari apakah film tersebut bisa diterima untuk diputar di bioskop Nasional atau tidak. Sebab film film produksi kami disini sebenarnya sudah mendapatkan pasar tersendiri di bagian Selatan Papua. Dibuktikan dengan beberapa pemutaran lokal di merauke selama ini selalu menghasilkan keuntungan bagi film film tersebut. Yang kami harapkan dari film film ini adalah sebuah produk historis yang akan dikenang hingga ribuan tahun yang akan datang. Serta dapat membangun daerah. Contohnya saja Distrik Muting yang selama 2 tahun ini terus mengalami perkembangan pesat mulai dari diperbaikinya jalan yang dulu hancur, masuknya sinyal HP, semuanya tidak lepas dari apa yang kami angkat dalam film Melody Kota Rusa sebelumya yang menggambarkan kehidupan warga Muting yang sulit dengan jalan yang rusak berat. Sedikitnya pengaruh film tersebut telah menggugah hati pemerintah untuk memperhatikan Muting dan membuka mereka dari keterisolasian selama ini.
Dibawah wadah Papua Selatan Film Community yang didirikan oleh saya sendiri Irham Acho Bahtiar bersama Marten Haryanto Mahuze Astrada saya sejak Melody kota Rusa pertama hingga saat ini, kemudian bergabunglah beberapa nama seperti Akew, Nato Ohoiwutun, Maria Tan Gebze, Klemens Awi, Nato Koparok, Tania Sulendorong hingga Kaka Franky Wohel seorang penyiar Radio Pro 2. Dengan terbentuknya komunitas ini otomatis maka visi misi dalam membuat film kami menjadi kembali pada idealisme semula yakni menjadikan film sebagai sebuah karya seni yang utuh yang bertujuan untuk membangun masyarakat dan citra daerah. Jika dahulu film film kami sebelumnya banyak di intervensi oleh keinginan para produser dan keuntungan bisnis maka kali ini kami bisa dengan bebas membuat film berdasarkan apa yang kami inginkan tanpa intervensi bermotif komersialisasi dari pihak produser yang lebih berorientasi pada bisnis daripada karya seni.
Lalu bagaimana cara kami sekarang bisa membuat film tanpa adanya Modal dari Produser ?
Dimulai dari apa yang ada pada kami saat ini, yang kami miliki hanya modal SEMANGAT. Semangat tinggi untuk bisa mewujudkan mimpi mimpi kami. Apalagi ini mimpi tentang membuat sebuah film yang akan dijual ketengah masyarakat bukan sebuah film pendek atau film yang tujuannya difestivalkan saja.
Maka dimulailah pengumpulan kru dan pemain yang semuanya itu didasari atas satu keinginan yang kuat dengan dilandasi semangat membuat film. ide yang kami dapatkan pun adalah sebuah gebrakan baru yang tentunya tidak biasa ditanah Papua ini yakni membuat sebuah film dengan tema Horror. sebab selama ini Papua hanya dikenal menghasilkan film film bertema pendidikan dan drama saja.
Ide inipun harus lebih di sederhanakan lagi dengan cara membuat kemasannya menjadi Horror disiang hari namun tetap unik, sebab kami tahu peralatan Lighting yang kami miliki masih belum memadai. termasuk mengurangi dialog verbal mengingat semua pemain yang digunakan adalah pemain lokal yang tentu saja kemampuan akting mereka masih sangat lemah.
Tanpa disangka keinginan ini mendapatkan respon dari berbagai pihak, hingga terkumpullah jajaran pemain lokal beserta kru yang bersedia bekerja keras saling bahu membahu membuat film tanpa mengharapkan dibayar sama sekali. Bahkan 3 minggu sebelum film di shoot, para pemain dan kru sudah bersedia dikarantiana di markas kami, sebuah rumah besar yang kami sewa sendri dari biaya sponsor film ini.
kami hanya berkomitmen bersama bahwa kelak jika film ini dapat menghasilkan secara bisnis maka kami akan membaginya pula secara adil untuk semua yang terlibat. Perjanjian itu hingga kini tetap terjaga dan dihormati oleh semua anggota komunitas ini.
Setelah semua semangat itu berhasil disatukan dalam sebuah wadah, tentunya hal itu saja tidaklah cukup untuk bisa membuat sebuah film. Sebab pembuatan sebuah film itu membutuhkan biaya akomodasi dan transportasi serta peralatan dalam mewujudkannya. Lagi lagi ini menjadi sebuah kendala besar namun tentu tidak terlalu menyulitkan bagi kami. Kami bertekad mulai mencari sponsor untuk mendapatkan biaya operasional syuting tersebut. Dimulai dari mencari pinjaman mobil. Ada beberapa pemain dan kru yang mempunyai mobil. Termasuk mobil orang tua saya pun harus dipinjam selama syuting. lalu peralatan syuting mulai dari kamera hingga aksesorisnya semua harus kami pinjam dari Merauke Enterprice, PH lokal yang selama ini membiayai film film kami sebelumnya, itupun dengan catatan akan dibayar uang sewa alat alatnya setelah film kami laku dijual. Sebenarnya kami berencana membeli semua peralatan syuting ini sendiri dari biaya sponsor yang kami dapat namun karena dianggap belum cukup dananya maka kami memutuskan untuk menyewa saja dahulu. Untungnya Pemilik Merauke Enterprice adalah adik saya sendiri sehingga dengan mudah semua peralatan muali dari dolly track hingga gensetnya bisa kami pakai dahulu tanpa harus mengeluarkan biaya sepeser pun. Apalagi sejak tahun lalu ketika membuat film melody Kota Rusa 2 kami telah mendapatkan bantuan sebuah Kamera Canon 7D beserta aksesorisnya dari bapak Bupati Merauke Drs. Romanus Mbaraka, MT.
Setelah biaya transportasi dan peralatan sudah berhasil dikendalikan tanpa harus mengeluarkan uang sama sekali, kini giliran uang untuk konsumsi memberi makan para krunya dan pemain dilapangan sekaligus uang bensin dan biaya membuat properti artistik. Selama 1 bulan kami mengedarkan Proposal film Spok ke berbagai perusahaan di kota Merauke. Marketing kami berupaya keluar masuk toko maupun perusahaan dengan membawa proposal. Uniknya sponsor pertama yang kami dapatkan adalah dari sebuah warung kecil yang menjual bakso dipinggir jalan yaitu Bakso MamaYoo. Ia memberikan uang sebesar RP. 500.000 yang bersifat sebagai sponsor partisipan semata atau seikhlasnya. Sekecil apapun uang yang kami dapat saat itu namun sangat kami hargai sebab saat itu tidak ada sepeserpun dana yang kami punya sementara film tinggal 2 minggu lagi di shoot.
Kami bisa bernafas lega ketika Dealer Yamaha Merauke memberikan respon terhadap proposal kami bahkan ketika kami dipanggil menghadap untuk meyakinkan bos mereka. justru bos mereka menambahkan 2 sponsor sekaligus lagi yakni Mie Sedaap dan Top Coffe karena kebetulan mereka adalah distributor Wings Food untuk Merauke. Saat itu mereka bersedia bergabung sebagai sponsor pendukung. Mereka tentu bersedia mensponsori kami sebab sebelumnya telah mengenal karya karya kami seperti Melody kota Rusa dan Epen Cupen yang fenomenal disana. Maka inilah modal awal pertama kami dari 3 sponsor produk nasional inilah kami mulai melakukan syuting dengan terjamin segala biayanya. Kami juga kemudian berhasil dibantu oleh sponsor film kami sebelumnya yakni produk air mineral kemasan AQLAA yang sebelumnya selalu mensponsori film Melody Kota Rusa 1 dan 2. AQLAA mengalami perkembangan pesat dalam penjualannya semenjak mensponsori film MKR. dalam 2 tahun saja kini AQLAA sudah menjadi besar dan dikenal sebagai produk nomor 1 di Merauke. Menurut pemiliknya saja mereka selalu sampai kehabisan stok karena tingginya pemesanan terhadap produk ini dengan omzet yang tersu naik setiap bulannya. Mungkin ini pula yang membuat Yamaha ingin mencoba menjadi sponsor kali ini. Produk Iklan lewat film dan Tv untuk wilayah Papua Selatan memang masih sangat efektif. Masyarakat lebih menyukai produk elektronik ini daripada mendengar ceramah atau membaca koran.
Sekalipun kami telah mendapatkan banyak uang dari pihak sponsor, namun ketika melakukan syuting, kami berusaha untuk menekan biaya dengan tidak boros. sebab kami sadar bahwa biaya akan lebih diperlukan pada saat penayangan film kelak.
Setelah film selesai disyuting kami kembali mendapatkan kejutan disaat kami berupaya mencari sponsor tambahan dengan cara memperlihatkan trailer film ini, Yamaha mendadak memutuskan untuk naik menjadi sponsor utama dengan menambahkan biaya lagi. selain intu Bank Papua juga untuk pertama kalinya merespon kami dengan bersedia menjadi Sponsor utama pula bersama Yamaha. Hal ini kemudian membuat pundi pundi kami terus bertambah dan layak untuk mengadakan pertunjukan dan promosi yang besar besaran untuk film ini.
Maka kamipun mulai mencari gedung yang paling bagus untuk pemutarannya. sekalipun harganya lebih mahal jauh dari harga gedung yang selama ini kami gunakan dalam film film sebelunnya. Namun kami bertekad memberikan pelayanan terbaik pada para penonton. jika dulu gedung panas tanpa AC itupun masih dipadati penonton, maka kali ini kami memakai gedung full AC dengan fasilitas yang memadai. seluruh penontonnya pun akan diberikan bingkisan dari Mie Sedaap dan Top Coffe seusai menonton nanti, serta doorprize untuk tiket nontonnya berhadiah Motor Yamaha Fino, HP Blackberry, TV dan banyak hadiah lainnya.
Jelang penyangan, kami harus membuat beberapa baliho dan brosur serta produk iklan lainnya, kami pun mencari sponsor perusahaan percetakan yang bisa mencetak semua kebutuhan iklan kami secara gratis. Kemudian ketika mendirikan baliho dan menjual tiket kami harusnya membayar pajak dan retribusi, namun dengan menggunakan dasar UU perfilman tahun 2009 yang menegaskan bahwa pemerintah daerah berwewenang untuk meringankan pajak atas film didaerah, maka kami pun menghadap Bapak Bupati untuk meminta pengampunan pajak sehingga semua baliho kami berdiri secara gratis dan semua tiket kami bisa dijual tanpa ada potongan sedikitpun ke Dispenda. Hal ini sudah kami lakukan sejak film melody Kota Rusa pertama tahun 2009 lalu dan hingga kini selalu begitu terus. Dengan begitu semangat menghasilkan karya didaerah ini terus muncul setiap tahunnya karena adanya dukungan dari pemda.
Dari semua perjuangan kami ini, satu yang kami renungi adalah bahwa sejak awal pembuatan film hingga pemutarannya, kami tidak mengeluarkan uang sepeser pun dari kantong pribadi kami untuk membiayai film ini. Semua uang adalah hasil dari pencarian sponsor yang kami lakukan tetapi itupun hanya bisa terwujud secara maksimal setelah kami berupaya mewujudkan film ini dulu dengan menunjukkan trailernya kepada mereka.
Karena itulah film ini menggunakan nama Papua Selatan Film Community sebagai produsernya. sebab dengan semangat semua anggotanya lah film ini bisa diwujudkan.
Tetapi yang menjadi unik adalah karena film ini dimainkan oleh 7 orang pemain utama dan di garap oleh 7 orang kru saja (termasuk ada beberapa pemain didalamnya) Menghabiskan biaya syuting (dari sponsor) total sebesar 7 Juta Rupiah saja. Selebihnya adalah modal SEMANGAT
percaya atau tidak tapi ini real dan bukan mimpi
Sebuah film besar ternyata bisa dibuat dengan hanya modal awal SEMANGAT
Semoga bisa menjadi penyemangat untuk para pembuat film di berbagai daerah...
Merauke, 16 September 2012
Sunday, 16 September 2012
MEMBUAT FILM HANYA DENGAN MODAL SEMANGAT
9/16/2012 12:49:00 pm
irham acho bahtiar
No comments
0 comments:
Post a Comment