Saturday, 28 May 2011

Kisah tentang Perjuangan besar di balik layar Lost in Papua beserta penyelesaian Kontroversinya


Apapun yang orang katakan tentang film ini dari baik atau buruknya, film ini tetaplah akan menjadi saksi sejarah pertama kalinya film yang dimulai idenya, digagas, dikerjakan, dimainkan serta di produseri langsung oleh anak anak dari Kota Rusa Merauke hingga ke skala Nasional. secara logika tidak akan mungkin anak anak Merauke yang mencetuskan ide film ini membuat film ini dengan tujuan buruk. tujuannya sebenarnya baik tetapi isi kepala orang yang berbedalah yang bisa menjadikan berbagai penafsiran negatif muncul, namun itu sah sah saja selama tidak saling melarang.

Film ini akhirnya bisa ditonton secara Nasional setelah melalui berbagai rintangan mulai semenjak pertama kalinya dimasa pra produksi hingga akan tayang dan sudah tayang sekalipun masih saja mengalami rintangan semenjak Mei 2010 hingga Maret 2011 ini. Tapi yang terpenting film ini telah hadir memperlihatkan segala yang berbeda dari papua selatan dan akan menjadi sejarah bagi boven digoel dan korowai yang selama ini tak pernah diangkat dan diperkenalkan. yang paling bahagia tentu adalah semua anak anak Merauke yang terlibat secara 60 & dalam kru film ini, serta seluruh pemain anak anak kampus UNIMMER Musamus dan anak anak muda Korowai yang bersekolah di asrama Korowai Merauke didukung oleh Pemda Merauke dan Boven Digoel.

ya tentu saja Film Bioskop kali ini tujuan intinya hanya sebagai langkah awal untuk pembuktian saja bahwa karya anak anak dari Merauke ini sebenarnya bisa juga menembus bioskop Nasional. Dulu sewaktu membuat Melody Kota Rusa kami merasa tertantang ketika ada yang mengatakan bahwa kami hanya bisa membuat karya lokal saja. Nah kini kami berhasil membuktikan itu bahwa buktinya kami bisa akhirnya memembus pasar Nasional. Setidaknya ini sebuah sejarah baru diperfilman Indonesia dimana sebuah film digagas dan di produksi dari sebuah daerah kecil yang bukan penghasil film selama ini dan dikerjakan pula oleh putra putri daerahnya hingga tayang berskala Nasional. semoga langkah kami diikuti oleh daerah daerah lain yang selama ini hanya bermain di lokal saja.
Untuk para penonton diluar Papua justru film ini akhirnya bisa membuka sebuah pola pandang baru dan wawasan dalam melihat Papua Selatan yang selama ini distreoype kan secara alam dan budaya dengan wilayah Papua lainnya. Itupun hanya bagi mereka yang mau membuka matanya secara jujur melihat perbedaan itu tanpa harus memaksakan untuk sok tahu dengan apa yang sebenarnya terjadi disana. Sebab kami inilah yang di Papua Selatan yang paling tahu apa yang terjadi disana, bukan orang orang dari luar Papua Selatan.

KISAH MUNCULNYA IDE FILM INI
Ketika menggarap Film melody Kota Rusa diakhir tahun 2009 lalu, saya sering berangan angan dengan teman teman saya disana terutama astrada (asisten sutradara) saya bernama Marten Harianto Mahuze (Anto) teman sejak kecil di Muting. Kapan kita bisa bikin film yang bisa masuk ke bioskop Nasional serta melibatkan artis artis Jakarta dan beberapa kru profesional ? kami ingin menunjukkan bahwa film tidak hanya bisa dimulai ide pembuatannya dari Jawa saja. kita didaerah yang katanya terbelakang ini harus mampu membuktikan bahwa kami bisa. namun untuk menarik perhatian orang luar itu susah sekali, kalau kita buat film yang temanya drama biasa berisi kebudayaan mana mau anak anak muda sekarang akan nonton kebioskop filmnya ? palingan hanya dipuji di festival saja tanpa ditonton generasi muda kita. kita harus mencari sebuah ramuan lain agar ada daya tarik orang ke bioskop melihat film kita ditengah jaman yang sukanya film film horor ini. karena itu kita akan coba membuat sebuah terobosan baru dalam hal cerita sekalipun itu agak sedikit tabu. Sampai akhirnya Anto berbicara tentang Urban Legend yang dikenal di masyarakat Boven Digoel sejak kami masih kecil. Yakni kisah tentang suku hilang hilang suku perempuan yang dikenal suka menculik laki laki untuk dijadikan bibit. Diluar dugaan Anto ternyata mengenal dekat cerita ini dan pernah mengalami sendiri beberapa kejadian unik ketika dia menjadi salah satu tim survey diperusahaan Korea di Boven Digoel beberapa tahun lalu. Maka mulailah pengalaman pengalaman itu dibagi secara detail, dan kami juga mulai menanyakan beberapa tokoh masyarakat tentang cerita tsb. Saat itu kami juga sadar bahwa cerita ini ditujukan hanya untuk penonton Dewasa saja. kebetulan sekali kisah suku perempuan ini banyak versinya. ada yang didaerah Papua tengah juga (mamberamo). namun dalam film ini kami memfokuskan pada urban legend versi Boven Digoel yang lebih dipercaya keberadaannya oleh masyarakat setempat daripada didaerah lain yang hanya berupa isu saja. Jadilah Anto kemudian mencetuskan idenya dan berharap itu dapat dihidupkan kelak.Ide ini kelak dikemudian hari sangat dibela keras oleh Anto selaku pencetusnya.

Suku hilang dalam Urban Legend masyarakat Boven Digoel :


dengan menempatkan mitos suku perempuan ini kedalam cerita film maka kita akan bisa membuat sebuah adegan peperangan tanpa harus menyudutkan salah satu suku diposisi yang jahat. sebelumnya kami bingung jika ingin membuat sebuah karakter suku yang jahat kami tidak boleh menggunakan sebuah suku yang benar benar ada karena ditakutkan bisa menyinggung mereka. karena itulah suku perempuan ini dirasa paling pas untuk menempati karakter suku jahat yang kelak akan diperangi dalam film oleh suku korowai tanpa ada suku yang akan tersinggung sebab suku ini hanya ada dalam legenda saja. lagipula suku perempuan ini bukanlah perwakilan dari orang Papua. mereka adalah suku misterius yang hingga kini tak diketahui keberadaannya.jadi dipastikanlah konsep film ini sebagai FIKSI DAN BUKAN DOKUMENTER dengan  begitu kita akan lebih bebas berimaginasi membuat ceritanya.

Harapan ini kemudian juga ikut di sampaikan oleh adik saya Iwan trilaksana selaku produser merauke Enterprice ketika memberikan sambutan pada saat Launching film Melody Kota Rusa didepan sejumlah pejabat Pemda Merauke awal 2010 lalu. Saat itu Iwan menjanjikan akan berupaya me loby Produser dari Jakarta untuk bisa bekerjasama secara dana untuk membuat sebuah film yang kapasitasnya bertaraf Nasional untuk semua Bioskop di Indonesia. Hal ini sebagai ambisi untuk membuktikan bahwa kami PH local dari Merauke pun mampu bisa membuat sebuah film yang tayang di bioskop seluruh Indonesia, hanya saja kita memang butuh dukungan dana dari produser lain di Jakarta.

Harapan itu ternyata terwujud dengan begitu cepat. Hanya berselang 3 bulan saja setelah pemutaran resmi Melody kota Rusa di Merauke, kami berhasil menjalin kerjasama dengan sebuah Production House baru di Jakarta Nayacom Mediatama. Kebetulan PH ini sebelumnya belum pernah membuat film layer lebar. Dan bersyukurnya, produsernya sangat tertarik ingin mengangkat film film bernuansa budaya dan kedaerahan seperti ini. Sebuah hal yang harusnya kita support ditengah kelangkaan produser produser yang berpikiran seperti ini. Jaman sekarang mana ada yang mau membiayai sebuah film didaerah karena biasanya film seperti ini pasti tidak akan untung. Untunglah kami berhasil meyakinkan bahwa di Merauke kami banyak diberikan kemudahan oleh Pemda sana serta kemudahan karena keluarga saya semuanya tinggal disana. Maka seluruh fasilitas yang dimiliki keluarga saya di merauke pun ikut dikerahkan untuk memfasilitasi film ini. Sebelumnya juga kami meminta Pemda Merauke dan Boven Digoel ikut mensupport dengan memberikan hotel Asmat secara gratis untuk kru kru kami serta beberapa pejabat Pemda seperti Pak Daud Holinger kepala dinas kebudayaan Merauke ikut bermain dalam film ini. Selain itu sebagian besar peran pendukung film ini adalah anak anak dari kampus MUSAMUS merauke.

Tiba ke saat meramu cerita, saya menginginkan sebuah sudut pandang yang sangat berbeda dalam cerita ini. Hal ini dikarenakan saya merasa jika itu dibuat dari sudut pandang saya yang anak kelahiran sana tentu akan sangat kedaerahan seperti film Melody kota Rusa dan sulit diterima secara universal apalagi untuk orang Barat. Saya ingin film ini lebih nge pop bahkan kalau perlu dibuatkan sudut pandang dari orang Barat. Kita lihat saja sudah berapa banyak film yang mengangkat kebudayaan dan digarap dengan pendekatan film ART semuanya jeblok di pasaran. Sayang kan kita mengecewakan orang yang sudah mendanai kita, meskipun produsernya sebenarnya juga sudah tahu resikonya membuat film bernuansa daerah dan budaya yang tidak populer saat ini dibioskop kita. Dalam arti kata saya mencoba membuang semua idealisme saya dalam project ini. Karena itulah saya lalu meminta pihak Nayacom mencarikan penulis skenarionya. Maka merekapun memasang Ace Arca dan Augit Prima yang kemudian kami berikan poin poin tentang urban legend serta suku korowai. Mereka lalu menuliskannya secara sangat komersial tanpa ada unsur idealisme didalamnya. Dibalik semuanya itu yang saya tekankan pada penulis hanya satu, berikan sudut pandang hanya kesatu tokoh saja yaitu tokoh Nadia, jangan yang lainnya ! dengan begitu film ini akan dilihat secara subyektif dari sudut pandang Nadia saja yang bisa mewakili penonton yang suka padanya tetapi bisa juga tidak mewakili jika penonton tidak sepaham dengan Nadia. Intinya film ini harus dibuat DARI SUDUT PANDANG ORANG LUAR bukan dari dalam seperti film film saya sebelumnya, sebuah eksperimen yang termasuk berani bagi saya yang selama ini selalu membuat film di papua dari sudut pandang orang Papua.

Tokoh Nadia kemudian digambarkan mewakili otak wisatawan asing yang selama ini memandang salah tentang Papua. Karena itu pula saya memberi batasan secara halus antara karakter Nadia dengan tokoh tokoh yang ada di Papua, dan memilih untuk tidak menyatukan mereka secara sosial dan budaya seperti yang selama ini saya buat dalam film film terdahulu saya disana. mereka hanya akan disuguhi keindahan budaya didepan matanya saja.
Karena itu jangan heran pula jika ada adegan diskotik, swalayan dan keramaian dfilm ini itu semata mata untuk membuktikan bahwa disana itu semua fasilitas seperti dikota besar juga sudah ada. tujuannya adalah untuk menarik wisatawan. intinya seluruh ikon yang disukai wisatawan akan digambarkan sebatas gambaran semata dan tidak perlu dilibatkan secara emosional. itulah rancangan awalnya. sebab jika ingin merasakannya nuansa aslinya silahkan berkunjung langsung kesana, saya tidak ingin membuat penotnon puas hanya dgn menontonnya saja. itulah alasan mengapa saya membatasi interaksi penonton dengan adegan dalam film ini. film ini hanyalah sebatas menggambarkan saja secara visual apa adanya.

tidak heran jika kemudian ada saja komentar negatif yang menuduh film ini dibuat oleh orang luar. sebab sudut pandang ceritanya dibuat dari pandangan orang luar. padahal sebenarnya semua idenya serta eksekusi penggarapannya dilakukan oleh anak anak Merauke sendiri tanpa ada campur tangan pihak luar. Pihak Nayacom Mediatama hanya membantu biaya produksinya saja bersama sama Merauke Enterprice. jadi isi film dibebaskan ke anak anak Merauke sendiri yang merancangnya sesuka mereka. inilah yang patut diapresiasi dimana biasanya produser itu mencampuri unsur kreatif sebuah film tetapi dalam film ini produser hanya sebagai investor saja sementara proses kreatif diserahkan sepenuhnya kepada kru anak anak Merauke sendiri yang bebas merancangnya bekerjasama dengan PEMDA. Bukankah ini akhirnya menjadikan sesuatu perpaduan yang unik ? dimana seluruh cerita dibuat dari sudut pandang orang luar yang tidak mengenal Papua namun di eksekusi oleh anak anak dari Papua yang semuanya lahir disana dan mengenal lebih dekat tanahnya sendiri dibandingkan orang luar. Tidak heran jika akan dijumpai beberapa adegan yang terasa dekat namun tak jarang juga ada adegan yang mempunyai jarak jika dilihat dari sudut pandang tokoh utamanya di film. memang itulah Impact yang telah dirancang sejak awal.

Keunikan sebuah eksperimen dimana pembuat cerita menuliskan dari sudut pandang luar yang sebelumnya tak mengenal Boven Digoel sedangkan yang menggarapnya adalah anak anak dari Merauke sendiri yang sangat mengenal Boven Digoel. perpaduan itu yang kami bentuk menjadi satu pola baru dalam bertutur yang mungkin akan mengganggu bagi beberapa penonton yang tidak terbiasa.

Untuk suku korowai sendiri, kami akhirnya mendapatkan ijin untuk tidak syuting di kampung aslinya yang notabene sangat jauh ditempuh. Karena itu kami pun diijinkan membangun set serta memodifikasi kostum mereka karena jika secara asli ditampilkan kami takut akan ditolak pihak televisi karena suku korowai aslinya itu tidak memakai apa apa dibadannya sama sekali bahkan koteka sekalipun. kami juga akhirnya membangun set perkampungan korowai yang rumahnya tidak sama secara persis namun setidaknya memberi gambaran bahwa seperti itulah kehidupan mereka yang hidup diatas pohon. departemen artistik kami mencoba menerjemahkan set kampung korowai berdasarkan hasil rekaman video amatir kunjungan kunjungan ke kampung korowai asli. begitupula para pemainnya tidak semua menggunakan orang korowai asli, sebagian besar mereka adalah anak mahasiswa UNIMMER MUSAMUS Merauke. namun hal ini sebelumnya sudah melalui ijin dengan tokoh adat Korowai di Boven Digoel.

meskipun kami telah mencoba tidak idealis tapi tidak dapat dipungkiri tetap terasa aroma idealis itu juga akhirnya, saya justru heran jika ada yang berpikiran bahwa film ini dibuat dengan orientasi bisnis atau hanya memikirkan keuntungan semata. menurut saya justru film ini terlalu kelewat idealis bahkan terkesan sedikit experimen. logikanya jika kita ingin mendapatkan keuntungan semata, mengapa kita tidak mencontoh saja film film yang telah sukses dipasaran sebelumnya dan dibuat didaerah seperti Laskar pelangi atau Denias ? tapi lantas mengapa kita malah mencoba membelokkan gaya film dan tema dari film film yg pernah sukses tsb ? ya itulah yg saya sebut idealis tadi. ingin memberikan sesuatu yang beda sekalipun resikonya ya belum tentu sukses dipasaran belum lagi resiko film ini akan lolos sensor apa tidak, temanya kan cukup berani sekali. kalau memang hanya mau mendapatkan keuntungan semata mendingan kita buat yg sudah pasti dipuja puji atau laku saja terbukti kayak denias dan laskar pelangi. jadi sekali lagi SALAH BESAR bagi yang menuduh film ini dibuat dengan memikirkan keuntungan semata. Yang pasti sangat tidak mudah membuat film seperti ini jika bukan dari anak anak Papua sendiri yang melakukannya.

MASA PRA DAN PRODUKSI

dalam masa pra produksinya di awal awal kami sempat mengalami banyak hambatan, yang mengakibatkan banyak uang yang terkuras sia sia begitu saja keluar tanpa bisa dipertanggung jawabkan. hal ini juga mengakibatkan terjadinya pergantian Pimpro sebanyak 2 kali dengan kasus yang hampir sama. di kasus yang kedua malahan film sempat akan dihentikan. saya sempat menarik idenya kembali dan semua kegiatan kantor dibekukan. setelah situasinya kondusif barulah produser kembali menghubungi saya untuk meminta meneruskan proyek yang sempat dibekukan tersebut.

setelah itu segala proses hingga syuting dijakarta berjalan lancar dan tanpa kendala lagi. Kami berhasil syuting beberapa adegan di Jakarta meskipun dengan sangat tertatih dikarenakan banyaknya tim yang masih beradaptasi untuk menjadi satu.

kendala besar mulai datang lagi ketika tim sudah berada di Merauke. tidak disangka sangka, peralatan syuting kami tertahan sampai 4 hari di Makassar. alasannya pada saat itu pesawat semua di prioritaskan memuat bahan bantaun buat korban gempa wasior. Produser serta artis jadi stress. bagaimana tidak, artis hanya punya waktu 20 hari tidak bisa ditambah sementara produser jelas tekor karena bayaran alat tetap terhitung rugi selama 5 hari itu tanpa digunakan sama sekali ! hampir saja film dibatalkan produksinya pada saat itu. Fanny Fabriana pemain utama film ini terpaksa nganggur di Merauke selama 4 hari, tentu saja sebuah kerugian besar karena waktunya sudah tersita.
hal itu kemudian memicu perpecahan dikalangan kru terutama kru jakarta dan kru yang dari merauke. saling berprasangka buruk pun datang. ketegangan ini mengakibatkan mulai kocar kacirnya persiapan produksi.

akhirnya ketika alat syuting tiba juga, kami pun bisa mengadakan syuting dalam keadaan schedule yang berantakan dan mundur 5 hari dari jadwal. astrada harus memutar otak untuk mereschedule lagi jadwal artis yang sangat mepet dan sudah di deadline tanpa bisa diulur. selain itu masalah demi masalah kembali berdatangan, disaat kru dari jakarta ada sebagian bermasalah dengan beberapa kru dari merauke.
kendala kendala itu banyak berdampak pada penata kostum, penata artistik serta astrada sendiri dalam menentukan pemain asli Papua. Yang paling dirugikan dalam hal ini adalah departemen artistick yang tak bisa menyelesaikan target pembangunan set begitupula kostum yang sangat berantakan karena harus dipesan dari warga lokal.
Saling provokasi mulai muncul, apalagi film ini memadukan antara kru local merauke dengan kru inti dari Jakarta yang berjumlah kurang lebih 10 orang. Terjadilah kubu kubuan. Kru local punya kubu sendiri begitupula kru Jakarta. Saya sendiri berada ditengah tengah dan berupaya mendamaikan mereka, dan hasilnya terbukti sebab dengan begitu syuting tetap bisa jalan meski dalam hati mereka tetap tak ada yang tahu.

ya dalam hal pemain memang sebelumnya Merauke Enterprice sudah mengadakan casting yang memilih ratusan orang untuk ikut bermain. diluar dugaan ternyata terjadi masalah lagi ketika menjelang hari H. beberapa pemain mengancam mundur jika honor mereka tidak dibayar sesuai permintaan mereka. itulah yang kembali membuat produser pusing. bagaimana tidak, sebelumnya kami menstandarisasi pembayaran honor figuran maupun peran pembantu seperti layaknya bayaran pemain di jakarta. namun apa daya ketika semuanya sudah siap, para pemain justru meminta bayaran yang sesuai permintaan mereka dan bukan seusai standart. misalnya saja jika dijakarta biasanya figuran yang lewat dibackground akan dibayar 50 rb sampai 75 rb sehari maka disini mereka meminta untuk dibayar 1 juta sampai 1 setengah juta sekali main.
negosiasi pun berlangsung alot. masalahnya film ini melibatkan ratusan figuran. dengan harga figuran seperti itu tentu produser akan sangat keberatan. akhirnya negosiasi pun berhenti pada titik win win solution yang tetap membela para pemain. mereka hanya diturunkan setengah dari harga tawar mereka. itupun menyebabkan ada beberapa pemain yg bagus terpaksa mundur dan diganti secara mendadak.
ya itulah pengalaman bahwa jangan pernah menyamakan jakarta dengan Papua. disana harga barang memang tinggi makanya tidak heran harga pemain pun beda. makanya jangan heran semua produser takut bikin film di papua selatan karena biaya hidupnya tinggi. Saya sangat salut dengan Produser yang akhirnya memutuskan tetap meneruskan film sekalipun biaya mulai membengkak seiring kenyataan biaya hidup yang tinggi disana. Sebuah keputusan yang tidak akan mungkin bisa dilakukan banyak produser produser sekarang yang hanya ingin keuntungan semata.

banyak masalah terus berlanjut disaat kami syuting dalam hutan, para kru jakarta merasa tidak cocok dengan makanan apa adanya karena posisi kita ditengah hutan terkadang hanya makan mie instant saja. Untuk tidur pun selama syuting dihutan, kami mendapat tempat di Balai desa, dimana semua kru dan pemain harus tidur dilantai beralaskan karpet. Termasuk saya pun begitu. Hanya kedua artis Jakarta saja yang kita pulangkan ke hotel setiap hari yang jaraknya cukup jauh dikota. Jadinya waktu tidur Fanny dan Fauzi hanya dijalan sebab ketika sampai dihotel sudah subuh dan paginya mereka harus berangkat balik kembali kelokasi syuting. Jalanan menuju kampung Yanggandur tempat kami syuting pun saat itu sangat buruk karena sedang diperbaiki, tak jarang mobil tertanam Lumpur atau nyelip masuk ke pinggiran. ditambah lagi banyak kru yang stress ingin balik kejakarta setelah sempat diserang isu terkena suanggi akibat salah menginjak patok halaman orang. fanny pun sempat terkena gatal gatal dan merah merah disekujur tubuh bersama kru lainnya. untunglah setelah itu kami meminta diupacarai adat agar semuanya terhindar dari musibah. ketua adat kampung yanggandur pun mengadakan acara adat penyambutan.
namun kondisi beberapa kru jakarta yang stress dan semakin membuat perpecahan dengan kru merauke makin memperburuk kinerja dilapangan. apalagi beberapa kru termasuk fanny pun terserang malaria yang sempat menghambat proses syuting lagi.

beginilah kondisi dibalai desa tempat semua kru dan pemain menginap berhari hari, tidak ada yang diistimewakan, semua sama rata tidur dilantai dan makan apa adanya.

sebagai sutradara saya akui semenjak kejadian demi kejadian yang membuat pencapaian artistik, kostum serta kamera menjadi lemah sejak saat itu saya hanya fokus pada pengarahan 2 pemain utamanya saja. Fanny pun tak jarang mengeluh sudah capek. saya fokuskan diri saya untuk mengontrol emosi dan akting Fanny serta Fauzi. sebab itulah kekuatan satu satunya yang bisa saya harapkan disaat tidak bisa berharap dari yang lainnya. syukurlah setelah melalui proses editing akting keduanya sesuai harapan. bahkan saya sangat kagum dengan Fauzi yang berhasil memainkan perannya sesuai dengan yang saya inginkan. kalau ada yang menyangka fauzi tidak berakting berarti mungkin dia telah teritpu dengan akting antagonis ala fauzi yang dibangun tidak mudah. kadang sebelum berakting, fauzi butuh waktu bahkan bisa selama 1 jam untuk menyendiri dan membangun emosi karakternya agar tetap konsisten, dia juga meminta ke saya agar selalu mengontrol karakternya agar jangan berubah sedikitpun. hasil itu tidaklah sia sia ketika penonton yang melihat kemunculannya menjadi selalu terganggu bahkan benci ketika dia muncul memang itu tujuannya dan sangat konsisten. kami memang bertujuan membuat sebal penonton dan membuat semua terganggu dengan karakternya yang bajingan. Jika penonton kesal dengan aktingnya maka itulah yang kami harapkan.

saya hanya sedikit menyesal karena tidak sempat mengontrol akting para pemain asal papua. semuanya saya serahkan pada astrada saya. terutama untuk karakter Merry yang menjadi sahabat Nadia saya benar benar lost control ke dia makanya saya sangat tidak heran jika karakternya akhirnya tidak berhasil membuat film hidup dan malah menjadikan beberapa scene jadi hambar.

rintangan alam pun jadi bagian yang menghiasi film ini, kendati sudah dilindungi oleh pawang hujan setempat, namun hujan deras tetap menghantam kami setiap hari. bahkan ada beberapa hari yang kami hanya sempat mengambil 1 shot kemudian hanya berteduh seharian.
inilah yang kemudian membuat astrada saya panik sebab schedule artis tetap tidak bisa diperpanjang apapun alasannya. kami terpaksa mengambil beberapa adegan dengan sangat terburu buru seperti layaknya sinetron stripping. apa boleh buat daripada tidak terambil sama sekali. bahkan ketika fanny tinggal sejam lagi akan berangkat pun kami masih mengadakan syuting dengan terburu buru.
saya kemudian sempat curhat pada Fauzi bahwa tentu film ini tidak akan terlalu maksimal secara tekhnis mengingat waktu yang sangat terbatas. bayangkan saja ketika orang hollywood membuat sebuah film tentu satu adegan saja membutuhkan waktu lama. misalnya saja film merantau yang membuat adegan ending di container saja selama 10 hari lebih. Nah kita sekarang dipaksa membuat beberapa scene dalam waktu satu hari !
jadi jangan pernah membandingkan film ini kelak dengan film film itu begitu kata saya. Saya juga sempat mengemukakan beberapa gagasan saya tentang eksplorasi kamera dan angle angle yang rumit namun maustahil bisa kita wujudkan dalam waktu yang sempit itu. Terkecuali jika Fauzi dan Fanny tidak membatasi waktu meerka di Merauke. Dengan alas an itulah Fauzi sempat menunda kepulangannya sehari dari jadwal baliknya karena ingin membuat yang terbaik diadegannya serta tidak terburu buru. Alhasil adegan ketika david memukul Eby diperkampungan Korowai serta menembak itupun diulang menjadi lebih maksimal keesokan harinya sebab sebelumnya kami membuatnya dengan tergesa gesa hingga matahari telah terbenam.

akhirnya setelah dihitung hitung TOTAL EFEKTIF SYUTING DI PAPUA HANYA 15 HARI
sebuah waktu yang tidak akan mungkin siapapun mengulangnya dengan hasil yang lebih baik. Dengan segala pengalaman yang kami alami pun semakin membuktikan kata kata beberapa orang di Papua selatan yang mengatakan bahwa banyak Produser/Sutardara film tidak ada yang berani ke Papua Selatan karena medannya terlalu berat dan biaya hidup terlalu tinggi. dan kamilah yang pertama bisa menaklukkannya walau dengan penuh perjuangan.

Ada beberapa lokasi bagus yang telah kami survey terpaksa tidak bisa didatangani kembali karena medannya sangat berat dan jika menghitung hari kami sudah tak punya waktu lagi untuk menahan Fanny. Jadilah kami melakukan syuting diseputar daerah itu saja.

banyak pula adegan yang diharapkan bisa membuat cinematografi bagus terpaksa hanya impian. kendala kru banyak yang stress, dan 3 orang terserang malaria parah. membuat pengawal lensa memutuskan pulang kejakarta dgn alasan ada job baru dan tak mau meneruskan syuting meskipun diimbali uang berapapun. terpaksalah kami melanjutkan syuting tanpa lensa film yang mengakibatkan berdampak pada hasil gambar landscape pemandangan yang tidak indah lagi terlihat.
sebab jika mau memesan lagi dan menunggu lensa yang baru kita akan kehilangan deadline artis fanny fabriana yang juga sudah harus ada syuting dijakarta.
helicopter yang sedianya juga akan digunakan untuk mengambil gambar perjalanan mobil menuju boven digoel supaya terlihat seperti sebuah iklan rokok, mendadak tidak bisa sama sekali yang bisa dipakai.
semua helicopter saat itu tidak ada yang stand by di merauke. jika harus mendatangkannya maka harus dipanggil dari makassar dengan biaya yang mencapai milyaran. Beberapa adegan mobil melintas menuju boven digoel yang diambil seperti off road ala iklan rokok itupun banyak yang tidka terpakai di meja editing dikarenakan kaca jendela mobil yang terlihat tidak adanya pemain Fanny didalamnya. Ya kami memang mengambil adegan itu tanpa adanya Fanny yang menyatakan tidak sanggup melewati jalan darat Boven Digoel yang disebut sebut sebagai nenek moyangnya Off Road.


beginilah kondisi kami diperjalanan antara Merauke Boven Digoel, kami sempat kehausan, kelaparan karena salah memperkirakan akan tiba di warung makan sebuah desa akibat tertahan lumpur seharian. Yang duudk diatap mobil itu Pak kameramennya.

dan yang paling GILA nya, terpaksa saya ceritakan disini adalah, ketika akan melanjutkan syuting ke boven digoel, mendadak semua kru tidak mau ikut. mereka ketakutan mendengar cerita betapa menderitanya perjalanan darat ke boven digoel. terpaksalah saya hanya meminta kameramen yang setia serta sound recorder tapi itupun yang dikasih hanya asistennya yg selama ini memegang boomer, sang penata suara sendiri memilih pulang ke jakarta. medan menuju boven digoel memang terbilang luar biasa sulitnya. kata orang ini nenek moyangnya off road jalanannya. dan semua bisa terlihat dalam film ini seperti apa penggambaran medan jalanan itu.

kami melakukan syuting di boven digoel beserta perjalannya hanya dengan 3 orang kru saja. saya, kameramen, penata suara sekaligus merangkap boomer (recordernya digantung dilehernya). itupun kami sempat tertahan sampai 5 hari gara gara menunggu pesawat yang jadwalnya dibatalkan terus akibat cuaca sehingga kami terpaksa lewat jalan darat dgn penuh penderitaan sama seperti yang diceritakan dalam filmnya. Ada sekitar semingguan kami tertahan di Boven Digoel sebelum memutuskan pulang lewat darat.

cukup hanya dengan foto diatas inilah yang bisa menggambarkan apa yang kami rasakan saat itu dilapangan. perhatikan bagaimana dengan hanya 3 kru inti dan dibantu teman teman dari boven digoel yg megang kabel serta pemain kami ikut jadi pencatat Script semua tetap harus berjalan seperti biasa.

rintangan terus berlanjut ketika film dimeja editing, dibidang promosi juga
mengalami masalah sampai harus mengganti orang juga. hingga ketika akan dicetak di Thailand pun masih ada saja rintangan tekhnis dibagian gambar yang harus dilewati dan susah payah mencarikan solusinya yang mengakibatkan film terpaksa kami rubah ke warna klasik kemerah merahan atau ada yg bilang kayak film warkop.

sound pun mengalami kendala besar ketika ada beberapa card sound yang dipegang oleh pimpro yang lama namun dihilangkan entah kenapa. jadilah departemen sound editing berupaya menghadirkan beberapa scene dengan sound asli tanpa sound cardnya. bahkan ada beberapa adegan terpaksa di dubbing.

musik pun mengalami kendala besar ketika terjadi kesalah pahaman dengan pemusik yang mengakibatkan musik baru dikerjakan seminggu sebelum dicetak.

yang paling membuat syok lagi ketika kami sudah lega setelah film jadi dan siap tayang, ternyata masih saja terjadi rintangan di LSF. lembaga sensor menahan surat ijin tayang filmnya sehingga launching yang rencananya akan diadakan untuk wartawan pagi 8 maret terpaksa ditunda. wajarlah kalau fanny jadi menangis waktu itu mengingat perjuangan yang berat penuh rintangan hingga penayangan ini. Terkadang ada yang mengira ini adalah trik marketing untuk membuat film laris tapi sejujurnya saya sendiri sangat tidak menyukai trik seperti ini, bahkan kami sempat bercanda begini : selama ini banyak produser yang merekayasa kontroversi supaya filmnya laku dan diberitakan, tapi mengapa kami yang tidak suka kontroversi dan berniat tanpa trik sama sekali malah diberikan kejadian seperti ini ? apakah ini sebuah keuntungan secara spontan buat film kita tanpa kita buat buat ?

sempat sangat kesal sekali dengan sikap LSF tsb, setelah akhirnya LSF mengeluarkan juga surat itu setelah diberi jaminan oleh Plh. Bupati Boven Digoel, ternyata rintangan tidak berhenti sampai disitu.film Lost in Papua masih saja di buat pro dan kontra oleh pihak pihak yang mempolitisasi adegan adegan film ini.

KONTROVERSI DAN PENYELESAIANNYA

Beberapa hari setelah penayangan LMA (Lembaga Masyarakat Adat) Provinsi Papua yang dipimpin oleh kaka Lennys Kogoya memanggil kami untuk mengklarifikasi sebuah berita dikoran Pos Kota yang saat itu terbit dengan memasang headline besar : misteri manusia Kanibal di Papua. Mereka menyangka kalau film itu berjudul seperti itu. Saya pun bertemu dengan Ketua LMA dan menjelaskan semuanya bahwa justru film ini bertujuan sebaliknya yakni menyelamatkan suku korowai dari tuduhan Kanibalisme seperti yg selama ini dituduhkan orang Barat. dan judulnya tidak ada kata Kanibal, judulnya Lost in Papua. entah kenapa banyak media yang senang menjadikan headline kata Kanibal sehingga disangka itu sebagai judul filmnya. saya sendiri juga sangta kaget ketika membaca beberapa headline berita dikoran maupun media online yang terkesan terlalu bombastis dan bisa disalah pahami. Tujuannya sih saya mengerti mungkin untuk membuat pembacanya tertarik. tapi saya sendiri sebenarnya tidak terlalu suka cara mempromosikan sebuah karya dengan seperti itu. lihat saja di trailer film kami, kita tidak memasukkan unsur unsur adegan bombastis tersebut. Disitulah kami lalu berunding agar tidak terjadi lagi kesalah pahaman dalam menafsirkan isi film ini. Memang ada beberapa media yang membuat orang yang membacanya jadi salah paham. Tapi itulah media headlinenya kan untuk menarik pembaca, baru kemudian isinya menjelaskan. Pos Kota sendiri beberapa hari kemudian telah mengeluarkan klarifikasinya dikorannya.

Dan kami pun sepakat untuk menghindari generalisasi pemahaman itu maka saya membuat bebrapa point dalam bentuk tertulis berdasarkan tatap muka dengan kaka kaka tersebut. Di antaranya akan ditambahkan kata Boven Digoel dibelakang judul Lost in Papua karena saya menyadari itulah satu satunya kekeliruan kami menggunakan kata Papua sehingga semua orang menyangka semua Papua seperti itu. kemudian Ketika dvd/vcd nya nanti beredar maka akan diadakan sejumlah pemotongan dibeberapa dialog dan adegan pula agar lebih layak dilihat semua umur. Saya sangat mengapresiasi para kaka kaka di LMA yang dengan sangat baik mau berdiskusi mencarikan solusi demi film ini agar tidak terjadi kesalahpahaman dikemudian hari, sebab mereka juga sangat mengapresiasi karya karya kami sebelumnya. untuk kaka Lenny Kogoya dan kawan kawan di LMA Provinsi Papua kami semua ucapkan terima kasih banyak.
saya lebih suka dengan cara berdiskusi seperti yang dilakukan kaka kaka LMA daripada cara mengamuk mengamuk tanpa mendengarkan duduk permasalahan yang jelas.Kita sesama anak anak Papua harus duduk sama sama jika ada kesalah pahaman jangan kita mudah terpecah belah dengan adu domba pihak pihak luar yang bisa memecah kebersamaan kita.
Saya lalu membawa hasil rapat saya bersama LMA ini kepada produser Nayacom dan meminta agar saya diberikan kesempatan merevisi hasil editing. Saya pun akhirnya menerapkan apa yang diinginkan kaka kaka dari LMA yakni

1. menambahkan tulisan diawal film : FILM INI DIANGKAT BERDASARKAN MITOS SUKU HILANG HILANG YANG HINGGA SEKARANG BELUM TERBUKTI KEBENARANNYA SEMUA KISAHNYA HANYALAH FIKSI

2. merubah judul filmnya menjadi : LOST IN PAPUA BOVEN DIGOEL (supaya tidak terjadi generalisir lagi)

3. memotong beberapa adegan yang memperlihatkan si tokoh rasis (meskipun ini hanya kisah fiksi)

4. memotong semua adegan yang sadis dan dewasa agar layak dilihat oleh anak anak

5. menambahkan tulisan di akhir film : KISAH INI HANYALAH FIKSI BELAKA DAN BUKAN DOKUMENTER, AMBILLAH POSITIFNYA DAN BUANGLAH NEGATIFNYA JANGAN DITIRU

dengan begitu editing akhir film ini sangatlah safety dan tidak perlu diperdebatkan lagi. Jika masih ada yang memperdebatkan sesuatu yang sudah di klaim fiksi sejak awalnya berarti keterlaluan sekali.

PERMASALAHAN ADA DUA VERSI DVD YANG BEREDAR DI PASARAN

Diluar dugaan saya, ketika mengeluarkan DVD film ini tanpa sepengetahuan saya pihak produser dari jakarta tiba tiba mengeluarkan editing versi pertama yang polos tanpa sensor dan tanpa keterangan yang sudah saya sepakati tadi dengan LMA. betapa marahnya saya ketika tahu itu. saya merasa saya telah di curangi oleh mereka. saya marah sekali sampai sampai akhirnya saya memutuskan untuk tidak mengakui film ini lagi dan keluar dari segala tanggung jawabnya, tanggung jawab kini saya serahkan kembali ke pemilik idenya Haryanto Mahuze silahkan bela ide kamu, kamu yang buat ide saya yang susah jadinya. saya merasa sudah membela habis habisan aspirasi masyarakat Papua tetapi kog pihak produser malah mengeluarkan versi editing lain dari yang sudah kita sepakati ? saya di khianati.....

saya bersama adik saya iwan kami lalu menelpon langsung pihak NAV yang mengeluarkan resmi DVD film ini, kami menekan mereka agar segera mencetak versi editing yang saya buat dan segera menarik kembali semua dvd yang terlanjur beredar dipasaran karena itu bukan versi editing yang saya inginkan.
untunglah pihak NAV bersedia menarik dvd yang salah cetak itu dan mereka lalu mencetak ulang versi editing yang disepakati dengan LMA. tapi apa daya, para pembajak DVD sudah beraksi, hingga saat ini jangan heran jika semua dvd bajakan lost in papua yang beredar adalah versi yang saya tidak restui saya. dan sampai kapanpun saya secara pribadi tidak mengikhlaskan versi itu yang beredar. jika ada yang mengomentari film ini saya harus bertanya dulu : anda nonton versi mana ? versi bajakan atau versi original ? kalau versi bajakan silahkan anda bicara sama pembajaknya sajalah. siapa suruh nonton bajakan. kalau nonton versi originalnya dijamin anda pasti akan mengerti karena disitu sudah ada penjelasannya.

untuk membedakan versi original dengan versi sangat mudah : DVD yang benar adalah yang berjudul LOST IN PAPUA BOVEN DIGOEL (tertulis di cover dvd dan dijudul awal film) dan diawal film ada logo pemda Merauke dan Boven Digoel sedangkan yang versi bajakan dan tidak saya restui hanya berjudul LOST IN PAPUA saja dan beredar dalam bentuk DVD bajakan secara polos dengan cover berbeda beda.

itulah makanya hingga hari ini saya memutuskan tidak akan pernah mengomentari lagi segala macam opini atau tanggapan mengenai film ini lagi. semuanya diserahkan langsung ke produsernya dan si pembuat idenya kembali yakni haryanto mahuze. saya sekarang sudah lepas tangan akibat dikecewakan oleh mereka semua. buat apa saya membela film ini tidak ada untungnya lagi buat saya malah hanya menguntungkan produsernya saja. saya sendiri sudah merasa kecewa dengan film ini sendiri dan kelak saya akan lebih hati hati memilih ide dari orang lain.saya hanya tidak ingin orang menjudge saya secara pribadi tetapi kalau bicara mengenai isinya ya itu hak mereka silahkan berdebat langsung dengan pencetus idenya yang saat ini berada di merauke.

Ada pula junalis yang sempat bertanya dan berpikiran negative kesaya akibat membaca beberapa tulisan di blog yang juga salah memahami maksud film ini. Namun semuanya saya coba jelaskan dengan baik dan beliau mengerti.

Tapi yang paling aneh bagi saya adalah tulisan yang mengatakan bahwa cerita suku perempuan di film ini melecehkan wanita Papua. Mengapa saya bilang aneh, karena berdasarkan pernyataan Budayawan di Merauke dan Boven Digoel sendiri justru urban legend ini muncul adalah karena ingin mengangkat posisi kaum wanita yang selama ini lemah posisinya secara adat disana. Kisah ini sebagai sebuah metafora yang melukiskan akibat dari menyepelekan kaum wanita bisa berbuntut bahaya untuk kaum lelaki sendiri.
Mengenai status mereka sendiri mereka tidak terdata sampai saat ini dan bukan berada diwilayah Papua, sehingga tidak bisa dikategorikan mewakili kaum wanita Papua hanya kebetulan saja pemain filmnya anak anak Papua. Tetapi ceritanya sendiri mungkin saja mewakili emansipasi wanita secara umum. Siapa yang bilang suku perempuan itu orang Papua ? Didalam film Lost in Papua tidak ada adegan yang merendahkan kaum wanita, yang ada malah merendahkan kaum Pria yang disiksa kaum wanita. Harusnya disebut pelecehan Pria kalau mau memandang film bukan lagi sebuah seni atau hiburan. Bahasa yang digunakan suku wanita dalam film pun tak ada bahasa Papua dengan begitu jelas indikasinya itu bukan wanita Papua. Kalau hanya mengindikasikan karena fisik saja, itu namanya rasis.

Tapi ya kembali lagi buat apa membahas secara serius, sesuatu yang hanya MITOS atau URBAN LEGEND ? sampai kapanpun mitos tetaplah mitos bukan kebenaran kenapa harus diperdebatkan ? di awal filmnya saja sudah di bilang kisah ini tak pernah terjadi di kenyataan lalu apa yang harus dipermasalahkan sebatas bicara Fiksi atau Khayalan ?
Apakah pernah ada penelitian yang ingin mencari tahu kebenaran tentang ayah Sangkuriang itu memang seekor anjing ? dan benarkah ia menikah dengan ibunya sendiri ? dan benarkan gunung tangkuban perahu asalnya dari sebuah perahu  secara ilmiah ? sepertinya hanya orang bodoh yang akan mempertanyakannya secara serius.

Biar bagaimanapun itu kan hanyalah sebuah mitos yang menghiasi kekayaan budaya disetiap daerah.
dan tentunya legenda semacam ini semakin hari semakin hilang sehingga jangan heran jika berkunjung ke Boven Digoel anda tak akan pernah bisa mendengar kisah ini dengan mudah kecuali jika anda bertanya atau mungkin anda terlahir dan besar diwilayah tersebut.

Mengenai sebuah legenda yang diangkat ke film namun kemudian populer :

PERNAH TAHU LEGENDA MONSTER NESSIE DI DANAU LOCH NESS SCOTLANDIA ? MONSTER BERUPA MITOS RAKYAT ITU TELAH BEBERAPA KALI DIFILMKAN DAN WALAU MENAKUTKAN KARENA MONSTERNYA DIGAMBARKAN SUKA MEMAKAN MANUSIA, NAMUN LOCH NESS SEMAKIN RAMAI DIKUNJUNGI WISATAWAN MANCANEGARA YANG PENASARAN DAN TERTARIK DENGAN LEGENDA TERSEBUT. DENGAN KATA LAIN LEGENDA MISTERI SEBUAH DAERAH SEBENARNYA BISA MENJADI PENARIK BAGI WISATAWAN


Selain kendala kendala diatas, sebenarnya ada juga banyak rasa sedih saya ketika melihat banyaknya orang luar (di Jakarta atau di Jawa) yang salah menanggapi apa maksud film ini. Mereka bahkan sangat salah dalam menebak apa yang ingin disampaikan dalam film ini. Tapi dibalik semua itu saya mengambil kesimpulan bahwa saya berhasil meyakinkan diri saya kembali bahwa memang Papua Selatan sampai saat ini masih sangat kurang diperhatikan oleh dunia luar.
Kebanyakan orang luar hanya tahu Papua bagian tengah dan barat, seperti Wamena dll, itulah yang membuat mereka sangat keliru dalam berkesimpulan terhadap film ini. Niatnya mungkin ingin membandingkan dengan wilayah Papua lainnya yang notabene tentu sudah lebih maju. Di film ini saya hanya mencoba jujur menggambarkan sesuai dengan apa yang ada disana, mulai dari kenyataan yang ada sampai cerita cerita urban legendnya yang masih terjaga hingga saat ini. Anehnya beberapa pengamat film malah berlaku seakan lebih pintar dan lebih menguasai daerah Papua dibandingkan kami anak anak yang lahir disana. Padahal setidaknya jika ada yang mau membuka wawasannya lebih luas dengan menyelami apa maksud film ini secara obyektif dan tidak tendensius, maka mereka akan menemukan sebuah pola pandang baru dalam memandang Papua yang selama ini mereka kenal hanya dari satu sudut saja.
Memang terkadang ada beberapa cerita yang menjadi aneh untuk orang diluar sana tetapi sebenarnya itu menjadi sebuah hal yang biasa untuk kami di Papua Selatan.

Namun saya sebagai anak yang lahir di Papua Selatan hanya bisa berkata sama seperti apa yang diucapkan Bapak Bupati Boven Digoel pula bahwa “Inilah kami di Papua Selatan dengan keadaan seperti ini, apa adanya” kalau memang masih banyak diantara kami saudara saudara kami yang tertinggal maka kami harus tunjukkan itu apa adanya mengapa harus ditutup tutupi ?
Mengapa harus berpura pura maju kalau nyatanya memang masih banyak kemunduran dibanyak daerah kami disana ?
Karena itulah semua ini kami angkat kedalam sebuah film supaya Pemerintah pusat lihat dan perhatikan saudara saudara kami disana nasibnya.
Mengenai adanya suku primitive bukan hanya ada di Papua saja kog, disemua daerah diduna ini pun ada, misalnya dijawa ada suku Badui, di sumatera ada suku Kubu, di Amerika ada suku Amazone, dan lain lain. Dan semuanya sudah pernah difilmkan. Mengapa sekarang ketika kita mau memfilmkan kenyataan di daerah kita sendiri malah banyak yang merasa aneh dan menuduh memperlihatkan keterbelakangan ?

Paling tidak film ini adalah sebuah batu loncatan yang menegaskan bahwa akhirnya kami pun bisa mewujudkan semua impian itu dimana sebuah production House local dan Kru kru local bisa memproduksi sebuah film berkapasitas nasional dan tayang di Bioskop seluruh Indonesia.
dan pencapaian ini sebenarnya telah menjadi sebuah prestasi bagi kami anak anak di Merauke sekalipun banyak diluar sana yang tidak berniat mengetahuinya lebih dalam.
dan bagi saya sendiri film ini bukanlah sebuah karya yang harus dibahas secara terlalu serius karena isinya sendiri tidaklah terlalu seserius yang anda pikirkan. bagus atau tidaknya film ini secara selera bukan itu tujuan utama waktu kami membuatnya. yang terpenting adalah bagaimana tahap langkah awal mengobarkan semangat mengangkat perfilman dari daerah ketingkat Nasional serta membuktikan bahwa sebuah Production House dari daerah pun bisa membuat Film Nasional meskipun kali ini berpartner dgn Ph dari Jakarta. kalau baru langkah pertama saja sudah ada yang protes lalu kapan film film dari daerah bisa berkembang ?

memperlihatkan sebuah kenyataan pahit yang terjadi bukan berarti memperlihatkan stigma keterbelakangan. justru dengan di ekspose itulah diharapkan agar ada yang memperhatikan dan mau membuatnya maju paling tidak menjadi sebuah pekerjaan rumah bagi pemerintah kita. selama ini semuanya tertutupi dan tak terekpose keluar. Masa hanya orang Bule saja yang datang membuat film di Papua sementara anak anak dari Papua sendiri diam dan hanya menutupi sembari berkata tidak mau memperlihatkan ketertinggalannya ? memangnya hanya di Papua saja kah ada suku yang masih tertinggal ? disemua daerah lain juga ada kan ? coba nonton tuh acara Ethnic Runaway di TV, semua daerah di dunia ini punya sisi keterbelakangan pada rakyatnya hanya saja selama ini mereka tidak terekspose keluar dan selalu menutup dirinya rapat rapat dari dunia luar.

kalau mau tahu lihat saja itu diluar negeri betapa banyaknya orang amerika membuat film tentang papua yang berbau negatif misalnya : The last kanibal, papua the secret island of cannibals dll
dan parahnya itu bukan film fiksi tetapi film dokumenter ! lalu kenapa bukan mereka yang dipersalahkan ?

kenapa sesama anak papua harus ribut baku tuduh sedangkan orang luar ketawa lihat kita begini ribut hanya karena cerita fiksi? justru kita harus bersatu jika ingin menang bukan saling mencurigai satu sama lain. sangat bodoh sekali dan berlebihan jika menuduh anak anak merauke sengaja menjatuhkan atau melecehkan sedangkan kami dimerauke sejak dulu berjuang mengangkat nama Papua lewat semua karya kami yang sudah fenomenal macam epen cupen, melody kota rusa, sampai pendirian komunitas papua selatan film community dan Bomi film Merauke...apakah itu dipandang sebelah mata ? bagi yang selama ini menuduh anak anak Merauke negatif apa yang telah kalian berikan secara nyata untuk Papua ? lihatlah anak anak ini sudah banyak berbuat sesuatu demi nama merauke demi nama Papua.hormatilah hak azasi mereka.Mereka juga sebagian besar adalah pemilih hak ulayat tanah marind di Merauke bukan semuanya pendatang.
Saya tak perlu membahas kesalaha sebuah tulisan opini dari anak Papua di wilayah lain (yang bahkan mungkin belum pernah menginjak tanah kelahiran saya di Selatan) yang mencoba menghakimi saya seakan akan saya ini menghianati orang Papua. Apalagai salah menduga saya sebagai orang jawa padahal keturunan saya hingga nenek moyang pun tak ada yang orang Jawa. Semuanya tak perlu saya jawab atau saya balas sebab semuanya bisa terlihat dari rekam jejak perjuangan saya selama ini, apa yang sudah saya berikan tidak perlu di judge hanya dengan tulisan seperti itu. Jika Ia mampu berbuat lebih dari saya lakukanlah tak perlu hanya dengan menulis tapi bertindaklah untuk kemajuan Papua secara nyata, Apa yang kalian lihat di wilayah kalian belum tentu itu terjadi di wilayah kami juga. Di Merauke selama ini, kami mendapat dukungan penuh dari segenap Rakyat Merauke jadi tak ada yang di risaukan dari tulisan tersebut.

Berikut ini rekaman Komentar Plh. Bupati Boven Digoel setelah menyaksikan film Lost in Papua sekaligus meresmikan Launchingnya.

Film Lost in Papua sendiri telah diputar di Kota Merauke pada tanggal 17,18 dan 19 Juni 2011 dengan antusias penonton yang sangat besar yang membuktikan film ini sangat diterima dan disenangi di kota asalnya. dan dampak setelah film ini, kini suku Korowai semakin sering terekspose dan didatangi media dalam dan luar sehingga akses jalan menjadi mudah dan lebih diperhatikan pemerintah. sebelum film ini dibuat korowai belum terlalu sering keluar dimedia Nasional dan dahulu akses kesana sulit.

0 comments:

Post a Comment

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Kakatua Kaskus | www.kakatua.web.id | Bloggerized by Irham Acho Bahtiar --- Izakod Bekai Izakod Kai | Satu Hati Satu Tujuan